Pokok - Pokok Pemikiran M. Heidegger

Salah satu pemikiran hermeneutic M. Heidegger sebagai berikut:

Fenomenologi Sebagai Hermeneutik
Fenomeenologi menurut Heidegger akar kata yunani phainomenom atau phainesthai, dan logos. Heidegger mengatakan, Phainomenom bermakna yang memperlihakan dirinya sendiri, sesuatu yang termanifestasi, diilhami, kata pha sama dengan kata Yunani phos, yang berarti cahaya atau terang benerang, sesuatu yang dapat dimanifestasikan, dapat terlihat. Dengan begitu, fenomena merupakan kumpulan apa yang dapat diungkap ke dalam sinaran hati, atau dapat dibawa ke dalam cahaya, apa yang secara sederhana dapat diidentifikasikan oleh orang yunani dengan to onta, des seiende, apa adanya.[3]

Akhiran, ology-ology dalam Phenomenologi berakar dalam kata yunani logos. Heidegger menyebutkan bahwa logos adalah sesuatu yang dipahami dalam pembicaraan, makna dalam kata logos dengan begitu adalah sesuatu yang dengan sendirinya membiarkan sesuatu itu muncul. Logos tidak diartikan Heidegger sebagai sesuatu seperti “nalar” atau “landasan” namun lebih mengasumsikan fungsi pembicaraan, yang membuat baik nalar maupun landasar tersebut menjadi mungkin. Ia mempunyai fungsi yang tersembunyi menunjuk pada fenomena. Dengan kata lain, logos mempunyai sesuatu sebagai fungsi karena ia membiarkan sesuatu itu terlihat sebagai sesuatu.

Dalam Being and Time Heidegger menemukan suatu bentuk akses dalam kenyataan bahwa seseorang memiliki eksistensi dirinya, yang selaras dengan dengan adanya pemahaman tertentu tentang apa sebenarnya keberadaan itu.[4] Ia bukanlah pemahaman yang dibentuk, namun secara historis terbentuk, terakumulasikan di dalam pemahaman perjumpaan fenomena yang sebenarnya. Dengan begitu, keberadaan tertentu saja dapat dipertanyakan melalui sesuatu analisis bagaiamana kemunculan itu terjadi. Ontologi harus menjadi fenomenologi. Ontologi harus beralih kepada proses pemahaman dan interpretasi melalui apa sesuatu itu muncul. Ia harus dapat membuka minat dan arah eksistensi manusia, ia harus dapat memperlihatkan struktur keberadan di dunia secara jelas.

Hakikat Pemahaman
Pemahaman merupakan term khusus dalam pemikiran Heidegger, yang bermakna bukan apa yang secara asli ditunjukkan dalam bahasa inggris, tidak juga apa yang dimaksudkan oleh trem dalam pemikiran Dilthey. Dalam bahasa Inggris, pemahaman mengasumsikan rasa simpati, kapasitas merasakan apaa yang dialami orang lain. Kita memperbincangkan tentang “gambaran pemahaman” dan mengasumsikan dengan hal ini lebih dari sekedar pengetahuan obyektif , ia merupakan sesuatu seperti halnya partisipasi dalam sesuatu yang dipahami. Seseorang dapat saja memiliki pengetahuan yang sangat luas, namun pemahamannya sedikit, karena pemahaman seolah-olah menggapai ke dalam Sesuatu yang esensial dan dalam beberapa penggunaan bersifat personal. Untuk itu, dalam pemahaman seseorang bergerak menyatukan diri dengan pembicaraan sebagai seseorang yang dipahami.
    Konsepsi pemahaman ini membawa asosiasi yang jauh berbeda dengan konsepsi Heidegger. Bagi Heidegger, pemahaman adalah kekuatan untuk memperoleh kemungkinan seseorang itu sendiri untuk berbeda, dalam konteks dunia hidup di mana seseorang itu berada. Ia bukan kapasitas khusus atau pemberian untuk merasakan situasi orang lain, juga bukan kekuatan untuk memperoleh makna ekspresi hidup orang lain pada level yang lebih dalam. Pemahaman adalah basis bagi keseluruhan interpretasi, ia sama aslinya dengan keberadaan seseorang dan ia ada dalam setiap perilaku interpretasi.
    Sebagaimana yang dilihat Heidegger, karakteristik penting pemahaman adalah bahwa ia selalu berlaku dalam suatu bentuk hubungan yang sudah diinterpretasikan, suatu keseluruhan yang berhubungan. Dilthy menegaskan bahwa kebermaknaan selalu merupakan persoalan referensi ke dalam konteks berhubungan, suatu persoalan prinsip yang sudah umum bahwa pemahaman selalu berlaku dalam sebuah lingkaran hermeneutis lebih dari sekedar berproses dalam progesi yang teratur dari bagian-bagian yang sederhana kea rah keseluruhan. Pemahaman dalam pemikiran Heidegger telah menjadi ontologis. Pemikiran terhadap konsep Heidegger tentang dunia akan menjernihkan persoalan ini.

