BUNGA DALAM MULUT Karya Luigi Pirandello

BUNGA DALAM MULUT
Atau
Pria dengan baju kembang-kembang

Karya : Luigi Pirandello
Terjemahan teater_matahari
Penerjemah: Lady Lesmana
2002


Pria dengan baju kembang-kembang:

Ah, sudah kelihatan! Anda memang orang yang sangat tenang… Anda ketinggalan kereta?

Pelanggan:
Satu menit saja, bayangkan! Aku sampai di stasiun dan kulihat keretanya berangkat, di depan mata.

Pria dengan baju kembang-kembang:
Anda ‘kan bisa lari mengejarnya!


Pelanggan:
Tentu. Memang konyol. Aku tahu. Ya, ampun, seandainya saja bawaanku tidak sedemikian banyaknya: bungkusan-bungkusan besar, kecil… Penuh muatan seperti keledai! Dasar perempuan… belanja, belanja -- tidak ada habisnya. Ya, tiga menit untuk turun dari dokar, untuk mencantolkan simpul tali bungkusan-bungkusan itu ke jari-jariku! Dua bungkusan tiap jari!

Pria dengan baju kembang-kembang:
Itu pasti kelihatan lucu! Seandainya itu aku, Anda tahu apa yang akan kulakukan? Akan kutinggalkan semua itu di dokar.

Pelanggan:
Lalu bagaimana dengan istriku? Ya, benar! Dan putri-putriku? Dan teman-temannya?

Pria dengan baju kembang-kembang:
Dan omelan mereka! Tidak akan kupedulikan.

Pelanggan:
Itu karena barangkali Anda tidak tahu bagaimana sikap perempuan saat liburan di desa!

Pria dengan baju kembang-kembang:
Tahu, tahu sekali. Itu justru karena aku tahu. (Jeda.) Mereka selalu berkata bahwa mereka tidak akan membutuhkan apa pun.

Pelanggan:
Itu saja? Mereka bahkan pintar beralasan bahwa mereka pergi ke sana untuk mengirit. Lalu, begitu tiba di salah satu desa di sekitar, semakin jelek desa itu, semakin kumuh, jorok, semakin mereka mencurahkan seluruh tenaga mereka untuk mendadani kota itu, dengan mengenakan perhiasan murahan mereka yang sangat menyala! Ah, Tuan, perempuan! Dan itu memang pekerjaan mereka… “Kamu bisa ke kota sebentar, Sayang! Aku perlu ini… itu… dan bila tidak merepotkan (manis sekali “bila tidak merepotkan” ini)… dan mumpung sekalian di sana, sekalian lewat… -- Kamu ini bagaimana, Sayang, bagaimana dalam tiga jam aku bisa merampungkan semua itu? -- Oh!… kamu bilang apa? Naik dokar…” -- Celakanya lagi, karena aku hanya pergi selama tiga jam, aku tidak membaca kunci rumah.



Pria dengan baju kembang-kembang:
Ya, ampun! Terus?

Pelanggan:
Kutinggalkan tumpukan paket dan bungkusan itu di penitipan barang di stasiun; lalu aku makan malam di sebuah restoran kecil; kemudian, untuk menghilangkan kekesalanku, aku pergi menonton sandiwara. Di sana panasnya minta ampun. Keluar dari sana, apa yang bisa kulakukan, coba, apa, menurut Anda? Sudah tengah malam. Jam empat aku harus naik kereta pertama. Apa gunanya membayar hotel hanya untuk tidur tiga jam? Itulah sebabnya aku kemari. Kedai kopi ini kan tidak tutup?

Pria dengan baju kembang-kembang:
Tidak, Tuan, buka. (Jeda.) Jadi, Anda tinggalkan semua barang-barang Anda di penitipan di stasiun?

Pelanggan:
Kenapa Anda menanyakan itu? Apa kelihatannya tidak aman? Bungkusan-bungkusan itu semua diikat rapi.

