KARAKTERISTIK SENI, BUDAYA DAN FILSAFAT
Langkah awal untuk menanggapi tema kali ini, kita harus terlebih dahulu berangkat dari permasalahan-permasalahan dimana kita ketahuai sejak awal bahwa yang namanya dunia timur selalu terbelakang dari dunia barat. Baik dari segi peradaban, budaya, seni, dan apalagi ilmu pengatahuan (intelektual). Seakan bagi dunia barat timur tak pernah ada baiknya sama sekali.
Kita sepakati bahwa ilmu pengetahuan merupakan representasi fakta; ungkapan kembali dari fakta, sehingga gambaran mengenai fakta dan dunia sangat tergantung dengan hasil-hasil temuan ilmu pengetahuan atau sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan. Namun perlu kita akui sampai saat ini dunia keilmuan Barat dan bangsa lain yang terhegemoni oleh Barat, berada dibawah dominasi paradigma positivisme. Paradigma ini ambil bagian paling besar dalam mempopulerkan, bahkan membidani “kelahiran” norma-norma ilmiah yang kemudian disebut metodologi ilmiah itu. Jika dunia ini, misalnya, ada wilayah keimanan (teologi), ada wilayah penalaran (metafisik), dan ada wilayah faktua-sensibel (positif), maka positivisme hanya mengakui yang terakhir, bahkan yang positifpun masih harus disaring lagi, agar benar-benar dapat dipercaya. Proses (menyaring) itu dilakukan dengan ukuran metodologi ilmiah. Dalam menjelaskan istilah metodologi positif, Comte membuat beberapa distingsi realitas, yaitu: antara “yang nyata” dan “yang khayal”; “yang pasti” dan “yang meragukan”; “yang tepat” dan “yang kabur”; serta “yang berguna” dan “yang sia-sia”. Dengan memberi patok-patok “yang faktual” seperti itu, positivisme mendasarkan ilmu-ilmu pengetahuan pada fakta objektif. Jika faktanya adalah “gejala kehidupan material”, ilmu pengetahuannya adalah biologi. Jika fakta itu “benda-benda mati”, ilmu pengetahuannya adalah fisika.
Bahasa representatif umumnya menggunakan struktur yang logis, sedang bahasa ekspresif umumnya tak berstruktur. Maka bahasa agama, metafisika, etika, estetika bukan merupakan bahasa ilmiah, dan makanya bukan termasuk kategori ilmu. Konsekuensinya, dalam pandangan Barat, sesuatu yang disebut ilmu pengetahuan pasti menganut tiga prinsip, yaitu: empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai.
Namun dalam pandangan Islam, dengan mengikuti al-Ghazali, dikenal ada dua sumber ilmu, yaitu sumber insaniyah dan sumber rabbaniah. Sumber insaniyah merupakan ilmu pengetahuan yang dapat diusahakan oleh manusia dengan jalan ta’allum dan tafakkur. Itupun masih harus mendapatkan verifikasi dari petunjuk al-Quran dan as-sunnah. Sedang sumber rabbaniah adalah sumber ilmu yang merupakan anugrah pemberian dari Tuhan, baik dengan jalan wahyu maupun ilham. Menurut al-Ghazali, ilmu yang diperoleh melalui wahyu hanya diturunkan kepada para Nabi karena mereka memiliki aqal kully (akal universal), sementara ilmu yang datang melalui ilham dan masuk melalui hati manusia disebut ilmu laduni. Maka dalam pandangan Islam, sesuatu itu bisa disebut ilmu, baik merupakan hasil serapan indra, refleksi akal, petunjuk wahyu (nash), maupun pemberian langsung melalui ilham.
