Mengenali Faktor-faktor SAPI SULIT BUNTING

Sapi kawin berulang (repeat breeding) adalah sapi betina yang mempunyai siklus dan periode birahi yang normal yang sudah dikawinkan 2 kali atau lebih dengan pejantan fertil atau diinseminasi dengan semen pejantan fertil tetapi tetap belum bunting (Toelihere, 1981). 

Kawin berulang bisa menjadi faktor utama ketidaksuburan. Kawin berulang dapat terjadi apabila sapi betina yang belum bunting setelah tiga kali atau lebih kawin. Dalam kelompok hewan fertil yang normal, dimana kecepatan pembuahan biasanya 50-55%, kira-kira 9-12% sapi betina menjadi sapi yang kawin berulang (Brunner, 1984). 


Menurut Zemjanis (1980) secara umum kawin berulang disebabkan oleh 2 faktor utama yaitu :
  1. Kegagalan pembuahan/fertilisas 
  2. Kematian embrio dini
Pada kelompok lain, bangsa ternak yang bereproduksi normal, kegagalan pembuahan dan kematian embrio dini dapat mencapai 30-40%. Kematian embrio dini pada induk yang normal terjadi karena pada dasarnya embrio sampai umur 40 hari, kondisinya labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang tidak baik atau kekurangan pakan (Hardjopranjoto, 1995). 

