SISTEM IMUN PADA IKAN

Ikan memiliki dua sistem pertahanan yaitu sistem pertahanan alamiah (innate immunity) dan sistem pertahanan adaptif (adaptive immunity) (Tort et al., 2003). Sistem imun pada ikan belum selengkap pada vertebrata tingkat tinggi tetapi jauh lebih berkembang dibandingkan sistem imun invertebrata. Kemampuan sistem imun non spesifik (innate immunity) terdiri dari mekanisme pertahanan seluler dan humoral. Pertahanan seluler non spesifik diperankan oleh monosit/makrofag, neutrophil/granulosit dan sel cytotoxic non spesifik atau sel NK (natural killer). Sedangkan pertahanan humoral non spesifik melibatkan lectins, enzim lytic (lisozyme, complement), transferrin, ceruloplasmin, c-reactive protein dan interferon.

Pada sistem imun adaptive juga terdapat dua mekanisme yaitu respon imun humoral diperantarai oleh antibodi yang diproduksi oleh sel-sel limfosit B (atau biasa disebut dengan sel B). Antibodi akan mengenali antigen-antigen mikrobia, menetralisirnya, dan mengeliminasi mikroba tersebut dengan berbagai mekanisme efektor. Antibodi bersifat khusus (hanya mengeliminasi target antigen yang dikenalinya). Tipe antibodi yang berbeda dapat mengaktifkan mekanisme efektor yang berbeda pula. Adapun imunitas yang adaptif seluler (cell-mediated immunity) diperantarai oleh sel T (limfosit T) yang berperan dalam melakukan destruksi sel-sel yang terinfeksi mikroba secara intraseluler (Shoemaker et al, 2001). Iwama dan Nakanishi (1996) membagi secara garis besar sistem pertahanan tubuh (imun) pada ikan ada 2 yaitu : sistem imun nonspesifik dan sistem imun spesifik.
Lebih lanjut Iwama dan Nakanishi (1996) menyampaikan bahwa sistem imun nospesifik untuk pertahanan seluler pada ikan diketahui termasuk diantaranya adalah monosit/makrofag, granulosit, dan sel sitotoksik nospesifik (NCCs). Makrofag dan granulosit merupakan sel mobil pagositosit yang ditemukan di dalam darah dan jaringan sekunder limpoid, juga biasanya ditemukan pada kasus inflamasi penting, yang merupakan respon seluler terhadap invasi mikroba dan atau cedera jaringan yang mengakibatkan akumulasi lokal pada leukosit dan cairan mukus. Sistem imun nonspesifik pada pertahanan humoral diantaranya adalah serum, mukus dan telur pada ikan yang mengandung berbagai macam substansi nonspesifik yang bisa menghambat pertumbuhan mikroorganisme penginfeksi. Substansi-substansi ini sebagian besar merupakan protein atau glycoprotein dan sebagian besar dari mereka diyakini memiliki pendamping atau prekursor di dalam darah dan hemolymph pada invertebrata. Substansi ini sebenarnya spesifik pada reaksi dengan satu gugus kimia atau konfigurasi, tetapi disebut nonspesifik karena substansi yang bereaksi sangat umum sekali dan tidak mempengaruhi pertumbuhan hanya pada satu jenis mikroorganisme saja. Faktor pertahanan humoral diantaranya adalah lysozyme, komplemen (substansi pelengkap), interferon, protein C-reaktif, transferrin dan lectin (hemaglutinin).

Respon sistem imun spesifik pada pertahanan seluler merupakan antibodi yang independent yang dimasukkan secara bersama-sama dan dimediasi oleh sel pertahanan tubuh (Cell Mediated Immunity). Terminologi ini berasal dari kemampuan untuk mentransfer respon antigen spesifik dari satu individu ke induvidu lainnya dengan menggunakan sel hidup. Pada awal tahun 1950an hal ini telah dibuktikan bahwa sel yang bertanggung jawab untuk sel perantara pertahanan tubuh adalah lymphocytes, sekarang diidentifikasikan sebagai T Cell (Iwama dan Nakanishi, 1996).