Pria dengan baju kembang-kembang:
Tidak, tidak! Bukan itu yang ingin kukatakan! (Jeda.) Diikat rapi, aku dapat membayangkannya dengan baik: dengan seni tersendiri, para pelayan toko membungkus barang… (Jeda.) Tangan-tangan yang terampil! Selembar kertas merah berlapis, sangat halus… melihatnya saja sudah merupakan kenikmatan… sedemikian halusnya, sehingga membuat orang ingin menempelkan pipinya untuk merasakan kesegaran belaiannya… Mereka membentangkannya di atas meja, kemudian, dengan gerakan yang kelihatan mudah, mereka meletakkan kain yang ringan, terlipat rapi, di tengahnya. Pertama-tama, dengan punggung tangan, mereka mengangkat dan melipat satu sisinya ke atas, kemudian di atasnya, mereka lipatkan sisi lainnya, dan bahkan, dengan cekatan mereka membuat sebuah lipatan kecil tambahan, begini, sebagai tambahan, hanya untuk seni; kemudian kedua ujungnya mereka bikin segitiga lalu mereka tekuk ke bawah; mereka lalu menjulurkan tangannya ke arah gulungan tali, menariknya seperlunya untuk mengikat bungkusan itu, dan mengikatnya dengan sedemikian cepatnya, sehingga sebelum Anda bisa mengagumi ketrampilan mereka, bungkusan itu sudah disodorkan kepada Anda, dengan simpulnya yang siap dicantolkan ke jari Anda.

Pelanggan:
Ah! Kelihatannya Anda suka sekali memperhatikan para pelayan toko.

Pria dengan baju kembang-kembang:
Aku? Tuan yang baik, kulewatkan hari-hariku di sana. Aku mampu berdiri tanpa bergerak sedikit pun, selama satu jam, di depan etalase untuk menonton toko dari luar. Di situ aku melupakan diriku sendiri. Aku rasanya menjadi kain itu, ingin sekali menjadi kain sutra itu, di situ… kain drill itu… pita merah atau biru itu, yang setelah diukur oleh gadis pelayan toko pita itu, dengan menggunakan batang aune, -- Anda pernah melihat bagaimana mereka melakukannya? -- lalu digulung di ibu jari dan kelingking tangan kirinya, dalam bentuk angka delapan, sebelum kemudian dibungkus. (Jeda.) Kuperhatikan pelanggan pria atau wanita yang keluar dari toko, dengan bungkusan tergelantung di jari, di tangan, atau di lengan… Kuikuti mereka dengan pandanganku, hingga tidak tampak lagi… sambil berangan-angan…Oh! semua yang bisa kuangan-angankan! Anda tidak bisa membayangkannya. (Jeda. Kemudian, dengan hati-hati, seolah berbicara kepada dirinya sendiri:) Tapi aku memerlukannya, aku perlu itu.

Pelanggan:
Perlu? Maaf, perlu… apa?

Pria dengan baju kembang-kembang:
Mempunyai pegangan di dalam kehidupan – maksudku melalui angan-angan. Seperti tumbuhan merambat di batang-batang pagar. (Jeda.) Ah, tidak boleh membiarkan angan-angan berhenti sejenak pun – tempel, tempel terus kehidupan orang lain, melalui angan-angan…  Tapi jangan orang yang kukenal. Jangan, jangan! Untuk orang-orang itu aku tidak bisa! Menimbulkan kesusahan, seandainya saja Anda tahu, rasa mual. Kehidupan orang yang tidak kukenal, yang bisa kuangan-angankan sebebasnya, namun tidak yang aneh-aneh, sebaliknya, berdasarkan tanda-tanda kecil yang kutemukan pada orang ini atau itu. Seandainya saja Anda tahu bagaimana angan-anganku bekerja, sejauh mana aku berhasil masuk ke kediaman orang lain! Aku bisa melihat rumah orang ini atau orang itu; aku tinggal di dalamnya; aku merasakannya, benar bahkan hingga mencium baunya… Anda tahu, bau khas yang mengeram di setiap rumah, di rumah Anda, di rumahku. – Tapi di rumah kita, kita tidak bisa membauinya lagi, karena itu adalah bau kehidupan kita sendiri, Anda mengerti apa yang kukatakan? Ah! Kulihat Anda mengiyakannya…

Pelanggan:
Ya, karena… maksudku, Anda pasti menikmati, mengangan-angankan sedemikian banyak hal…

Pria dengan baju kembang-kembang: (Dengan rasa kesal, setelah berpikir sebentar)
Nikmat? Aku?

