Pemikiran Susanne K. Langer Dalam Memabaca Simbol Pada Seni

Pemikiran Susanne K. Langer

Seni merupakan gejala yang hadir dalam kehidupan kita. Seni selalu menjadi perdebatan selama pemikiran manusia masih berlangsung. Seni merupakan sisi lain kehidupan yang tidak tertangkap melalui kehidupan sehari-hari maupun ilmu pengetahuan. Di antara berbagai teori seni yang ada, teori simbol Susanne Langer hadir dengan latar belakang untuk menengahi teori-teori yang saling bertentangan dan bersifat berat sebelah.

Seni adalah kreasi bentuk-bentuk simbolik dari perasaan manusia. Sebagai bentuk simbolik, ia bersifat presentasional, yaitu hadir langsung secara utuh dan tunggal, dan dipahami secara langsung, tanpa melalui penjelasan secara nalar. Sebagai simbol seni menunjuk pada kemampuan mengabstraksi pada manusia. Seni sebagai simbol presentasional memiliki ciri virtualitas dan ilusi. Baik virtualitas maupun ilusi mengacu pada kegiatan persepsi, tetapi tidak hanya melalui indera melainkan juga melalui imajinasi. Keberadaan teori simbol Susanne Langer dapat ditopang oleh teori psikologi Gestalt. Sama dengan prinsip-prinsip Gestalt, simbol presentasional dipahami dengan melihatnya sebagai suatu totalitas, dalam mempersepsi kita langsung mendapat arti.

Selain itu, Susanne Langer tidak melihat seni dari manfaat atau fungsinya melainkan dari apa yang terkandung dan dimiliki oleh seni itu sendiri.[1] Jauh sebelum itu, ia melihat bahwa ada sangat banyak teori mengenai seni dan cenderung menjadi paradoks. Yakni ketika ada sisi yang menyatakan teori A, kemudian ada pula yang menentang di sisi B dan adanya anggapan bahwa ketika A benar maka B salah. Sedangkan parakdoks ialah pertanda adanya kesalahan konsepsi. Bahkan semakin rumit ketika dilihat dari dua sudut berbeda, yakni pencipta dan penikmat. Dari sisi seniman seni dipandang sebagai ekspresi, namun dari segi pengamat dianggap sebagai impresi.

Pendapat dari sudut pengamat memang lebih banyak, tetapi sudut pandang dari seniman lebih mendominasi. Sama seperti teori ilmu pengetahuan yang berasal dari laboratorium fisika. Teori seni juga berasal dari studio-studio sang seniman dan bukan dari galeri seni. Tetapi apabila tujuan seni ialah ekspresi diri, maka hanya seniman sendiri yang bisa menilai karyanya. Jika tujuannya untuk menimbulkan emosi pengamat, maka seorang seniman harus berorientasi pada perasaan pengamat. Tentu keduanya tidak benar, karena dalam setiap karya mengandung keduanya, walaupun ada karya yang condong ke salah satunya. Teori-teori seni berperilaku seperti ini, selalu ada kutub negatif dan positifnya. Dari sini Susanne K. Langer melihatnya sebagai sebuah paradoks dan itu merupakan suatu gejala adanya kesalahan konsepsi.

Mencoba meluruskan konsepsi dan menghindari paradoks, di sini para ahli mengurangi dua aspek subjek di atas, dan menganggap aspek emosional karya seni sebagai sesuatu yang melekat pada karya itu sendiri. Keberadaan aspek emosional seobjektif bentuk, fisik, warna, dan lian-lain. Dalam hal ini, Mikel Dufrenne (1910-1995), fenomenolog asal Perancis, berpendapat bahwa perasaan adalah sebentuk pengetahuan. Perasaan mengandung aspek kognitif. Merasakan bahwa lukisan Raden Saleh itu indah berarti mengetahui kalau lukisan itu indah. Perasaan itu sendiri berfungsi untuk mengetahui kualitas afektif sebuah objek, misalnya karya seni, di mana struktur setiap objek tersusun dari kualitas afektif.[2] Gagasan Dufrenne tersebut dapat dipahami bahwa karya seni mengandung kualitas afektif yang keberadaannya bersifat objektif. Hal ini senada dengan pandangan bahwa aspek emosional adalah unsur objektif yang melekat dalam karya seni. Di sisi lain, Otto Baensch juga mengulas perasaan sebagai sesuatu yang objektif, dalam artikelnya yang dikutip oleh Susanne Langer, ia berpendapat bahwa seni adalah kegiatan mental di mana membawa isi dunia kepada pengenalan yang jelas dan objektif, dan seni membawa isi dunia emosi. Seni bukan untuk kesenangan pengamat, tetapi untuk memperkenalkannya pada sesuatu yang belum ia ketahui sebelumnya. Sedangkan bagi ilmu pengetahuan, seni bertujuan untuk dipahami.

