AJARAN ZIKIR TAREKAT SYATTARIYAH DAN PENYEBARANNYA
SEJARAH TAREKAT S SYATTARIYAH DAN PENYEBARANNYA
Tarekat Syattariyah ini didirikan oleh Syekh ‘Abd Allah al-Syaththari (w. 890/1485 M). Ia merupakan seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din ‘Umar Suhrawardi, ulama sufi yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah. Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran atau Transoxiana (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyyah yang dinisbatkan kepada Abu Yazid Al-Isyqi, sedangkan di wilayah Turki Usmani tarekat ini disebut Bistamiyah yang dinisbatkan kepada Abu Yazid al-Bustami. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syatariyah tidak menganggap sebagai cabang dari persatuan sufi manapun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktek.
Namun karena popularitas tarekat isyqiyyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan semakin memudar akibat perkembangan tarekat Naqsyabandiyah, Abdullah Asy-Syatar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mandu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Sebagai sebuah gerakan ekspansi keagamaan di wilayah India. Dan di India inilah ia mempeoleh popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut. Pada masa ini lebih mengarahkan perjuangannya untuk meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual, melalui penyebaran pelbagai ajaran Islam. Dan dalam upaya ini, Syekh ‘Abd Allah al-Syattar dengan pengikutnya mengembangkan kecenderungan untuk beredaptasi dengan tradisi dan ritual masyarakat setempat yang masih hampir dipengaruhi ajaran atau ritual Hindu.
Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).
Sepeninggal Abdullah Asy-Syatar, Tarekat Syatariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad Al-A’la, yang dikenal sebagai Qazan Syatiri. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghauts dari Gwalior (w. 1562), keturunan keempat dari sang pendiri dari seorang pendiri.
Tradisi tarekat yang bernafas India dibawa ke tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka, Sibgatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihudin dan mendirikan zawiyah di Madinah. Tarekat ini kemudian disebar luaskan dan dipopulerkan dengan bahasa Arab oleh muridnya Ahmad Syimnawi. Begitu juga oleh salah seorang khilafahnya, yang kemudian memegang pucuk kepemimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina Ahmad al-Qusyasyi. Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal Ibrahim al-Kurani asal Turki tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan pengajar Tarekat Syatariyah yang terkenal di wilayah Madinah.
Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Syatariyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul Rauf Singkel, telah ada seorang toko sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran Syatariyah yang berkembang di nusantara lewat bukunya Tuhfat Al-Mursalat Ila Ar-Ruh An-Nabi, sebuah karya yang relative pendek tentang Wahdat al-Wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah al-Burhanpuri, yang juga salah seorang murid Wajihuddin.
Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).
Ulasan diatas merupakan sejengkal historis dan penyebaran dari tarekat Syattariyah, meskipun tidak secara komprehensif.
AJARAN ZIKIR TAREKAT SYATTARIYAH
Dalam kitab Al-Simt al-Majid, Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, khalifah Tarekat Syattariyah di Haramayn, menjelaskan berbagai tuntutan dan ajaran bagi para penganut tarekat, termasuk di dalamnya Tarekat Syattariyah. Kitab ini berisi aturanndan tata tertib menjadi anggota tarekat serta juga berisi tuntunan tentang tata cara zikirnya. Menurut al-Qusyasyi, gerbang pertama bagi seseorang untuk masuk ke dunia tarekat adalah baiat dan talqin.
Meskipun teknis dan tata cara bai’ah dalam berbagai jenis tarekat sering berbeda satu sama lain, namun secara umum terdapat tiga hal penting yang harus dilalui oleh seorang murid yang akan melakukan bai’ah. Pertama talqan al-zikr (mengulang-ngulang zikir tertentu), dalam hal ini seorang murid disuruh mengulang-ngulang kalimat la ilaha illa Allah hingga ratusan kali perhari di tempat yang sunyi. Lalu seorang murid diminta untuk malaporkan kepada syaikhnya mengenai firasat atau mimpi yang dia alami: berdasarkan lapoaran tersebut seorang akan menentukan apakah calon murid tersebut sudah boleh menerima kalimat zikir berikutnya. Di antara kalimat zikir dalam hal ini yaitu: la ilaha illa Allah, Ya Allah, Ya Huwa, ya haqq, Ya hay, Ya Qayyum, dan Ya Qadhar. Yang kedua akhu al-ahd (mengambil sumpah), dalam hal ini mengisyaratkan pada ikrark kesetiaan seorang murid untuk patuh kepada syaiknya, dan kepada berbagi aturan serta tuntunan tarekat yang diajarkannya. Dan yang terakhir dalam proses baiat adalah libs al-khirqah (mengenakan jubah), seorang syaikh memberikan atau mengenakan jubah kepada muridnya yang baru saja mengucapkan ikrar bai’ah sebagai tanda masuknya murid kedalam organisasi tarekat.
MACAM-MACAM ZIKIR TAREKAT SYATTARIYAH
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendalikan tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA
Kartanegara, Mulyadhi. Menyilami Lubuk Tasawuf . Jakarta: PT. Gelora Aksara Pramata. 2006
Mulyati, Sri. Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2006
Istadiyantha. Fungsi Tarekat Syattariyah: Suatu Telaah Filologis. dalam “Suntingan Teks dan Analisis Fungsi Tarekat Syattariyah”, Solo: Bina Insani Press, 2007
Tarekat Syattariyah ini didirikan oleh Syekh ‘Abd Allah al-Syaththari (w. 890/1485 M). Ia merupakan seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din ‘Umar Suhrawardi, ulama sufi yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah. Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran atau Transoxiana (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyyah yang dinisbatkan kepada Abu Yazid Al-Isyqi, sedangkan di wilayah Turki Usmani tarekat ini disebut Bistamiyah yang dinisbatkan kepada Abu Yazid al-Bustami. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syatariyah tidak menganggap sebagai cabang dari persatuan sufi manapun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktek.