Pelanggan:
Ya… Kubayangkan…

Pria dengan baju kembang-kembang:
Tolong katakan kepadaku. Anda pernah periksa ke dokter yang baik?

Pelanggan:
Aku? Belum, kenapa? Aku tidak sakit!

Pria dengan baju kembang-kembang:
Tidak, jangan khawatir! Aku bertanya demikian kepada Anda hanya untuk mengetahui apakah Anda pernah melihat ruang tunggu di tempat dokter-dokter yang baik itu, tempat para pelanggan menunggu giliran periksa.

Pelanggan:
Ya. Aku pernah sekali mengantar salah satu putriku yang menderita gangguan syaraf.

Pria dengan baju kembang-kembang:
Bagus. Aku tidak ingin tahu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa, ruangan-ruangan itu… (Jeda.) Anda pernah memperhatikannya? Dipan kain berwarna gelap, model kuno… kursi yang sudah dijejali busa lagi, sering tidak utuh lagi… kursi-kursi berlengan…  Itu semua dibeli secara kebetulan, mebel bekas, diletakkan di sana untuk para pelanggan; tidak merupakan bagian dari rumah. Untuknya, untuk teman-teman istrinya, dokter itu mempunyai ruang duduknya sendiri yang jauh berbeda, indah, mewah. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana kursi atau kursi yang berlengan di salon itu akan mengeluarkan sumpah serapah seandainya digotong ke ruang tunggu, tempat mebel yang sederhana, tahu diri dan layak, sudahlah sangat cukup. Aku ingin tahu apakah waktu Anda mengantar putri Anda, Anda  memperhatikan kursi berlengan tempat Anda duduk saat itu untuk menunggu.

Pelanggan:
Aku? Terus terang saja, tidak…

Pria dengan baju kembang-kembang:
Ya, sudah barang tentu, karena Anda tidak sakit… (Jeda.) Tapi orang-orang yang sakit pun terkadang tidak memikirkannya juga, karena pikirannya terserap pada penyakit mereka. (Jeda.) Meskipun sering beberapa di antaranya terpana di sana, memandangi jari-jarinya yang seolah mengatakan bahwa lengan kursi yang mereka duduki itu tidak ada gunanya, lengan kursi yang halus karena usang itu. Mereka memikirkannya tapi tidak melihatnya. (Jeda.) Namun, apa yang kita rasakan saat keluar dari ruang periksa, lalu melintasi ruang tunggu dan kemudian melihat kursi yang baru saja kita duduki itu, saat kita tadi menunggu vonis penyakit apa yang kita idap, yang hingga saat itu belum kita ketahui! Saat melihatnya kembali sudah diduduki pelanggan lain, juga dengan penyakit rahasianya; atau mungkin masih kosong, di sana, tanpa ekspresi, menunggu orang lain datang mendudukinya, siapa pun juga. (Jeda.) Tapi, sampai di mana kita tadi?… Oh, ya… Kenikmatan dalam berangan-angan. – Siapa tahu, kenapa aku langsung berpikir pada salah satu kursi itu, di ruang para pelanggan menunggu giliran diperiksa!

