AYAHKU PULANG
Karya Usmar Ismail
DRAMATIC PERSONAE
1. RADEN SALEH Ayah.
2. T I N A Ibu / Isteri Raden
Saleh.
3. GUNARTO Anak laki-laki tertua
Raden Saleh dan Tina.
4. MAIMUN Adik
laki-laki Gunarto / anak kedua Raden Saleh dan Tina.
5. MINTARSIH Adik
perempuan Gunarto dan Maimun / anak bungsu Raden Saleh dan Tina.
PANGGUNG
MENGGAMBARKAN SEBUAH RUANGAN DALAM DARI SEBUAH RUMAH YANG SANGAT SEDERHANA
DENGAN SEBUAH JENDELA AGAK TUA. DIKIRI KANAN RUANGAN TERDAPAT PINTU. DISEBELAH
KIRI RUANGAN TERDAPAT SATU SET KURSI DAN MEJA YANG AGAK TUA, DISEBELAH KANAN
TERDAPAT SEBUAH MEJA MAKAN KECIL DENGAN EMPAT BUAH KURSINYA, TAMPAK CANGKIR
TEH, KUE-KUE DAN PERALATAN LAINNYA DIATAS MEJA. SUARA ADZAN DI LATAR BELAKANG
MENUNJUKKAN SAAT BERBUKA PUASA.
SEBELUM LAYAR
DIANGKAT SEBAIKNYA TERLEBIH DAHULU SUDAH TERDENGAR SUARA BEDUK BERSAHUT-SAHUTAN
DIIRINGI SUARA TAKBIR BEBERAPA KALI SEBAGAI TANDA KALAU ESOK ADALAH HARI RAYA
IDUL FITRI. SUARA BEDUG DAN TAKBIR SEBAIKNYA TERUS TERDENGAR DARI MULAI LAYAR
DIANGKAT/SANDIWARA DIMULAI SAMPAI AKHIR PERTUNJUKKAN INI. KETIKA SANDIWARA
DIMULAI/LAYAR PANGGUNG DIANGKAT, TAMPAK IBU SEDANG DUDUK DIKURSI DEKAT JENDELA.
EKSPRESINYA KELIHATAN SEDIH DAN HARU MENDENGAR SUARA BEDUK DAN TAKBIRAN YANG
BERSAHUT-SAHUTAN ITU. KEMUDIAN MASUK KEPANGGUNG GUNARTO.
GUNARTO (Memandang Ibu Lalu Bicara
Dengan Suara Sesal)
Ibu masih berfikir
lagi...
I B U (Bicara Tanpa Melihat Gunarto)
Malam Hari Raya
Narto. Dengarlah suara bedug itu bersahut-sahutan.
(Gunarto Lalu Bergerak Mendekati Pintu)
Pada malam hari
raya seperti inilah Ayahmu pergi dengan tidak meninggalkan sepatah katapun.
GUNARTO (Agak Kesal)
Ayah......
I B U
Keesokan harinya
Hari Raya, selesai shollat ku ampuni dosanya...
GUNARTO
Kenapa masih Ibu
ingat lagi masa yang lampau itu? Mengingat orang yang sudah tidak ingat lagi
kepada kita?
I B U (Memandang Gunarto)
Aku merasa bahwa ia
masih ingat kepada kita.
GUNARTO (Bergerak Ke Meja Makan)
Mintarsih kemana,
Bu?
I B U
Mintarsih keluar
tadi mengantarkan jahitan, Narto.
GUNARTO (Heran)
Mintarsih masih
juga mengambil upah jahitan, Bu? Bukankah seharusnya ia tidak usah lagi
membanting tulang sekarang?
I B U
Biarlah Narto.
Karena kalau ia sudah kawin nanti, kepandaiannya itu tidak sia-sia nanti.
GUNARTO (Bergerak Mendekati Ibu,Lalu Bicara Dengan Lembut)
Sebenarnya Ibu mau
mengatakan kalau penghasilanku tidak cukup untuk membiayai makan kita
sekeluarga kan, Bu? (Diam Sejenak. Pause)
Bagaimana dengan lamaran itu, Bu?
I B U
Mintarsih nampaknya
belum mau bersuami, Narto..Tapi dari fihak orang tua anak lelaki itu terus
mendesak Ibu saja..
GUNARTO
Apa salahnya, Bu?
Mereka uangnya banyak!
I B U
Ah... uang, Narto??
GUNARTO (Sadar Karena Tadi Berbicara Salah)
Maaf Bu... bukan
maksud aku mau menjual adik sendiri..