1. Kegagalan Pembuahan/fertilisas 
Faktor kegagalan pembuahan merupakan faktor utama penyebab kawin berulang sapi, termasuk dalam faktor ini adalah : 
  • Anatomi Saluran Reproduksi 
Menurut Hardjopranjoto (1995), kelainan anatomi dapat bersifat genetik dan non genetik. Kelainan anatomi saluran reproduksi ini ada yang mudah diketahui secara klinis dan ada yang sulit diketahui, yaitu seperti : 
  1. Tersumbatnya tuba falopii
  2.  Adanya adhesi antara ovarium dengan bursa ovarium
  3. Lingkungan dalam uterus yang kurang baik
  4. Fungsi yang menurun dari saluran reproduksi. 
Meskipun kegagalan pembuahan terjadi pada hewan betina namun faktor penyebab juga terjadi pada hewan jantan atau dapat disebabkan karena faktor manajemen yang kurang baik (Zemjanis, 1980). 
  • Kelainan Ovulasi 
Kelainan ovulasi dapat menyebabkan kegagalan pembuahan sehingga akan menghasilkan sel telur yang belum cukup dewasa sehingga tidak mampu dibuahi oleh sperma dan menghasilkan embrio yang tidak sempurna (Hardjopranjoto, 1995). Kelainan ovulasi dapat disebabkan oleh : 
  1. Kegagalan ovulasi karena adanya gangguan hormon dimana karena kekurangan atau kegagalan pelepasan LH (Toelihere, 1981). Kegagalan ovulasi dapat disebabkan oleh endokrin yang tidak berfungsi sehingga mengakibatkan perkembangan kista folikuler (Zemjanis, 1980). 
  2. Ovulasi yang tertunda (delayed ovulation). Normalnya ovulasi terjadi 12 jam setelah estrus. Ovulasi tidak sempurna biasanya berhubungan dengan musim dan nutrisi yang jelek (Arthur, 1975). 
  3. Ovulasi ganda adalah ovulasi dengan dua atau lebih sel telur. Pada hewan monopara seperti sapi, kerbau, kasusnya mencapai 13,19% . (Hardjopranjoto, 1995). 
  • Sel Telur Yang Abnormal 
Beberapa tipe morfologi dan abnormalitas fungsi telah teramati dalam sel telur yang tidak subur seperti; sel telur raksasa, sel telur berbentuk lonjong (oval), sel telur berbentuk seperti kacang dan zona pellucida yang ruptur (Hafez, 1993). Kesuburan yang menurun pada induk-induk sapi tua mungkin berhubungan dengan kelainan ovum, ovum yang sudah lama  diovulasikan menyebabkan kegagalan fertilisasi (Toelihere, 1981). 
  • Sperma Yang Abnormal 
Sperma yang mempunyai bentuk abnormal menyebabkan kehilangan kemampuan untuk membuahi sel telur di dalam tuba falopii. Kasus kegagalan proses pembuahan karena sperma yang bentuknya abnormal mencapai 24-39% pada sapi induk yang menderita kawin berulang dan 12-13% pada sapi dara yang menderita kawin berulang (Hardjopranjoto, 1995). 
  • Kesalahan Pengelolaan Reproduksi 
Kesalahan pengelolaan reproduksi dapat berupa : 
  1. Kurang telitinya dalam deteksi birahi sehingga terjadi kesalahan waktu untuk diadakan inseminasi buatan (Toelihere, 1981). Deteksi birahi yang tidak tepat menjadi penyebab utama kawin berulang, karena itu program deteksi birahi harus selalu dievaluasi secara menyeluruh. Saat deteksi birahi salah, birahi yang terjadi akan kecil kemungkinan terobservasi dan lebih banyak sapi betina diinseminasi berdasarkan tanda bukan birahi, hal ini menyebabkan timing inseminasi tidak akurat sehingga akan engalami kegagalan pembuahan (Brunner, 1984). 
  2. Penyebab kawin berulang meliputi kualitas sperma yang tidak baik dan teknik inseminasi yang tidak tepat (Brunner, 1984). 
  3. Sapi betina yang mengalami metritis, endometritis, cervitis dan vaginitis dapat menjadi penyebab kawin berulang pada sapi (Brunner, 1984). 
  4. Manajemen pakan dan sanitasi kandang yang tidak baik (Toelihere, 1981). 
  5. Kesalahan dalam memperlakukan sperma, khususnya perlakuan pada semen beku yang kurang benar, pengenceran yang kurang tepat, proses pembekuan sperma, penyimpanan dan thawing yang kurang baik (Toelihere, 1981). 
  6. Faktor manajemen lain seperti pemelihara atau pemilik ternak hendaknya ahli dalam bidang kesehatan reproduksi (Toelihere, 1981). 
2. Kematian Embrio Dini (Early Embrio Death) 
Kematian embrio menunjukkan kematian dari ovum dan embrio yang fertil sampai akhir dari implantasi (Hafez, 1993). Faktor yang mendorong kematian embrio dini adalah :
  • Faktor Genetik 
Kematian embrio dini pada sapi betina sering terjadi karena perkawinan inbreeding atau perkawinan sebapak atau seibu, sehingga sifat jelek yang dimiliki induk jantan maupun betina akan lebih sering muncul pada turunannya (Hardjopranjoto, 1995). 
  • Faktor Laktasi
 Terjadinya kematian embrio dini dapat dihubungkan dengan kurang efektifnya mekanisme pertahanan dari uterus, stres selama laktasi dan regenerasi endometrium yang belum sempurna (Hafez, 1993).
  • Faktor Infeksi
Apabila terjadi kebuntingan pada induk yang menderita penyakit kelamin dapat diikuti dengan kematian embrio dini atau abortus yang menyebabkan infertilitas (Hardjopranjoto, 1995). 
  • Brucellosis
Brucellosis pada sapi telah menyebar dan bersifat zoonosis. Kontrol aktif dapat dilakukan dengan uji brucella, pemotongan dan vaksinasi pada sapi dara. Brucellosis menyababkan abortus pada pertengahan kebuntingan sampai akhir kebuntingan (7- 9 bulan) pada sapi yang tidak divaksin. Organisme masuk lewat membrane mukosa, ambing, nodus limpatikus dan uterus, menyebabkan plasentitis yang akut atau kronis diikuti dengan abortus atau stillbirth dalam waktu 2 minggu sampai 5 bulan setelah infeksi. Kotiledon yang terinfeksi mungkin normal sampai nekrotik, merah atau kuning, dan di sekitar interkotiledon mengalami penebalan. Fetus mungkin normal atau nekrotik dengan bronchopneumonia. Diagnosisnya dengan uji seroligik dan induk dan FAT dan plasenta dan fetus. Isolasi bakteri bias dan plasenta, fetus dan leleran vagina (Anonim, 2018).
    Penyebab brucellosis pada sapi adalah Brucella abortus sedangkan pada kambing/ domba adalah Brucella melitensis. Bersifat zoonosis dan menyebabkan demam undulan pada manusia bila mengkonsumsi susu yang tercemar B.abortus. Bakteri ini tergolong genus Brucella, famili Brucella ceae . Sifat-sifat bakteri ini adalah : Gram negatif, berbentuk batang halus (kokus basilus), panjang 0,6- 1,5 mikron dan lebar 0,5-0,7 mikron (Meyer, 1984). Dewasa ini diketahui bahwa Brucella abortus memiliki 9 biotipe (biotipe 1 - 9) . Perbedaan di antara biotipe tersebut didasarkan atas perbedaan sifat-sifat biologik dan biokemiknya, dan yang paling banyak ditemukan pada sapi adalah biotipe 1 (Meyer, 1984) . Sifat-sifat biologik lainnya dari bakteri B. abortus adalah bila terdapat di luar tubuh inang tidak tahan terhadap pemanasan dan desinfektan. Sifat ini penting diketahui dalam hubungannya dengan upaya penanggulangannya, yakni dengan memutus siklus penularannya . Bakteri B. abortus bila terdapat di dalam tubuh inang, dapat tumbuh di dalam sel (fakultatif intraseluler) dan sulit untuk difagosit oleh sel-sel makrofag (Frienchick dkk., 1985) .

