NASKAH DRAMA TEATER Part 1
- BADAI SEPANJANG MALAM
Karya MAX ARIFIN
Para Pelaku:
1.Jamil, seorang guru SD di Klaulan,Lombok Selatan,berumur 24 tahun
2.Saenah,istri Jamil berusia 23 tahun
3.Kepala Desa,suara pada flashback
Setting :
Ruangan depan sebuah rumah desa pada malam hari.Di dinding ada lampu
minyak menyala.Ada sebuah meja tulis tua. Diatasnya ada beberapa buku
besar.Kursi tamu dari rotan sudah agak tua.Dekat dinding ada balai balai .Sebuah radio transistor juga nampak di atas meja.
Suara :
Suara jangkerik.suara burung malam.gonggongan anjing di kejauhan.Suara Adzan subuh.
Musik:
Sayup sayup terdengar lagu Asmaradahana,lewat suara sendu seruling
Note:
Kedua suami istri memperlihatkan pola kehidupan kota.dengan kata lain,mereka berdua memang berasal dari kota.tampak pada cara dan bahan pakaian yang mereka kenakan pada malam hari itu.mereka juga memperlihatkan sebagai orang yang baik baik.hanya idelisme yang menyala nyala yang menyebabkan mereka berada di desa terpencil itu.
01.Begitu layar tersingkap, nampak jamil sedang asyik membaca.Kaki nya ditelusurkan ke atas kursi di depannya.Sekali sekali ia memijit mijit keningnya dan membaca lagi.Kemudian ia mengangkat mukanya,memandang jauh ke depan,merenung dan kembali lagi pada bacaannya.Di kejauhan terdengar salak anjing melengking sedih.Jangkerik juga menghiasi suasana malam itu. Di kejauhan terdengar seruling pilu membawakan Asmaradahana.
Jamil menyambar rokok di atas meja dan menyulutnya.Asap berekepul ke atas.Pada saat itu istrinya muncul dari balik pintu kamar.
02.Saenah :
Kau belum tidur juga?kukira sudah larut malam.Beristirahatlah,besok kan hari kerja?
03.Jamil:
Sebentar,Saenah.Seluruh tubuhku memang sudah lelah,tapi pikiranku masih saja mengambang ke sana kemari.Biasa, kan aku begini malam malam.
04.saenah:
Baiklah.tapi apa boleh akuketahui apa yang kaupikirkan malam ini?
05.jamil:
Semuanya,semua apa yang kupikirkan selama ini sudah kurekam dalam buku harianku,Saenah.Perjalanan hidup seorang guru muda-yang ditempatkan di suatu desa terpencil-seperti Klulan ini kini merupakan lembaran lembaran terbuka bagi semua orang.
06.Saenah:
Kenapa kini baru kau beritahukan hal itu padaku?Kau seakan akan menyimpan suatu rahasia.Atau memang rahasia?
07.Jamil:
Sama sekali bukan rahasia ,sayangku! Malam malam di tempat terpencil seakan memanggil aku untuk diajak merenungkan sesuatu.Dan jika aku tak bisa memenuhi ajakannya aku akan mengalami semacam frustasi.Memang pernah sekali,suatu malam yang mencekam,ketika aku sudah tidur dengan nyenyak,aku tiba pada suatu persimpangan jalan di mana aku tidak boleh memilih.Pasrah saja.Apa yang bisa kaulakukan di tempat yang sesunyi ini?[Dia menyambar buku hariannya yang terletak di atas meja dan membalik balikkannya] Coba kaubaca catatanku tertanggal…[sambil masih membolak balik]..ini tanggal 2 oktober 1977.
08.Saenah:
[Membaca] “Sudah setahun aku bertugas di Klaulan.Suatu tempat yang terpacak tegak seperti karang di tengah lautan,sejak desa ini tertera dalam peta bumi.Dari jauh dia angker,tidak bersahabat:panas dan debu melecut tubuh.Ia kering kerontang,gersang.Apakah aku akan menjadi bagian dari alam yang tidak bersahabat ini?Menjadi penonton yang diombangkan ambingkan oleh…barang tontonannya.Setahun telah lewat dan selama itu manusia ditelan oleh alam”.[Pause dan Saenah mengeluh;memandang sesaat pada Jamil sebelum membaca lagi].”Aku belum menemukan kejantanan di sini.Orang orang seperti sulit berbicara tentang hubungan dirinya dengan alam.Sampai di mana kebisuan ini bisa diderita?Dan apakah akan diteruskan oleh generasi generasi yang setiap pagi kuhadapai?Apakah di sini tidak dapat dikatakan adanya kekejaman.”[Saenah berhenti membaca dan langsung menatap pada Jamil]
09.Jamil:
Kenapa kau berhenti?jangan tatap aku seperti itu,Saenah.
10.Saenah:
Apakah tulisan ini tidak keterlaluan?Bisakah ditemukan kejujuran di dalamnya?