(Lalu Bicara Dengan Dirinya Sendiri)
Ah... aku jadi mata
duitan.... yah mungkin karena hidup yang penuh penderitaan ini...
I B U (Menerawang)
Ayahmu seorang
hartawan yang mempunyai tanah dan kekayaan yang sangat banyak, mewah diwaktu
kami kawin dulu. Tetapi kemudian... seperti pokok yang ditiup angin
kencang...buahnya gugur..karena......
(Suasana Sejenak Hening, Penuh Tekanan Bathin, Suara Ibu
Lemah Tertekan)
Uang Narto! Tidak
Narto, tidak...aku tidak mau terkena dua kali, aku tidak mau adikmu bersuamikan
seorang Hartawan, tidak...cukuplah aku saja sendiri. biarlah ia hidup sederhana
Mintarsih mestilah bersuamikan orang yang berbudi tinggi, mesti, mesti...
GUNARTO (Coba Menghibur Ibu)
Tapi kalau bisa
kedua-duanya sekaligus,Bu? Ada harta ada budi.
I B U
Dimanalah
dicari,Narto? Adik kau Mintarsih hanyalah seorang gadis biasa. Apalagi sekarang
ini keadaan kita susah? Kita tidak punya uang dirumah? Sebentar hari lagi uang
simpananku yang terakhirpun akan habis pula.
GUNARTO (Diam Berfikir, Kemudian Kesal)
Semua ini adalah
karena ulah Ayah! Hingga Mintarsih harus menderita pula! Sejak kecil Mintarsih
sudah merasakan pahit getirnya kehidupan. Tapi kita harus mengatasi kesulitan
ini,Bu! Harus! Ini kewajibanku sebagai abangnya, aku harus lebih keras lagi
berusaha!
(Hening Sejenak Pause. Lalu Bicara Kepada Dirinya Sendiri)
Kalau saja aku
punya uang sejuta saja....
I B U
Buat perkawinan
Mintarsih, lima ratus ribu rupiah saja sudah cukup,Narto.
(Ibu Coba Tersenyum)
Sesudah Mintarsih
nanti, datanglah giliranmu Narto...
GUNARTO (Kaget)
Aku kawin,Bu??
Belum bisa aku memikirkan kesenangan untuk diriku sendiri sekarang ini, Bu.
Sebelum saudara-saudaraku senang dan Ibu ikut mengecap kebahagiaan atas jerih
payahku nanti Bu.
SUARA BEDUG DAN TAKBIR TERDENGAR LEBIH KERAS SEDIKIT.
I B U
Aku sudah merasa
bahagia kalau kau bahagia, Narto. Karena nasibku bersuami tidak baik benar.
(Kembali Fikirannya Menerawang)
Dan kata orang
bahagia itu akan turun kepada anaknya.
(Pause Lalu Terdengar Suara Bedug Takbir Lebih
Keras Lagi. Ibu Mulai Bicara Lagi)
Malam hari raya
sewaktu ia pergi itu, tak tahu aku apa yang mesti aku kerjakan? Tetapi ....
(KEMBALI SEDIH DAN HARU)
GUNARTO (Tampak Kesal Lalu Mengalihkan Pembicaraan)
Maimun lambat benar
pulang hari ini, Bu?
I B U
Barangkali banyak
yang harus dikerjakannya? Karena katanya mungkin bulan depan dia naik gaji.
GUNARTO
Betul bu itu?
Maimun memang pintar, otaknya encer. Tapi karena kita tak punya uang kita tak
bisa membiayai sekolahnya lebih lanjut lagi. Tapi kalau ia mau bekerja keras,
tentu ia akan menjadi orang yang berharga di masyarakat!
I B U (Agak Mengoda)
Narto...siapa gadis
yang sering ku lihat bersepeda bersamamu?
GUNARTO (Kaget. Gugup)
Ah...dia itu cuma
teman sekerja, Bu.
I B U
Tapi Ibu rasa pantas
sekali dia buat kau, Narto. Meskipun Ibu rasa dia bukanlah orang yang rendah
seperti kita derajatnya. Tapi kalau kau suka ....
GUNARTO (Memotong Bicara Ibu)
Ah... buat apa
memikirkan kawin sekarang, Bu? Mungkin kalau sepuluh tahun lagi nanti kalau
sudah beres.
I B U
Tapi kalau
Mintarsih nanti sudah kawin, kau mesti juga Narto? Kau kan lebih tua.