Penjelasan tentang perasaan objektif dapat dengan terang terpahami dari apa yang disebut objek estetis. Dalam estetika—yang seringkali dilihat sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari keindahan,[3] terdapat pembahasan tentang objek estetis, di mana keindahan hanya salah satu bagiannya saja. Secara tegas objek estetis berbeda dengan karya seni. Keindahan dalam sebuah lukisan adalah objek estetis, dan lukisannya adalah karya seni. Tetapi, objek estetis tidak hanya terkandung dalam karya seni.[4] Cakupan objek estetis sangat luas dan meliputi segala sesuatu yang mengandung kualitas afektif. Misal saat melihat pemandangan alam, suasana perasaan bersatu secara objektif bersama pemandangan itu. Dalam pendapat Langer, kita tidak menganggap pemandangan alam sebagai makhluk yang punya perasaan. Pemandangan alam tidak mengekspresikan suasana tapi memilikinya. Suasana itu adalah impresi kita terhadap pemandagan alam dan dapat kita pisahkan menjadi elemen lain karena kita telah melalui proses abstraksi. Tidak ada subjek yang mengekspresikannya, keindahan itu ada di sana.

Setelah memahami adanya perasaan objektif ini, yang tidak berasal dari pengalaman (inderawi) dan tidak diekspresikan oleh seorang subjek namun terkandung dalam karya seni, timbul pertanyaan akan statusnya. Di sinilah Susanne K. Langer mengutarakan teorinya, bahwa hal tersebut yang dinamakan simbol. Menurut Langer, struktur simbol merupakan cerminan struktur perasaan manusia yang disebut dengan isomorphi.

a.    Simbol Bagi Susanne K. Langer

Dalam konteks ini Langer berpendapat bahwa simbol merupakan suatu fungsi khas manusiawi dan merupakan ekspresi murni ide-ide. Otak sebagai transformator mengubah berbagai pengalaman menjadi simbol-simbol, dan arus simbol-simbol merupakan “mind” manusia. Simbolisasi menjadi jiwa, tujuan, dan sekaligus alat bagi kebutuhan manusia.[8] Pengertian simbol yang dimaksud Susanne bukanlah simbol-simbol dalam seni seperti ikonographik. Jadi bukan simbol yang berdasarkan konvensi atau menjadi referensi, tetapi yang memberikan pendalaman dan bahkan mengarahkan konvensi. Jadi, menurut Susanne, simbol ialah setiap sarana di mana kita bisa membuat abstraksi. Abstraksi sendiri ialah pelepasan bentuk dari isinya, yaitu pelepasan bentuk yang sama dari isi yang berbeda sehingga terbentuk konsep.

Berdasarkan teori yang ada, simbol dibagi menjadi dua. Pertama, simbol diskursif. Simbol diskursif ialah bentuk yang digunakan secara literal di mana unit-unitnya bermakna berdasarkan konvensi (aturan yg disepakati bersama). Selain itu setiap unit memiliki maknanya sendiri sendiri seperti kata di dalam serangkaian kalimat. Kedua, simbol presentasional. Simbol presentasional tidak terdiri dari unit-unit yang memiliki arti tetap untuk digabung berdasarkan aturan tertentu dan juga tidak dapat diuraikan. Maknanya ada dalam bentuk totalnya. Contohnya ialah sebuah lukisan yang hanya dapat ditangkap melalui arti secara keseluruhan.