    Brucellosis dapat menular melalui eksudat (lendir) alat kelamin, selaput lendir mata, makanan dan air yang tercemar ataupun melalui IB dari semen yang terinfeksi. Sapi dapat tertular brucellosis melalui saluran pencernaan setelah memakan atau meminum bahan (makanan) yang tercemar oleh bahan yang di abortuskan . Sedangkan manusia dapat tertular setelah minum susu sapi atau kambing yang terinfeksi tanpa dipasteurisasi terlebih dahulu. Dengan suatu percobaan dapat dibuktikan bahwa penularan pada sapi dapat juga melalui selaput lendir konjuntiva, goresan pada kulit atau dengan inseminasi yang semennya tercemar oleh bakteri brucella (Brubaker, 1985). Setelah bakteri masuk ke dalam tubuh, akhirnya menyebar dan menetap pada organ tubuh melalui pembuluh darah dan limfe. Terkumpulnya bakteri di dalam saluran reproduksi terutama di placenta dan endometrium sapi yang sedang bunting sangat didukung oleh adanya zat penumbuh yang dikenal dengan nama eritritol (sifat spesifitas jaringan). Pada bentuk infeksi yang akut, bakteri brucella selain bermukim di dalam placenta, juga di dalam lambung dan paru-paru foetus (janin) dan di keluarkan bersama-sama foetus dan cairan uterus waktu abortus . Pada bentuk infeksi yang kronis, pada sapi betina dewasa bakteri bermukim di dalam kelenjar susu, kelenjar limfe supramammae, retrofaringeal, iliaka interna dan eksterna . Oleh karena itu bakteri dapat dikeluarkan bersama air susu. Pada sapi jantan, bakteri brucella bermukim di dalam testis, epididimis, vas diferen dan kelenjar vesikularis, sehingga bakteri dapat dikeluarkan bersama semen (mani) sewaktu ejakulasi (Nicoletti, 1980; Partodihardjo, 1980). 
    • Vibriosis 
    Penyebabnya adalah Vibrio fetus veneralis atau Campylobacter foetus veneralis. Dapat menular melalui perkawinan dengan pejantan tercemar. Gejala yang timbul diataranya: endometritis dan kadang – kadang salpingitis dengan leleran mukopurulen, siklus estrus diperpanjang ± 32 hari, kematian embrio, abortus pada trisemester 2 kebuntingan dan terjadinya infertilitas karena kematian embrio dini.

