Cara Penularan Penyakit Rabies Di Indonesia & Luar Negeri

Penyebaran penyakit rabies di luar negeri

Penyakit rabies telah ada tercatat sejak berabad-abad lampau yaitu di kitab Mosaic Esthnuna Code yaitu pada raja Hamurabi di kerajaan Babylonia dan juga di kerjaan lain di Timur Tengah dan Yunani. Penyebaran penyakit hampir terdapat di seluruh dunia, tidak saja pada negara maju. Buka saja di daerah tropis melainkan juga di daerah subtropis dan negara beriklim dingin. Selain itu, di negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Amerika Utara serta beberapa negara di Eropa masih banyak ditemukan penyakit rabies. Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 1988, rabies telah tersebar di 92 negara dna bahkan bersifat endemik di 72 negara.

Kejadian di Indonesia

Kejadian pertama kali dilaporkan oleh ESSER tahun 1889 pada seekor kerbau. Sejak saat tersebut kasus rabies dilaporkan dari beberapa daerah lainnya. Pada tahun 1894 de HANN melaporkan kejadian rabies pada manusia. Tahun demi tahun daerah rabies terus meluas.

Selama pendudukan Jepang daerah tertular rabies tidak diketahui dengan pasti namun setelah perang dunia kedua peta daerah rabies di Indonesia berubah secara kronologis sebagai berikut: Jawa Barat (1948); Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953); Sumatera Utara (1956); Sulsel dan Sulut (1958); Sumsel (1959); Aceh (1970); Jambi dan Yogyakarta (1971); Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulteng (1972); Kalitim (1974); Riau (1975); Kalteng (1979); dan terakhir NTT (1999).

Sampai tahun 2005 daerah bebas rabies di Indonesia hanya menyelimuti Jawa, Bali, NTB, dan Papua. Namun kemudian pada tahun 2005 sampai sekarang Jawa Barat kemudian terjadi wabah sporadis di beberapa kota dan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1637.1, 1 Desember 2008 maka Bali dinyatakan terjangkit wabah rabies dan KepMentan NOmor 1696, tanggal 12 Desember 2008 menetapkan Propinsi Bali sebagai Kawasan Karantina Penyakit anjing gila/rabies.

Spesies rentan


Semua hewan berdarah panas termasuk manusia rentan terhadap rabies. Di Indonesia hewan rentan terhadap rabies yang pernah dilaporkan adalah pada kerbau, kuda, kucing, leopard, musang, meong cangkok, sapi, dan kambing. Hewan tersebut adalah hewan piaraan kecuali musang. Kelelawar dan tikus liar dapat diinfeksi virus secara buatan di laboratorium dan kasus pada tikus liar pernah ditemukan di BPPH (sekarang BPPV) Bukittinggi 1991. Statistik menunjukkan bahwa hewan penyebar rabies yang utama adalah anjing (92%), kucing (6%), dan kera (3%).

Cara penularan

Masa inkubasi pada anjing dan kucing rata-rata sekitar 2 minggu tetapi dilaporkan dapat terjadi antara 10 hari – 8 minggu dan pada manusia 2-3 minggu, dengan masa yang paling lama 1 (satu) tahun, tergantung pada:
  • Jumlah virus yang masuk melalui luka
  • Dalam atau tidaknya luka
  • Luka tunggal atau banyak
  • Dekat atau tidaknya luka dengan susunan syaraf pusat
  • Perlakuan luka pasca gigitan
Pada hewan percobaan virus masih dapat ditemukan di tempat suntikan selama 14 hari. Virus menuju ke susunan syaraf pusat melalui syaraf perifer kemudian virus berkembang biak di sel syaraf terutama pada hypocampus dan sel Purkinje dan kelenjar ludah.

Pada anjing 3-5 hari sebelum gejala klinis terlihat, kelenjar ludah telah mengandung virus dan akan terus infektif selama hewan sakit. Virus ditularkan terutama melalui luka gigitan, oleh karena itu bangsa karnivora adalah hewan utama penyebar rabies antar hewan atau ke manusia.

