Apa Kabar Teater Hari Ini?

Jika ingin didefinisikan, teater barangkali adalah sebentuk praktek seni atau karya seni yang di dalamnya terdapat unsur-unsur seni lain yang saling berhubungan karena suatu keterikatan yang kompleks. Ini dikarenakan di dalamnya tidak saja tercakup satu macam bentuk kesenian di mana karena hal itu, barangkali, teater tidak bisa secara semena-mena disamakan dengan musik, sastra, tata rias, dan seni rupa; beberapa hal yang merupakan bagian-bagian yang tidak bisa lepas dari teater sebagai entitas totalitas.


Tiga Bayangan Teater Eska Uin Sunan Kalijaga
 Unsur sastra (yang selalu berbentuk ‘naskah drama’), misalnya—dan ini juga berlaku untuk unsur-unsur lainnya. Tidak bisa dikatakan bahwa unsur sastra ini adalah teater jika diletakkan sebagai dirinya yang berdiri sendiri. Naskah-naskah yang pernah ditulis Rendra, atau Putu Wijaya,  hanya akan disebut sebagai teater jika sudah berbentuk konkrit di atas panggung, dengan seperangkat properti, setting, make-up, aktor, dan bunyi-bunyi yang dapat di dengar di sela-sela adegan selama pementasan, melalui beberapa proses kreatif yang panjang.

Yang menjadi pesoalan, definisi ini terus berlanjut sejak lama, sejak penulis pertama kali menginjakkan kaki dalam dunia perteateran, setidaknya dalam lingkungan di mana penulis berteater, hingga saat ini. Batasan ini seakan pegangan tetap dan akhirnya untuk mengatakan bahwa teater yang sebenarnya adalah yang seperti ini, dan bukan seperti praktek-praktek teater yang sudah beragam bentuknya, eksperimennya, dan bahkan dari segi pendekatan sampai ke penggarapannya; seakan inilah satu-satunya pandangan dan acuan estetika untuk menilai dan mencipta pementasan.



Mari sejenak beralih dan melihat praktek teater lain. Pada tahun 1974, seorang performer art, Marina Abramovich menggelar pertunjukan “Rhythm 0”. Di luar dugaan, pementasan ini menampilkan konsep teater yang berbeda dari definisi tadi. Dalam pementasan itu, Abramovich berdiri seperti sebuah patung selama enam jam. Di depannya, sebuah meja panjang dengan berbagai ragam barang di atasnya, dari yang sama sekali tidak dapat melukai sampai ke yang bahkan dapat membunuh; penonton dipersilahkan menggunakan benda-benda dalam guna memperlakukan sang patung. Mula-mula semua segan. Tapi, seiring berjalannya waktu, tubuh Abramovich sudah dipenuhi coretan, pakaiannya dibuka, difoto, dan seterusnya.

Ini adalah pementasan yang sudah bertahun-tahun yang lalu, dan tidak sepatutnya dijadikan sebagai bahan perbandingan di tahun di mana teater, tentunya, sudah berkembang jauh dari itu. Tapi, yang patut dilihat di sini adalah bagaimana konsepsi teater pada waktu itu, dengan usaha Abramovich, beralih dari yang pada mulanya selalu berbentuk drama dengan segala perangkatnya, ke arah yang sama sekali lain. Teater tidak lagi berfungsi sebagaimana yang dipahami secara umum di mana penonton yang awam diletakkan sebagai orang yang ingin memperoleh hiburan, ingin dikatarsiskan dan semacamnya. Penonton di sini, bahkan, diposisikan sebagai pelaku-pelaku yang dapat ikut berperan, membikin alur, membuat peristiwa, membuat perubahan tangga dramatik dan seterusnya, seiring berjalannya pementasan. Teater juga berfungsi sebagai metode untuk mengulik apa yang alamiah dalam diri masyarakat (dalam pementasan ini, dapat dilihat bahwa meski pada mulanya segan-segan, penonton pada akhirnya menggunakan alat-alat itu untuk memperlakukan Abramovich semau mereka, bahkan dengan keasyikan).

Kembali ke definisi, adalah Richard Schechner yang menulis buku Performanca Studies: an Intoduction. Jika ingin teater dilihat sebagai sebuah performance, lalu mencoba untuk merujuk apa yang disebut performance dalam buku itu, teater tampaklah tidak sebagaimana yang sering dikenal secara umum, terutama di tingkat-tingkat kampus teater. Performance didefinisikan sebagai apapun yang tampak di hadapan, bahkan sebuah gelas di atas meja. Dalam cakupan definisi yang luas itu, maka lukisan yang tergantung di atas dinding adalah juga teater; yang dapat dilihat sebagi sesuatu yang berbicara kepada penonton, sebagai suatu peristiwa, tindakan, dan adegan.

Yang dipertanyakan selanjutnya, tidak mungkinkah teater yang selama ini dipahami kemudian dirombak, atau dicoba untuk dipisah-pisahkan bagian-bagiannya hingga dapat disebut teater (dalam arti dengan tetap meletakkannya sebagai sebuah pertunjukan yang khas)?. Tidak bisakah kita membuat suatu rancangan make-up pada muka-muka buatan dan menjadikannya sebuah pertunjukan tersendiri. Ini belum lagi jika mau dikaitkan dengan unsur sastranya, musiknya, tata panggungnya, tata cahayanya, dan tata kostumnya.

Akan tetapi sebelumnya, sebelum melompat ke sana, jika dilihat dengan definisi yang umum di atas, teater sendiri dalam prakteknya masih memiliki persoalan dan bahkan kemungkinan-kemungkinan baru. Misal, sebagai praktisi seni di bawah nauangan UIN Sunan Kalijaga, dan bukan IAIN, belum pernah dicobakan bagaimana seandainya teater yang harus taat pada konsepsi keislaman (?) kemudian dipadukan dengan disiplin ilmu-ilmu lain, seperti biologi, matematika, fisika, ekonomi dan seterusnya. Belum lagi, jika harus melihat konteks masyarakat hari ini, di mana hiburan bisa didapatkan dengan mudah dengan adanya tekhnologi semacam hp android, juga kehidupan yang berjalan dengan cepat, serta merebaknya film-film menyentuh hati ala Korea yang banyak digandrungi.

Oleh: Abdul Ghofur

Comments

  1. Hal terkejam dari cinta adalah dusta dan hal yang tidak bisa dilupakan dari rasa adalah luka. Jika ingin kejam berdustalah dan melukailah jika tidak ingin dilupakan! silahkan cek https://script-oflove.blogspot.com/

    ReplyDelete
  2. ajoqq^^com
    mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
    mari segera bergabung dengan kami.....
    di ajoqq^^com...
    segera di add black.berry pin 58CD292C.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

BULAN DAN KERUPUK KARYA YUSEP MULDIANA

Pemikiran Susanne K. Langer Dalam Memabaca Simbol Pada Seni