    Pengendaliannya yaitu dengan cara IB dengan semen sehat, istirahat kelamin selama 3 bulan pada hewan yang terinfeksi, vaksinasi dengan bakterin 30-90 hari sebelum dikawinkan atau setiap tahun. Pengobatan dengan infuse (pemasukan) antibiotika spektrum luas secara intra uterin, injeksi pejantan dengan dihydrostreptomisin dosis 22 mg/kg BB secara subkutan (di bawah kulit). 
    • Endometritis Subklinis 
    Endometritis adalah peradangan pada lapisan endometrium uterus, biasanya terjadi sebagai suatu hasil dari infeksi bakteri patogen terutama terjadi melalui vagina dan menerobos serviks sehingga mengkontaminasi uterus selama partus, membuat involusi uterus menjadi tertunda dan performa reproduksi memburuk. Sehingga menyebabkan kerugian secara ekonomis (Kasimanickam et al., 2005). Tingkat kejadian endometritis di Indonesia cukup tinggi (20-40%), rata-rata 10 - 80% tergantung pada bervariasinya faktor ekternal dan internal saat melakukan metode diagnosa (Dolezel et al. 2008).  

    Keradangan pada endometrium uterus ini juga dapat disebabkan infeksi sekunder yang berasal dari bagian lain tubuh sehingga dapat menyebabkan gangguan reproduksi pada hewan betina. Penyebab lain adalah karena kelanjutan dari abnormalitas partus seperti abortus, retensi plasenta, kelahiran prematur, kelahiran kembar, distokia serta perlukaan pada saat membantu kelahiran (Ball dan Peters 2004). Berat tidaknya endometritis tergantung pada keganasan bakteri yang menginfeksi, jumlah bakteri dan ketahanan tubuh hewan penderita. Bentuk infertilitas yang terjadi antara lain matinya embrio yang masih muda karena pengaruh mikroorganisme atau terganggunya perlekatan embrio pada dinding uterus (Ball dan Peters 2004).

    Endometritis digolongkan menjadi dua kelompok yaitu endometritis klinis dan endometritis subklinis. Endometritis klinis digambarkan dengan adanya purulen atau mucopurulen discharge yang dapat ditemukan pada bagian luar atau pada anterior vagina atau dengan diameter serviks lebih dari 7,5 cm setelah hari ke 26 pospartum. Endometritis subklinis digambarkan dengan ukuran serviks ≤7,5 cm dan/atau cairan abnormal pada lumen uterus dan adanya poliymorphonuclear leukocytes (PMN) dalam sampel sitologi uterus dan/atau gambaran ultrasonografi dari cairan yang ada dalam lumen uterus setelah 21 hari postpartum (Gilbert et al. 1998). 

    Agen infeksi biasanya masuk ke dalam uterus melalui vagina pada saat koitus, inseminasi buatan, partus, dan atau postpartus, walaupun memugkinkan juga pada suatu keadaan agen infeksi berasal dari sirkulasi. Pada kebanyakan kasus, agen infeksi tersebut berasal dari kontaminasi uterus postpartus tetapi biasanya flora tersebut akan segera dihilangkan.

    Flora tersebut akan tetap tinggal di uterus, sehingga menyebabkan peradangan pada endometrium. Tingkat kontaminasi bakteri pada uterus sangat menentukan terjadi endometritis atau tidak. Patogenesis penyakit ini sangat berhubungan dengan faktor-faktor yang berkaitan dengan kemampuan tubuh hospes untuk mengeliminasi flora tersebut, daripada faktor dari bakteri-bakteri sendiri (Noakes, 2001).