11.Jamil:
Kejujuran kupertaruhkan di dalamnya,Saenah.Aku bisa mengatakan,kita kadang-kadang dihinggapi oleh sikap sikap munafik dalam suatu pergaulan hidup.Ada ikatan ikatan yang mengharuskan kita berkata “Ya!” terhadap apa pun,sekalipun dalam hati kecil kita berkata”Tidak”.Kejujuranku mendorong aku berkata,”Tidak”,karena aku melatih diri menjadi orang yang setia kepada nuraninya.Aku juga tahu, masa kini yang dicari adalah orang orang yang mau berkata”Ya”.Yang berkata “Tidak” akan disisihkan.[Pause] Memang sulit,Saenah.Tapi itulah hidup yang sebenarnya terjadi.Kecuali kalau kita mau melihat hidup ini indah di luar,bobrok di dalam.Itulah masalahnya.[Pause.Suasana itu menjadi hening sekali.Di kejauhan terdengar salak anjing berkepanjangan]
12.Saenah:
Aku tidak berpikir sampai ke sana. Pikiranku sederhana saja.kau masih ingat tentunya,ketika kita pertama kali tiba di sini,ya setahun yang lalu.Tekadmu untuk berdiri di depan kelas,mengajar generasi muda itu agar menjadi pandai.Idealismemu menyala nyala.Waktu itu kita disambut oleh Kepala Desa dengan pidato selamat datangnya.[S aenah lari masuk.Jamil terkejut.tetapi sekejap mata Saenah muncul sambil membawa tape recorder!] Ini putarlah tape ini.Kaurekam peristiwa itu.[Saenah memutar tape itu,kemudian terdengarlah suara Kepala Desa]’…Kami ucapkan selamat datang kepada Saudara Jamil dan istri.Inilah tempat kami.Kami harap saudara betah menjadi guru di sini.Untuk tempat saudara berlindung dari panas dan angin,kami telah menyediakan pondok yang barangkali tidak terlalu baik bagi saudara.Dan apabila Anda memandang bangunan SD yang cuma tiga kelas itu.Dindingnya telah robek,daun pintunya telah copot,lemari lemari sudah reyot,lonceng sekolah bekas pacul tua yang telah tak terpakai lagi.Semunya,semuanya menjadi tantangan bagi kita bersama.Selain itu,kami perkenalkan dua orang guru lainnya yang sudah lima tahun bekerja di sini.Yang ini adalah Saudara Sahli,sedang yang berkaca mata itu adalah Saudara Hasan.Kedatangan Saudara ini akan memperkuat tekad kami untuk membina generasi muda di sini.Harapan seperti ini menjadi harapan Saudara Sahli dan Saudara Hasan tentunya.”[Saenah mematikan tape.Pause,agak lama.Jamil menunduk,sedang Saenah memandang pada Jamil.Pelan pelan Jamil mengangkat mukanya.Mereka berpandangan]
13.Saenah:
Semua bicara baik-baik saja waktu itu dan semuanya berjalan wajar.
14.Jamil:
Apakah ada yang tidak wajar pada diriku sekarang ini ?
15.Saenah:
Kini aku yang bertanya:jujurkah pada nuranimu sendiri?Penilaian terakhir ada pada hatimu.dan mampukah kau membuat semacam pengadilan yang tidak memihak kepada nuranimu sendiri?Karena bukan mustahil sikap keras kepala yang berdiri di belakang semuanya itu.Terus terang dari hari ke hari kita seperti terdesak dalam masyarakat yang kecil ini.
16.Jamil:
Apakah masih harus kukatakan bahwa aku telah berusaha berbuat jujur dalam semua tindakanku?Kau menyalahkan aku karena aku terlalu banyak bilang”Tidak” dalam setiap dialog dengan sekitarku.Tapi itulah hatiku yang ikhlas untuk ikut gerak langkah masyarakatku.Tidak,Saenah.Mental masyarakat seperti katamu itu tidak terbatas di desa saja, tapi juga berada di kota
17.Saenah:
Kau tidak memahami masyarakatmu.
18.Jamil:
Masyarakat itulah yang tidak memahami aku.
19.saenah:
siapa yang salah dalam hal ini.
20.Jamil:
Masyarakat.
21.Saenah:
Yang menang ?
22.Jamil:
Aku
23.Saenah:
Lalu ?
24.Jamil:
Aku mau pindah dari sini.[Pause. Lama sekali mereka berpandangan.].
25.Saenah:
[Dengan suara rendah]Aku kira itu bukan suatu penyelesaian.
26.Jamil:
[Keras] Sementara memang itulah penyelesaiannya.
27.Saenah:
[Keras]Tidak! Mesti ada sesuatu yang hilang antara kau dengan masyarakatmu.Selama ini kau membanggakan dirimu sebagai seorang idealis.Idealis sejati,malah.Apalah arti kata itu bila kau sendiri tidak bisa dan tidak mampu bergaul akrab dengan masyarakatmu.[Pause]
[Lemah diucapkan]Aku terkenang masa itu,ketika kau membujuk aku agar aku mu datang kemari[Flashback dengan mengubah warn cahaya pelan pelan.Memakai potentiometer.Bisa hijau muda atau warna lainnya yang agak kontras dengan warna semula.Musik sendu mengalun]
28.Jamil:
Aku mau hidup jauh dari kebisingan,Saenah.Aku tertarik dengan kehidupan sunyi di desa,dengan penduduknya yang polos dan sederhana.Di sana aku ingin melihat manusia seutuhnya.Manusia yang belum dipoles sikap sikap munafik dan pulasan belaka.Aku harap kau menyambut keinginanku ini dengan gembira,dan kita bersama sama kesana.Di sana tenagaku lebih diperlukan dari pada di kota.Dan tentu banyak yang dapat aku lakukan.
