KEBENARAN DALAM TEOLOGI ISLAM DAN SAINS - Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal (1877-1938), dikenal sebagai seorang pemikir dan pembaharu dalam islam. Merupakan tokoh legendaries yang besar di antara para punjangga di Negerinya. Pemikran yang tajam telah mendapatkan perhatian dan penghargaan yang meningkat terus diantara mereka yang asyik mengkaji filsafat maupun masala-masalah dewasa ini. Kejeniusannya yang sangat tinggi serta dikagumi oleh mereka yang berbahasa Urdu dan Persi, baik di India maupun di Pakistan. Kedua bahasa inilah yang digunakan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya secara puitis.
Sebagian besar dari karya-karyanya tertuang dalam bentuk puisi dan sajak, dan jika di salami lebih dalam sajak-sajak tersebut dapat dikembalikan pada pola umum dari gagasannya itu. Keseluruhan puisi-puisinya tersebut tidak bisa dipandang sebagai semacam teka-teki silang yang di susun secara mekanis dari potongan-potongan kalimat melainkan memiliki tilikan intelektual dan getaran perasaan yang sama. Terpancar dari Iman dan pemahaman yang dalam dan asasi.
Mengenai pemikirannya tentang relasi antara agama dan filsafat. Dalam Filsafat skolastik mengajukan tiga argumentasi tentang adanya Tuhan, yakni argument yang pertama adalah argument kosmologi, sedangkan argument yang kedua adalah argument teologis, dan yang terakhir adalah argument ontologis.
Dari pemaparan di atas, perlu sekiranya kami bahas kembali secara detail tetang tema diskusi kali ini. Bertujuan untuk benar-benar memahami hal tersebut. Agar pembaca terutama penulis dapat memahami betul tentang tema yang satu ini. Dan harapnya bisa menjadi bahan pertimbangan terhadap yang telah kita ketahui selama ini.
Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir pada tanggal 9 November 1877, di Sialkot sekarang Pakistan. Ia dilahirkan dari keturunan Brahmana yang hidup di lembah Kasmhir, yang terkenal dengan kebijaksanaan rum dan Tabriz-nya. Dan kasta mereka memeluk islam sekitar abad ke-17 M. Ayahnya bernama Syaikh Noor Muhammad yang juga merupakan seorang sufi yang suci. Selain dianggap sebagai sufi ia juga bekerja sebagai seorang pedagang. Sedangkan, ibunya bernama Imam Bibi yang juga sangat taat pada agama.
Iqbal sudah mulai belajar ketika berumur 12 tahun, ia dikirim oleh ayahnya di sekolah Maulvi Mir Hasan untuk belajar Al-Qur’an di Sialkot. Sekolah ini mengajarkan Islamic Studies dan Theology. Disana ia juga belajar bahasa Arab dan Persia, kemudian Mir Hasan melihat bahwa Iqbal mempunyai bakat dalam puisi. Pada tahun 1893 ia belajar di Scotch Mission College, Sialkot, pada tahun pertamanya ia memfokuskan diri untuk belajar seni bebas. Disana ia banyak belajar mengenai puisi, terutama dalam bahasa Arab, Persia, dan Urdu.
Setelah belajar cukup lama di Sialkot, sekitar tahun 1895 ia melanjutkan studinya di Lahore. Ia belajar tentang Filsafat, bahasa Arab dan Inggris. Disini ia juga bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang kemudian mendorong iqbal untuk melanjutkan studinya lagi ke Inggris. Kemudian pada tahun 1905 ia masuk di Universitas Cambridge untuk mempelajari Filsafat. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich, Jerman. Disinilah ia memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang tasawuf dengan disertasinya The Development of Metaphysics in Persia.
Pada tahun 1908 ia kembali ke Lahore untuk menjadi pengacara dan dosen filsafat. Setelah itu ia kemudian masuk ke dunia politik dan pada tahun 1930 ia terpilih sebagai presiden Liga Muslim. Pemikirannya sangat berpengaruh terhadap gerakan pembaharuan Islam. Pendapatnya bahwa mengenai kemunduran Islam selama 500 tahun erakhir disebabkan karena kebekuan dalam pemikiran, hukum dalam Islam bersifat statis, ajaran zuhud yang terdapat dalam tasawuf, dan hancurnya Baghdad sebagai pusat kemajuan pemikiran umat Islam di pertengahan abad ketiga belas.