Meski demikian, sepanjang sejarahnya, keilmuan Islam berkembang dalam bimbingan wahyu (nash). Ini yang disebut Abied Al-jabiri dengan nalar bayani. Epistemologi bayani merupakan simbol dari keilmuan Islam yang menempatkan nash (al-Quran dan al-hadits) sebagai al-ashl sedang berbagai ‘produk’ keilmuan yang diturunkan dari nash berkedudukan sebagai al-far’, di mana proses penurunan itu berupa sistem baku yang disebut ijtihad (untuk bidang fiqh) dan istidlal (dalam bidang kalam) . Sementara epistemologi irfani merupakan kerangka dasar bagi keilmuan Islam yang bersumberkan pengalaman spiritual, sebagaimana berkembang dalam tradisi sufi. Ini barangkali yang disebut ilmu laduni (dalam bahasa al-Ghazali) di atas. Sedangkan epistemologi burhani, merupakan simbol dari keilmuan Islam yang menekankan aspek rasionalitas, sebagai pembacaan atas fenomena natural. Maka prinsip tajrid, qadiyah, dan qiyas menjadi ciri khas keilmuan ini.
Sebagaimana disebutkan di atas, peradaban Islam dibangun di atas otoritas wahyu. Peradaban Islam adalah peradaban al-Quran dan as-Sunnah. Kemampuan indra dan akal bisa bekerja maksimal, bahkan al-Quran dan as-Sunnah banyak mengisyaratkan agar akal dapat berperan secara maksimal, namun tolak ukur kebenarannya tetap berpulang pada otoritas nash. Islam juga tidak menolak kebenaran tauqifi, juga sejauh tidak bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah. Inilah fondasi peradaban Islam. Sementara peradaban Barat berdiri di atas fondasi rasio dan kemampuan pengalaman indrawi. Di atas fondasi ini terbangun Filsafat Barat sebagai tiyang penyangganya. Meski demikian harus diakui, tiyang penyangga itu berupa kesadaran parsial sesuai dengan atribut kebangsaan yang ada di Eropa. Ada kesadaran Jerman, kesadaran Prancis, kesadaran Rusia, kesadaran Amerika, dan lain-lain. Hal ini dapat dilihat dalam buku-buku tentang biografi filsuf. Jika penulis berkebangsaan Jerman, ia akan banyak menyebut filsuf Jerman. Demikian pula, jika penulis orang Prancis, Inggris, Rusia atau lainnya, ia akan melakukan hal yang sama.
Masing-masing kesadaran memiliki ciri yang berbeda, seperti ciri idealis dalam kesadaran Jerman, empiris dalam kesadaran Inggris, ciri psikologis dalam kesadaran Prancis, ciri praktis dan pragmatis dalam kesadaran Amerika, ciri sosiologis dalam kesadaran Rusia, ciri logis dalam kesadaran Polandia, ciri vitalis dalam kesadaran Spanyol. Maka wajar jika sering terjadi persaingan antarbangsa Eropa guna meraih predikat sebagai personifikasi peradaban Barat. Seluruh bangsa Eropa mengklaim peradabannya sebagai personifikasi peradaban Barat. Maka jika peradaban Islam menganut centripete, peradaban Barat menganut centrifuge, di mana filsafat dan keilmuan yang ada semakin menjauhkan diri dari pusatnya.
Mengenai Karakteristik Budaya Barat. Budaya Barat (kadang-kadang disamakan dengan peradaban Barat atau peradaban Eropa), mengacu pada warisan norma-norma sosial, nilai-nilai etika, adat istiadat, keyakinan agama, sistem politik, artefak budaya khusus, serta teknologi. Secara spesifik, istilah budaya Barat dapat ditujukan terhadap:
a. Pengaruh budaya Klasik dan Renaisans Yunani-Romawi dalam hal seni, filsafat, sastra, dan tema hukum dan tradisi, dampak sosial budaya dari periode migrasi dan warisan budaya Keltik, Jermanik, Romanik, Slavik, dan kelompok etnis lainnya, serta dalam hal tradisi rasionalisme dalam berbagai bidang kehidupan yang dikembangkan oleh filosofi Helenistik, skolastisisme, humanisme, revolusi ilmiah dan pencerahan, dan termasuk pula pemikiran politik, argumen rasional umum yang mendukung kebebasan berpikir, hak asasi manusia, kesetaraan dan nilai-nilai demokrasi yang menentang irasionalitas dan teokrasi.