(Diam Sebentar Lalu Terkenang)
Waktu Ayahmu pergi
pada malam hari raya itu... ku peluk kalian anak-anakku semuanya.. hilang
akalku....
GUNARTO
Sudahlah Bu. Buat
apa mengulang kaji lama?
MASUK MAIMUN. DIA TAMPAK KELIHATAN SENANG.
MAIMUN (Setelah Meletakkan Tas
Kerjanya Lalu Bicara)
Lama menunggu, Bu?
Bang?
GUNARTO
Ah tidak...
I B U
Agak lambat hari
ini, Mun? Dimana kau berbuka puasa tadi?
MAIMUN
Kerja lembur, Bu.
Tadi aku berbuka puasa bersama teman dikantor. Tapi biarlah, buat perkawinan
Mintarsih nanti. Eh, mana dia Bu?
I B U
Mengantarkan
jahitan..
MAIMUN (Menghampiri Gunarto Lalu Duduk Disebelahnya)
Bang, ada kabar
aneh, nih! Tadi pagi aku berjumpa dengan seorang tua yang serupa benar dengan
Ayah?
GUNARTO (Tampak Tak Terlalu Mendengarkan)
Oh, begitu?
MAIMUN
Waktu Pak Tirto
berbelanja disentral, tiba-tiba ia berhadapan dengan seorang tua kira-kira
berumur enam puluh tahun. Ia kaget juga?! Karena orang tua itu seperti yang
pernah dikenalnya? Katanya orang tua itu serupa benar dengan Raden Saleh. Tapi
kemudian orang itu menyingkirkan diri lalu menghilang dikerumunan orang banyak!
GUNARTO
Ah, tidak mungkin
dia ada disini....
I B U (Setelah Diam Sebentar)
Aku kira juga dia
sudah meninggal dunia atau keluar negeri. Sudah dua puluh tahun semenjak dia
pergi pada malam hari raya seperti ini.
MAIMUN
Ada orang
mengatakan dia ada Singapur, Bu?
I B U
Tapi itu sudah
sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu kata orang dia mempunyai toko yang sangat
besar disana. Dan kata orang juga yang pernah melihat, hidupnya sangat mewah.
GUNARTO (Kesal)
Ya! Tapi anaknya
makan lumpur!
I B U (Seperti Tidak Mendengar
Gunarto)
Tapi kemudian tak
ada lagi sama sekali kabar apapun tentang Ayahmu. Apalagi sesudah perang
sekarang ini, dimana kita dapat bertanya?
MAIMUN
Bagaimana rupa Ayah
yang sebenarnya, Bu?
I B U
Waktu ia masih
muda, ia tak suka belajar. Tidak seperti kau. Ia lebih suka berfoya-foya.
Ayahmu pada masa itu sangat disegani orang. Ia suka meminjamkan uang kesana
kemari. Dan itulah....
GUNARTO (Kesal Lalu Mengalihkan Pembicaraan)
Selama hari raya
ini berapa hari kau libur, Mun?
MAIMUN
Dua hari, Bang.
I B U
Oh ya! Hampir lupa
masih ada makanan yang belum Ibu taruh dimeja.
(IBU LALU MASUK
KEDALAM)
GUNARTO (Setelah Diam Sebentar)
Pak Tirto bertemu
dengan orang tua itu kapan, Mun?
MAIMUN
Kemarin sore, Bang.
Kira-kira jam setengah tujuh.
GUNARTO
Bagaimana
pakaiannya?
MAIMUN
Tak begitu bagus
lagi katanya. Pakaiannya sudah compang-camping dan kopiahnya sudah hampir
putih.
GUNARTO (Acuh Saja)
Oh begitu?
MAIMUN
Kau masih ingat
rupa Ayah, Bang?
GUNARTO (Cepat)
Tidak ingat lagi
aku.
MAIMUN
Semestinya abang
ingat, karena umur abang waktu itu sudah delapan tahun. Sedangkan aku saja
masih ingat, walaupun samar-samar.
GUNARTO (Agak Kesal)
Tidak ingat lagi
aku. Sudah lama aku paksa diriku untuk melupakannya.
MAIMUN (Terus Bicara)
Pak Tirto banyak
cari tanya tentang Ayah.
IBU KELUAR KEMBALI
MEMBAWA MAKANAN LALU BERGABUNG LAGI
DENGAN MEREKA.
I B U
Ya, kata orang
Ayahmu seorang yang baik hati. (MENERAWANG)
Jika ia berada disini sekarang dirumah ini, besok hari raya, tentu ia bisa
bersenang-senang dengan anak-anaknya...
