Cara Penularan Penyakit Anthraks & Terapi Pengobatannya

Anthraks

Anthraks adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Bacillus anthracis, biasanya bersifat akut atau perakut pada berbagai jenis ternak (pemamah biah, kuda, babi, dan sebagainya). Ditandai dengan demam tinggi yang disertai dengan perubahan jaringan bersifat septisemia, infiltrasi serohemoragi pada jaringan subkutan dan subserosa, serta pembengkakan akut limpa. Berbagai jenis hewan liar (rusa, kelinci, babi hutan, dan sebagainya) dapat pula terserang).

Penyebab anthraks adalah Bacillus anthracis. B. anthracis berbentuk batang lurus, dengan ujung siku, membentuk rantai panjang dalam biakan. Dalam jaringan tubuh tidak pernah terlihat rantai panjang, biasanya tersusun secara tunggal atau dalam rantai pendek dari 2-6 organisme, berselubung (berkapsul), kadang-kadang satu selubung melingkupi beberapa organisme. Selubung tersebut tampak jelas batasnya dan dengan pewarnaan gram tidak berwarna atau berwarna lebih pucar dari tubuhnya. Bakteri anthraks bersifat aerob, membentuk spora yang letaknya sentral bila cukup oksigen. Tidak cukupnya oksigen di dalam tubuh penderita atau di dalam bangkai yang tidak dibuka (diseksi), baik dalam darah maupun dalam jeroan, maka spora tidak pernah dijumpai. Bakteri bersifat Gram positif, dan mudah diwarnai dengan zat-zat warna biasa.
Pada media agar, bakteri anthraks membentuk koloni yang suram, tepinya tidak teratur, pada pembesaran lemah menyerupai jalinan rambut bergelombang, yang sering kali disebut caput medusa. Pada media cair mula-mula terjadi pertumbuhan di permukaan, yang kemudian turun ke dasar tabung sebagai jonjot kapas, cairannya tetap jernih.

Spora tahan terhadap kekeringan untuk jangka waktu lama, bahkan dalam tanah dengan kondisi tertentu dapat tahan sampai berpuluh-puluh tahun, lain halnya dengan bentuk vegetatif B. anthracis mudah mati oleh suhu pasteurisassi, desinfektan atau oleh proses pembusukan.

Pemusnahan spora B. anthracis dapat dilakukan dengan: uap basah bersuhu 90° selama 45 menit, air mendidih atau uap basah bersuhu 100°C selama 10 menit, dan panas kering pada suhu 120°C selama satu jam.

Meskipun anthraks tersebar di seluruh dunia namun pada umumnya penyakit ini terdapat pada beberapa wilayah saja. Biasanya penyakit ini timbul secara enzootik pada saat tertentu saja sepanjang tahun.

Cara penularan

Pada hakekatnya anthraks adalah “penyakit tanah” yang berarti bahwa penyebabnya terdapat di dalam tanah, kemudian bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh hewan. Pada manusia infeksi dapat terjadi lewat kulit, mulut atau pernafasan. Anthraks tidak lazim ditularkan dari hewan yang satu kepada yang lain secara langsung.

Bakteri anthraks bergerombol di dalam jaringan hewan penderita, yang dikeluarkan melalui sekresi dan ekskresi menjelang kematiannya. Bila penderita anthraks mati kemudian diseksi atau termakan burung atau hewam pemakan bangkai, maka spora dengan cepat akan terbentuk dan mencari tanah sekitarnya. Bila terjadi demikian maka menjadi sulit untuk memusnahkannya. Hal tersebut menjadi lebih sulit lagi, bila spora tersebut tersebar oleh adanya angin, air, pengolahan tanah, rumput makanan ternak dan sebagainya.

Di daerah iklim panas lalat penghisap darah antara lain jenis Tabanus sp. dapat bertindak sebagai pemidah penyakit.

Masa tunas anthraks berkisar antar 1-3 hari, kadang-kadang ada yang sampai 14 hari. Infeksi alami terjadi melalui:
  • Saluran pencernaan
  • Saluran pernafasan dan
  • Permukaan kulit yang terluka.
Infeksi melalui saluran pencernaan lazim ditemui pada hewan-hewan dengan tertelannya spora, meskipun demikian cara infeksi yang lain dapat saja terjadi. Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari hewan melalui permukaan kulit yang terluka, terutama pada manusia yang banyak berhubungan dengan hewan. Infeksi melalui pernafasan mungkin terjadi pada pekerja penyortir bulu domba, sedangkan infeksi melalui saluran pencernaan terjadi pada manusia yang makan daging asal hewan penderita anthraks.