b. Pengaruh budaya Alkitab-Kristiani dalam hal pemikiran rohani, adat dan dalam tradisi etika atau moral, selama masa Pasca Klasik.
c. Pengaruh budaya Eropa Barat dalam hal seni, musik, cerita rakyat, etika dan tradisi lisan, dengan tema-tema yang dikembangkan lebih lanjut selama masa Romantisisme.
Konsep budaya Barat umumnya terkait dengan definisi klasik dari Dunia Barat. Dalam definisi ini, kebudayaan Barat adalah himpunan sastra, sains, politik, serta prinsip-prinsip artistik dan filosofi yang membedakannya dari peradaban lain. Dan beberapa kecenderungan yang dianggap mendefinisikan masyarakat Barat modern, antara lain dengan adanya pluralisme politik, berbagai subkultur atau budaya tandingan penting (seperti gerakan-gerakan Zaman Baru), serta peningkatan sinkretisme budaya sebagai akibat dari globalisasi dan migrasi manusia. Barat dalam pikirannya cenderung menekankan dunia objektif daripada rasa, sehingga hasil pola pemikiran demikian membuahkan sains dan teknologi. Filsafat Barat telah dipusatkan kepada ujud dunia rasio. Oleh karenanya, pengetahuan mempunyai dasar empiris yang kuat. Demikian pula dalam tradisi agama Barat, dunia empiris memiliki arti. Pada zaman sekarang semakin nyata bahwa sikap aktif dan rasional di dunia Barat unggul, sebaliknya pandangan hidup tradisional baik filsafat maupun agama ada kesan mundur. Barat dalam cara berpikir dan hidupnya lebih terpikat oleh kemajuan material dan hidup, sehingga tidak cocok dengan cara berpikir untuk meninjau makna dunia dan makna hidup. Dalam hal manusia, mereka beranggapan bahwa manusia adalah ukuran bagi segalanya. Maksudnya manusia mempunyai kemampuan untuk menyempurnakan hidupnya sendiri, dengan syarat bertitik tolak dari rasio, intelek dan pengalaman. Manusia oleh Barat dipandang sebagai pusat segala sesuatu yang mempunyai kemampuan rasional, kreatif, dan estetik sehingga kebudayaan Barat menghasilkan beberapa nilai dasar seperti demokrasi, lembaga sosial, dan kesejahteraan ekonomi. Kesemuanya berpangkal demi penghargaan mutlak bagi manusia. Manusia harus mendapat segala yang bernilai dalam mewujudkan kemampuannya karena manusia yang memiliki nilai sehingga diukur dari kemampuannya, bukan dari kebijaksanaan hatinya. Tentang kebebasan di Barat cukup menarik untuk diamati. Semua orang Timur menganggap bahwa Barat itu negara kebebasan, segala sesuatunya serba mungkin terjadi. Hal ini dimulai dari sosialisasi anak, yang dibiarkan untuk membentuk dirinya sendiri dan mengembangkan bakatnya sendiri. Akhirnya kebebasan itu diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik, kebudayaan, dan ekonomi. Tradisi kebebasan ini menimbulkan rasa percaya diri dan kemampuan serta menghilangkan perbedaan status sosial. Tradisi humanistik di Barat berupa penghargaan terhadap martabat manusia sebagai suatu yang otonom, merdeka dan rasional, menunjang nilai-nilai demokrasi, lembaga sosial dan kesejahteraan ekonomi. Nilai-nilai lain pun berkembang seperti, kebebasan, perekonomian, dan teknologi. Di Barat orang lebih condong menekankan dunia empiris sehingga mereka maju dalam sains dan teknologi. Melalui pengaruh Yunani, Barat berkemang dalam pengetahuan deskriptif dan spesialisasi. Dukungan sikap Barat yang lebih besar tekanannya kepada realitas dan nilai waktu, menyebabkan perkembangan yang pesat dalam filsafat prosesi pengonsepan evaluasi kreatif serta kemajuan. Manusia dengan alam menurut konsep Barat adalah terpisah. Alam sebagai dunia luar harus dieksploitasi. Hal ini tertulis dalam kata-kata: menaklukkan luar angkasa, menaklukkan alam dan hutan rimba.