GUNARTO (Mengalihkan Pembicaraan)
Eh, Mintarsih
seharusnya sudah pulang sekarang.. jam berapa sekarang ini?
MAIMUN
Bang Narto. Ada
kabar aneh lagi nih! Tadi pagi aku berkenalan dengan orang India. Dia
mengajarkan aku bahasa Urdu, dan aku memberikan pelajaran bahasa Indonesia
kepada dia!
GUNARTO
Baguslah itu. Kau
memang harus mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya. Supaya nanti kau dapat
banggakan kalau kau bisa jadi orang yang sangat berguna bagi masyarakat! Jangan
seperti aku ini, hanya lulusan sekolah rendah. Aku tidak pernah merasakan atau
bisa lebih tinggi lagi, karena aku tidak punya Ayah. Tidak ada orang yang mau
membantu aku. Tapi kau Maimun, yang sekolah cukup tinggi, bekerjalah sekuat
tenagamu! Aku percaya kau pasti bisa memenuhi tuntutan zaman sekarang ini!
MASUK MINTARSIH
SEORANG ANAK GADIS YANG TAMPAK RIANG. IA MEMBAWA SESUATU YANG TAMPAKNYA UNTUK
KEPERLUAN HARI RAYA BESOK.
MINTARSIH
Ah.... sudah
berbuka puasa semuanya?
I B U
Tadi kami menunggu
kau, tapi lama benar?
(Mintarsih Bergerak Mendekati Jendela Lalu Melongokkan
Kepalanya Melihat Keluar)
Makanlah. Apa yang
kau lihat diluar?
MINTARSIH
Waktu saya lewat
disitu tadi...
(Menoleh Melihat Gunarto Yang Tampak Acuh Saja)
Bang Narto...
dengarlah dulu..
GUNARTO (Tenang)
Ya, aku dengar.
MINTARSIH
Ada orang tua
diujung jalan ini. Dari jembatan sana melihat-lihat kearah rumah kita.
Nampaknya seperti seorang pengemis.
(Semua DiaM)
Yah... kenapa semua
jadi diam?
GUNARTO TERTUNDUK
MEMBISU
MAIMUN (Dengan Cepat)
Orang tua??
bagaimana rupanya?
MINTARSIH
Hari agak gelap.
Jadi tidak begitu jelas kelihatannya... tapi orangnya....
TINGGI ATAU PENDEK
TERGANTUNG PEMERAN. SUARA BEDUG AGAK KERAS TERDENGAR.
MAIMUN (Bangkit Dari Duduknya Lalu Melihat Ke Jendela)
Coba ku lihat!
KEMUDIAN MAIMUN
KELUAR TAK LAMA MASUK KEMBALI, LALU
MELONGOKKAN KEPALANYA KE JENDELA LAGI
GUNARTO (Menoleh Sedikit Kepada Maimun)
Siapa Mun?
MAIMUN
Tak ada orang
kelihatannya?!
DUDUK KEMBALI
I B U (tampak sedih)
Malam hari raya
seperti ini ia berlalu dulu itu...
(Terkenang)
Mungkin ....
GUNARTO (agak kesal)
Ah Bu, lupakan
sajalah apa yang sudah berlalu itu.
SUARA BEDUG DAN
TAKBIRAN TERDENGAR AGAK JELAS KETIKA SUASANA HENING, SAMBIL MENUNGGU DIALOG.
I B U
Waktu kami masih
sama-sama muda, kami sangat berkasih-kasihan. Sejelek-jelek Ayahmu, banyak juga
kenangan-kenangan di masa itu yang tak dapat Ibu lupakan. Nak, mungkin ia
kembali juga?
SUARA BEDUG DAN
TAKBIRAN MAKIN SAYUP-SAYUP LALU TERDENGAR SUARA ORANG MEMBERI SALAM DARI PINTU
LUAR.
R. SALEH
Assalamualaikum,
assalamualaikum... apa disini rumahnya Nyonya Saleh?
I B U
Astagfirullah!
Seperti suara Ayahmu, nak? Ayahmu pulang, nak!
IBU BERGERAK
MENDEKATI PINTU RUMAH LALU MEMBUKA PINTU LEBIH LEBAR. DAN NAMPAK RADEN SALEH
BERDIRI DIHADAPANNYA. SUASANA JADI HENING TIBA-TIBA. HANYA TERDENGAR SUARA
BEDUG DAN TAKBIRAN YANG SAYUP-SAYUP NAMUN JELAS TERDENGAR.
R. SALEH (setelah lama berpandangan)
Tina? Engkau Tina??