Pelanggan:
Ya… Tentu, tapi…

Pria dengan baju kembang-kembang:
Anda tidak melihat kaitannya? Aku juga tidak. (Jeda.) Tapi itu karena beberapa penggabungan angan-angan yang saling berjauhan satu dengan lainnya sangatlah khas pada setiap orang, dipengaruhi oleh penalaran dan pengalaman-pengalaman khusus, yang tidak akan dapat saling dimengerti bila kita tabu membicarakannya. Analogi-analogi ini sering paling tidak nalar. (Jeda.) Namun hubungannya barangkali di sini, dengarkan aku baik-baik: Apakah kursi itu mendapat kenikmatan dalam mengangan-angankan siapa pelanggan yang baru saja mendudukinya itu, atau kemana ia akan pergi, apa yang akan ia lakukan setelah periksa dokter? – tidak ada kenikmatan sedikit pun. Sama juga denganku: tidak ada sama sekali! Banyak pelanggan datang dan, kursi-kursi malang itu, mereka di sana untuk diduduki. Dan, pendudukan ini serupa dengan yang terjadi padaku. Terkadang ini yang menguasaiku, terkadang itu. Saat ini, Andalah yang sedang mendudukiku, dan percayalah kepadaku bahwa aku tidak merasakan kenikmatan apa pun dalam memikirkan kereta yang telah meninggalkan Anda, keluarga yang sedang menunggu Anda di desa, semua masalah yang kelihatannya ada pada diri Anda.

Pelanggan:
Oh, masalahku banyak, seandainya saja Anda tahu!

Pria dengan baju kembang-kembang:
Bersyukurlah kalau hanya masalah saja. (Jeda.) Ada yang lebih menyedihkan lagi, Tuan. (Jeda.) Tadi kukatakan bahwa aku perlu berpegangan pada kehidupan orang-orang lain, melalui angan-angan, tapi begitu saja, tapa kenikmatan, tanpa menaruh perhatian padanya sedikit pun, sebaliknya, untuk… untuk merasakan kesusahan, untuk mengatakan bahwa kehidupan itu sedemikian hambar dan sia-sia, sehingga benar-benar tidak ada gunanya bagi siapa pun untuk meneruskannya hingga akhir. (Dengan kemarahan yang suram:) Dan itu perlu dibuktikan, Anda tahu kan? melalui bukti-bukti dan contoh-contoh yang tiada habisnya, kepada diri kita sendiri, tidak dapat dipungkiri lagi. Sebab, Tuan, walau kita tidak tahu selera hidup itu terbuat dari apa, tapi ia ada, ia ada, kita semua merasakannya ada di sana, seperti kecemasan yang mencekik leher kita, yang tidak pernah terpuaskan, yang tidak akan pernah bisa dipuaskan, karena hidup, bahkan di saat kita hidup di dalamnya, selalu sedemikian rakus terhadap dirinya sendiri sehingga ia tidak bisa dinikmati. Kenikmatannya berada di masa lampau, yang tetap hidup di dalam diri kita. Selera hidup kita berasal dari sana, dari kenangan-kenangan yang merantai kita. Tapi dirantai pada apa? Pada kebodohan ini… pada kesusahan-kesusahan ini… pada semua bayang-bayang palsu tolol ini… pada pikiran-pikiran konyol… Ya, ya. Yang sekarang ini merupakan kebodohan… yang sekarang ini merupakan masalah… dan aku bahkan berani mengatakan yang sekarang ini bagi kita merupakan kesengsaraan, benar-benar kesengsaraan… sesempurnanya, dalam waktu empat, lima, sepuluh tahun, siapa bisa mengatakan kenikmatan seperti apa yang bisa dirasakan darinya… kenikmatan seperti apa yang dihasilkan air mata ini… Dan kehidupan, ya, Tuhan, baru memikirkan bahwa kita akan kehilangannya saja sudah… terutama bila kita tahu bahwa itu hanya dalam bilangan hari saja… (Saat itu, dari sudut kanan, wanita berpakaian hitam melongokkan kepalanya untuk mengintip.) Itu dia… Anda lihat, di sana? Di sana, kataku, di sudut… Anda lihat bayang-bayang perempuan itu? – Ah, terlambat, ia bersembunyi!

Pelanggan:
Apa? Siapa… siapa tadi?

Pria dengan baju kembang-kembang:
Anda tidak melihatnya? Ia telah bersembunyi.

Pelanggan:
Seorang wanita?