Sementara dengan karakteristik budaya Timur, nilai budaya Timur pada intinya banyak bersumber dari agama-agama yang lahir di dunia Timur. Pada umumnya, manusia-manusia Timur menghayati hidup yang meliputi seluruh eksistensinya. Berpikir secara Timur tidak bertujuan menunjang usaha-usaha manusia untuk menguasai dunia dan hidup secara teknis, sebab manusia timur lebih menyukai intuisi daripada akal budi. Inti kepribadian manusia Timur tidak terletak pada inteleknya, tetapi pada hatinya. Dengan hatinya mereka menyatukan akal budi dan intuisi serta inteligensi dan perasaan. Ringkasnya, mereka mengahayati hidup tidak hanya dengan otaknya. Nilai budaya yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha membuat kebijaksanaan Timur bersifat kontemplatif, tertuju kepada tinjauan kebenaran. Dengan demikian, berpikir kontemplatif dipandang sebagai puncak perkembangan rohani manusia. Pemikir Timur lebih menekankan segi dalam dari jiwa, dan realitas di belakang dunia empiris dianggap sebagai sesuatu yang hanya lewat dan bersifat khayalan. Timur lebih menekankan disiplin mengendalikan diri, sederhana, tidak mementingkan dunia, bahkan menjauhkan diri dari dunia. Sesuatu yang baik menurut Timur tidak terdapat hanya dalam dunia benda, tidak dengan memanipulasi alam, mengubah masyarakat dan mencari pencarian zat yang satu, di dalam diri kita atau di luarnya. Di Timur dicari keharmonisan dengan alam, sebab alam memberi kehidupan, memberi makanan, tempat berteduh, bahan untuk seni dan sains. Nafsu untuk memperoleh hikmah atau kerinduan akan keselamatan dan kebebasan diri dari penderitaan dunia, bagi Dunia Timur cukup kuat. Ide berkeselamatan ini besar pengaruhnya dalam membentuk mentalitas, teori, dan praktek bangsa Timur. Jalan untuk memperoleh ini semua tidak terletak pada akal budinya, tetapi dilalui meditasi, tirakat dan mistik. Dalam hal menegakkan norma, Timur tidak hanya bersumber dari ajaran agama, tetapi ide abstrak atau simbolik pun dapat terwujud kongkret dalam praktek kehidupannya. Mencari ilmu tidak hanya untuk menambah pengetahuan intelektual saja, tetapi mencari kebijaksanaan. Sikap orang Timur terhadap alam adalah menyatu dengan alam, tidak memaksakan diri dengan atau mengeksploitasi alam, bahkan menginginkan harmoni dengan alam karena alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kalau alam binasa, maka manusia pun akan binasa. Untuk menjaga hubungan yang harmonis terkadang muncul ekspresi kongkret dalam bentuk hubungan mistik manusia dengan alam. Ringkasnya, Dunia Timur menginginkan kekayaan hidupaan benda, tenang tentram, menyatu diri, fatalisme, pasivitas, dan menarik diri.
Pun dalam segi seni, Barat lebih terbuka ketimbang Timur, sebab Timur terlaku kaku dalam hal ini. Dan juga kita ketahui dalam hal apapun Barat berangkat dari ketidak tahuan dan berlanjut dari keinging tahuan. Maka dari itulah kenapa sampai saat ini Barat masih unggul terutama dalam segi ilmu pengatahuan (teknologi).
