BILA MALAM BERTAMBAH MALAM KARYA PUTU WIJAYA

BILA MALAM BERTAMBAH MALAM
KARYA : PUTU WIJAYA


MALAM, DI TEMPAT KEDIAMAN GUSTI BIANG.
SEBUAH BALE GEDE YANG DISEMPURNAKAN UNTUK TEMPAT TINGGAL.
DI RUANG DEPAN ADA KURSI GOYANG DAN KURSI TAMU.
INTERIOR KAMAR GUSTI BIANG
(GUSTI BIANG MEMANGGIL-MANGGIL WAYAN).
GUSTI BIANg    : Wayaaaan. Waaaaaaaaaaaaayyyaaaaaannnnn ….. !!!!!!!
(GUSTI BIANG NGOMEL TERUS)
INTERIOR, GUDANG, DAN DAPUR.
(KELIHATAN NYOMAN SEDANG MENYIAPKAN MAKAN MALAM UNTUK GUSTI BIANG, SEMENTARA WAYAN MENGAMPELAS PATUNG)
GUSTI BIANG    : Wayaaan … Wayaaaaaaaaaaaaannnn ……. !!!
(NYOMAN MEMBERI ISYARAT KEPADA WAYAN).
NYOMAN    : Benar Ida akan pulang hari ini?
WAYAN        : YA ………..
INTERIOR RUANG TAMU GUSTI BIANG.
GUSTI BIANG    : si tua itu tak pernah kelihatan kalau sedang dibutuhkan. Pasti ia sudah terbaring di kandangnya menembang seperti orang kasmaran, pura-pura tidak mendengar padahal aku sudah berteriak, sampai leherku patah. Wayaaaaaan ….. Wayaaaaan tuaaaaaaaaa …………..
WAYAN        : Nuna Sugere Gusti Biang, kedengarannya seperti ada yang berteriak.
GUSTI BIANG    : Leherku sampai putus memanggilmu. Telingamu masih kamu pakai tidak!
WAYAN        : Tentu saja Gusti Biang. Itu sebabnya titiyang datang.
GUSTI BIANG    : Jangan berbantah dengan aku. Kau sudah tua dan rabun. Lubang telingamu sudah ditempati kutu busuk. Kau sudah tuli, suka berbantah, Cuma bisa bergaul dengan si Belang. Kau dengar itu kuping tuli?
WAYAN        : Betul Gusti Biang.
(WAYANG MENINGGALKAN RUANGAN DAN GUSTI BIANG TETAP DUDUK DAN MENGAMBIL JARUM, BERULANG-ULANG MENGGOSOK MATA SAMBIL MENGGERUTU).
GUSTI BIANG    : Lubangnya terlalu kecil. Benangnya terlalu besar, sekarang ini serba terlampau. Terlampau tua, terlampau gila, terlampau kasar, terlampau begini, terlampau begitu. Sejak kemarin aku tidak berhasil memasukkan benang ini. Sekarang mataku berkunang-kunang. Oh, barangkali toko itu sudah menipu lagi. Atau aku terbalik memegang ujungnya? Waaaayaaaan ….. (NYOMAN MUNCUL DENGAN BAKI DI TANGANNYA DAN LAMPU TEMPLOK).
NYOMAN    : Bagaimana Gusti Biang? Sudah sehat rasanya. (GUSTI BIANG TAK MENGHIRAUKAN DAN TETAP MEMASUKKAN BENANG KE JARUMNYA). Gusti Biang, ini daun belimbing, bubur ayam yang sengaja tiyang buatkan untuk Gusti. (MELIHAT KESULITAN GUSTI BIANG). Mari tiyang tolong.
GUSTI BIANG    : Wayaaaan ……. (KAGET KARENA SENTUHAN). Ulaaaaar ……..
NYOMAN    : Ya, ya kenapa Gusti terkejut ini kan Nyoman.
GUSTI BIANG    : Kau? Kau (TERBATUK).
NYOMAN    : Nah, itu akibatnya kalau belum santap malam. Apalagi sejak beberapa hari ini Gusti sudah tidak mau minum jamu lagi. Minumjamu sekarang ya?
GUSTI BIANG    : Kau …………... kau setan, kukira ular belang jatuh dari pohon. Bikin jantungku kumat lagi.

NYOMAN    : Gusti biang takut sekali dengan ular. Kenapa?
GUSTI BIANG    : Binatang itu menggigit dan menjijikkan.
NYOMAN    : Tapi tidak semua ular berbahaya (TERSENYUM). Tiyang juga takut pada ular.
GUSTI BIANG    : Aku tidak perduli. Apa tugasmu di sini?
NYOMAN    : Sekarang sudah saatnya Gusti Biang minum obat.
GUSTI BIANG    : Hari ini aku tak mau minum obat.
NYOMAN    : Oh ya, baik tiyang tolong dulu Gusti memasukkan benang ke jarumnya.
GUSTI BIANG    : Juga tidak. Kau tidak diperlukan di sini! (NYOMAN MEMUNGUT JARUM DI LANTAI).