I B U (agak gugup)
Saleh? Engkau
Saleh?? Engkau banyak berubah, Saleh.
R. SALEH (tersenyum malu)
Ya. Ya aku berubah,
Tina. Dua puluh tahun perceraian merubah wajahku.
(KEMUDIAN
MEMANDANGI ANAK-ANAKNYA SATU PERSATU)
Dan ini tentunya
anak-anak kita semua?
I B U
Ya, memang ini
adalah anak-anakmu semua. Sudah lebih besar dari Ayahnya. Mari duduk, dan
pandangilah mereka...
R. SALEH (ragu)
Apa? Aku boleh
duduk, Tina?
MINTARSIH MENARIK
KURSI UNTUK MEMPERSILAHKAN RADEN SALEH DUDUK.
I B U
Tentu saja boleh.
Mari....
(Menuntun raden saleh sampai ke kursi)
Ayahmu pulang, Nak.
MAIMUN (gembira lalu berlutut dihadapan raden saleh)
Ayah, aku Maimun.
R. SALEH
Maimun? Engkau
sudah besar sekarang, Nak. Waktu aku pergi dulu, engkau masih kecil sekali.
Kakimu masih lemah, belum dapat berdiri.
(Diam sebentar lalu melihat mintarsih)
Dan Nona ini,
siapa?
MINTARSIH
Saya Mintarsih,
Ayah.
(LALU MENCIUM
TANGAN AYAHNYA)
R. SALEH
Ya, ya...
Mintarsih. Aku dengardari jauh bahwa aku mendapat seorang anak lagi. Seorang
putri.
(Memandang wajah mintarsih)
Engkau cantik, Mintarsih.
Seperti Ibumu dimasa muda.
(Ibu tersipu malu)
Aku senang sekali.
Tak tahu apa yang harus ku lakukan?
I B U
Aku sendiri tidak
tahu dimana aku harus memulai berbicara? Anak-anak semuanya sudah besar seperti
ini. Aku kira inilah bahagia yang paling besar.
R. SALEH (tersenyum pahit)
Ya, rupanya
anak-anak dapat juga besar walaupun tidak dengan Ayahnya.
I B U
Mereka semua sudah
jadi orang pandai sekarang. Gunarto bekerja diperusahaan tenun. Dan Maimun tak
pernah tinggal kelas selama bersekolah. Tiap kali keluar sebagai yang pertama
dalam ujian. Sekarang mereka sudah mempunyai penghasilan masing-masing. Dan
Mintarsih dia ini membantu aku menjahit.
MINTARSIH (malu)
Ah, Ibu.
R. SALEH (sambil batuk-batuk)
Sepuluh tahun aku
menjadi seorang saudagar besar disingapur. Aku menjadi kepala perusahaan dengan
pegawai berpuluh-puluh orang. Tapi malang bagiku, toko itu habis terbakar. Lalu
seolah-olah seperti masih belum puas menyeret aku kelembah kehancuran,
saham-saham yang ku beli merosot semua nilainya sehabis perang ini. Sesudah itu
semua segala yang kukerjakan tak ada lagi yang sempurna. Sementara aku sudah
mulai tua. lalu tempat tinggalku, keluargaku, anak isteriku tergambar kembali
didepan mata dan jiwaku. Kalian seperti mengharapkan kasihku.
(Batuk-batuk. Lalu memandang gunarto)
Maukah engkau
memberikan air segelas buat ku Gunarto? Hanya engkau yang tidak....
I B U (gelisah serba salah)
Narto, Ayahmu yang
berbicara itu. Mestinya engkau gembira, nak. Sudah semestinya Ayah berjumpa
kembali dengan anak-anaknya yang sudah sekian lama tidak bertemu.
R. SALEH
Kalau Narto tak
mau, engkaulah Maimun. Maukah kau memberikan Ayah air segelas?
MAIMUN
Baik, Ayah.
MAIMUN BERGERAK
HENDAK MENGAMBILKAN AIR MINUM, TAPI NIATNYA TERHENTI OLEH TEGURAN KERAS
GUNARTO.
GUNARTO
Maimun! Kapan kau
mempunyai seorang Ayah!
I B U
Gunarto!
(SEDIH, GELISAH DAN
MULAI MENANGIS)
GUNARTO (bicara perlahan tapi pahit)
Kami tidak
mempunyai Ayah, Bu. Kapan kami mempunyai seorang Ayah?
I B U (agak keras tapi tertahan)
Gunarto! Apa katamu
itu!