Namun karena popularitas tarekat isyqiyyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan semakin memudar akibat perkembangan tarekat Naqsyabandiyah, Abdullah Asy-Syatar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mandu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Sebagai sebuah gerakan ekspansi keagamaan di wilayah India. Dan di India inilah ia mempeoleh popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut. Pada masa ini lebih mengarahkan perjuangannya untuk meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual, melalui penyebaran pelbagai ajaran Islam. Dan dalam upaya ini, Syekh ‘Abd Allah al-Syattar dengan pengikutnya mengembangkan kecenderungan untuk beredaptasi dengan tradisi dan ritual masyarakat setempat yang masih hampir dipengaruhi ajaran atau ritual Hindu.
Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).
Sepeninggal Abdullah Asy-Syatar, Tarekat Syatariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad Al-A’la, yang dikenal sebagai Qazan Syatiri. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghauts dari Gwalior (w. 1562), keturunan keempat dari sang pendiri dari seorang pendiri.
Tradisi tarekat yang bernafas India dibawa ke tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka, Sibgatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihudin dan mendirikan zawiyah di Madinah. Tarekat ini kemudian disebar luaskan dan dipopulerkan dengan bahasa Arab oleh muridnya Ahmad Syimnawi. Begitu juga oleh salah seorang khilafahnya, yang kemudian memegang pucuk kepemimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina Ahmad al-Qusyasyi. Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal Ibrahim al-Kurani asal Turki tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan pengajar Tarekat Syatariyah yang terkenal di wilayah Madinah.
Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Syatariyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul Rauf Singkel, telah ada seorang toko sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran Syatariyah yang berkembang di nusantara lewat bukunya Tuhfat Al-Mursalat Ila Ar-Ruh An-Nabi, sebuah karya yang relative pendek tentang Wahdat al-Wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah al-Burhanpuri, yang juga salah seorang murid Wajihuddin.
Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).
Ulasan diatas merupakan sejengkal historis dan penyebaran dari tarekat Syattariyah, meskipun tidak secara komprehensif.
AJARAN ZIKIR TAREKAT SYATTARIYAH
Dalam kitab Al-Simt al-Majid, Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, khalifah Tarekat Syattariyah di Haramayn, menjelaskan berbagai tuntutan dan ajaran bagi para penganut tarekat, termasuk di dalamnya Tarekat Syattariyah. Kitab ini berisi aturanndan tata tertib menjadi anggota tarekat serta juga berisi tuntunan tentang tata cara zikirnya. Menurut al-Qusyasyi, gerbang pertama bagi seseorang untuk masuk ke dunia tarekat adalah baiat dan talqin.
- Tetntang Talqin
- Baiat dan tata caranya
Meskipun teknis dan tata cara bai’ah dalam berbagai jenis tarekat sering berbeda satu sama lain, namun secara umum terdapat tiga hal penting yang harus dilalui oleh seorang murid yang akan melakukan bai’ah. Pertama talqan al-zikr (mengulang-ngulang zikir tertentu), dalam hal ini seorang murid disuruh mengulang-ngulang kalimat la ilaha illa Allah hingga ratusan kali perhari di tempat yang sunyi. Lalu seorang murid diminta untuk malaporkan kepada syaikhnya mengenai firasat atau mimpi yang dia alami: berdasarkan lapoaran tersebut seorang akan menentukan apakah calon murid tersebut sudah boleh menerima kalimat zikir berikutnya. Di antara kalimat zikir dalam hal ini yaitu: la ilaha illa Allah, Ya Allah, Ya Huwa, ya haqq, Ya hay, Ya Qayyum, dan Ya Qadhar. Yang kedua akhu al-ahd (mengambil sumpah), dalam hal ini mengisyaratkan pada ikrark kesetiaan seorang murid untuk patuh kepada syaiknya, dan kepada berbagi aturan serta tuntunan tarekat yang diajarkannya. Dan yang terakhir dalam proses baiat adalah libs al-khirqah (mengenakan jubah), seorang syaikh memberikan atau mengenakan jubah kepada muridnya yang baru saja mengucapkan ikrar bai’ah sebagai tanda masuknya murid kedalam organisasi tarekat.
MACAM-MACAM ZIKIR TAREKAT SYATTARIYAH
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendalikan tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
- Dzikir Thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
- Dzikir Nafi Itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
- Dzikir Itsbat Faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
- Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
- Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya ilahi.
- Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang suluk senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya ilahi.
- Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
- Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
- Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
- Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
- Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
- Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan menepati janji.
- Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
- Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
- Menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain.
- Menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain.
- Menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Kartanegara, Mulyadhi. Menyilami Lubuk Tasawuf . Jakarta: PT. Gelora Aksara Pramata. 2006
Mulyati, Sri. Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2006
Istadiyantha. Fungsi Tarekat Syattariyah: Suatu Telaah Filologis. dalam “Suntingan Teks dan Analisis Fungsi Tarekat Syattariyah”, Solo: Bina Insani Press, 2007
Comments
Post a Comment