            Secara khusus, Langer memang membuat teori dasar mengenai simbol untuk teori simbol presentasional. Dari sana ia mendefenisikan seni sebagai “kreasi bentuk-bentuk simbolis perasaan manusia.” Definisi seni ini mengimplikasikan beberapa hal:

1.      Seni merupakan kreasi. Kreasi berarti pengadaan sesuatu yang tadinya tidak ada.

2.    Rumusan bentuk simbolis. Bentuk simbolis tidak mengacu pada pengalaman sendiri secara langsung melainkan pengalaman yang sudah disimbolkan.

3. Bentuk simbolis yang dilemparkan seniman dalam kreasi seninya tidak berasal dari pikiran melainkan dari perasaannya, yakni formasi dari pengalaman emosionalnya.

c.      Seni Sebagai Simbolisasi Perasaan Manusia

Bertolak dari pengertian bahwa seni merupakan kreasi bentuk-bentuk simbolis perasaan manusia, maka seni pada dasarnya adalah ekspresi dari pengetahuan tentang perasaan, dan atau ekspresi dari pengetahuan yang bersumber dari perasaan. Langer menyebut ekspresi tersebut bersifat intuitif yang dalam pengertian John Locke disebut sebagai cahaya alami. Intuisi adalah dasar bagi aktivitas intelektual yang menghasilkan logika dan semantika. Dalam pemahaman Langer intuisi berkaitan dengan seluruh penetapan wawasan pengenalan bentuk, hubungannya, kedalaman maksudnya, dan abstraksi dari contohnya. Langer berpendapat bahwa gerak intuisi bisa terwujud dalam karya seni yang baik dan berwawasan melebihi bahasa dan tulisan.[9]

Karena karya seni mengacu pada perasaan yang disimbolkan, maka karya seni dapat dipahami melalui citra (image). Seni menurut Langer pada dasarnya seni sebagai citra (image). Di mana citra hanya bisa ditangkap oleh indra dan disajikan oleh indra. Citra (image) berbeda dengan objek sebagai gambar aktual dalam kenyataan. Langer mengatakan:

So here: the philosophical issue that is usually conceived in terms of image and object is really concerned with the nature of images as such and their essential difference from actualities. The difference is functional; consequently real objects, functioning in a way that is normal for images, may assume a purely imaginal status.[10]

 

Pendapat tersebut dapat dipahami bahwa perbedaan citra (image) dan objek aktual terletak dalam aktualitas fungsi keduanya. Kalau benda nyata fungsimya normal sebagaimana kita memperlakukannya kursi untuk duduk, piring untuk tempat makan. Sedangkan citra (image), fungsinya ada di imajinasi. Citra (image) bisa berfungsi sebagai banyak hal dan bisa memberikan ilusi yang beragam. Citra (image) besifat abstrak, bisa menjadi wadah untuk berbagai simbol. Sementara objek aktual lebih terkekang oleh fungsi yang lebih awal diperkenalkan sebagai tujuan penciptaannya.

            Dalam konteks perbedaan tersebut, Langer merumuskan pertanyaan: Bagaimana membuat benda aktual tampak sebagai citra (image) dalam karya seni, misalnya vas bunga dalam panggung sebuah pertunjukan opera? Langer mengatakan bahwa sebuah benda dalam karya seni dapat berubah menjadi citra (image) kalau ditatap murni hanya dengan indra penglihatan, terlepas dari bagaimana tekstur benda tersebut ketika disentuh dan dirasakan. Dengan hanya mengandalkan penglihatan, sebuah benda punya peluang untuk dilepaskan dari fungsi aktualnya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan membuat benda tersebut asing, akan membuka banyak peluang untuk mencipatakan banyak ilusi terkait benda tersebut. Jadi, bagi Langer, singkatnya, citra (image) “in this sense, something that exists only for perception, abstracted from the physical and causal order, is the artist’s creation.[11]