Sistem pertahanan adaptif memiliki tiga macam reseptor yang sangat unik yaitu MHC (major histocompatibility complex), reseptor pada sel T (T cell receptor, TCR), dan imunoglobulin (Ig). Ketiga reseptor tersebut termasuk dalam kelompok superfamily imunoglobulin.

a. Major histocompatibility Complex (MHC)
  • Mayor Histo Compatibility (MHC) : adalah suatu kelompok atau kompleks gen yang berperan dalam pengenalan dan pemberian sinyal di antara sel-sel imun. Berdasarkan rumus bangunnya, Baratawidjaja (1996) membagi molekul MHC menjadi 3 golongan, yaitu :molekul MHC kelas I ; yang menetapkan ekspresi atau antigen permukaan kelas I yaitu yang berupa protein pada membran permukaan semua sel yang memiliki nukleus dan trombosit. Molekul kelas I mengikat peptida molekul lain yang diproduksi dalam sel dan membawanya ke permukaan sel, sehingga gabungan kelas I dan peptida tersebut dapat dikenal oleh sel T CD8 yang sitotoksik.
  • Molekul MHC Kelas II ; manetapkan ekspresi atau antigen permukaan sel-sel tertentu yang dikenal sebagai sel kelas II yang imuno-kompeten seperti sel B, monosit, macrofag, antigen presenting cells (APC) dan sel T (hanya yang diaktifkan). Molekul MHC kelas II mengikat molekul peptida yang sudah diproses sel APC dan dibawa ke permukaan selnya sehingga dapat dikenal oleh sel CD4. Presentasi antigen serta rangsangan sel T CD4 merupakan permulaan respon imun yang juga sebagian ikut menentukan jenis respon yang terjadi.
  • Molekul MHC kelas III ; menentukan ekspresi komponen komplemen (C2, C4), faktor B properdin atau Bf, TNF dan lymphotoxin (LT), yaitu membentuk sitokin dan molekul lain yang ditentukan MHC. MHC yang menentukan molekul kelas III ini terletak di dalam kompleks MHC yang menentukan molekul MHC kelas I dan kelas II.
Abbas dan Lichtman (2005) menjelaskan molekul MHC adalah glikoproteinglikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang berfungsi untuk mempresentasikan peptida-peptida kepada sel T. Fungsi utama dari limfosit sel T adalah pertahanan terhadap mikroba intraseluler dan mengaktifkan sel-sel lain seperti makrofag dan limfosit B. Oleh karena itu sel T mengharuskan berinteraksi dengan sel-sel lain seperti sel-sel yang terinfeksi, sel-sel dendrite (sel saraf), makrofag, dan sel B. Limfosit mampu berinteraksi dengan sel-sel lain karena memiliki reseptor yang disebut reseptor sel T yang hanya mengenali antigen yang dipaparkan pada sel-sel lain. Hal ini berbeda dengan sel B dan antibodi yang mampu mengenali antigen terlarut termasuk juga antigen yang berasosiasi dengan sel. Tugas pemaparan antigen-antigen yang berasosiasi dengan sel untuk dapat dikenali oleh sel T ditunjukkan dengan protein khusus yang dikode oleh suatu gen dalam sebuah lokus yang disebut major histocompatibility complex (MHC). Molekul-molekul MHC kelas I menunjukkan antigen yang berasal dari sel dalam beberapa virus yang menginfeksi sel intraseluler kemudian tumbuh di dalam vesikel intraseluler.

b. Reseptor sel T (T-cell receptor, TCR)
TCR adalah Antigen-antigen yang dipresentasikan oleh molekul MHC, baik MHC kelas I maupun MHC kelas II, kepada sel T kemudian diikat oleh sebuah reseptor yang terletak pada permukaan sel T. TCR terdiri dari dua rantai polipeptida yaitu rantai α (BM 27.000 Da) dan rantai β (31.000 Da). TCR secara spesifik mengikat 2 protein yaitu peptide asing (antigen) dan molekul MHC pada permukaan APC. TCR mengerjakan dua pengikatan ganda menggunakan suatu tempat perlekatan (binding site) yang disebut dengan V (variable) domain pada rantai β dan rantai α. Seperti pada antibodi, V domain rantai α dan rantai β pada TCR mengandung tiga CDR (complementary determining regions) yaitu CDR1, CDR2 dan CDR3. Molekul MHC mengikat salah satu bagian dari antigen (disebut dengan agretop) sedangkan TCR mengikat bagian yang lain dari antigen tersebut (disebut dengan epitop) (Madigan et al., 2003).




c. Sitokin (Cytokine)
Sitokin adalah protein mediator terlarut (kadang terikat dalam membrane sel) yang mengikat reseptor pada sel target dan memicu, mengatur, atau menghambat fungsi-fungsi seluler. Kebanyakan sitokin diproduksi dan berperan dalam sel-sel imun, tetapi ada juga sitokin yang diproduksi oleh sejumlah tipe sel dan berperan pada berbagai macam sel, sehingga sitokin menampakkan kisaran aktifitas yang sangat luas. Sitokin dikarakteristikkan dengan sifat redundancy (memiliki peran yang sama antar satu jenis sitokin dengan jenis sitokin lainnya), memiliki aksi yang sinergis, dan memiliki sitem pengaturan yang berbalik (regulatory loop) (Cavaillon, 2007).