GUNARTO
Kami tidak
mempunyai seorang Ayah kataku. Kalau kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya
kami membanting tulang selama ini? Jadi budak orang! Waktu aku berumur delapan
tahun, aku dan Ibu hampir saja terjun kedalam laut, untung Ibu cepat sadar. Dan
jika kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya aku menjadi anak suruhan waktu aku
berumur sepuluh tahun? Kami tidak mempunyai seorang Ayah. Kami besar dalam
keadaan sengsara. Rasa gembira didalam hati sedikitpun tidak ada. Dan kau
Maimun,. Lupakah engkau waktu menangis disekolah rendah dulu? Karena kau tidak
bisa membeli kelereng seperti kawan-kawanmu yang lain. Dan kau pergi kesekolah
dengan pakaian yang sudah robek dan tambalan sana-sini? Itu semua terjadi
karena kita tidak mempunyai seorang Ayah! Kalau kita punya seorang Ayah, lalu
kenapa hidup kita melarat selama ini!
IBU DAN MINTARSIH
MULAI MENANGIS DAN MAIMUN MERASA SEDIH.
MAIMUN
Tapi bang, Narto.
Ibu saja sudah memaafkannya. Kenapa kita tidak?
GUNARTO (sikapnya dingin, namun keras)
Ibu seorang
perempuan. Waktu aku kecil dulu, aku pernah menangis dipangkuan Ibu karena
lapar, dingin dan penyakitan, dan Ibu selalu bilang “Ini semua adalah kesalahan
Ayahmu, Ayahmu yang harus disalahkan.” Lalu kemudian aku jadi budak suruhan
orang! Dan Ibu jadi babu mencuci pakaian kotor orang lain! Tapi aku berusaha
bekerja sekuat tenagaku! Aku buktikan kalau aku dapat memberi makan keluargaku!
Aku berteriak kepada dunia, aku tidak butuh pertolongan orang lain! Yah.. orang
yang meninggalkan anak dan isterinya dalam keadaan sengsara. Tapi aku sanggup
menjadi orang yang berharga, meskipun aku tidak mengenal kasih sayang seorarng
ayah! Waktu aku berumur delapan belas tahun, tak lain yang selalu terbayang dan
terlihat diruang mataku hanya gambaran Ayahku yang telah sesat! Ia melarikan
diri dengan seorang perempuan asing yang lalu menyeretnya kedalam lembah
kedurjanaan! Lupa ia kepada anak dan isterinya! Juga lupa ia kepada
kewajibannya karena nafsunya telah membawanya kepintu neraka! Hutangnya yang
ditinggalkan kepada kita bertimbun-timbun! Sampai-sampai buku tabunganku yang
disimpan oleh Ibu ikut hilang juga bersama Ayah yang minggat itu! Yah, masa
kecil kita sungguh-sungguh sangat tersiksa. Maka jika memang kita mempunyai
Ayah, maka Ayah itulah musuhku yang sebesar-besarnya!!
I B U
Gunarto!
(MINTARSIH DAN IBU MENANGIS)
MAIMUN
Bang!
MINTARSIH
Bang!
(KALAU MUNGKIN
DIALOG MEREKA BERTIGA TADI DIUCAPKAN BERBARENGAN)
MAIMUN (dengan suara agak sedih)
Tapi, Bang. Lihat
Ayah sudah seperti ini sekarang. Ia sudah tua bang Narto.
GUNARTO
Maimun, sering
benar kau ucapkan kalimat “Ayah” kepada orang yang tidak berarti ini? Cuma
karena ada seorang tua yang masuk kerumah ini dan ia mengatakan kalau ia Ayah
kita, lalu kau sebut pula ia Ayah kita? Padahal dia tidak kita kenal. Sama
sekali tidak Maimun. Coba kau perhatikan apakah kau benar-benar bisa merasakan
kalau kau sedang berhadapan dengan Ayah mu?
MAIMUN
Bang Narto, kita
adalah darah dagingnya. Bagaimanapun buruknya kelakuan dia kita tetap anaknya
yang harus merawatnya.
GUNARTO
Jadi maksudmu ini
adalah kewajiban kita? Sesudah ia melepaskan hawa nafsunya dimana-mana, lalu
sekarang ia kembali lagi kesini karena sudah tua dan kita harus memeliharanya?
Huh, enak betul!
I B U (bingung, serba-salah)
Gunarto, sampai
hati benar kau berkata begitu terhadap Ayahmu. Ayah kandungmu.
GUNARTO (cepat)
Ayah kandung?