Lain-lain :Qoute Marxis Romantisme
Link : GSA (Gerakan Sosialis Asmara)
Kita sepakati bahwa ilmu pengetahuan merupakan representasi fakta; ungkapan kembali dari fakta, sehingga gambaran mengenai fakta dan dunia sangat tergantung dengan hasil-hasil temuan ilmu pengetahuan atau sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan. Namun perlu kita akui sampai saat ini dunia keilmuan Barat dan bangsa lain yang terhegemoni oleh Barat, berada dibawah dominasi paradigma positivisme. Paradigma ini ambil bagian paling besar dalam mempopulerkan, bahkan membidani “kelahiran” norma-norma ilmiah yang kemudian disebut metodologi ilmiah itu. Jika dunia ini, misalnya, ada wilayah keimanan (teologi), ada wilayah penalaran (metafisik), dan ada wilayah faktua-sensibel (positif), maka positivisme hanya mengakui yang terakhir, bahkan yang positifpun masih harus disaring lagi, agar benar-benar dapat dipercaya. Proses (menyaring) itu dilakukan dengan ukuran metodologi ilmiah. Dalam menjelaskan istilah metodologi positif, Comte membuat beberapa distingsi realitas, yaitu: antara “yang nyata” dan “yang khayal”; “yang pasti” dan “yang meragukan”; “yang tepat” dan “yang kabur”; serta “yang berguna” dan “yang sia-sia”. Dengan memberi patok-patok “yang faktual” seperti itu, positivisme mendasarkan ilmu-ilmu pengetahuan pada fakta objektif. Jika faktanya adalah “gejala kehidupan material”, ilmu pengetahuannya adalah biologi. Jika fakta itu “benda-benda mati”, ilmu pengetahuannya adalah fisika.
Bahasa representatif umumnya menggunakan struktur yang logis, sedang bahasa ekspresif umumnya tak berstruktur. Maka bahasa agama, metafisika, etika, estetika bukan merupakan bahasa ilmiah, dan makanya bukan termasuk kategori ilmu. Konsekuensinya, dalam pandangan Barat, sesuatu yang disebut ilmu pengetahuan pasti menganut tiga prinsip, yaitu: empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai.
Namun dalam pandangan Islam, dengan mengikuti al-Ghazali, dikenal ada dua sumber ilmu, yaitu sumber insaniyah dan sumber rabbaniah. Sumber insaniyah merupakan ilmu pengetahuan yang dapat diusahakan oleh manusia dengan jalan ta’allum dan tafakkur. Itupun masih harus mendapatkan verifikasi dari petunjuk al-Quran dan as-sunnah. Sedang sumber rabbaniah adalah sumber ilmu yang merupakan anugrah pemberian dari Tuhan, baik dengan jalan wahyu maupun ilham. Menurut al-Ghazali, ilmu yang diperoleh melalui wahyu hanya diturunkan kepada para Nabi karena mereka memiliki aqal kully (akal universal), sementara ilmu yang datang melalui ilham dan masuk melalui hati manusia disebut ilmu laduni. Maka dalam pandangan Islam, sesuatu itu bisa disebut ilmu, baik merupakan hasil serapan indra, refleksi akal, petunjuk wahyu (nash), maupun pemberian langsung melalui ilham.