Dan Muhammad Iqbal ini meninggal pada tanggal 21 April 1938, di Lahore.
Relasi Filsafat dan Religiusitas
Landasan Iqbal dalm filsafat terlihat pada kritiknya kepada filsafat skolastik dalam argumentasinya tentang adanya Tuhan, yaitu argumen kosmologis, teleologis, dan ontologis. Argumen kosmologis menganggap dunia sebagai suatu akibat yang terbatas. Dengan melalui sebab akibat kita akan sampai pada suatu sebab pertama, yakni suatu sebab yang tidak diakibatkan oleh adanya sesuatu yang lain. Argumen teleologis menyelidiki akibat untuk menemukan sifat-sifat sebabnya. Dengan meninjau keadaan, melihat tujuan, dan adaptasinya ke dalam alam. Argumen ontologis senantiasa menarik-hati alam pikiran spekulatif.
Muhammad iqbal menganggap bahwa para filsuf skolastik telah gagal dalam membuktikan argumennya. Menurutnya kegagalan mereka karena mereka menganggap pikiran sebagai sesuatu yang bekerja atas benda-benda, dan di luar benda-benda itu. Menurut Iqbal, pikiran bukanlah sesuatu yang asing bagi kodrat benda yang sebenarnya. Pikiran merupakan landasan mereka yang utama dalam membentuk wujud mereka yang masuk ke dalam mereka sejak awal dan yang mengilhami mereka untuk maju sampai pada akhir. Arti yang sesungguhnya dari argumenontologis dan teleologis akan tampak apabila kita dapat menunjukkan bahwa situasi manusia final dan pikiran dan realitas sesungguhnya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.
Di dalam kehidupan religius pada umumnya terdapat tiga tahap dalam suatu agama, yakni keyakinan, pemikiran, dan penemuan. Pertama, kehidupan religius muncul dalam bentuk disiplin yang harus diterima oleh seseorang atau sekelompok manusia, sebagai suatu perintah tanpa syarat dan tanpa pengertian yang rasional tentang makna dan tujuan dari perintah tersebut. Kedua, kehidupan religius mencari landasan pada semacam metafisika suatu pandangan yang logis mengenai dunia, dengan Tuhan sebagai suatu bagian dari pandangan tersebut. Ketiga, metafisika digeser tempatnya oleh psikologi, dan kehidupan religius mengembangkan hasrat mengadakan hubungan langsung dengan realitas terakhir.
Pada tahap terakhir agana lebih dikenal dengan istilah mistik yang dianggap merupakan batin yang menolak hidup, menghindari fakta dan langsung berlawanan dengan pendapat empiris yan radikal di zaman ini. Namun agama yang lebih tinggi, yang menuju pada kehidupan yang lebih besar pada hakikatnya adalah pengalaman dan pengakuan terhadap pentingnya pengalaman sebagai dasar, jauh sebelum ilmu pengetahuan mengetahuinya.
Filsafat adalah penelaahan secara bebas, segala macam ketentuan diragukannya. Hal ini bertujuan untuk mengikuti rekaan-rekaan pikiran manusia yang tidak kritis sampai pada tempat yang masih tersembunyi, yang berakhir dengan menerima atau menolak secara hati terbuka kelemahan akal untuk sampai pada kebenaran tertinggi. Sedangkan agama pada intinya adalah iman. Dimana iman itu merupakan sesuatu yang bukan hanya sekedar perasaan saja, tetapi meliputi pengertian yang didalamnya terdapat berbagai golongan-golongan hadir dan saling bertentangan, seperti golongan skolastik dan mistik.
Menurutnya Agama dari segi ajarannya seperti yang diuraikan prof. Whitehead yaitu merupakan suatu sistem kebenaran umum yang membawa akibat merubah watak manusia bila benar-benar dipegang dan dipahami sepenuh-penuhnya. Jadi, perubahan watak dan tuntutan hidup manusia baik secara lahir maupun batin juga menjadi tujuan bagi suatu agama. Sedangkan jika dilihat dari segi tugas, dari prinip yang tinggi agama lebih membutuhkan suatu dasar rasional daripada hanya sekedar dogma-dogma ilmu pengetahuan belaka.