    Endometritis subklinis merupakan endometritis yang tidak tampak gejalanya, biasanya terjadi karena IB yang tidak steril dan legeartis. Akibatnya dapat menyebabkan kegagalan fertilisasi, kegagalan implantasi embrio, dan kematian embrio dini. Riwayat pengawinan mungkin menunjukkan adanya kegagalan konsepsi setelah beberapa kali inseminasi. Penderita bisa nampak sehat, walaupun dengan leleran vulva purulen dan dalam uterusnya teraba timbunan cairan. Pengaruh endometritis terhadap fertilitas adalah dalam jangka pendek, meurunkan kesuburan, calving interval dan S/C naik, sedangkan dalam jangka panjang, menyebabkan sterilitas karena terjadi perubahan traktus reproduksi, sehingga meningkatkan pemotongan (Prihatno, 2004). 
    • IBR-IPV 
    Penyebabnya adalah virus herpes dengan tingkat kematian prenatal dan neonatal cukup tinggi. Penularan dapat melalui air, pakan, kontak langsung maupun tidak langsung. Gejala yang nampak dalam berbagai bentuk, yaitu :
    1. Respiratorik bagian atas (demam, anorexia, depresi, leleran hidung, nodula/ bungkul-bungkul pada hidung, pharynx, trachea, batuk, penurunan produksi susu). 
    2. Konjungtival hiperlakrimasi dengan eksudat mukopurulen, konjungtiva merah dan bengkak, adanya pustula pada konjungtiva dan ulcer nekrotik. 
    3. Digestif neonatal ( septikemia, lesi pada mulut, larynx dan pharynx). 
    4. Meningoencepalitis (kelesuan, inkoordinasi, tremor, mati dalam 3-4 hari).
    5. Vulvovagina (septikemia, pustula dan ulcer pada vagina dan vulva disertai leleran purulen). 
    6. Preputial (pustula dan ulcer pada penis dan preputium). 
    7. Abortus dan prenatal (abortus pada trisemester kebuntingan).
    8.  Intrauterina (endometritis nekrotik, uterus tegang dan edematus). 
    Pengendalian dan pengobatan: Pemberian antibiotik, karantina hewan dan istirahat kelamin selama 3-4 minggu, vaksinasi kombinasi (IBR, IPV dan BVD-MD) (Ratnawati, dkk, 2007). 
    • BVDV 
    Virus BVD-MD menyerang sapi dengan gejala: demam tinggi, depresi, anorexia, diare, lesi pada mukosa mulut dan sistem pencernaan, abortus pada 2-9 bulan kebuntingan serta terjadinya kawin berulang. Pengobatan dengan pemberian antibiotika, pencegahan dengan vaksinasi umur 9-10 bulan. Sanitasi dan desinfeksi kandang dan lingkungan penting untuk diperhatikan (Ratnawati, dkk, 2007). 
    • Trikomoniasis 
    Disebabkan oleh Trichomonas foetus. Berbentuk kumparan atau buah apokat dengan salah satu ujung membulat dan ujung lainnya meruncing berukuran panjang 10 – 25 mikron dan lebar 5 – 15 mikron 3 – 15 mikron. Memiliki inti tunggal berukuran besar dan didekatnya ditemukan blepharoplast. Sepanjang tubuhnya ditemukan axostyle yang berakhir menonjol lewat cincin kromatin dibagian posterior tubuh. Selain itu memiliki 3 flagella anterior, sebuah flagelum posterior yang bebas dan membrane undulans sepanjang tubuhnya. 

