Review Tadarus Puisi HONK - Sosiologi Seni

Pentas Produksi Tadarus Puisi Teater Eska ke-17

Sebelum berbicara tentang pertunjukan yang saya angkat kali ini, saya akan sedikit mengulas tentang apa itu Tadarus Puisi? Tadarus puisi merupakan istilah yang dicetuskan oleh teater Eska sendiri yang mana pelaksanaan kegiatan pentas ini hanya pada bulan Ramadhan semata. Biasanya dalam pentas ini yang diangkat dari puisi-puisi yang minimal sudah diterbitkan media namun  sedikit dilupakan oleh khalayak orang, lalu diangkat kembali dalam tadarus puisi tersebut, dan jelasnya puisi-puisi yang beraroma islami. Pada mulanya pentas ini setiap aktor hanya membaca puisi baik itu secara bergantian dan kadang bersaut-sautan diatas panggung.

Namun dalam pentas HONK ada sedikit berubah dan saya rasa sangat menarik, yaitu puisi yang menjadi sebuah lakon pertunjukan layaknya sebuah drama bukan lagi sekedar dibaca. Dan Honk sendiri merupakan judul dari sebuah puisi (yang kemudian menjadi naskah pertunjukan) karya Abdul Qadir al-Jailani (orang Eska) pun dialah yang menyutradarai pertujukan Honk tersebut. Yang jadi pertanyaan mengapa puisi ini lahir? Menurutnya (Abdul Qadir al-Jailani) “puisi ini lahir sebagai sebuah ungkapan dari kegelisahan yang saya alami, dimana saya dihadapkan dengan berbagai pilihan dalam hidup sepeti halnya, Agama dalam lingkup besar dan aliran secara lingkup kecil. Sementara kebingunganlah yang saya dapatkan menghadapi semua itu.” Secara garis besar mungkin puisi ini lahir dari sebuah kebingungan yang dialami oleh pengarang. Dari judulnya saja tidak akan ditemukan artinya di kamus manapun, karena kata  Honk sendiri merupakan ungkapan secara spontanitas yang keluar dari ruang imajinasi seorang pengarang puisi tersebut.

Diatas tadi merupakan tuturan dari pengarang tentang proses puisi Honk itu lahir. Dan sekarang yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagamaiana proses kreatif pementasan tersebut? Menyikapi pertanyaan ini, saya temukan dua komentar baik itu langsung dari sutradara maupun dari para aktornya. Pertama, sutradara mengatakan bahwa proses Honk ini tidak terlalu bermuluk-muluk memakan waktu yang sangat panjang terutama dalam penggarapan keaktoran, alasanya karena waktunya juga mepet dan memang yang ditekankan sutradara bukan di keaktorannya akan tetapi di artistiknya. Yang kedua, pengakuan para aktornya bahwa mereka hanya latihan (proses) dengan sutradara sekitar tiga malam (mulai jam:19:00-23:00 wib). Dan proses latihannya pun tidak begitu serius sebagaimana mestinya proses keaktoran dalam dunia teater, para aktor hanya disuruh bereksperiman sendiri-sendiri, ada yang disuruh berimajinasi jadi anak kambing yang baru lahir dengan kaki tiga dan sedang meniru gerakan tupai yang melompat-lompat. Ada pula disuruh berimajinasi jadi seekor monyet yang sedang berusaha mengangkat batu sangat besar dan ada pula yang suruh menjadi seekor naga raksasa yang terus berusaha ingin menjadi penyanyi dengan suara merdu dan sementara dia bisu. Latihan-latihan seperti inilah yang diterapkan sutradara kepada para aktornya, yang para aktornya pun juga entah apa maksudnya. Dan juga yang sangat menarik dari proses produksi pertunjukan ini tidak seyogiyanya produksi-produksi pentas teater  pada awamnya apa lagi dalam per-film_an. Dalam pentas produksi ini hanya ada Sutradara (Abdul Qadir al-Jailani sekaligus pengarang puisi Honk), aktor sekaligus tim artistik (Ghos TE, Imam konzumsi, Saleh tatang, Nazil ozank, Oong Fastiasu Riyan Padang, Mujib cpd), tim musik (Qiqi’ Olang) dan lightingman (Sofyan). Maksudnya tanpa adanya SM (stek menejer), ASTRDA (asisten sutradara) dan sebagainya.