29.Saenah:
Sudah kaupikirkan baik baik? Perjuangan di sana berarti di luar jangkauan perhatian.
30.Jamil:
Aku bukan orang yang membutuhkan perhatian dan publikasi.Kepergianku ke sana bukan dengan harapan untuk menjadi guru teladan.Coba bayangkan,siapa pejabat yang bisa memikirkan kesulitan seorang guru yang bertugas di Sembalun,umpamanya?Betul mereka menerima gaji tiap bulan.Tapi dari hari ke hari dicekam kesunyian,dengan senyum secercah terbayang di bibirnya bila menghadapi anak bangsanya.dengan alat alat serba kurang mungkin kehabisan kapur,namun hatinya tetap di sana.Aku bukan orang yang membutuhkan publikasi,tapi ukuran ukuran dan nilai nilai seorang guru di desa perlu direnungkan kembali.Ini bukan ilusi atau igauan di malam sepi,Saenah.Sedang teman teman di kota mempunyai kesempatan untuk hal hal yang sebaliknya dari kita ini.Itulah yang mendorong aku,mendorong hatiku untuk melamar bertugas di desa ini.
31.Saenah:
Baiklah, Sayang.Ketika aku melangkahkan kaki memasuki gerbang perkawinan kita,aku sudah tahu macam suami yang kupilih itu.Aku bersedia mendampingimu.Aku tahu,apa tugas utamaku disamping sebagai seorang ibu rumah tangga.Yaitu menghayati tugas suami dan menjadi pendorong utama karirnya.Aku bersedia meninggalkan kota yang ramai dan aku sudah siap mental menghadapi kesunyian dan kesepian macam apa pun.Kau tak perlu sangsi.[Pause senbentar.Pelan pelan lampu kembali pada cahaya semula]
32.Saenah:
Kini aku menjadi sangsi terhadap dirimu.Mana idealisme yang dulu itu? Tengoklah ke kanan.apakah jejeran buku-buku itu belum bisa memberikan jawaban pada keadaan yang kauhadapi sekarang?Di sana ada jawaban yang diberikan oleh Leon Iris,Erich Fromm,Emerson atau Alvin Toffler.Ya,malam malam aku sering melihat kau membuka-buka buku-buku Erich Fromm yang berjudul The Sane Society atau Future Shock nya Alvin Toffler itu.
33.Jamil:
Apa yang kau kauketahui tentang Eric Fromm dengan bukunya itu? Atau Toffler?
34.Saenah:
Tidak banyak.Tapi yang kuketahui ada orang-orang yang mencari kekuatan pada buku-bukunya.Dan dia tidak akan mundur walau kehidupan pahit macam apa pun dosodorkan kepadanya.karena ia mempunyaai integritas diri lebih tinggi dri orang-orang yng menyebabkan kepahitan hidupnya.apakah kau menyerah dalam hal ini?Ketika kau melangkahkan kakimu memasuki desa ini terlalu bnyak yang akan kausumbngkan padanya,ini harsus kauakui.Tapi kini-akuilah-kau menganggap desa ini terlalu banyak meminta dirimu.Inilah resiko hidup di desa.Seluruh aspek kehidupan kita disorot.Smpai sampai soal pribadi kita dijadikan ukuran mampu tidaknya kita bertugas.Dan aku tahu hal itu.Karena aku kenal kau.[Suasana menjadi hening sekali.Pause]
Aku sama sekali tak menyalahkan kau.malah dim diam menghargai kau, dan hal itu sudah sepantasnya.Aku tidak ingin kau tenggelam begitu saja dalam suatu msyarakat atau dalam suatu sistem yang jelek namun telah membudaya dalam masyarakat itu.Di mana pun kau berda.juga sekiranya kau bekerja di kantor.Kau pernah dengan penuh semangat menceritakan bagaimana novel karya Leon Uris yang berjudul QB VII.Di sana Uris menulis,katamu bahwa seorang manusia harus sadar kemanusiaannya dan berdiri tegak antara batas kegilaan lingkungannya dan kekuatan moral yang seharusnya menjadi pendukungnya.Betapapun kecil kekuatan itu.Di sanalah manusia itu diuji.Ini bukan kuliah.Aku tak menyetujui bila kau bicara soal kalah menang dalam hal ini.Tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang.Dialog yang masih kurang.
34.Jamil:
Aku mungkin mulai menyadari apa benda yang hilang yang kaukatakan tadi.generasi sekarang mengalami kesulitan dalam masalah hubungan.Hubungan antar sesama manusia.Mereka mengalami apa yang disebut kegaguan intelektual.kita makin cemas,kita seakan akan mengalami kemiskinan artikulasi.Disementara sekolah di banyak sekolah malah,mengarang pun bukanlah menjadi pelajaran utama lagi,sementara makin banyak gagasan yang harus diberitahukan ke segala sudut.Pertukaran pikiran makin dibutuhkan.