    Gejala penyakit ini dibagi menjadi tiga fase akut, sub akut dan kronis yang dapat dibedakan pada sapi, baik pada sapi induk ataupun sapi dara.
    • Fase akut 
    Fase ini ditemukan banyak kegagalan perkawinan setelah adanya pejantan yang baru masuk ke dalam suatu kelompok ternak. Panjang siklus birahi menjadi bervariasi setrelah terjadi perkawinan gagal, dan dapat melebihi 30 hari lamanya. Embrio atau foetusyang diabortuskan, karena masih sangat kecil, jarang dapat dilihat. Dalam waktu dua minggu setelah terjadi penukaran, dapat ditemukan adanya pembengkakan vulva dan jaringan sekitarnya yang disertai keluarnya cairan mukopurulen. Pada pemeriksaan penderita lebih lanjut, mula – mula menunjukkan adanya peradangan mukosa vagina, kemudian diikuti oleh adanya serpihan – serpihan nanah didalam cairan yang keluar dari alat kelamin. 
    • Fase subakut. 
    Pada penularan fase sub akut, banyak peristiwa yang berhasil dan hewan menjadi bunting. Akan tetepi sebelum fase ini berakhir terlihat siklus birahi diperpanjang sampai 70 hari tanpa disertai kejadian abortus yang terlihat. Akan tetapi cairan mukopurulen dari vagina tiba – tiba ditentukan pada ternak lain pada pertengahan pertama kebuntingan. Pembesaran uterus dapat dirasakan melalui palpasi rectal. Pemeriksaan vagina pada saat ini menunjukkan adanya cairan mukous yang jernih disertai dengan serpihan nanah berwarna kelabu mengalir keluar dari alat kelamin. Pada kasus piometra yang lanjut, cairan tersebut bersifat mukopurulen. Pada umur 3 – 5 bulan masa kebuntingan, nanah banyak didapat dalam vagina. Abortus terjadi antara umur kebuntingan beberapa minggu sampai tujuh bulan, dan paling banyak terjadi antara umur kebuntingan empat bulan. Fetus yang terbungkus didalam selaput didalam selaput fetus yang masih utuh, tanpa disertai pembusukan. Jarang sekali fetus mengalami pembusukan dan hancur. Dua sampai tiga hari setelah abortus, cairan mukopurulen masih terlihat mengalir keluar vulva. Setelah abortus, cairan mukopurulen masih terlihat mengalir keluar vulva. Setelah abortus, siklus birahi dapat normal kembali. 
    • Fase kronis 
    Pada fase ini penyakit telah menurun dalam suatu usaha peternakan, namun masih terdapat gejala piometra pada beberapa ekor ternak penderita. Abortus masih timbul secara sporadic, demikian pula siklus birahi yang sifatnya tidak teratur masih ditemukan. Perwakilan dengan pejantan pembawa penyakit, masih dapat berlangsung. Gejala penyakit yang akut biasanya muncul pada beberapa sapi dara yang belum pernah tertular dan tidak mendapatkan kekebalan terhadap penyakit ini. Sesudah beberapa tahun mengalami periode laten atau kronis, trichomoniasis dapat muncul kembali apabila resistensi hewan menurun. 

    Penyebabnya Trichomonas fetus, merupakan penyakit kelamin menular pada sapi yang ditandai dengan penurunan kesuburan (S/C tinggi), abortus dini (4 bulan kebuntingan/ trisemester pertama kebuntingan).