Meski demikian, sepanjang sejarahnya, keilmuan Islam berkembang dalam bimbingan wahyu (nash). Ini yang disebut Abied Al-jabiri dengan nalar bayani. Epistemologi bayani merupakan simbol dari keilmuan Islam yang menempatkan nash (al-Quran dan al-hadits) sebagai al-ashl sedang berbagai ‘produk’ keilmuan yang diturunkan dari nash berkedudukan sebagai al-far’, di mana proses penurunan itu berupa sistem baku yang disebut ijtihad (untuk bidang fiqh) dan istidlal (dalam bidang kalam) . Sementara epistemologi irfani merupakan kerangka dasar bagi keilmuan Islam yang bersumberkan pengalaman spiritual, sebagaimana berkembang dalam tradisi sufi. Ini barangkali yang disebut ilmu laduni (dalam bahasa al-Ghazali) di atas. Sedangkan epistemologi burhani, merupakan simbol dari keilmuan Islam yang menekankan aspek rasionalitas, sebagai pembacaan atas fenomena natural. Maka prinsip tajrid, qadiyah, dan qiyas menjadi ciri khas keilmuan ini.
Sebagaimana disebutkan di atas, peradaban Islam dibangun di atas otoritas wahyu. Peradaban Islam adalah peradaban al-Quran dan as-Sunnah. Kemampuan indra dan akal bisa bekerja maksimal, bahkan al-Quran dan as-Sunnah banyak mengisyaratkan agar akal dapat berperan secara maksimal, namun tolak ukur kebenarannya tetap berpulang pada otoritas nash. Islam juga tidak menolak kebenaran tauqifi, juga sejauh tidak bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah. Inilah fondasi peradaban Islam. Sementara peradaban Barat berdiri di atas fondasi rasio dan kemampuan pengalaman indrawi. Di atas fondasi ini terbangun Filsafat Barat sebagai tiyang penyangganya. Meski demikian harus diakui, tiyang penyangga itu berupa kesadaran parsial sesuai dengan atribut kebangsaan yang ada di Eropa. Ada kesadaran Jerman, kesadaran Prancis, kesadaran Rusia, kesadaran Amerika, dan lain-lain. Hal ini dapat dilihat dalam buku-buku tentang biografi filsuf. Jika penulis berkebangsaan Jerman, ia akan banyak menyebut filsuf Jerman. Demikian pula, jika penulis orang Prancis, Inggris, Rusia atau lainnya, ia akan melakukan hal yang sama.
Masing-masing kesadaran memiliki ciri yang berbeda, seperti ciri idealis dalam kesadaran Jerman, empiris dalam kesadaran Inggris, ciri psikologis dalam kesadaran Prancis, ciri praktis dan pragmatis dalam kesadaran Amerika, ciri sosiologis dalam kesadaran Rusia, ciri logis dalam kesadaran Polandia, ciri vitalis dalam kesadaran Spanyol. Maka wajar jika sering terjadi persaingan antarbangsa Eropa guna meraih predikat sebagai personifikasi peradaban Barat. Seluruh bangsa Eropa mengklaim peradabannya sebagai personifikasi peradaban Barat. Maka jika peradaban Islam menganut centripete, peradaban Barat menganut centrifuge, di mana filsafat dan keilmuan yang ada semakin menjauhkan diri dari pusatnya.
Mengenai Karakteristik Budaya Barat. Budaya Barat (kadang-kadang disamakan dengan peradaban Barat atau peradaban Eropa), mengacu pada warisan norma-norma sosial, nilai-nilai etika, adat istiadat, keyakinan agama, sistem politik, artefak budaya khusus, serta teknologi. Secara spesifik, istilah budaya Barat dapat ditujukan terhadap:
a. Pengaruh budaya Klasik dan Renaisans Yunani-Romawi dalam hal seni, filsafat, sastra, dan tema hukum dan tradisi, dampak sosial budaya dari periode migrasi dan warisan budaya Keltik, Jermanik, Romanik, Slavik, dan kelompok etnis lainnya, serta dalam hal tradisi rasionalisme dalam berbagai bidang kehidupan yang dikembangkan oleh filosofi Helenistik, skolastisisme, humanisme, revolusi ilmiah dan pencerahan, dan termasuk pula pemikiran politik, argumen rasional umum yang mendukung kebebasan berpikir, hak asasi manusia, kesetaraan dan nilai-nilai demokrasi yang menentang irasionalitas dan teokrasi.
b. Pengaruh budaya Alkitab-Kristiani dalam hal pemikiran rohani, adat dan dalam tradisi etika atau moral, selama masa Pasca Klasik.
c. Pengaruh budaya Eropa Barat dalam hal seni, musik, cerita rakyat, etika dan tradisi lisan, dengan tema-tema yang dikembangkan lebih lanjut selama masa Romantisisme.