Gejala klinis

Dikenal beberapa bentuk anthraks, yaitu perakut, akut dan kronis.
  • Anthraks bentuk perakut: gejala penyakitnya sangat mendadak dan segera terjadi kematian karena ada perdarahan otak. Gejala tersebut berupa sesak napas, gemetar, kemudian hewan rebah. Pada beberapa kasus menunjukkan gejala kejang pada sapi, domba, dan kambing, mungkin terjadi kematian tanpa menunjukkan gejala-gejala penyakit sebelumnya.
  • Anthraks bentuk akut: pada sapi, kuda dan domba. Gejala penyakitnya mula-mula demam, penderita gelisah, depresi, susah bernafas, detak jantung frekuen dan lemah, kejang, dan kemudian penderita segera mati. Selama sakit berlangsung, demamnya dapat mencapai 41,5°C, ruminasi berhenti, produksi susu berkurang, pada ternak yang sedang bunting mungkin terjadi keguguran. Dari lubang-lubang alami mungkin terjadi ekskreta berdarah. Gejala anthraks pada kuda dapat berupa demam, kedinginan, kolik yang berat, tidak ada nafsu makan, depresi hebat, otot-otot lemah, diare berdarah, bengkak di daerah leher, dada, perut bagian bawah, dan di bagian kelamin luar. Kematian pada kuda baisanya terjadi sehari atau lebih lama bila dibandingkan dengan anthraks pada ruminansia.
  • Anthraks bentuk kronis biasanya terdapat pada babi, tetapi kadang-kadang terdapat pula pada sapi, kuda dan anjing dengan lesi lokal yang terbatas pada lidah dan tenggorokan. Pada satu kelompok babi yang terinfeksi, beberapa babi diantaranya mungkin mati karena anthraks akut tanpa menunjukkan gejala penyakit sebelumnya. Beberapa babi yang lain menunjukkan pembengkakan yang cepat pada tenggorokan, yang pada beberapa kasus menyebabkan kematian karena lemas. Kebanyakan babi dalam kelompok itu mati karena anthraks kronis. Sedangkan babi dengan infeksi ringan, berangsur-angsur akan sembuh. Bila babi tersebut disembelih pada kelenjar limfe servikal dan tonsil terdapat bakteri anthraks.
Pada sapi, gejala permulaan kurang jelas kecuali demam tinggi sampai 42°C. Biasanya sapi-sapi tersebut terus digembalakan atau dipekerjakan. Dalam keadaan seperti itu sapi dapat mendadak mati di kandang, di padang gembalaan atau saat sedang dipekerjakan. Penyakit ini ditandai dengan gelisah pada saat mengunyah, menanduk benda keras di sekitarnya, kemudian dapat diikuti dengan gejala-gejala penyakit umum seperti hewan menjadi lemah, panas tubuh tidak merata, paha gemetar. Nafsu makan hilang sama sekali, sekresi susu menurun atau terhenti, tidak ada ruminasi, dan perut nampak agak kembung. Pada puncak penyakit darah keluar melalui dubur, mulut, lubang hidung, dan urin bercapur darah. Pada beberapa kasus terdapat bungkul-bungkul keras berisi cairan jernih atau nanah, pada mukosa mulut terdapat bercak-bercak, lidah bengkak dan kebiruan, serta nampak lidah keluar dari mulut.

Gejala-gejala umum anthraks berupa pembengkakan di daerah leher, dada, sisi lambung, pinggang, dan alat kelamin luar. Pembengkakakn tersebut berkembang cepat dan meluas, bila diraba panas konsistensinya lembek atau keras, sedang kulit di daerah tersebut normal atau terdapat luka yang mengeluarkan eksudat cair yang berwarna kuning muda. Pembengkakan pada leher sering berlanjut menyebabkan paryngitis dan busung glottis, menyebabkan sesak nafas yang memberatkan penyakit. Pada selaput lendir rektum terdapat pembengkakan berupa bungkul-bungkul. Pembengkakan seperti itu juga dapat terjadi karena infeksi pada waktu eksporasi rektal atau pengosongan isi usus.

Pada manusia sering ditemukan bentuk (kutan). Karena serangannya bersifat lokal, dapat juga disebut anthraks lokal. Pada luka tersebut sering terjadi rasa nyeri, yang diikuti dengan pembentukan bungkul merah pucat (karbungkel) yang berkembang menjadi kehitaman dengan cairan bening berwarna merah. Bila pecah akan meninggalkan jaringan nekrotik. Bungkul berikutnya muncul berdekatan. Jaringan sekitarnya tegang, bengkak dengan warna merah tua pada kulit sekitarnya. Bila dalam waktu bersamaan gejala demam muncul, infeksi menjadi umum (generalis) pada pasien mati karena septisemi.
  • Anthraks bentuk kutan (kulit) ditandai dengan adanya pembengkakan di berbagai tempat di bagian tubuh. Biasanya pada sapi dan kuda yang terdapat luka atau lecet di daerah kulit yang kemudian tercemar oleh bakteri anthraks, maka hewan tersebut akan terinfeksi anthraks.
Manifestasi gambaran klinis anthraks sebagaimana terbentuk di daerah ada kalanya berbeda-beda tergantung pada perluasan penyakit dan jenis hewan yang terkena. Anthraks kulit primer maupun sekunder jarang ditemukan. Penyakit ini biasnaya berakhir setelah 10-36 jam, kadang-kadang sampai 2-5 hari. Anthraks kulit primer maupun sekunder jarang ditemukan. Penyakit ini biasanya berakhir setelah 10-36 jam, kadang-kadang sampai 2-5 hari. Anthraks kulit yang kronis dapat pula terjadi pada sapi yang berlangsung selama 2-3 bulan. Hewan-hewan yang menderita penyakit ini akan menjadi kurus dengan cepat.
  • Anthraks bentuk usus (intestinal) sering disertai haemoragik, kenyerian yang sangat di daerah perut (kolik), muntah-muntah, kaku dan berakhir dengan kolaps dan kematian.
  • Anthraks bentuk pernafasan terjadi pleuritis dan bronchopneumonia. Bentuk gabungan juga bisa terjadi. Setelah infeksi usus, kemudian muncul kebengkakan bersifat busung di bagian tubuh yang lain.
Patologi