Filsafat mempunyai kekuasaan untuk menilai agama, tetapi apa yang dinilainya itu hanya bagian-bagian tertentu saja. Karena di dalam agama suatu nilai tentu sudah terbentuk sedemikian rupa sehingga tidak dapat begitu saja untuk takluk pada suatu kekuasaan, kecuali dengan syarat-syarat tersendiri. Sementara itu, jika agama berada dalam suatu penilaian, filsafat tidak dapat menempatkannya lebih rendah dari perangkat yang dibandingkan itu sendiri. Sebab agama bukan hanya masalah sebagian kehidupan manusia, pikiran, perasaan, dan amalan saja. Tetapi agama merupakan pernyataan manusia secara lengkap dan seutuh-utuhhya. Jadi dalam menilai, filsafat harus mengakui posisi agama sebagai yang asasi. Selain iu juga tidak dapat disangkal bahwa pikiran dan intuisi itu pada dasarnya saling bertentangan. Namun keduanya itu ada untuk saling melengkapi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa realitas yang terakhir adalah suatu kehidupan kreatif yang terarah secara rasional. Menafsikan kehidupan ini sebagai suatu ego, bukan sekedar bemaksud menggambarkan Tuhan dalam bentuk manusia. Ini sekedar menerima fakta yang sederhana dari pengalaman kita, bahwa hidup bukanlah suatu arus tak berbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur. Kerja pikiran, yang secara esensial bersifat simbolik, menyelubung kodrat sejati kehidupan serta hanya dapat menggambarkannya sebagai semacam arus universal yang mengalir melalui benda-benda. Hasil tinjauan tentang hidup yang dilakukan oleh intelek karena itu dengan sendirinya bersifat panteistik. Demikianlah fakta-fakta pengalaman memberikan kesimpulan, bahwa kondrat Realitas sesungguhya adalah ruhani, dan harus di gambarkan sebagai suatu ego. Tetapi aspirasi agama menjangkau lebih tinggi dari aspirasi filsafat. Filsafat adalah suatu peninjauan tentang benda-benda dengan menggunakan intelek; dan dengan demikian filsafat tidak hendak lebih jauh melampaui kesempitan suatu konsep, yang menciut segala keragaman pengalaman dalam suatu sistem. Filsafat melihat realitas seolah dari kejauhan. Sementara agama berusaha mencapai suatu hubungan yang lebih dekat. Yang satu merupakan teori; yang lain merupakan pengalaman yang hidup, asosiasi, serta hubungan mesra. Untuk mencapai hubungan mesra ini pikiran harus tegak lebih tinggi lagi, dan mendapatkan kepuasannya dalam satu sikap kesadaran yang oleh agama disebut salat.
DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, Muhammad.The Secrets of The Self: a Philoshopical Poem,Trans. By R.A Necolson. Lahore : Syeikh Muhammad Asraf Kasmiri Bazar. 1950
Hilal, Abdul Aleem. Social Philosophy of Sir Muhammad Iqbal. India: Adam Publishers & Distributors. 1995.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.1996.
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya. Bandung: Pustaka Setia. 2009.
Mengenai pemikirannya tentang relasi antara agama dan filsafat. Dalam Filsafat skolastik mengajukan tiga argumentasi tentang adanya Tuhan, yakni argument yang pertama adalah argument kosmologi, sedangkan argument yang kedua adalah argument teologis, dan yang terakhir adalah argument ontologis.
Dari pemaparan di atas, perlu sekiranya kami bahas kembali secara detail tetang tema diskusi kali ini. Bertujuan untuk benar-benar memahami hal tersebut. Agar pembaca terutama penulis dapat memahami betul tentang tema yang satu ini. Dan harapnya bisa menjadi bahan pertimbangan terhadap yang telah kita ketahui selama ini.
Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir pada tanggal 9 November 1877, di Sialkot sekarang Pakistan. Ia dilahirkan dari keturunan Brahmana yang hidup di lembah Kasmhir, yang terkenal dengan kebijaksanaan rum dan Tabriz-nya. Dan kasta mereka memeluk islam sekitar abad ke-17 M. Ayahnya bernama Syaikh Noor Muhammad yang juga merupakan seorang sufi yang suci. Selain dianggap sebagai sufi ia juga bekerja sebagai seorang pedagang. Sedangkan, ibunya bernama Imam Bibi yang juga sangat taat pada agama.
Iqbal sudah mulai belajar ketika berumur 12 tahun, ia dikirim oleh ayahnya di sekolah Maulvi Mir Hasan untuk belajar Al-Qur’an di Sialkot. Sekolah ini mengajarkan Islamic Studies dan Theology. Disana ia juga belajar bahasa Arab dan Persia, kemudian Mir Hasan melihat bahwa Iqbal mempunyai bakat dalam puisi. Pada tahun 1893 ia belajar di Scotch Mission College, Sialkot, pada tahun pertamanya ia memfokuskan diri untuk belajar seni bebas. Disana ia banyak belajar mengenai puisi, terutama dalam bahasa Arab, Persia, dan Urdu.