Dunia dan Hubungan kita dengan Objek di Dunia
Kata “dunia” dalam pemikiran Heidegger tidaklah bermakna lingkungan kita, yang tergambarkan secara obyektif, alam, yang Nampak dalam tatapan sains. Ia lebih dekat pada apa yang di sebut dunia personal kita. Dunia bukanlah keseluruhan dari keberadaan namun merupakan keseluruhan dimana manusia mendapati dirinya sesudah terpatrikan di dalamnya. Yang dikungkung oleh kemanifestasiannya sebagai anugrah melalui sesuatu yang selalu merupakan praperolehan, yang meliputi pemahaman.
Keberkaitan dengan  kesamaran dunia merupakan kesamaran obyek ertentu dalam dunia, di mana seseorang sehari-harinya berhubungan dengan keberadaannya. Alat-alat yang digunakan sehari-hari, gerak tubuh yang dibentuk tanpa pemikiran, kesemuanya menjadi transparan. Pada saat ini kita dapat mengamati suatu fakta yang signifikan: makna obyek-obyek ini terletak dalam hubungannya dengan keseluruhan makna dan maksud yang saling berhubungan secara structural. Dalam keterperincian itu, obyek disinari, timbullah secara langsung dari dunia.
Mengutip dari contoh yang sangat terkenal dari Being and Time, sebuah palu yang semata-mata ada merupakan sesuatu yang dapat diukur beratnya, dan dikategorikan sebagai alat dibandingkan dengan palu-palu yang lain; sebuah palu yang rusak yang pada aat bersamaan menunjukkan apa itu palu. Pengalaman ini mengasumsikan prinsip hermeneutic; bahwa keberadaan sesuatu diungkapkan tidak untuk tatapan analitis kontemplatis namun dalam momen di mana ia muncul secara tiba-tiba dari kesembunyiannya dalam konteks dunia yang betul-betul fungsional. Begitu pula karakter pemahaman akan sangat baik di peroleh tidak melalui katalog analitas dari sifat-sifatnya, juga tidak dalam alur sepenuhnya dari fungsi utamanya, namun di saat ia terperincikan, yang tentunga di saat sesuatu yang harus dimiliki hilang.

Kebermaknaan Pra-Predikatif, Pemahaman, dan Interpretasi
Fenomenologi perincian yang secara sesaat memancarkan keberadaan sebuah alat, sebagaimana yang kita lihat, mengarah pada “dunia” yang sangat luas di mana kita eksis. Dunia ini lebih dari sekedar lahan aktivitas pra-sadar pemikiran dalam persepsi ia merupakan lahan dimana resistensi actual dan posibilitas dalam stuktur keberadan membentuk pemahaman. Ia merupakan lahan di mana temporalitas dan istorisitas keberadaan ada secara radikal, dan merupakan tempat dimana keberadaan menterjemahkan dirinya dalam kebermaknaan, pemahaman dan interpretasi, singkat kata, ia merupakan lahan proses hermeneutic, suatu proses di mana keberadaan menjadi tertematisasikan sebagai bahasa.
    Pemahaman harus dilihat sebagai sesuatu yang melekat dalam konteks ini, dan interpretasi hanya merupakan penterjemahan eksplesit dari pemahaman. Dengan demikian, interpretasi bukanlah persoalan pengarahan nilai terhadap suatu obyek yang kosong, karena apa yang ditemukan memunculkan sesuatu yang telah dilihat suatu hubungan particular. Bahkan dalam pemahaman, sesuatu di dunia ini dilihat sebagai ini atau sebagai itu. Interpretasi menterjemahkan kata ini dengan “sebagai”. Sebelum setiap pernyataan tematik terdapat landasan pemahaman. Heidegger menyatakannya secara singkat: “seluruh pengelihatan sederhana yang bersifat pra-predikatif dari dunia yang tidak dapat dilihat dengan sendirinya merupakan pengelihatan yang sudah dipahami (interpretasikan).
     Ketika pemahaman secara eksplisit menjadi interpretasi, sebagai bahasa, faktor ekstra subyektif lain mulai bekerja, karena “bahasa telah menyembunyikan suatu bentuk gagasan yang berkembang dalam dirinya sendiri”, suatu “cara pandanag yang sudah terbentuk”. Pemahaman dan kebermanaan secara bersamaan merupakan basis bagi bahasa dan interpretasi. Dalam kerja berikutnya hubungan bahasa dan keberadaan bahkan lebih ditekankan, yang dengan begitu keberadaan dengan sendirinya bersifat linggustik: misalnya Heidegger menulis dalam karyanya Introduction to Metaphysics bahwa “kata dan bahasa bukan selubung yang dengannya sesuatu dibungkus untuk dijual bagi orang yang menulis atau membicarakannya. Hanya dalam kata-kata dan bahasalah sesuatu pertama kali muncul kedalam keberadaannya”. Inilah makna di mana perkataan Heidegger yang lebih terkenal “ bahasa merupakan tempat tinggal keberadaan” harus diinterpretasikan.

