TALI KASIH YANG TERKOYAK

Cerita Pendek Hermana HMT

Pagi itu langit tak secerah hari-hari sebelumnya. Bagai sebuah brikade, gumpalan asap hitam sisa dari pembakaran rumah berarak tertiup angin mengitari pedusunan. Daerah yang pada mulanya penuh kedamaian dan sarat akan berbagai aktivitas kehidupan, namun pagi itu mendadak mati kutu, sunyi ditelan kerusuhan, kecemasan dan ketakutan para penduduknya.
Nan jauh di sana, di jalan setapak, di belakan iring-iringan para pengungsi seorang nenek dan seorang anak laki-laki berusia sekitar empat tahun turut pergi menghindari kekacauan yang menimpa dusunnya. Menelusuri kehidupan baru yang belum jelas dapat menentukan arah nasibnya.

“ Nek, kita mau ke mana ?” Tanya sang anak.
“ Kita akan pergi jauh , di sini sudah tidak aman, “ jawab sang nenek.
“ Aku lapar, nek.”
“ Tahanlah barang sebentar. “
“ Nenek enggak bawa nasi, ya ? “
“ Nasi dari mana ? Bukankah rumah kita berserta isinya termasuk beras sudah habis terbakar.”
“ Kenapa orang jahat sama kita, ya Nek ? “
“ Entahlah. Nenek juga tidak mengerti.”
Wajah sang Nenek dan anak kecil itu semakin lusuh. Keringat semakin membasahi tubuhnya dan jarak perjalanan mereka dengan iring-iringan para pengungsi pun semakin jauh.
“ Nek, capek. “
“ Kita istirahat dulu di sini, nak,” mereka menghentikan langkah kakinya dan beristirahat.
Sepoi angin yang menerpa badan mengantarkan sang Nenek teringat lagi ke massa-massa indah bersama anak cucunya yang penuh kehangatan, pada rumahnya yang tertata rapi, pada kebun durian, pada kebun dukuh dan pohon-pohon pala yang sedang lebat berbuah. Namun kini, semua itu tinggalah kenang dan entah kapan akan kembali menjadi miliknya. “Tuhan, inikah yang namanya suratan takdir ? “ sang Nenek mengeluhkan nasibnya.
Anak kecil itu menatapnya. “ Takdir itu siapa, Nek ? Penjahat, ya ?”
“ Bukan. Takdir bukan sejinis mahluk hidup seperti kita.”
“ Jidi apa, Nek ? “
“ Takdir itu adalah suatu ketetapan.”
“ Suatu ketetapan… Apa itu, Nek ? “
“ Sesuatu…. ya sesuatu. Suatu yang tidak tampak, hanya bisa dirasakan dan hanya bisa dilihat buktinya. Salah satu contahnya orang meninggal dunia.”
“ Enggak ngerti, Nek.”
Sang Nenek berusaha menjelaskan. “ Takdir itu adalah… apa, ya? Eh.. Hukum… Bukan-bukan. Tapi kehendak Tuhan yang tidak bisa dihalang-halang lagi. Diantanya; semua orang pasti akan sehat, semua orang pasti akan sakit dan semua orang pasti akan mati. Mengerti ? “
“ Enggak.”
“ Nanti sudah gede kamu akan tahu dan mengerti sendiri. Bagaimana, sudah tidak capek lagi ? “
“ Enggak.”
“ Sekarang kita jalan lagi, ya.”
“ Masih jauh, Nek ? “
“ Masih.”
Kemudian sang Nenek bersama anak kecil itu melanjutkan lagi perjalanannya. Entah ke mana mereka akan menuju. Mungkinkah sama halnya dengan iring-iringan para pengungsi ? Samakin tidak tidak jelas, semakin tidak punya kepastian.
“ Nek, kita mau ke mana lagi ?
“ Mencari harapan baru, nak. “
“ Harapan itu apa ? “