Setelah belajar cukup lama di Sialkot, sekitar tahun 1895 ia melanjutkan studinya di Lahore. Ia belajar tentang Filsafat, bahasa Arab dan Inggris. Disini ia juga bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang kemudian mendorong iqbal untuk melanjutkan studinya lagi ke Inggris. Kemudian pada tahun 1905 ia masuk di Universitas Cambridge untuk mempelajari Filsafat. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich, Jerman. Disinilah ia memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang tasawuf dengan disertasinya The Development of Metaphysics in Persia.
Pada tahun 1908 ia kembali ke Lahore untuk menjadi pengacara dan dosen filsafat. Setelah itu ia kemudian masuk ke dunia politik dan pada tahun 1930 ia terpilih sebagai presiden Liga Muslim. Pemikirannya sangat berpengaruh terhadap gerakan pembaharuan Islam. Pendapatnya bahwa mengenai kemunduran Islam selama 500 tahun erakhir disebabkan karena kebekuan dalam pemikiran, hukum dalam Islam bersifat statis, ajaran zuhud yang terdapat dalam tasawuf, dan hancurnya Baghdad sebagai pusat kemajuan pemikiran umat Islam di pertengahan abad ketiga belas.
Dan Muhammad Iqbal ini meninggal pada tanggal 21 April 1938, di Lahore.
Relasi Filsafat dan Religiusitas
Landasan Iqbal dalm filsafat terlihat pada kritiknya kepada filsafat skolastik dalam argumentasinya tentang adanya Tuhan, yaitu argumen kosmologis, teleologis, dan ontologis. Argumen kosmologis menganggap dunia sebagai suatu akibat yang terbatas. Dengan melalui sebab akibat kita akan sampai pada suatu sebab pertama, yakni suatu sebab yang tidak diakibatkan oleh adanya sesuatu yang lain. Argumen teleologis menyelidiki akibat untuk menemukan sifat-sifat sebabnya. Dengan meninjau keadaan, melihat tujuan, dan adaptasinya ke dalam alam. Argumen ontologis senantiasa menarik-hati alam pikiran spekulatif.
Muhammad iqbal menganggap bahwa para filsuf skolastik telah gagal dalam membuktikan argumennya. Menurutnya kegagalan mereka karena mereka menganggap pikiran sebagai sesuatu yang bekerja atas benda-benda, dan di luar benda-benda itu. Menurut Iqbal, pikiran bukanlah sesuatu yang asing bagi kodrat benda yang sebenarnya. Pikiran merupakan landasan mereka yang utama dalam membentuk wujud mereka yang masuk ke dalam mereka sejak awal dan yang mengilhami mereka untuk maju sampai pada akhir. Arti yang sesungguhnya dari argumenontologis dan teleologis akan tampak apabila kita dapat menunjukkan bahwa situasi manusia final dan pikiran dan realitas sesungguhnya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.
Di dalam kehidupan religius pada umumnya terdapat tiga tahap dalam suatu agama, yakni keyakinan, pemikiran, dan penemuan. Pertama, kehidupan religius muncul dalam bentuk disiplin yang harus diterima oleh seseorang atau sekelompok manusia, sebagai suatu perintah tanpa syarat dan tanpa pengertian yang rasional tentang makna dan tujuan dari perintah tersebut. Kedua, kehidupan religius mencari landasan pada semacam metafisika suatu pandangan yang logis mengenai dunia, dengan Tuhan sebagai suatu bagian dari pandangan tersebut. Ketiga, metafisika digeser tempatnya oleh psikologi, dan kehidupan religius mengembangkan hasrat mengadakan hubungan langsung dengan realitas terakhir.
Pada tahap terakhir agana lebih dikenal dengan istilah mistik yang dianggap merupakan batin yang menolak hidup, menghindari fakta dan langsung berlawanan dengan pendapat empiris yan radikal di zaman ini. Namun agama yang lebih tinggi, yang menuju pada kehidupan yang lebih besar pada hakikatnya adalah pengalaman dan pengakuan terhadap pentingnya pengalaman sebagai dasar, jauh sebelum ilmu pengetahuan mengetahuinya.