Kemustahilan ketiadaan Pra-asumsi Interpretasi
 Harapan akan interpretasi  “tanpa prasangka dan pra-asumsi” pada pokoknya terletak pada permukaan operasional cara memahami. Apa yang muncul dari “obyek” adalah apa yang memungkinkan seseorang untuk menampakkan dan mentematisasikan dunia terhadap karyanya dalam pemahamannya yang akan mengarah pada pencerahan. Adalah naïf untuk mengasumsikan “apa yang sesungguhnya ada” merupakan “bukti dairi”.  Makna yang sebenarnya dari apa yang diasumsikan sebagai bukti diri terletak pada suatu bentuk pra-asumsi yang tidak di perhatikan, yang ada dalam setiap konstruksi interpretasi oleh penafsir yang “obyektif” dan “tanpa pra-asumsi”. Bentuk pra asumsi yang sudah di tentukan dan dijamin inilah yang diungkap Heidegger dalam analisisnya terhadap pemahaman.
Dalam interpretasi sastra, ini bermakna bahwa penafsir yang “tidak memiliki pra-asumsi” sama sekali terhadap sebuah teks lirik puisi memiliki asumsi sebelumnya. Bahkan ketika ia mendekati sebuah sebuah teks, ia berkemungkinan melihatnya sebagai sebuah bentuk teks tertentu, katakanlah sebuah lirik, dan pada saat itu ia telah menempatkan dirinya dalam postur yang ia interpretasikan untuk menjadi tepat terhadap sebuah teks tertentu tersebut. Perjumpaannya dengan sebuah karya tidaklah dalam konteks diluar ruangan dan waktu yang khusus. Sebagai missal, terdapat sebuah alasan mengapa ia berdalih pada teks ini dan tidak pada teks lainnya, dan dengan begitu ia mendekati teks tersebut dengan mempertanyakannya, tidak dengan keterbukaan yang kosong.
Dengan begitu, penting untuk diingat bahwa pra-struktur pemahaman tidaklah sesederhana bentuk kesadaran yang selalu muncul pada dunia yang sudah ditentukan. Melihat dalam cara ini akan terjerumus kembali kedalam model interpretasi subyek-obyek sesungguhnya yang di analisis Heidegger sebagai hal yang mentransenden. Lebih dari itu, pra-struktur muncul dalam konteks dunia yang sudah mencakup subyek dan obyek. Heidegger menggambarkan pemahaman dan interpretasi dengan cara ini adalah untuk menempatkannya sesuai dengan dikotomi subyek-obyek. Ia mendiskusikan bagaimana sesuatu itu dengan sendirinya masuk dalam pandangan melalui makna, pemahaman, dan interpretasi. Ia mendiskusikan apa yang dapat di sebut dengan struktur ontologis pemahaman.
Sebagai konsekuensinya, hermeneutic  sebagai sebuah teori pemahaman, sesungguhnya merupakan teori pengungkapan ontologis. Karena keberadaan manusia itu sendiri merupakan proses pengungkapan ontologis, Heidegger tidak akan mengizinkan kita untuk melihat problem hermeneutic terpisah dari eksistensi manusia. Dengan demikian, hermeneutic dalam pemikiran Heidegger merupakan teori fundamental tentang bagaimana pemahaman muncul dalam keberadaan manusia.
Jadi mengawinkan hermeneutika dengan ontology eksistensial dan fenomonologi, dan analisisnya mengarah pada suatu landasan bagi hermeneutika tidak dalam subyektifitasnya namun dalam fakta dunia dalam historisitas pemahaman.