    Penularan dengan kawin alam maupun dengan IB. Pengendaliannya dengan:
    1. IB dengan pejantan sehat 
    2. Istirahat kelamin 
    3. Pemberian antibiotik intra uterin pada betina terinfeksi.
    4. Pemberian estrogen/ PGF2α 
    5. Pejantan kronis diberi bovoflavin/ metronidazole atau dieliminasi. 
                                                              (Ratnawati, dkk, 2007). 
    • Aspergillosis 
    Penyebab utama abortus adalah Aspergillus fumigatus. Selain itu juga bisa disebabkan oleh Mucorales. Terdapat dua jalur utama penularan, 1). melalui inhalasi, masuk paru dan mengikuti aliran darah sampai ke plasenta dan menyebabkan abortus. 2). Melalui ingesti, menyebabkan radang pada rumen, mengikuti aliran darah menuju plasenta dan menimbulkan keradangan sehingga terjadilah abortus. Gejala yang nampak diantaranya: abortus pada 5-7 bulan kebuntingan, fetus mengalami autolisis/lahir lemah, membran fetus (bengkak, nekrotik, lesi plasentoma, kotiledon dan karuncula bengkak, oedem dan nekrotik). Penanganan yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan preparat antijamur dan perbaikan manajemen secara keseluruhan meliputi perbaikan pakan dan manajemen kesehatan yang baik meliputi sapi, kandang dan lingkungannya. 
    • Faktor Kekebalan Antibodi 
    Jika mekanisme imunosupresi tidak berjalan dengan baik, maka antibodi yang terbentuk akan mengganggu perkembangan embrio di dalam uterus (Hafez, 1993). 
    • Faktor Lingkungan 
    Kematian embrio dini dapat meningkat pada hewan induk dimana suhu tubuhnya meningkat (Hafez, 1993). 
    1. Pendidikan Inseminator : Tingkat pendidikan yang tinggi dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman yang lebih bagi seseorang. Inseminator dengan pengetahuan dan pengalaman tinggi mampu membimbing peternak untuk mendeteksi birahi dan peternak lebih yakin untuk mempraktikkan ilmu yang diperoleh dari inseminator. Bimbingan ini diperlukan karena keberhasilan IB bukan hanya ditentukan tepat tidaknyanya deteksi estrus oleh inseminator, tetapi juga oleh pemilik ternak dalam mendeteksi birahi. (Juliana dkk., 2015) 
    2. Jumlah Akseptor : Jumlah akseptor yang tinggi dapat meningkatkan kemampuan serta keterampilan inseminator. Kemampuan dan keterampilan yang baik mengakibatkan inseminator dapat melakukan IB dengan tepat, sehingga kemungkinan ketidakberhasilan inseminasi karena kesalahan inseminator rendah. Inseminator dan peternak merupakan ujung tombak pelaksanaan IB sekaligus sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap berhasil atau tidaknya program IB di lapangan. Oleh karena itu selain inseminator yang handal, deteksi birahi dan pelaporan yang tepat waktu dari peternak kepada inseminator merupakan hal yang penting untuk keberhasilan IB. Inseminator dengan latar pendidikan yang tinggi memiliki pengetahuan manajemen reproduksi yang lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya. Selain itu, peternak antusias untuk melakukan tukar pikiran mengenai aktifitas beternaknya. Oleh sebab itu, inseminator dengan jumlah akseptor dan pendidikan tinggi mampu menciptakan keberhasilan IB yang tinggi, karena memiliki keahlian dan peternak lebih mudah untuk menerima masukan. Salah satu aspek lain yang dapat mempengaruhi kemampuan inseminator untuk menginseminasi akseptor setiap hari adalah jarak (radius) kerja operasionalnya. Rata-rata jarak menuju akseptor yang ditempuh oleh inseminator yaitu 9,6±3,65 km. Radius operasional ini masih bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Hal ini berarti wilayah kerja belum menjadi masalah bagi inseminator. (Juliana dkk., 2015) 
    3. Lama Beternak : Lama beternak mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menerima sesuatu yang baru atau mengadopsi inovasi, berdasarkan parameter umur peternak 25-40 tahun biasanya bersifat pengetrap dini, umur 41-45 pengetrap awal, umur 46-50 tahun pengetrap akhir dan lebih dari 50 tahun dapat menjadi golongan penolak. Peternak yang masih bersifat tradisional melakukan aktifitas beternak berdasarkan ilmu yang diperoleh dari turun-menurun, yang sering kali tidak sesuai dengan ilmu peternakan. Pengetahuan beternak secara belajar lebih baik daripada pengetahuan secara turun temurun, karena jika secara turun temurun pengetahuan peternak sedikit dan hanya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang sudah ada terdahulu. Dengan memperoleh pengetahuan dari belajar, peternak akan dengan mudah mendapatkan informasi-informasi terbaru yang sangat berguna untuk efisiensi reproduksi, sehingga masalah-masalah yang berkaitan dengan reproduksi dapat dikurangi. (Juliana dkk., 2015) 