“ Yang kita impikan. Seperti banyak harta, hidup senang, aman dan tentram.”
“ Sekarang kita kan orang miskin. Berarti kita tidak punya harapan, ya Nek? “
“ Harapan itu tetap ada, dukapun sama. Keduanya berjalan seiring. Seperti tubuh kita dengan beyangannya. “
“ Enggak ngerti lagi, Nek.
Sang Nenek tersenyum sambil mengelus-elus rambut si anak dengan tangan kanannya, dan pertanyaan pun terus bergulir dari mulut yang baru pintar bicara itu.
“ Nek, kenapa orang suka membunuh ? Seperti membunuh ayah dan ibuku.”
Sejenak sang Nenek termengu, “ kenapa ya ? Nenek pikir… karena… karena dalam diri mereka hanya ada marah dan dendam. Mereka itu sudah tidak punya tali kasih lagi. Tali kasih mereka sudah terkoyak. “
“ Talikasih itu apa, Nek ?”
“ Tali yang menyambungkan antara hati yang satu dengan yang lain, sehingga timbulah rasa cinta dan kasih sayang, tidak ada saling benci dan dendam. Seperti kamu dengan Nenek. Kamu sayang tidak sama Nenek ?”
“ Sayang.”
“ Kalau nenek pergi dan kamu ditinggal di sini mau tidak ?”
“ Enggak mau.”
“ Kamu akan sedih atau tidak jika nenek pergi tanpa membawa sertamu ?”
“ Sedih.”
“ Nah, seperti itulah kalau tali kasih sudah mengikat erat diantara hati yang satu dengan hati lainnya. Jangankan mau membunuh, ditinggal pergi saja sudah tidak mau dan akan bersedih hati. “ Sang Nenek tersenyum melihat cucunya yang melongok menatapnya,” pasti kamu tidak ngerti lagi, ya ?”
Si anak tersenyum, “ iya Nek ”
“ Mau mengerti ?”
“ Mau ! Mau, Nek.”
“ Dari sekarang kamu harus mempersiapkan badan, pikiran dan persan yang kamu miliki. Besarkan badanmu hingga dewasa, asah pikiranmu sampai tajam, lembutkan perasanmu sehalus sutra. Bergurulah pada orang-orang pintar dan alam semesta ini. Dengan pasti kamu akan tahu segalanya, termasuk pertanyaan-pertanyanmu itu dan kamu tidak akan melakukan tindakan bodoh yang sering dilakukan orang-orang. Paham ?”
“ Ya, Nek. Tapi… kayanya kita balik lagi, Nek. Ini kan pohon kering yang tadi kita lewati,” anak itu kebinguangan.
“Yang benar ? “ sang Nenek terkejut.
“ Betul, Nek. Tadi … ya, di sini aku duduk.”
“ Berarti kita kembali lagi ke tempat semula.”
“ Nek, aku takut.”
“ Tidak apa-apa. Tenang saja… Tapi, ke mana lagi kita harus berjalan.
“ Nek, pusing.”
“ Tahan, perjalanan kita masih jauh.”
Tubuh anak itu menggigil, “ aduh Nek, sakit.”
“ Paksakan tahan. Sebentar lagi matahari akan terbenam, kita jangan sampai kemalaman di sini.”
“ Tidak kuat lagi, Nek, ” lalu terkulai jatuh ke tanah.
Kecapaian dan kelaparan membuat ketahanan tubuh anak itu tidak setabil lagi. Akhirnya panas dingin yang tiba-tiba menyerang tubuhnya membuat dia pinsan di pangkuan sang Nenek. Dan perjalanan para pengungsi yang diikutinya tadi, kiranya sudah sangat jauh serta tak mungkin tersusul untuk dimintai tolong.

***

Comments

Popular posts from this blog

BULAN DAN KERUPUK KARYA YUSEP MULDIANA

Pemikiran Susanne K. Langer Dalam Memabaca Simbol Pada Seni