35.Saenah:
Ya,seperti pertukaran pikiran malam ini.Kita harus yakin akan manfaat pertukaran .Ada gejala dalam masyarakat di mana orang kuat dan berkuasa segan bertukar pikiran.Untuk apa ,kata mereka.Kan aku berkuasa.
36.Jamil;
Padahal nasib suatu masyarakat tergantung pada hal-hal itu.Dan kita jangan melupakan kenyataan bahwa masyarakat itu bukan saja berada dalam konflik dengan orang-orang yang mempunyai sikap yang tidak sosial tetapi sering pula konflik dengan sifat sifat manusia yang paling dibutuhkan,yang justru ditekan oleh masyarakat itu sendiri.
37.Saenah:
Itu kan Erich Fromm yang bilang.
38.Jamil:
Memang aku mengutip dia.[Dari kejauhan terdengar suara bedug subuh kemudian adzan]
39.Saenah:
Aduh,kiranya sudah subuh.Pagi ini anak-anak menunggumu,generasi muda yang sangat membutuhkan kau.
40.Jamil:
Aku akan tetap berada di desa ini,sayangku.
41.Saenah:
Aku akan tetap bersamamu.Yakinlah.[Jamil menuntun istrinya ke kamar tidur.Musik melengking keras lalu pelan pelan,sendu dan akhirnya berhenti].
Dheny Jatmiko
Pelaku:
Kakek : Seorang kakek umur 80 tahun yang selalu terbayang-bayang peristiwa masa lalunya.
Bapak : Seorang lelaki pekerja kantoran.
Ibu : Ibu rumah tangga.
Anak : Anak berumur 10 tahun.
***
Terdengar musik tembang megatruh. Lampu warna biru menyala pelan, dilanjutkan lampu oranye yang fokus ke kursi goyang (kakek). Tampak sebuah ruang keluarga, seorang kakek bersantai di kursi goyang. Kakek memakai sepatu tentara, memakai sarung, peci, sambil nembang megatruh.
Megatruh
niki wancine sukma sampun kasebut
saking dzat akarti bumi
sampun wanci dipun suwun
tan janji sakniki ugi
baline sadaya lakon
Tembang megatruh selesai. Kakek diam, merenung. Tiba-tiba terdengar suara riuh, seperti suara demontrasi. (Lampu ruang pelan-pelan menyala) Kakek panik, mengambil sapu dan membawanya seolah membawa senapan.
Kakek : Bangun! Bangun! Kita harus segera bersiap. Bangun kalian semua.
Muncul seorang Bapak, Ibu dan anaknya berjalan malas karena bangun tidur.
Bapak : Ada apa lagi, kek? Malam-malam begini bikin ribut?
Ibu : Ada apa to, kek?
Kakek : Ada apa. Ada apa. Apa kalian sudah tuli. Apa kalian tidak mendengar ada demo. Situasinya sekarang semakin sulit. Jadi kita harus waspada. (Berlagak seperti komandan) Kalian berjaga di pos sebelah sana. Biar aku awasi yang sebelah sini (mengambil kursi kecil dan berdiri di atasnya). Cepaaat!
Anak : Siap, komandan!
Bapak, Ibu & Anak bergegas menuju kiri panggung.
Bapak : Kalau tiap malam begini, bagaimana aku bisa nyaman kerja besok?
Ibu : Sudahlah mas, sabar, mungkin kakek sedang mimpi aneh lagi malam ini. Paling ini hanya sebentar, dan kita bisa kembali tidur. Lakukan saja. Kalau kita tidak menurut, nanti bisa tambah lama.
Kakek : Jangan banyak ngomong. Sekarang sedang darurat militer, jaga dengan kewaspadaan tingkat tinggi.
Anak : Di sini terlihat aman, kek, eh, ndan!
Kakek : Meski aman tetap waspada. Cari gembongnya.
Anak : Siaap.
Kakek : Kasihan anak-anak muda itu. Katanya mereka orang-orang yang intelek. Tapi lihat, bicaranya seperti tukang becak. (pada penonton) Dengar kalian semua! Tidak ada gunanya kalian teriak-teriak sampai tenggorokan kering. Lebih baik baca buku yang banyak saja biar bisa mikir lebih jernih, biar tidak dimanfaatkan orang. Masak orang intelek ngomongnya seperti robot. Cuma bisa ngomong: kami butuh makan, turunkan ini, turunkan itu... Kalau cuma ngomong seperti itu, anak umur dua tahun saja bisa.
Bapak : Tapi, kakek memang harus segera turun, dan segera tidur lagi. Kita mesti istirahat. Hari sudah larut, kek.
Ibu : Jangan banyak komentar, nanti tidak cepat selesai, kita yang repot sendiri.