Filsafat adalah penelaahan secara bebas, segala macam ketentuan diragukannya. Hal ini bertujuan untuk mengikuti rekaan-rekaan pikiran manusia yang tidak kritis sampai pada tempat yang masih tersembunyi, yang berakhir dengan menerima atau menolak secara hati terbuka kelemahan akal untuk sampai pada kebenaran tertinggi. Sedangkan agama pada intinya adalah iman. Dimana iman itu merupakan sesuatu yang bukan hanya sekedar perasaan saja, tetapi meliputi pengertian yang didalamnya terdapat berbagai golongan-golongan hadir dan saling bertentangan, seperti golongan skolastik dan mistik.
Menurutnya Agama dari segi ajarannya seperti yang diuraikan prof. Whitehead yaitu merupakan suatu sistem kebenaran umum yang membawa akibat merubah watak manusia bila benar-benar dipegang dan dipahami sepenuh-penuhnya. Jadi, perubahan watak dan tuntutan hidup manusia baik secara lahir maupun batin juga menjadi tujuan bagi suatu agama. Sedangkan jika dilihat dari segi tugas, dari prinip yang tinggi agama lebih membutuhkan suatu dasar rasional daripada hanya sekedar dogma-dogma ilmu pengetahuan belaka.
Filsafat mempunyai kekuasaan untuk menilai agama, tetapi apa yang dinilainya itu hanya bagian-bagian tertentu saja. Karena di dalam agama suatu nilai tentu sudah terbentuk sedemikian rupa sehingga tidak dapat begitu saja untuk takluk pada suatu kekuasaan, kecuali dengan syarat-syarat tersendiri. Sementara itu, jika agama berada dalam suatu penilaian, filsafat tidak dapat menempatkannya lebih rendah dari perangkat yang dibandingkan itu sendiri. Sebab agama bukan hanya masalah sebagian kehidupan manusia, pikiran, perasaan, dan amalan saja. Tetapi agama merupakan pernyataan manusia secara lengkap dan seutuh-utuhhya. Jadi dalam menilai, filsafat harus mengakui posisi agama sebagai yang asasi. Selain iu juga tidak dapat disangkal bahwa pikiran dan intuisi itu pada dasarnya saling bertentangan. Namun keduanya itu ada untuk saling melengkapi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa realitas yang terakhir adalah suatu kehidupan kreatif yang terarah secara rasional. Menafsikan kehidupan ini sebagai suatu ego, bukan sekedar bemaksud menggambarkan Tuhan dalam bentuk manusia. Ini sekedar menerima fakta yang sederhana dari pengalaman kita, bahwa hidup bukanlah suatu arus tak berbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur. Kerja pikiran, yang secara esensial bersifat simbolik, menyelubung kodrat sejati kehidupan serta hanya dapat menggambarkannya sebagai semacam arus universal yang mengalir melalui benda-benda. Hasil tinjauan tentang hidup yang dilakukan oleh intelek karena itu dengan sendirinya bersifat panteistik. Demikianlah fakta-fakta pengalaman memberikan kesimpulan, bahwa kondrat Realitas sesungguhya adalah ruhani, dan harus di gambarkan sebagai suatu ego. Tetapi aspirasi agama menjangkau lebih tinggi dari aspirasi filsafat. Filsafat adalah suatu peninjauan tentang benda-benda dengan menggunakan intelek; dan dengan demikian filsafat tidak hendak lebih jauh melampaui kesempitan suatu konsep, yang menciut segala keragaman pengalaman dalam suatu sistem. Filsafat melihat realitas seolah dari kejauhan. Sementara agama berusaha mencapai suatu hubungan yang lebih dekat. Yang satu merupakan teori; yang lain merupakan pengalaman yang hidup, asosiasi, serta hubungan mesra. Untuk mencapai hubungan mesra ini pikiran harus tegak lebih tinggi lagi, dan mendapatkan kepuasannya dalam satu sikap kesadaran yang oleh agama disebut salat.
DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, Muhammad.The Secrets of The Self: a Philoshopical Poem,Trans. By R.A Necolson. Lahore : Syeikh Muhammad Asraf Kasmiri Bazar. 1950
Hilal, Abdul Aleem. Social Philosophy of Sir Muhammad Iqbal. India: Adam Publishers & Distributors. 1995.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.1996.
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya. Bandung: Pustaka Setia. 2009.
Comments
Post a Comment