Memang Gunarto yang dulu pernah punya Ayah, tapi dia sudah meninggal dunia dua
puluh tahun yang lalu. Dan Gunarto yang sekarang adalah Gunarto yang dibentuk
oleh Gunarto sendiri! aku tidak pernah berhutang budi kepada siapapun diatas
dunia ini. Aku merdeka, semerdeka merdekanya, Bu!
SUARA BEDUG DAN
TAKBIR BERSAHUT-SAHUTAN DIIRINGI SUARA TANGIS IBU DAN MINTARSIH.
R. SALEH (diantara batuknya)
Aku memang berdosa
dulu itu. Aku mengaku. Dan itulah sebabnya aku kembali pada hari ini. Pada hari
tuaku untuk memperbaiki kesalahan dan dosaku. Tapi ternyata sekarang.... yah,
benar katamu Narto. Aku seorang tua dan aku tidak bermaksud untuk mendorong-dorongkan
diri agar diterima dimana tempat yang aku tidak dikehendaki.
(Berfikir,sementara maimun tertunduk diam dan mintarsih
menangis dipelukan ibunya)
Baiklah aku akan
pergi. Tapi tahukah kau Narto, bagaimana sedih rasa hatiku. Aku yang pernah
dihormati, orang kaya yang memiliki uang berjuta-juta banyaknya, sekarang
diusir sebagai pengemis oleh seorang anak kandungnya sendiri.... tapi biarlah
sedalam apapun aku terjerumus kedalam kesengsaraan, aku tidak akan mengganggu
kalian lagi.
(BERDIRI HENDAK
PERGI, TETAP BATUK-BATUK)
MAIMUN (menahan)
Tunggu dulu, Ayah!
Jika Bang Narto tidak mau menerima Ayah, akulah yang menerima Ayah. Aku tidak
perduli apa yang terjadi!
GUNARTO
Maimun! Apa pernah
kau menerima pertolongan dari orang tua seperti ini? Aku pernah menerima
tamparan dan tendangan juga pukulan dari dia dulu! Tapi sebiji djarahpun, tak
pernah aku menerima apa-apa dari dia!
MAIMUN
Jangan begitu
keras, Bang Narto.
GUNARTO (marah, dengan cepat)
Jangan kau membela
dia! Ingat, siapa yang membesarkan kau! Kau lupa! Akulah yang membiayaimu
selama ini dari penghasilanku sebagai kuli dan kacung suruhan! Ayahmu yang
sebenar-benarnya adalah aku!
MINTARSIH
Engkau menyakiti
hati Ibu, Bang.
(SAMBIL
TERSEDU-SEDU)
GUNARTO
Kau ikut pula
membela-bela dia! Sedangkan untuk kau, aku juga yang bertindak menjadi Ayahmu
selama ini! Baiklah, peliharalah orang itu jika memang kalian cinta kepadanya!
Mungkin kau tidak merasakan dulu pahit getirnya hidup karena kita tidak punya
seorang Ayah. Tapi sudahlah, demi kebahagiaan saudara-saudaraku, jangan sampai
menderita seperti aku ini.
IBU DAN MINTARSIH
TERUS MENANGIS. SEMENTARA MAIMUN DIAM KAKU. SUARA BEDUG DAN TAKBIR TERUS
BERSAHUT-SAHUTAN. LALU TERDENGAR SUARA GEMURUH PETIR DAN HUJANPUN TURUN.
R. SALEH
Aku mengerti...
bagiku tidak ada jalan untuk kembali. Jika aku kembali aku hanya mengganggu
kedamaian dan kebahagiaan anakku saja. Biarlah aku pergi. Inilah jalan yang
terbaik. Tidak ada jalan untuk kembali.
RADEN SALEH
BERGERAK PERLAHAN SAMBIL BATUK-BATUK, SEMENTARA MAIMUN MENGIKUTI DARI BELAKANG.
MAIMUN
Ayah, apa Ayah
punya uang? Ayah sudah makan?
MINTARSIH (dengan air mata tangisan)
Kemana Ayah akan
pergi sekarang?
R. SALEH
Tepi jalan atau
dalam sungai. Aku cuma seorang pengemis sekarang. Seharusnya memang aku malu
untuk masuk kedalam rumah ini yang kutinggalkan dulu. Aku sudah tua lemah dan
sadar, langkahku terayun kembali. Yah, sudah tiga hari aku berdiri didepan
sana, tapi aku malu tak sanggup sebenarnya untuk masuk kesini. Aku sudah tua,
dan ....