Karakter Derifatif Pernyataan
Konsekuensi berikutnya dari pemikiran yang telah kita diskusikan dan salah satu dari kepentingan hermeneutiknya, terletak pada kajian Heidegger tentang pernyataan logis. Heidegger memberikan suatu contoh: “palu itu berat”. Dalam pernyataan ini sendiri, ujarnya suatu cara pemahaman yang sudah terbentuk mulai bekerja, yakni logika. Sebelum adanya interpretasi atau analisis yang benar-benar tetap, situasi telah terbentuk kedalam term logika untuk menyesuaikan struktur pernyataan tersebut. Palu telah di interpretasikan sebagai sesuatu dengan kekayaan sifatnya, dalam hal ini adalah bobot beratnya. Struktur kalimat penegasan dengan pola subyek, hubungan dan sifat prediketnya telah menempatkan palu kepada suatu obyek, sebagai sesuatu yang memiliki kekayaan sifatnya.
Dari contoh di atas tersebut menjelaskan bahwa dimensi esensial dalam bahasa bukanlah kandungan logis-semantis pernyataan-pernyataan yang jadi incara logika, melainkan hubungan sang pembicara (dasein) dengan sesuatu dalam bahasa harus juga dipahami.[5] Dan patut diingat, metafisika Heidegger adalah berasal dari suatu dorongan yang bertendensi seseorang untuk mengamankan posisinya yang rentan dalam dunia dengan memahami totalitas yang ada.

Dalam konteks hermeneutika, filosof ini mengubahnya dari ilmu yang membahas tentang metode ke ilmu yang membahas tentang tujuan filosofis dan menekankan perlunya meningkatkan hermeneutika dari sekadar sebagai metode memahami teks atau metode umum untuk ilmu humaniora atau teori penafsiran, ke arah pembahasan tentang makna pemahaman dan hakikat penafsiran itu sendiri, dan karena filsafat adalah upaya memahami wujud (yang ada). Ia membedakan antara yang ada dengan wujud itu sendiri. Filsafat sejak Plato, menurutnya, telah bergeser dari arah yang normal dan seharusnya karena mengabaikan pembahasan tentang wujud dengan menampilkan pembahasan tentang yang ada.
Heidegger juga berpendapat bahwa teks memiliki wujud tersendiri terlepas dari penciptanya, dan arena itu tidaklah penting mengetahui tujuan sang pencipta/pengarang/penulis, mitra bicara atau yang dihadapinya pada masa terciptanya teks itu, tapi yang terpenting pembacaan dan pemahaman penafsir sesuai dengan pengetahuan mereka yang mendahului kandungan teks serta dugaan dan pertanyaan-pertanyaan mereka terhadap teks saat mereka membahas dengannya,pertanyaan dan prediksi yang biasanya lahir pada era di mana sang penafsir hidup.
Kemandirian teks seni itu sendiri, merupakan salah satu pandangan dasar Heidegger. Atas dasar itu dia berpendapat bahwa penafsirannya berbeda, beragam dan banyak akibat perbedaan latar belakang para penafsirannya. Ini karena proses pemahaman adalah dialog antara teks dengan sang penafsir, anggapan (prediksi), pertanyaan-pertanyaan dalam benak penafsir yang bisa jadi memengaruhi proses pemahaman dan makna yang ditarik dari kandungan objek bahasan dan yang mengakibatkan keragaman penafsiran. 
Di sisi lain, masih menurutnya kita tidak bertemu dengan teks yang dibahas di luar bingkai waktu dan tempat. Ia menekankan bahwa fungsi pemahaman adalah upaya untuk menyingkap yang tersembunyi melalui apa yang nyata dan menemukan apa yang terucap/tertera dalam teks melalui apa yang yang dihidangkannya. Baginya tidak ada penafsiran final dan mutlak

Comments

Popular posts from this blog

BULAN DAN KERUPUK KARYA YUSEP MULDIANA

Naskah Drama Teater - Mak Comblang

Naskah Drama - THE LOVER KARYA HAROLD PINTER