Kakek : (turun dari kursi, duduk dengan malas) Kalian ternyata sama saja dengan orang-orang itu. Semua ini bukan karena salahku. Aku hanya menjelaskan tugas. Semua tugas sudah aku jalankan dengan baik, mulai dari Operasi Sikat, Operasi Burung Sriti, Operasi Galian Malam. Semua sudah kujalankan dengan baik. Terus mengapa mereka masih saja menginginkan aku turun? Mengerti apa mereka dengan situasi ini. Orang-orang seperti mereka dan kamu inilah yang sebenarnya mengacau.
Ibu : Kakek sudah lelah, lebih baik kakek istirahat. Biarlah di sini kami yang berjaga. (Kakek hanya diam) Percayalah, situasinya di sini bisa kami atasi.
Kakek : Kalian sudah mengkhianati aku. Apakah kalian tidak tahu, kalau tugas ini sudah selesai, aku memang berencana pensiun. Ini adalah operasi terakhirku. Operasi Sapu Jalan ini adalah pengabdian terakhirku pada negeri ini. Aku juga sudah lelah, aku ingin istirahat dengan tenang.
Ibu : (kembali seperti menjadi anak buah kakeknya) Kami tidak berkhianat. Kami tahu apa yang anda butuhkan.
Bapak : Terus bujuklah kakek. Orang kalau tambah tua, tambah pikun, tambah menyusahkan, tambah tidak ada gunanya.
Ibu : Hus, ngomong apa kamu ini. Meskipun begitu, dia juga tetap bapakmu. Orang yang membuatmu ada di dunia ini.
Bapak : Iya, aku sudah tahu. Tapi aku sangat lelah hari ini. Bujuklah ia agar segera tidur.
Anak : Lapor, komandan. Situasi sudah terkendali. Kerusuhan sudah bisa diamankan.
Kakek : (kembali bersemangat) Kamu memang perwiraku yang paling bisa diandalkan. Aku pasti akan merekomendasikan kenaikan pangkat buatmu. Tapi, sayang, aku masih punya anak buah yang kerjanya lamban. Inilah yang memperburuk citra tentara.
Anak : (pada bapak dan ibunya) Sersan, Kapten, ada masalah apa ini?
Bapak : (menjewer anaknya) Sekarang sudah malam, jangan main-main terus.
Kakek : Apa katamu?! Main-main?! Ini bukan masalah sepele. Orang-orang memang harus diberi pelajaran. Bisa nglunjak kalau dibiarkan saja. …
Bapak : Sudahlah kek, Ini sudah malam. Saya butuh istirahat, besok saya harus kerja. Dimas besok juga harus sekolah…
Kakek : Sekolah?! Sekolah tidak jaminan membuat orang bisa berpikir cerdas. Jangankan berpikir cerdas, berpikir saja belum tentu bisa. Apa kau tidak mendengar apa yang diteriakkan orang-orang sok berpendidikan yang berdemo itu. Semuanya hanya omongan yang tidak ada pemikirannya. Terlalu dangkal otak mereka. Lihat orang-orang yang dicat tubuhnya, dijemur sesiangan, dan berteriak ndak karuan itu. Masak mereka bilang itu seni? Seni macam apa itu, murahan.
Ibu : Kalau bukan seni, terus itu disebut apa, kek?
Bapak : (pada istrinya) Kamu ini bagaimana kok malah dilayani. Kapan selesaianya. Aku ini sudah capek.
Ibu : Ssttt. Biar ibu yang mengatasi. Kalau dilawan, nanti justru semakin lama. Lebih baik dilayani biar makin cepat selesai. Aku juga sudah capek, mas.
Bapak : Ya semoga berhasil. Tadi sudah disuruh menjadi tentara, pasti nanti teringat nenek, dan kakek jadi dalang.
Kakek : Hah, benar. Dalang. Wayang.
Bapak : Lho, iya, benar kan. Yang ada dalam ingatannya hanya itu-itu saja: tentara dan wayang.
Kakek : Seni yang paling agung adalah wayang. Mereka itu tidak mengerti apa itu seni. Seni kok tidak mengandung budi pekerti. Beda kan dengan wayang yang penuh budi pekerti. Kemari kau Dimas. Kalau kau nanti sudah besar kau harus menjadi orang yang mengerti budi pekerti.
Anak : Bermain tentara-tentaraannya sudah selesai to, kek?
Kakek : Ahh, tentara itu apa. Sebenarnya aku menyesal juga menjadi tentara. Apalagi setelah melihat anak buahku. Mereka itu hanya bisa membanggakan seragamnya, hanya bisa sok jagoan. Mereka sering lupa bahwa mereka itu abdi masyarakat. Yang namanya abdi itu mesti melindungi bukannya sok. Mengamankan demontrasi mahasiswa saja tidak pecus. Masih saja ada yang mati. Akhirnya juga yang kena batu. Berbeda dengan dalang. Dalang selalu menyuguhkan nasehat-nasehat yang filosofis, petuah-petuah yang dibutuhkan masyarakat. (bergaya dalang) Ooo, langit gumbleger, bumi katon kebak geber… ooo (Anak mengiringi musiknya dengan suara: wung-wung-wung plak-plak-plak)
Bapak : Kakek, sudah malam, tidak baik kalau teriak-teriak, tidak enak sama tetangga.