RADEN SALEH
MEMANDANGI ANAK-ANAKNYA SATU PERSATU LALU KELUAR DENGAN PERLAHAN SAMBIL
BATUK-BATUK. BERJALAN LEMAH DIIRINGI SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN YANG SAYUP-SAYUP
MASIH TERDENGAR, SEMENTARA HUJAN MULAI TURUN DENGAN DERAS.
I B U (sambil menangis)
Malam hari raya dia
pergi dan datang untuk pergi kembali. Seperti gelombang yang dimainkan oleh
angin topan. Demikianlah nasib Ibu, Nak.
MINTARSIH (sambil menangis menghampiri gunarto, lalu bergerak kedekat jendela)
Bang....
bagaimanakah Abang? Tidak dapatkah Abang memaafkan Ayah? Besok hari raya, sudah
semestinya kita saling memaafkan. Abang tidak kasihan? Kemana dia akan pergi
setua itu?
HUJAN SEMAKIN
DERAS.
MAIMUN (kesal)
Tidak ada rasa
belas kasihan. Tidak ada rasa tanggung jawab terhadap adik-adiknya yang tidak
berAyah lagi.
MINTARSIH
Dalam hujan lebat
seperti ini, Abang suruh dia pergi. Dia Ayah kita Bang. Ayah kita sendiri!
GUNARTO (memandang adiknya)
Janganlah kalian
lihat aku sebagai terdakwa. Mengapa kalian menyalahkan aku saja? Aku sudah hilangkan
semua rasa itu! Sekarang kalian harus pilih, dia atau aku!!
MAIMUN (tiba-tiba bangkit marahnya)
Tidak! Aku akan
panggil kembali Ayahku pulang! Aku tidak perduli apa yang Abang mau lakukan?
Kalau perlu bunuh saja aku kalau Abang mau! Aku akan panggil Ayahku! Ayahku
pulang! Ayahku mesti pulang!
MAIMUN LARI KELUAR
RUMAH. SEMENTARA HUJAN MAKIN LEBAT DIIRINGI SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN
SAYUP-SAYUP TERDENGAR.
GUNARTO
Maimun kembali!
GUNARTO CEPAT
HENDAK MENYUSUL MAIMUN TAPI TIDAK JADI LALU PERLAHAN-LAHAN DUDUK KEMBALI. IBU
DAN MINTARSIH MENANGIS. SUASANA HENING SEJENAK HANYA TERDENGAR SUARA BEDUG DAN
TAKBIRAN SERTA GEMURUH HUJAN. TAK BERAPA LAMA TAMPAK MAIMUN MASUK KEMBALI.
NAMUN IA HANYA MEMBAWA PAKAIAN DAN KOPIAH
AYAHNYA SAJA. MAIMUN KELIHATAN MENANGIS.
MINTARSIH
Mana Ayah, Bang?
I B U
Mana Ayahmu?
MAIMUN
Tidak aku lihat.
Hanya kopiah dan bajunya saja yang kudapati....
GUNARTO
Maimun, dimana kau
dapatkan baju dan kopiah itu?
MAIMUN
Dibawah lampu dekat
jembatan...
GUNARTO
Lalu Ayah? Bagaimana
dengan Ayah? Dimana Ayah?
MAIMUN
Aku tidak tahu....
GUNARTO (kaget. Sadar)
Jadi, jadi Ayah
meloncat kedalam sungai!!
I B U (menjerit)
Gunarto....!!!
GUNARTO (berbicara sendiri sambil memeggang pakaian dan kopiah ayahnya. Tampak
menyesal)
Dia tak tahan
menerima penghinaan dariku. Dia yang biasa dihormati orang, dan dia yang
angkuh, yah, angkuh seperti diriku juga.... Ayahku. Aku telah membunuh Ayahku.
Ayahku sendiri. Ayahku pulang, Ayahku pulang......
GUNARTO BERTERIAK
MEMANGGIL-MANGGIL AYAHNYA LALU LARI KELUAR RUMAH DAN TERUS BERTERIAK-TERIAK
SEPERTI ORANG GILA. IBU MINTARSIH DAN MAIMUN BERBARENGAN BERTERIAK MEMANGGIL
GUNARTO “GUNARTO....!!” SUARA BEDUG BERSAHUT-SAHUTAN DIIRINGI TAKBIR. SEMENTARA
HUJAN MASIH SAJA TURUN DENGAN DERASNYA. LAMPU PANGGUNG PERLAHAN-LAHAN MATI LALU
LAYAR TURUN.
S E
L E S
A I
Comments
Post a Comment