Di samping itu, Langer mengutarakan bahwa seni mengabstraksikan pengalaman subjektif seperti bahasa. Segala bentuk dan warna, nada dan irama, serta ritme dan kontras, dan lain sebagainya adalah elemen-elemen yang menghasilkan bentuk-bentuk simbolik dan berfungsi sebagai penyampai gagasan dan perasaan. Untuk memahami bagaimana proses simbolisasi perasaan, maka penting untuk menengok pendapat Langer bahwa seni merupakan kreasi, di mana dasar kreasi seni adalah ilusi primer (primary illusion). Ilusi primer adalah semacam latar belakang atau layar untuk memproyeksikan bentuk-bentuk seni sebagai ilusi sekunder (secondary illusion). Perbedaan jenis ilusi primer menentukan perbedaan jenis karya seninya. Ilusi primer karya seni lukis, patung, dan arstitektur adalah virtual space. Ilusi primer seni musik adalah virtual time. Ilusi primer karya seni tari dan balet adalah virtual power. Sedangkan ilusi primer karya seni sastra adalah adalah virtual memory.[12] Dalam konteks ini, dalam konsepnya tentang ilusi primer, Langer menggunakan istilah virtual untuk membedakan ilusi primer dengan aktualitas. Virtual hanya nyata bagi persepsi atau indera. Misalnya, pengertian ruang (space) dalam ilusi primer seni lukis berbeda dengan ruang aktual dalam kehidupan. Arti “nyata” virtualitas ilusi primer terletak pada konsepsi manusia, di mana virtualitas ini berfungsi untuk membuat ilusi primer terbuka untuk berbagai imajinasi yang bisa diciptakan seniman.



[1] Dalam tradisi estetika pasca romantik, kecenderungan melihat seni di luar manfaat dan fungsinya disebut dengan istilah estetisisme (aestheticism). Secara garis besar, estetisisme bisa dipahami sebagai pandangan bahwa seni tidak bisa semata direduksi ke dalam fungsi maupun dievaluasi berdasarkan efek atau relasinya terhadap kenyataan. Estetisisme memandang bahwa seni adalah ungkapan jiwa, bukan perkara menyalin kenyataan ke dalam karya. Lihat, Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, (Yogyakarta, Gang Kabel dan Indie Book Corner, Cetakan ke-2, 2016), hlm. 429.

[2] Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, hlm. 729.

[3] Estetika yang dimengerti sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan sekarang sudah banyak ditinggalkan. Dalam sejarah estetika, kajian estetika juga meliputi kajian atas “kengerian”, “yang sublim”, dan “yang kotor” (viceral). Martin Suryajaya berpendapat bahwa estetika sebaiknya dipahami sebagai filsafat kesenian dengan alasan: (1) keindahan hanyalah salah satu nilai estetis dalam karya, (2) estetika tidak hanya membahasa nilai estetis, tetapi juga membahas pengalaman estetis, status ontologis karya seni, hubungan seni dengan masyarakat, dan sebagainya. Lih. Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, hlm. 2—3.

[4] Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, hlm. 726.

[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 1007—1008.

[6] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 1007.

[7] Kant, sebagaimana dikutip Agustianto A, mengatakan bahwa untuk memahami pengertian, akan manusia membutuhkan perantara. Perantara tersebut adalah skema atau simbol. Skema merupakan penjabaran yang bersifat langsung dan demonstratif, sementara simbol merupakan penjabaran tak langsung dan berbentuk analogi. Lihat, Agustianto A., “Makna Simbol Dalam Kebudayaan Manusia”, Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 8, No. 1 Tahun 2011, hlm. 4.

[8] Susanne K. Langer, Philosophical Sketches: A Studi of Human Mind in Relation to Feeling, Explored Trouhg Art, Language, and Symbol, (New York, New American Library of Word Literature, 1964), hlm. 51.

[9] Susanne K. Langer, Problematika Seni, terj. FX Widiyarto, hlm. 68—75.

[10] Susanne K. Langer, Feeling and Form: A Theory of Art, (New York, MacMilan Pub. Co., 1953), hlm, 47.

[11] Susanne K. Langer, Feeling and Form: A Theory of Art, hlm, 47.

[12] A. Sudiarja, “Susanne K. Langer: Pendekatan Baru dalam Estetika” dalam M. Sastapratedja (ed), Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 76.

Comments

Popular posts from this blog

BULAN DAN KERUPUK KARYA YUSEP MULDIANA

MALAM TERAKHIR Karya Yukio Mishima