Gejala klinis

Gejala klinis terlihat pada umumnya adalah berupa manifestasi peradangan otak (encephalitis) yang akut baik pada hewan maupun manusia. Pada manusia keinginan untuk menyerang pada orang lain umumnya tidak ada. Masa inkubasi pada anjing dan kucing berkisar antara 10 hari sampai 8 minggu. Pada sapi, kambing, kuda, dan babi berkisar antara 1-3 bulan.

Gejala klinis pada anjing dan kucing

Gejala penyakit pada anjing dan kucinghampir sama. Gejala penyakit dikenal dalam 3 bentuk:
  • Bentuk ganas (furious rabies), masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati dalam 2-5 hari setelah tanda-tanda gila terlihat
  • Bentuk diam atau dungu (dumb rabies), paralisis cepat terjadi, masa eksitasi pendek.
  • Bentuk asimpotmatis: hewan tiba-tiba mati tanpa menunjukkan gejala-gejala sakit.
Tanda-tanda yang sering terlihat sebagai berikut:
  • Pada fase prodormal hewan mencari tempat yang dingin dan menyendiri, tetapi dapat menjadi lebih agresif dan nervous. Reflex kornea kurang/hilang, pupil meluas dan kornea kering, tonus urat daging bertambah (sikap siaga/kaku).
  • Pada fase eksitasi hewan akan menyerang siapa saja yang ada di sekitarnya dan memakan benda asing. Dengan berlanjutnya penyakit, mata menjadi keruh dan selalu terbuka diikuti inkoordinasi dan konvulsi.
  • Pada fase paralisis maka kornea mata kering dan mata terbuka dan kotor, semua reflex hilang, konvulsi dan mati.
Sedangkan pada hewan pemamah biak, berkuku satu dan ternak lain, gejala penyakitnya hampir sama yaitu gelisah, gugup, liar dan rasa gatal pada seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki belakang dan akhirnya hewan mati. Pada hari pertama atau kedua kemungkinan temperatur naik 1 - 3°C di atas normal, anorexia, expresi wajah berubah dari yang biasa, sering menguak dan ini merupakan tanda yang spesifik untuk hewan yang menderita rabies.

Patologi


Biasanya tidak ada gambaran pasca mati yang jelas, jikapun ditemukan biasanya berupa efek sekunder dari gejala syaraf yang ada. Karkas biasanya mengalami dehidrasi dan dalam keadaan buruk. Kadang kadang ditemukan bekas trauma, misalnya gigi patah. Pada karnivora sering ditemukan benda-benda asing (corpora aliena) dalam lambung berupa rambut, kayu dan lain-lain.

Secara mikroskopis perubahan yang paling signifikan adalah lesi pada susunan syaraf pusat dan spinal cord. Pada otak biasnaya ditemukan perivascular cuffing, gliosis focal atau difus, degenerasi neuron dan inclusion bodies (Negri bodies) intrasitoplasmik pada neuron. Negri bodies ditemukan pada saliva dan kelenjar adrenal serta pada retina mata.

Diagnosa

Untuk mendiagnosa penyakit rabies selain memperhatikan riwayat penyakit, gejala klinis dan gambaran patologi, pemeriksaan spesimen secara laboratoris perlu dilakukan. Spesimen segar dapat berupa kepala utuh atau otak. Kepala dimasukkan dalma suatu kontainer dalam kondisi dingin (berisi es). Otak (hypocampus) diambil secara aseptis, dimasukkan ke dalam larutan gliserin 50% dan disimpan di dalam termos es. Sebagian otak disimpan dalam buffer formalin.
  • Mikroskopis untuk melihat dan menentukan adanya Negri bodies dengan cara:
  1. Pewarnaan Sellers
  2. FAT (Fluorescence Antibody Technique)
  • Histopatologis
  • Isolasi virus. Dilakukan dengan menyuntukkan suspensi otak pada mencit atau inokulasi pada biakan sel neuroblastoma. Identitas virus ditentukan dengan FAT, uji virus netralisasi atau dengan cara pewarnaan.
  • Serologis: AGPT, FAT, serum netralisasi (SN), CFT dan ELISA.
  • Molekuler: dengan RP-PCR, real time PCR dan sekuensing.
Tindakan

Pada hewan yang menggigit dan dicurigai menderita rabies harus dikarantina selama dua minggu. Apabila terjadi kematian perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan Negri bodies dengan cara mengirim hipocampunya ke BPPH atau BPPV yang mempunyai fasilitas mendiagnosis rabies. Apabila tidak terjadi kematian maka hewan tersebut dinyatakan bebas rabies.