Konsep budaya Barat umumnya terkait dengan definisi klasik dari Dunia Barat. Dalam definisi ini, kebudayaan Barat adalah himpunan sastra, sains, politik, serta prinsip-prinsip artistik dan filosofi yang membedakannya dari peradaban lain. Dan beberapa kecenderungan yang dianggap mendefinisikan masyarakat Barat modern, antara lain dengan adanya pluralisme politik, berbagai subkultur atau budaya tandingan penting (seperti gerakan-gerakan Zaman Baru), serta peningkatan sinkretisme budaya sebagai akibat dari globalisasi dan migrasi manusia. Barat dalam pikirannya cenderung menekankan dunia objektif daripada rasa, sehingga hasil pola pemikiran demikian membuahkan sains dan teknologi. Filsafat Barat telah dipusatkan kepada ujud dunia rasio. Oleh karenanya, pengetahuan mempunyai dasar empiris yang kuat. Demikian pula dalam tradisi agama Barat, dunia empiris memiliki arti. Pada zaman sekarang semakin nyata bahwa sikap aktif dan rasional di dunia Barat unggul, sebaliknya pandangan hidup tradisional baik filsafat maupun agama ada kesan mundur. Barat dalam cara berpikir dan hidupnya lebih terpikat oleh kemajuan material dan hidup, sehingga tidak cocok dengan cara berpikir untuk meninjau makna dunia dan makna hidup. Dalam hal manusia, mereka beranggapan bahwa manusia adalah ukuran bagi segalanya. Maksudnya manusia mempunyai kemampuan untuk menyempurnakan hidupnya sendiri, dengan syarat bertitik tolak dari rasio, intelek dan pengalaman. Manusia oleh Barat dipandang sebagai pusat segala sesuatu yang mempunyai kemampuan rasional, kreatif, dan estetik sehingga kebudayaan Barat menghasilkan beberapa nilai dasar seperti demokrasi, lembaga sosial, dan kesejahteraan ekonomi. Kesemuanya berpangkal demi penghargaan mutlak bagi manusia. Manusia harus mendapat segala yang bernilai dalam mewujudkan kemampuannya karena manusia yang memiliki nilai sehingga diukur dari kemampuannya, bukan dari kebijaksanaan hatinya. Tentang kebebasan di Barat cukup menarik untuk diamati. Semua orang Timur menganggap bahwa Barat itu negara kebebasan, segala sesuatunya serba mungkin terjadi. Hal ini dimulai dari sosialisasi anak, yang dibiarkan untuk membentuk dirinya sendiri dan mengembangkan bakatnya sendiri. Akhirnya kebebasan itu diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik, kebudayaan, dan ekonomi. Tradisi kebebasan ini menimbulkan rasa percaya diri dan kemampuan serta menghilangkan perbedaan status sosial. Tradisi humanistik di Barat berupa penghargaan terhadap martabat manusia sebagai suatu yang otonom, merdeka dan rasional, menunjang nilai-nilai demokrasi, lembaga sosial dan kesejahteraan ekonomi. Nilai-nilai lain pun berkembang seperti, kebebasan, perekonomian, dan teknologi. Di Barat orang lebih condong menekankan dunia empiris sehingga mereka maju dalam sains dan teknologi. Melalui pengaruh Yunani, Barat berkemang dalam pengetahuan deskriptif dan spesialisasi. Dukungan sikap Barat yang lebih besar tekanannya kepada realitas dan nilai waktu, menyebabkan perkembangan yang pesat dalam filsafat prosesi pengonsepan evaluasi kreatif serta kemajuan. Manusia dengan alam menurut konsep Barat adalah terpisah. Alam sebagai dunia luar harus dieksploitasi. Hal ini tertulis dalam kata-kata: menaklukkan luar angkasa, menaklukkan alam dan hutan rimba.