Kakek : Inilah contoh orang yang tidak bisa menghargai seni dan budaya. Kalau ketahuan ibumu, pasti kamu akan diomeli sampai pagi.
Bapak : (menggrundel) Dasar orang pikun.
Kakek : Lebih baik tidak usah dihiraukan orang macam itu. Ayo kita berkesenian, kita lakonkan Anoman Obong. Dimas, musiknya siap?
Anak : Siap, pak dalang.
Kakek : Musiiik.
Anak : (membuat musik dari suaranya) Plak-plak-plak wung-wung-wung plak-plak-plak wung-wung-wung…
Kakek : Oooo, cumlorot antaraning mega geni molak-malik katiup angin, satria Anoman malumpat-lumpat ing Alengka nylametake dewi Shinta, ooo… (tablo) (pada ibu) Ayo gendingnya masuk!
Ibu : Minta gending apa pak dalang.
Kakek : Kinanti
Ibu : Anoman mlumpat sampun
prapteng witing nagasari
mulat managandap katinngal
wanodya ju kuru aking
gelung rusak awor kisma
ingkang iga-iga keksi
Kakek : Luar biasa. Itulah seni.
Bapak : Hah, aku sudah sangat capek. (pada istrinya) Kamu urus sendiri kakek. Kalau aku tidak tidur, besok aku telat lagi, dan bisa-bisa aku dipecat. Trus kita mau makan apa? Aku sudah muak dengan kondisi ini. (meninggalkan panggung)
Kakek : Hei, anak kurang ajar. Mau ke mana kau. Diberi nasehat jangan pergi. Tidak sopan. Anak tidak ngerti tata krama.
Bapak : Terserah kata kakek.
Kakek : (tiba-tiba sedih) Mengapa aku punya anak yang durhaka. Kalau saja ibunya tahu, pasti dia dirundung kesedihan. Maafkan aku Martha, istriku, aku tidak bisa menjaga dengan baik anak kita. Tapi kenapa kau mesti pergi begitu cepat.
Anak : Lho, kakek mengapa bersedih? (kakek hanya diam bersedih)
Ibu terdiam sejenak. Lalu berpura-pura menjadi nenek, istri kakek.
Ibu : (bergaya menjadi seorang nenek) Mas Jarwo, suamiku, ada apa?
Kakek : Anak kita, Martha. Lihatlah anak kita, kenapa dia tidak patuh padaku.
Ibu : Ya, namanya juga anak kecil. (memeluk dan mengelus rambut anaknya) Jangan terlalu banyak dipikir. Mas harus segera istirahat. Besok harus segera masuk dinas. Katanya besok ada upacara.
Kakek : Masalah anak itu masalah yang serius. Kalau aku salah mendidik, mau jadi apa dia nantinya.
Ibu : Iya, mas tidak salah kok mendidik Mardi. Jangan sedih terus, aku tidak suka kalau mas sedih terus.
Kakek : Aku merasa aku telah gagal.
Ibu : Mas tidak gagal. Mana keoptimisan mas. Aku cinta mas itu karena mas itu optimis, tidak pesimis begini. (kakek masih diam) Kalau sedih begini, mas paling suka kalau aku nembang. Bagaimana kalau aku nyanyikan satu tembang lagi, mas. Dengar ya mas.
Kakek : Terserah kamu.
Ibu : Caping Gunung
Dhek jaman berjuang
njur kelingan anak lanang
mbiyen tak openi
ning saiki ana ngendi
Jarene wis menang
keturutan sing digadhang
mbiyen ninggal janji
ning saiki apa lali
Ning gunung tak cadhongi sega jagung
yen mendhung tak silihi caping gunung
sokur bisa nyawang
gunung ndesa dadi reja
dene ora ilang nggone padha lara lapa
Anak menuju kursi panjang dan tertidur, ketika mendengar ibunya menembang.
Kakek : Suaramu bagaikan pinus diterpa angin, Martha. Begitu lembut, halus, dan menenangkan. Itulah kenapa aku selalu mencintaimu. Kaulah satu-satunya perempuan yang bisa menentramkan hatiku ini.
Ibu : Aduh, mas Jarwo ini berlebihan, jadi malu aku.
Kakek : Ini tidak berlebihan, Martha. Ini kenyataan. Aku selalu terpaku, diam tidak bisa apa-apa, kerena telampau terpikat suara dan kecantikanmu.
Ibu : Jika mas sedang bersedih, bukankah sudah selayaknya jika aku menghibur. Apa sekarang mas sudah merasa nyaman?
Kakek : Seperti perasaan Danareja seandainya lamarannya diterima Sukesi tanpa membedah Sastra Gendra. Begitulah yang aku rasakan.
Ibu : Mas bukanlah Danareja dan aku bukan Dewi Sukesi. Kita adalah suami istri yang tak terpisahkan. Bagai akar dan tanah.
Kakek : Hmmm, iya, iya. Hmmm... (seperti berpikir)
Ibu : Benar kan, mas?
Kakek : Iya, iya.
Ibu : Lalu apa yang masih dipikirkan.
Kakek : Aku sendiri tidak tahu aku ini sedang memikirkan apa?