Interaksi antara cell pada sistem imun tidak hanya diperantai oleh kontak dari sel ke sel akan tetapi juga melalui pelepasan faktor-faktor terlarut (sitokin). Sitokin berperan mengatur atau memperbaiki sistem imun, dan cakupannya biasanya dibatasi oleh sel di sekitar pertengahan pada sel penghasil sitokin. Ikan memproduksi sejumlah sitokin untuk menyusun kegiatan pada respon imun. Sebagian besar respon imun pada ikan telah teridentifikasi dalam kajian biologis berdasarkan kesamaan fungsional mereka terhadap aktivitas sitokin hewan mamalia. Beberapa respon imun telah dideteksi melalui reaktivitas silang dengan sitokin mamalia. Sebagai contoh Tumor necrosis factor (TNF) α, merupakan turunan makrofag sitokin dengan tingkat homology asam amino tinggi diantara spesies dan spesifitas spesies kecil (hardie et al., 1994). Pendekatan Reaksi berantai polymerase (PCR) menggunakan Genomic DNA yang berasal garis sel flatfish (Paralichthys olivaceus) telah memberikan sekuen untuk IL-2 (Tamai et al., 1992). Selanjutnya Tamai et al. (1993) juga mengkloning cDNA sitokin dan mengidentifikasikan sekuen protein antiviral interferon pada Flatfish.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A. K. and A. H. Lichtman. 2005. Cellular and Molecular Immunology, fifth edition, updated edition. Elsevier saunders, Pennsylvania.
Cavaillon, Jean-Marc. 2007. Molecular Mediators : Cytokines. In: Meyers (ed.). Immunology: From Cell Biology To Disease. Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim, p: 137-166.
Gusman, E (2010). Ekspresi Molekul Sel Interferon γ dan NF-kB Pada Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) yang Dipapar Protein Imunogenik Virus VNN (Viral Nervous Necrosis). Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya. Malang.
Hardie, L. J., Chappell, L. H., and Secombes, C. J. (1994). Human Tumor Necrosis Factor a Infuences Rainbow Trout, Onchorhynchus mykiss, Leucocyte Responses. Vet. Immunol. Immunopathol. 4, 73-8.
Iwama, G and Nakanishi, T. 2001. The Fish Immune System : Organism, Pathogen, and Environment. Academic Press. 395 Pages.
Janeway Jr., C.A., P. travers, M. Walport, M.J. Shlomchik. 2001. Immunobiology : the immune sytem in health and disease 5th ed. Garland Publishing, New York.
Madigan, M.T., J.M. Martinko, dan J. Parker. 2003. Brock Biology of Microorganisms, Tenth edition. Prentice Hall, Pearson education, Inc., New Jersey. 1019p.
Shoemaker, C.A., P.H. Klesius, and J.J. Evans. 2001. Prevalence of Streptococcus iniae in tilapia, hybrid striped bass, and channel catfish on commercial fish farms in the United States. American Journal of Veterinary Research 62: 174-177.
Tort, L., J.C. Balasch, S. Mackenzie. 2003. Fish immune system. A crossroads between innate and adaptive responses (Rev.). Inmunología Vol. 22 / Núm 3/ p :277-286.
Tamai, T.. Sato, N., Kimura. S., Shirahata, S., and Murakami. H. (1992). Cloning and expression of flatfish interleukin 2 gene. In “Animal Cell Technology: Basic and Applied Aspects” (H. Murakami et al., eds.), pp. 509-514. Kluwer Academic Publishers, Netherlands.
Tamai, T., Shirahata, S., Sato, N., Kimura, S., Nonaka, M.. and Murakami, H. (1993). Purification and Characterization of Interferon-like Antiviral Protein Derived from Flatfish, Paralichthys olivaceis, Lymphocytes Immortalized by Oncogenes. Cyrorechnofogy 11, 121-131.

Comments

Popular posts from this blog

BULAN DAN KERUPUK KARYA YUSEP MULDIANA

Naskah Drama Teater - Mak Comblang

11 Sistem Tubuh Utama Berkontribusi Penting Dalam Homeostasis