Tentang adaptasi, bagaimana adaptasi dari sebuah puisi menjadi naskah lakon pementasan teater? Ketika berbicara tentang adaptasi, yang perlu diingat dari puisi Honk adalah puisi ini lahir karena kebingungan seorang pengarangya, dia (pengarang) dibenturkan dengan berbagai pilihan hidup sementara secara kodrati manusiawi dirinya terlalu jauh dari kesempunaan. Dari sinilah puisi ini menjadi lakon pertunjukan, dalam pertunjukan tersebut ada tiga peristiwa yang diadaptasi dari puisi Honk ini, pertama; tentang kelahiran, dalam proses kelahiran setiap manusia akan cendrung meniru apa yang dilihat pun didengar. Seperti yang dikatakan bahwa “setiap manusia yang lahir layaknya kaset kosong” dan perlu diisi kebaikan-kebaikan terlebih dahulu, hal ini diaplikasikan islam dalam bentuk praktek dimana setiap manusia yang baru lahir di adzan-i pada telinga kanan dan iqamah di telinga kiri, dengan tujuan untuk mengisi kekosongan memori (kaset) tersebut. Kedua; permasalahan-permasalahan yang dialami terhadap berbagai pilihan hidup, dimana setiap manusia akan  mengalami benturan-benturan berbagai jalan hidup yang dihadapi (puncak klimaks). Dan yang ketiga; proses peleraian atau menentukan pilihan dari berbagai menu hidup dihadapi dan tentunya sudah merasa nyaman, aman pun akrab dengan dirinya. Dan hal tersebut layaknya pengalaman para sufi dalam perjalanan spiritualnya.

Mengenai pesan, apa sih pesan yang akan disampaikan pada penonton atau yang akan disajikan kepada para khalayak umum? Dalam hal ini, lagi-lagi sutradara mengungkapkan tentang kebingungan yang di awal telah dia sampaikan bahwa dari pementasan ini sutradara hanya ingin menyajikan (menyodorkan) tentang kebingungan, menurutnya pementasan ini baru dikatakan sukses jika semua penonton merasa kebingungan (tidak menangkap isi apa-apa selain bingung) dalam pertunjukan Honk ini. Mengenai pesan-pesan dalam pertunjukan ini, sutradara hanya menyajikan secara simbolik dan itu pun sulit di tangkap, sebab begitu sangat absuot pertunjukan Honk ini. Pertunjukan ini para aktor tidak memakai bahasa verbal, semuanya memakai bahasa gerak tubuh dalam meng-ekspresikan mengenai proses kelahiran, benturan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan peleraian atau mengambil keputusan. Namun ketika dilihat dari proses dan adaptasi di awal, mungkin bisa diambil kesimpulan bahwa pertunjukan ini merupakan sebagai sebuah refleksi untuk penonton bahwa setiap individu tidak akan pernah telepas dari tiga hal diatas tersebut, baik disadari maupun tidak.

Selanjutnya tentang skrip kepertujukan Honk ini. Secara edialnya dalam setiap pertunjukan teater semua komposisi panggung harus saling mendukung (melengkapi) dan bahkan saling menguatkan, misalnya; keaktoran, artistik, musik, dan lighting. Namun dalam kepertunjukan Honk ini lebih menekankan pada wilayah artistik, tebukti dalam prosesnya yang sangat disiapkan jauh hari adalah wilayah artistik pun dalam panggung yang terlihat hanya artistiknya dan bahkan bisa dikatan yang menjadi aktor sebenarnya benda-benda (artistik) yang hadir dalam panggung, sementara peran aktor hanya sebagai penggerak benda-benda artistik tersebut. Dan benda-benda yang hadir dalam panggung ini merupakan simbol dari pelbagai macam perbedaan di dunia ini. Mengenai model panggung yang dipakai adalah panggung bebas, penonton berada di tengah-tengah pemain (panggung setengah melingkar). Tujuan konsep panggung seperti ini agar penonton ketika memasuki ruangan (area pertunjukan) sudah merasakan atau mengalami peristiwa teater. Dan pertunjukan Honk ini hanya di pentaskan sekali pada tanggal 11-Agustus-2012 tepat pada pertengahan bulan Ramadhan.

Pentas Honk ini bisa dikatan sukses secara konsep, terbukti dari berbagai apresiasi penonton yang merasa kebingungan dalam mengkaji atau menikmati tentang isi dari pertunjukan ini. Banyak penonton yang menunggu sampai selesai karena hanya ingin bertanya-tanya tentang tanda Tanya yang sejak awal mereka dapatkan dari pertunjukan Honk ini. Jadi bisa dikatan penonton bertahan hanya ingin menunggu forum evaluasi setelah pertunjukan dari pentas  ini.

 
Lain-lain :Qoute Marxis Romantisme
Link         : GSA (Gerakan Sosialis Asmara)

Comments

Popular posts from this blog

BULAN DAN KERUPUK KARYA YUSEP MULDIANA

Pemikiran Susanne K. Langer Dalam Memabaca Simbol Pada Seni