Pria dengan baju kembang-kembang:
Istriku, ya.

Pelanggan:
Ah! Istri Anda?

Pria dengan baju kembang-kembang:
(Setelah jeda sebentar.) Ia selalu mengawasiku dari jauh. Dan, percayalah, terkadang aku ingin sekali menendangnya untuk mengusirnya. Tapi itu tidak akan ada gunanya. Ia seperti seekor anjing tak bertuan, keras kepala, semakin ditendang, semakin menempel di kaki Anda. (Jeda.) Betapa menderitanya perempuan ini karenaku, Anda tidak dapat membayangkannya. Ia tidak makan, tidak tidur juga. Selalu mengikutiku, siang malam, seperti itu, dari jauh. Seandainya saja ia mau membersihkan debu yang menempel di topi yang ia kenakan, dan di pakaiannya. – Ia tidak lagi menyerupai perempuan, tapi lebih mirip kain lap. Rambutnya berdebu, keningnya juga, dan itu terus saja begitu. Padahal usianya belum ada tiga puluh empat tahun. (Jeda.) Anda pasti tidak percaya betapa ia menjengkelkanku. Kuberlari menghampirinya dan aku berteriak tepat di depan wajahnya sambil mengguncangnya: “Goblog!”. Ia sanggup menerima semua itu. Ia diam di sana, menatapku dengan pandangan… dengan pandangan yang, sumpah, membuat tanganku sangat gatal untuk mencekiknya. Tidak ada gunanya. Ia menungguku pergi untuk kemudian mulai mengikutiku lagi dari jauh. (Saat itu juga, perempuan itu kembali menongolkan kepalanya.) Itu, lihat… ia masih menjulurkan kepalanya di tikungan.

Pelanggan:
Wanita malang!

Pria dengan baju kembang-kembang:
Apa, wanita malang! Yang ia inginkan, Anda tahu, yaitu agar aku tinggal di rumah, tenang tenteram, agar kubiarkan diriku dimanjakan oleh perhatiannya yang paling lembut, paling bergairah; agar aku menikmati tatanan sempurna semua ruang, kebersihan semua mebel, kesunyian sesunyi cermin yang dulu menguasai tempat tinggalku, yang diberi aba-aba oleh bunyi tik-tak jam gandul yang berada di ruang makan – itu yang ia inginkan! Kini kutanya kepada Anda, Anda, agar Anda bisa mengerti kekonyolan… oh, bukan, apa yang kukatakan, kekonyolan!… -- kebengisan yang menyeramkan dari keangkuhan ini, kutanya Anda apakah Anda percaya bahwa rumah-rumah di Avezzano, rumah-rumah di Messina, kalau mereka tahu bahwa gempa bumi akan menghancurkannya, apa mereka akan tetap tenang di bawah sinar rembulan, berderet sepanjang di jalan dan di bunderan-bunderan, mentaati peta tata kota dinas tata kota. Rumah-rumah itu, ya, Tuhan, walau terbuat dari batu dan kayu, pasti akan lari menyelamatkan diri! Dapatkah Anda membayangkan para penduduk Avezzano, para penduduk Messina, melepas pakaian mereka dengan tenang untuk bersiap-siap tidur, melipat pakaian mereka, menaruh sepatu mereka di depan pintu dan, menyusup ke bawah selimut, menikmati kesegaran spreinya yang putih bersih, bila mereka tahu bahwa beberapa jam lagi mereka akan mati. – Apa itu mungkin, menurut Anda?