    4. Jumlah Pemberian Air : Air merupakan komponen penting dan terbesar dalam tubuh hewan dalam bentuk darah. Air sangat dibutuhkan dalam berbagai fungsi biologis dan metabolisme tubuh seperti pengaturan suhu tubuh, membantu proses pencernaan, pengangkut nutrisi, pengaturan hormon, pertumbuhan fetus, produksi susu, dan mengeluarkan bahan-bahan yang sudah tidak berguna dari dalam tubuh sapi. Pemberian air yang tidak cukup dapat menyebabkan tidak aktifnya ovarium dan tidak munculnya estrus pada sapi betina karena sistem hormonal yang terganggu. Gangguan sistem hormonal menyebabkan rendahnya kadar hormon LH dalam darah yang menyebabkan terjadinya delayed ovulasi (ovulasi tertunda) dan sista folikuler, karena rendahnya kadar LH fase folikuker diperpanjang sehingga yang seharusnya folikel mengalami ovulasi dan memasuki fase luteal tertunda waktunya atau tidak terjadi sama sekali. Pada kasus anovulasi (kegagalan ovulasi), folikel de Graaf yang sudah matang gagal pecah karena ada gangguan sekresi hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH. (Juliana dkk., 2015) 
    5. Luas Kandang : Luas kandang yang semakin besar mengakibatkan ternak dapat lebih rileks, leluasa untuk bergerak, dan mempermudah peternak untuk melakukan sanitasi. Luas kandang yang kurang dari ukuran standar mengakibatkan sirkulasi udara terganggu dan sapi tidak bisa bergerak dengan bebas. Sirkulasi udara yang kurang baik secara terus menerus menyebabkan gangguan fisiologis kesehatan, sapi menjadi tercekam panas karena sapi merasa tidak nyaman dengan kondisi lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan produktifitas. (Juliana dkk., 2015) 
    6. Sanitasi Kandang : Frekuensi sanitasi kandang yang dilakukan oleh peternak bervariasi, yaitu 72% melakukan sanitasi 1 kali/hari, 8% melakukan sanitasi 2 kali/hari, 4% melakukan sanitasi 3 kali/hari dan 16% tidak melakukan sanitasi. Sanitasi kandang yang dilakukan yaitu membersihkan lantai kandang dengan cara mengumpulkan feses, membersihkan tempat pakan dan tempat minum. Sanitasi kandang dilakukan untuk menjaga kesehatan ternak sapi melalui kebersihan. Oleh karena itu, frekuensi sanitasi kandang yang semakin sering dalam sehari semakin baik. Selain itu, untuk menjaga kesehatan, sapi juga perlu untuk dimandikan agar kotoran yang menempel pada tubuh hilang. Kandang harus dibersihkan setiap hari dan sapi-sapi harus dimandikan setiap hari atau minimal satu minggu sekali. Pembersihan kandang dan dilanjutkan dengan pemandian sapi ini bertujuan untuk menjaga kebersihan kandang dan menjaga kesehatan sapi agar sapi tidak mudah terjangkit penyakit. (Juliana dkk., 2015) 
    • Faktor Ketidakseimbangan Hormon 
    Ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron dapat menyebabkan terjadinya kematian embrio dini (Hafez, 1993). 
    • Faktor Pakan 
    Kekurangan pakan mempunyai pengaruh terhadap proses ovulasi, pembuahan dan perkembangan embrio dalam uterus (Toelihere, 1981). 
    • Umur Induk 
    Kematian embrio dini banyak terjadi pada hewan yang telah berumur tua, hal ini dapat disebabkan pada hewan tua sudah mengalami banyak kemunduran dalam fungsi endokrinnya (Hardjopranjoto, 1995). 
    • Jumlah Embrio atau Fetus Dalam Uterus 
    Karena placenta berkembang dimana berisi beberapa embrio didalam ruang uterus maka suplai darah vaskuler akan menurun sehingga dapat menyebabkan kematian embrio (Hafez, 1993).

    Semoga Bermanfaat

    Comments

    1. Depo 20ribu bisa menang puluhan juta rupiah
      mampir di website ternama I O N Q Q
      paling diminati di Indonesia,
      di sini kami menyediakan 9 permainan dalam 1 aplikasi
      ~bandar poker
      ~bandar-Q
      ~domino99
      ~poker
      ~bandar66
      ~sakong
      ~aduQ
      ~capsa susun
      ~perang baccarat (new game)
      segera daftar dan bergabung bersama kami.Smile
      Whatshapp : +85515373217

      ReplyDelete

    Post a Comment

    Popular posts from this blog

    BULAN DAN KERUPUK KARYA YUSEP MULDIANA

    Pemikiran Susanne K. Langer Dalam Memabaca Simbol Pada Seni