Pada manusia yang tergigit hewan di daerah tertular rabies perlu diwaspadai. Luka gigitan harus sesegera mungkin dicuci dengan detergen selama 5-10 menit di bawah air yang mengalir sebagai upaya untuk merusak envelope dari virus rabies. Selanjutnya diberi alkohol 70% atau iodium tincture. Luka sebaiknya tidak dijahit, bila harus dijahit maka dilakukan dengan diberi local antiserum dan jahitan tidak boleh terlalu erat sehingga menghalangi pendarahan atau drainase.

Pencegahan imunologis terhadap rabies pada manusia adalah dengan memberikan Human Rabies Immunoglobulin (HRIG) secepat mungkin setelah terpajan untuk menetralisir virus pada luka gigitan, dengan dosis tunggal 20IU/kgBB, setengahnya diinjeksikan ke dalam dan di sekitar luka dan setengahnya diberikan IM. Selanjutnya diberikan vaksin pada tempat yang berbeda untuk mendapatkan imunitas aktif dengan HDCV atau RVA dalam 5 dosis 0,5 atau 1,0 cc IM pada daerah deltoid. Dosis pertama diberikan segera setelah gigitan (pada saat yang sama diberikan dosis tunggal HRIG) dan dosis selanjutnya pada hari ke 3, 7, 14 dan 28 setelah dosis pertama.

Pencegahan

Perlu dilakukan imunisasi dengan vaksin rabies pada hewan peliharaan yang peka terutama pada anjing, kucing, dan kera. Perlu pelaporan kepada dinas yang terkait apabila terjadi kasus gigitan hewan tersangka rabies atau di wilayah terpapar rabies.

Imunisasi prapajanan terhadap orang yang berisiko tinggi terkena rabies mungkin perlu dilakukan dengan HDCV (Human Diploid Cell Rabies Vaccine), RVA (Rabies Vaccine Adsorbed) atau PCBC (Pirified Chick Embryo Cell Vaccine) misalnya pada orang-orang yang bekerja sebagai dokter hewan, petugas suaka alam pada daerah anzootik atau epizootic, petugas karantina hewan, petugas laboratorium atau petugas lapangan yang bekerja dengan rabies atau wisatawan yang berkunjung dalam waktu lama pada daerah endemis rabies.

Artikel Terkait : Zoonosis Menjadi Ancaman Serius Kesehatan Manusia
Artikel Terkait : Cara Penularan Penyakit Zoonosis & Klasifikasinya


Referensi
Bahri S. 2008. Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal Ternak Di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian. 1(3), 2008: 225-242.
Dierektur Kesehatan Hewan. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia Cetakan ke-2. Jakarta: Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Quinn, P. J.; Markey, B. K.; Carter, M. E.; Donnelly, W. J. C.; Leonard, F. C.; Maghire, D. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Australia: Blackwell Science
Ressang, A. A. 1983. Patologi Khusus Veteriner. Bali : Tean Leader IFAD Project
Soeharsono. 2002. Zoonosis: Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Subronto, dan Tjahajati. 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit & Mikroba Pada Anjing & Kucing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Wijanti, Tri. 2010. Zoonosis. Jurnal BALABA Vol 6, No 1, Juni 2010 : 20-21.
Wuryaningsih, Etty. 2010 Kebijakan Pemerintah Dalam Pengamanan Pangan Asal Hewan. Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Proudk Peternakan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian

Comments

Popular posts from this blog

BULAN DAN KERUPUK KARYA YUSEP MULDIANA

Naskah Drama Teater - Mak Comblang

11 Sistem Tubuh Utama Berkontribusi Penting Dalam Homeostasis