Ibu : Lho gimana to?
Kakek : Aku ini sedang berpikir, apa sebenarnya yang aku pikirkan. Apa kamu tahu?
Ibu : Ya, ndak tahu, lha wong yang mikir mas kok tanyanya ke aku.
Kakek : Ya, barangkali saja. Selama ini yang bisa mengerti aku kan cuma kamu.
Ibu : Entahlah.
Kakek : (Kekanak-kanakan) Ahh, kalau kamu saja tidak tahu apa yang aku pikirkan, pada siapa lagi mesti aku bertanya?
Ibu : (Diam, berpikir. Meraih Kakek) Mungkin mas memikirkan anak kita, apakah kalau sudah besar di bisa sesuai dengan harapan kita.
Kakek : (Melihat Anak yang tertidur di kursi) Mungkin. Tapi tidak. Anak itu adalah keturunan dari lelaki sempurna dan perempuan teristimewa. Pasti dengan sendirinya bisa menjadi orang yang hebat. Tidak. Aku pasti tidak sedang memikirkan anak itu. Keluarga kita baik-baik saja, teramat baik, tidak ada masalah yang perlu memeras otak. Kalaupun ada masalah keluarga hanyalah masalah yang teramat kecil. Dan pikiranku tidak sekecil itu. Aku pasti memikirkan hal yang lebih besar, lebih penting, lebih... ahhh, tapi apa yang sedang aku pikirkan.
Ibu : Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir. Lebih baik istirahat. Besok mas harus menghadiri upacara penghargaan. Nah, kalau kurang istirahat, terus wajah mas masih kusut, apa mas tidak akan malu.
Kakek : Benar juga.
Ibu : (Terlihat senang) Nah, lebih baik istarahat kan?
Kakek : Tapi kepala ini terus saja kebingungan sendiri.
Ibu : Mungkin tidur dulu, besok pasti sudah ingat.
Kakek : Kalau masih tidak ingat?
Ibu : Terserah mas saja. Tapi pikikirkan sekali lagi, acara besok itu penting!
Kakek : (Kekanak-kanakan) Aduh, Martha, jangan marah sayang.
Ibu : Aku tidak marah, mas. Aku cuma memberi saran. Tapi kalau mas tidak mau ya sudah. Nah, kalau masih loyo seperti ini, apakah Presiden akan merasa bangga memiliki rakyat sebaik mas.
Kakek : Iya, benar.
Ibu : Nah, sekarang coba mas berdiri dengan tegap dan penuh wibawa. (Kakek mencoba berdiri tegap, tetapi kesulitan) Hah, benar kan, sulit. Itu tandanya mas sudah capek dan butuh istirahat.
Kakek : Kamu memang benar-benar perempuan impian lelaki. Kamu sangat mengerti. Betapa beruntungnya aku mendapatkanmu. Martha, jangan pernah kau meninggalkanku. Aku bisa menjadi makhluk paling hina jika kau tinggalkan.
Ibu : Tidak, mas. Aku tidak akan pernah meninggalkan mas. Tapi lihat, Mardi, kasihan dia tertidur di kursi, biar antar ke kamar dulu ya mas.
Kakek : Kau memang istri yang penuh kasih sayang. Silahkan istriku tercinta. Tapi jangan terlalu lama aku kau tinggalkan. Segeralah kembali, Martha.
Ibu : Tidak lama. Aku hanya mengantar Mardi ke kamar. Tapi, mas harus janji setelah ini langsung istirahat.
Kakek : Tentu, sayang. Aku janji.
Ibu dan anaknya yang sudah ngantuk keluar dari panggung dengan tersenyum. Kakek termenung sendiri sambil sesekali tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara demo. Semakin lama suara itu semakin keras. Kakek kebingungan, ketakutan.
Kakek : Pasukan! Kumpul! Ada kekacauan!
Ibu dan anak kembali masuk panggung.
Ibu : Ada apa lagi?
Kakek : Cepat rapikan barisan. Mana sersan Untung?
Anak : Dia masih tidur, komandan.
Kakek : Cepat bangunkan dia.
Ibu : Sersan Untung masih keluar kota, Komandan.
Kakek : Tidak mungkin, tidak ada tugas bagi sersan Untung untuk keluar kota. Pasti dia masih tidur. Kalian baris di sini dengan rapi, awasi situasi. Aku akan bangunkan sersan Untung. Situasinya sudah genting, tidak ada waktu untuk istirahat.
Kakek keluar panggung. Beberapa saat, masuk lagi dengan Bapak yang terlihat mengantuk.
Bapak : Ada apa lagi ini. Sudahlah, kek, aku capek, aku butuh istirahat, aku besok harus kerja.
Kakek : Sekarang kerjanya! Tidak usah menunggu besok. Lihat di sana, kekacauan terjadi di mana-mana. Dan kamu enak-enakan tidur. Perwira macam apa kamu ini, hah!
Anak : Komandan, situasinya makin kacau.
Bapak : Dimas, diam.
Kakek : Bicara yang sopan. Apa pantas kamu bicara seperti itu dengan atasanmu. Sebagai hukuman kau harus push-up satu seri, dan jangan diulangi lagi. Mayor, terus awasi keadaannya.