Pelanggan:
Itu barangkali karena istri Anda…

Pria dengan baju kembang-kembang:
Biar kukatakan kepada Anda! Seandainya, Tuan, kematian itu seperti salah seekor serangga yang aneh, yang menjijikkan ini, yang tiba-tiba kita sadari menempel di kita… Anda lewat; seorang lain yang juga lewat tiba-tiba menghentikan Anda dan, dengan-hati-hati menjulurkan dua jarinya dan berkata kepada Anda: “Maaf, diam, diam! Ada kematian, itu, menempel pada diri Anda.” Dan, dengan dua jarinya, ia mengambilnya dan membuangnya… Betapa menyenangkan! Tapi kematian tidaklah seperti salah satu serangga yang menjijikkan ini. Banyak orang yang berjalan-jalan dengan santai, dengan pikiran di tempat lain, barangkali telah dihinggapinya; tidak seorang pun melihatnya; dan mereka, mereka dengan tenang memikirkan tentang apa yang akan mereka lakukan besok, dan lusa. Sedangkan aku, (ia berdiri) lihat, Tuan… Kemarilah… (ia menariknya bangun dan membawanya ke cahaya lampu jalan) di sini, di bawah lampu ini… sini… akan kuperlihatkan kepada Anda sesuatu. Lihat kemari, di balik kumisku… ini, Anda lihat tonjolan indah yang berwarna ungu ini? Anda tahu, apa namanya? Ah! nama yang sangat manis… lebih manis daripada kembang gula: epitelioma, itu namanya. Ucapkanlah, Anda akan lihat betapa manisnya: epitelioma. Anda tahu, kematian telah mampir. Ia menanamkan bunga ini di mulutku, dan berkata kepadaku: “Simpanlah, sobat; aku akan mampir lagi, delapan atau sepuluh bulan lagi!” (Jeda.) Jadi, katakanlah kepadaku, apakah dengan bunga ini di mulutku, aku bisa diam tenang-tenang di rumah, seperti yang diinginkan perempuan malang itu. (Jeda.) Aku berteriak kepadanya: “Ah, begitu, dan kamu ingin aku menciummu? – Ya, cium aku!” Anda tahu, apa yang ia lakukan? Minggu lalu, ia melukai dirinya sendiri, di sini, di atas mulut, dengan peniti, kemudian ia memegangi kepalaku dan mau menciumku,… menciumku di mulut… Karena, katanya, ia ingin mati bersamaku. (Jeda.) Ia sudah gila… (Kemudian dengan marah:) Rumahku, aku tidak mau tinggal di sana. Aku, aku perlu berdiri di depan etalase toko, untuk mengagumi keterampilan para pelayan toko. Karena, Anda tahu, bila di dalam diriku terjadi kekosongan, sekejap saja… Anda tahu, aku mampu dengan sangat mudah membunuh seseorang yang tidak kukenal… mengeluarkan pistolku dan membunuh seseorang yang, karena sial nasibnya, telah ketinggalan keretanya seperti Anda… (Ia tertawa.) Tidak, tidak, jangan takut, Tuan, aku hanya bercanda. (Jeda.) Aku pergi dulu. (Jeda.) Aku akan membunuh diriku sendiri, kalau memang perlu… (Jeda.) Tapi, saat ini sedang banyak aprikot yang enak… Anda, bagaimana cara Anda memakannya? Bersama kulitnya ‘kan? Dibelah ditengahnya; dipencet dengan dua jari, arah memanjang… seperti dua bibir basah… Ah, betapa lezatnya! (Ia tertawa. Jeda.) Sampaikan hormat saya kepada istri Anda dan juga ke putri-putri Anda, di desa. (Jeda.) Kubayangkan mereka mengenakan pakaian putih dan biru, di sebuah padang rumput hijau yang indah, di keteduhan… (Jeda.) Dan tolong bantu aku, besok pagi, saat Anda sampai. Kubayangkan desanya agak jauh dari stasiun. Waktu fajar, Anda dapat pulang jalan kaki. Tolong hitung jumlah tangkai yang terdapat di sebuah rumpun semak yang pertama kali Anda jumpai. Sebanyak tangkai, sebanyak itu pula sisa hari hidupku. (Jeda.) Tapi pilihlah rumpun yang rimbun, tolong. (Ia tertawa. Lalu:) Selamat malam, Tuan.

Comments

Popular posts from this blog

BULAN DAN KERUPUK KARYA YUSEP MULDIANA

Pemikiran Susanne K. Langer Dalam Memabaca Simbol Pada Seni