Bangkai hewan yang mati karena anthraks dilarang untuk dibedah. Bangkai tersebut cepat membusuk karena sepsis, dan terlihat sangat membengkak. Kekakuan bangkai (rigormortis) biasanya tidak ada atau tidak sempurna. Darah yang berwarna hitam seperti aspal mungkin keluar dari lubang alami seperti hidung, mulut, telinga, anus, tampak bengkak, dan bangkai cepat membusuk. Mukosa warna kebiruan, sering terdapat penyembulan rektum yang disertai perdarahan.

Artikel Terkait : Zoonosis Menjadi Ancaman Serius Kesehatan Manusia
Artikel Terkait : Cara Penularan Penyakit Zoonosis & Klasifikasinya
Artikel Terkait : Cara Penularan Penyakit Rabies Di Indonesia & Luar Negeri

Pengobatan

Pengobatan pada hewan sakit diberikan suntikan antiserum dengan dosis kuratif 100-150 ml untuk hewan besar dan 50-100 ml untuk hewan kecil. Penyuntikan antiserum homolog adalah IV atau SC, sedang yang heterolog SC. Jika perlu penyuntikan pengobatan dapat diulangi secukupnya. Antiserum yang diberikan lebih dini sesudah timbuh gejala sakit, kemungkinan untuk diperoleh hasil yang baik akan lebih besar.

Hewan tersangka sakit atau yang sekandang dengan hewan sakit, diberi suntikan pencegahan dengan antiserum. Kekebalan pasif timbul seketika, akan tetapi berlangsung tidak lebih lama dari 2 minggu. Pemberian antiserum untuk tujuan pengobatan dapat dikombinasikan dengan pemberian antibiotik. Jika antiserum tidak tersedia, dapat dicoba dengan obat-obatan tersebut di bawah ini.

Anthraks stadium awal pada kuda dan sapi diobati dengan procain penicillin G dilakukan dalam aquades steril dengan dosis untuk hewan besar 6.000-20.000 IU/kg berat badan, IM tiap hari.
Streptomycin sebanyak 10 gram (untuk hewan besar seberat 400-600 kg) setiap hari yang diberikan dalam dua dosis secara intramuskuler dianggap lebih efektif dari penicillin, akan tetapi lebih baik dipakai kombinasi penicillin – streptomycin.

Selain penicillin dapat pula dipakai oxytetracycline. Untuk sapi dan kuda mula-mula 2 gm IV atau IM, kemudian 1 gram tiap hari selama 3-4 hari atau sampai sembuh. Oxytetracyclin dapat diberikan dalam kombinasi dengan penicillin. Antibiotika lain yang dapat dipakai antara lain: chloramphanicol, erythromycin, atau sulfonamide (sulfamethazine, sulfanilamide, sulfapyridine, sulfathiazole), tetapi obat-obatan tersebut kurang ampuh dibandingkan dari penicillin atau tetracycline.

Referensi
Bahri S. 2008. Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal Ternak Di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian. 1(3), 2008: 225-242.
Dierektur Kesehatan Hewan. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia Cetakan ke-2. Jakarta: Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Quinn, P. J.; Markey, B. K.; Carter, M. E.; Donnelly, W. J. C.; Leonard, F. C.; Maghire, D. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Australia: Blackwell Science
Ressang, A. A. 1983. Patologi Khusus Veteriner. Bali : Tean Leader IFAD Project
Soeharsono. 2002. Zoonosis: Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Subronto, dan Tjahajati. 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit & Mikroba Pada Anjing & Kucing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Wijanti, Tri. 2010. Zoonosis. Jurnal BALABA Vol 6, No 1, Juni 2010 : 20-21.
Wuryaningsih, Etty. 2010 Kebijakan Pemerintah Dalam Pengamanan Pangan Asal Hewan. Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Proudk Peternakan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian

Comments

Popular posts from this blog

BULAN DAN KERUPUK KARYA YUSEP MULDIANA

Pemikiran Susanne K. Langer Dalam Memabaca Simbol Pada Seni