Anak : Siap komandan.
Kakek : (pada bapak) Ayo, cepat laksanakan. Apa kamu ini tidak pernah diajari sopan santun. (pada Ibu) Kamu juga, kenapa kamu berani membela orang yang salah?
Ibu : Tidak, komandan. Saya tidak berani.
Kakek : Kalian harus sadar, harus sadar, di sini aku yang menjadi pimpinan kalian. Kalian harus nurut!
Ibu : Siap.
Kakek : (Pada Ibu) Kamu ke sana, coba beri mereka pengertian sebisa mungkin. Usahakan jangan samapi ada bentrokan fisik.
Ibu maju ke depan pangung, seolah-olah membawa Megaphone.
Ibu : Saudara-saudara, usahakan tetap damai. Kita bicarakan baik-baik. Semua aspirasi saudara-saudara pasti kami tampung. Tetap tenang. Kondisi negeri kita sudah kacau, jangan sampai saudara-saudara menambah kekacauan. Kami di sini sedang mengusahakan yang terbaik untuk negeri ini.
Kakek : Bagus. Teruskan.
Ibu : Kita semua tidak mau ada lagi kekacauan. Jadi saya harap, ada perwakilan dari saudara-saudara yang masuk dan menyampaikan aspirasi dengan damai. Percayalah saudara. Percayalah, kita semua tidak ingin kondisi ini makin runyam.
Anak : Komandan, gawat komandan! Mereka menyerang.
Kakek : Tetap bertahan.
Anak : Sulit, komandan. Mereka semakin mendesak.
Bapak : (Menghampiri anak, dan berbicara lirih) Sudah! Diam.
Kakek : Segera berpencar. Cari tempat berlindung. Seraaaaangg! Dor, dor, dor, dor, ahhhhhhhhh, aku tertembak.
Kakek terjatuh. Anak berlari menghampiri kakek.
Anak : Komandan, apakah komandan baik-baik saja.
Kakek : Teruskan perjuangan. Jangan hiraukan aku. Ambil alih pimpinan.
Anak : Komandan, komandan, komandan jangan mati.
Bapak : Ahh, akhirnya selesai. Malam yang melelahkan.
Ibu : Mas, jangan pergi dulu. Angkat kakek ke kamar. Kasihan di sini dingin.
Anak : (menggoyang-goyang tubuh kakek) Komandan jangan mati. Komandan, ayo bangun.
Bapak : (Menghampiri Anak) Dimas, jangan ganggu kakek. Biarkan kakek istirahat. Kamu juga harus segera tidur.
Dimas berjalan pelan keluar panggung.
Ibu : Kasihan kakek. Di usianya yang tua, masih saja diganggu ingatan-ingatannya.
Bapak : Ya begitulah orang kalau sudah tua. Pikun.
Ibu : Kalau saja nenek masih ada.
Bapak : Aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Semua cara tidak dapat menyembuhkannya, mulai psikiater, dokter, bahkan dukun. Mungkin memang lebih baik segera kita kirim ke panti jompo. Mungkin mereka bisa mengurus lebih baik.
Ibu : Jangan, mas. Biar akau saja yang mengurus kakek. Panti jompo bukanlah solusi.
Bapak : Tapi jika tiap malam diteror begini, aku juga bisa gila.
Ibu : Yang sabar. Bagaimanapun juga Kakek adalah tanggung jawab kita. Lebih baik kita istirahat. Kita bicarakan masalah ini besok saja, aku juga sudah caek. Mas angkat kakek.
Bapak menghampiri kakek. Memandanginya dengan rasa iba. Pelan-pelan ia angkat, dibaringkan ke kursi goyang.
Kembali terdengan tembang megatruh. Lampu ruang pelan-pelan padam, tinggal lampu biru yang menyorot kursi goyang. Perlahan lampu biru padam.
Lampu ruang kembali menyala. Kakek ketakutan dan menjerit-jerit. Bapak dan Ibu datang dengan wajah yang lesu dan hanya memandang.
Lampu pelan-pelan padam.
***
SELESAI
SELAMAT MENIKMATI
SEMOGA BERBAHAGIA
Biodata Penulis:
Nama : Dheny Jatmiko
TTL : Tulungagung, 11 Februari 1982
NIM : 120110330
Fakultas : Ilmu Budaya
Jurusan : Sastra Indonesia
Alamat : Jl. Jaya Baya 5 Bandung, Tulungagung.
HP : 081 931 545 883
Lainnya : Menulis puisi, sedikit cerpen dan esai. Pernah terpublikasikan di Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos, Surya, Jurnal Aksara, Majalah Budaya Sagang, Majalah Aksara (kini Imajio), Bangka Post, Riau Post, Wapada, Surat kabar Priangan, Radio Suara Jerman Deutsche Welle, Australia-Indonesia Art Aliance (AIAA), Suara Anum Online (Malaysia). Juara Harapan II Lomba Cipta Puisi Nasional kategori Sagang di Riau 2003. Juara III Penulisan Puisi dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional tahun 2006 di Makasar.
Comments
Post a Comment