Sementara dengan karakteristik budaya Timur, nilai budaya Timur pada intinya banyak bersumber dari agama-agama yang lahir di dunia Timur. Pada umumnya, manusia-manusia Timur menghayati hidup yang meliputi seluruh eksistensinya. Berpikir secara Timur tidak bertujuan menunjang usaha-usaha manusia untuk menguasai dunia dan hidup secara teknis, sebab manusia timur lebih menyukai intuisi daripada akal budi. Inti kepribadian manusia Timur tidak terletak pada inteleknya, tetapi pada hatinya. Dengan hatinya mereka menyatukan akal budi dan intuisi serta inteligensi dan perasaan. Ringkasnya, mereka mengahayati hidup tidak hanya dengan otaknya. Nilai budaya yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha membuat kebijaksanaan Timur bersifat kontemplatif, tertuju kepada tinjauan kebenaran. Dengan demikian, berpikir kontemplatif dipandang sebagai puncak perkembangan rohani manusia. Pemikir Timur lebih menekankan segi dalam dari jiwa, dan realitas di belakang dunia empiris dianggap sebagai sesuatu yang hanya lewat dan bersifat khayalan. Timur lebih menekankan disiplin mengendalikan diri, sederhana, tidak mementingkan dunia, bahkan menjauhkan diri dari dunia. Sesuatu yang baik menurut Timur tidak terdapat hanya dalam dunia benda, tidak dengan memanipulasi alam, mengubah masyarakat dan mencari pencarian zat yang satu, di dalam diri kita atau di luarnya. Di Timur dicari keharmonisan dengan alam, sebab alam memberi kehidupan, memberi makanan, tempat berteduh, bahan untuk seni dan sains. Nafsu untuk memperoleh hikmah atau kerinduan akan keselamatan dan kebebasan diri dari penderitaan dunia, bagi Dunia Timur cukup kuat. Ide berkeselamatan ini besar pengaruhnya dalam membentuk mentalitas, teori, dan praktek bangsa Timur. Jalan untuk memperoleh ini semua tidak terletak pada akal budinya, tetapi dilalui meditasi, tirakat dan mistik. Dalam hal menegakkan norma, Timur tidak hanya bersumber dari ajaran agama, tetapi ide abstrak atau simbolik pun dapat terwujud kongkret dalam praktek kehidupannya. Mencari ilmu tidak hanya untuk menambah pengetahuan intelektual saja, tetapi mencari kebijaksanaan. Sikap orang Timur terhadap alam adalah menyatu dengan alam, tidak memaksakan diri dengan atau mengeksploitasi alam, bahkan menginginkan harmoni dengan alam karena alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kalau alam binasa, maka manusia pun akan binasa. Untuk menjaga hubungan yang harmonis terkadang muncul ekspresi kongkret dalam bentuk hubungan mistik manusia dengan alam. Ringkasnya, Dunia Timur menginginkan kekayaan hidupaan benda, tenang tentram, menyatu diri, fatalisme, pasivitas, dan menarik diri.
Pun dalam segi seni, Barat lebih terbuka ketimbang Timur, sebab Timur terlaku kaku dalam hal ini. Dan juga kita ketahui dalam hal apapun Barat berangkat dari ketidak tahuan dan berlanjut dari keinging tahuan. Maka dari itulah kenapa sampai saat ini Barat masih unggul terutama dalam segi ilmu pengatahuan (teknologi).
Lain-lain :Qoute Marxis Romantisme
Link : GSA (Gerakan Sosialis Asmara)
Comments
Post a Comment