NYOMAN    : Coba dari tadi memanggil tiyang, tidak perlu jadi kusut begini. Gusti Biang terlalu saying pada Bape Wayan. Lihat gampang bukan?
GUSTI BIANG    : Kau jangan menyindir aku, tentu saja semuanya bisa begitu. Aku juga bisa mengerjakannya. Tapi lobangnya terlampau sempit,.
NYOMAN    : Terlampau sempit? Piih, semua jarum dibuat kecil Gusti, makin halus makin mahal harganya (TERSENYUM).
Gusti biang    : Siapa bilang? Itu tak ada lobangnya sama sekali. Toko itu menjual kawat utuh kepadaku. Setan alas.
NYOMAN    : Tak percaya? Coba sekali lagi.
GUSTI BIANG    : Jangan berlagak di sini (MENGACUNGKAN TONGKAT) Ini bukan arje roras! Aku sudah bosan dibohongi dengan sulapan palsumu. Kau pikir aku tidak bisa menguasai jarum kecil itu. Piih, lakiku sendiri tak pernah menghina aku demikian.
NYOMAN    : Ambilah Gusti Biang. Gusti boleh menyulam sekarang. (MELIHAT LAMPU). Tapi di sini terlalu gelap (MEMBESARKAN). Nah, sekarang sudah cukup terang. Ambil Gusti.
GUSTI BIANG    : Tidak! Kau telah mulai menyulap aku lagi. Aku tak sudi menyentuh barang sihiranmu. Suasana kotor sekarang.
NYOMAN    : Kalau begitu tiyang ikatkan saja ujung benang ini ke kainnya, nanti Gusti Biang tinggal meneruskannya saja.
GUSTI BIYANG    : Pergi! Pergi! Nanti kupanggilkan Wayan supaya kau diusirnya. (NYOMAN TIDAK PERDULI MENERUSKAN SULAMAN SAMBIL MENYANYI KECIL). Dewa Ratu! Kau telah , merusakkan sarung bantal anakku. Wayaaaaaaaan ………. Wayaaaaaaaaaan ……. Di mana pula setan itu. Wayaaaaaann ………
NYOMAN    : Sayang sekali Gusti Biang tidak menyuruh tiyang yang mengerjakannya. Mestinya di tengahnya bisa disulam dengan warna biru muda. Lalu dengan tulisan rapi; selamat malam kekasih, selamat malam pujaan, selamat malam manis. Good night my darling ………
GUSTI BIANG    : Setan! Setan! Aku tak boleh berbuat sewenang-wenang di rumah ini. Berlagak mengatur orang lain yang masih waras. Apa good, good apa? Good by! Menyebut kekasih, manis. Kau kira siapa anakku? Piih! Wayan tua akan menguncimu dalam gudang tiga hari tiga malam. Kau akan meraung seperti si Belang.
NYOMAN    : Aduh cantiknya Gusti Biang, seperti burung merak. Gusti tampak sehat seperti lima belas tahun yang lalu, waktu tiyang masih kecil dan suka bermain di pangkuan Gusti. Masih ingatkah Gusti?
GUSTI BIANG    : Tak kubiarkan lagi kau bermain di pangkuanku. Berak dan ngompol memangnya aku ini pelayanmu. Tak sudi lagi aku bicara padamu. (GUSTI BIANG MERENGGUT SARUNG BANTAL DARI TANGAN NYOMAN DAN NYOMAN TERUS MEMBUJUK).
NYOMAN    : Gusti Biang adalah bangsawan yang baik dan berbudi tinggi. Tidak seperti orang lain. Gusti telah menyekolahkan tiyang sampai SMP. Tengoklah bayangan Gusti di muka cermin, seperti baru tiga puluh tahnu saja. (DENGAN LEMBUT) Maukah Gusti meneguk loloh daun belimbing sekarang?
GUSTI BIANG    : Aku tidak mau bicara lagi denganmu.
NYOMAN    : Sumpah Gusti tidak pahit. Banyak gulanya dan hangat.
GUSTI BIANG    : Tidak.
NYOMAN    : Tiyang cicipi ya. Heem cobalah Gusti Biang, segar.
GUSTI BIANG    : Sepatahpun aku tak mau bicara!
NYOMAN    : Pil ini ditelan satu persatu. Pakai pisang ambon, dan pisang susu atau air the. Pilih yang mana akan dipakai. Tidak pahit rasanya, dalam tempo seperempat jam saja Gusti pasti merasa segar. Sesudah itu minum puyer ini untuk menghilangkan pusing-pusing.
GUSTI BIANG    : Tidak!
NYOMAN    : Obat ini dikirimkan dokter Gusti. Harus dihabiskan.
GUSTI BIANG    : Tidak! Aku tahu semuanya itu. Kalau aku menelannya aku akan tertidur seumur hidup dan tidak bangun-bangun lagi. Lalu good by! Lalu kau gelapkan ke warung Cina. Kau selamanya iri hati dan ingin membencanaiku. Kalau aku sampai mati karena racunmu, Wayan akan menyeretmu ka pengadilan. Kau akan menjerit disiksa polisi seperti babi disembelih.
NYOMAN    : Dan yang terakhir baru menggosok punggung dan semua anggota badan Gusti yang terbuka dengan minyak kayu putih.
GUSTI BIANG    : Tidak! Tidak akan kubiarkan punggungku ditelanjangi, dibelai, disentuh orang dengan kurang ajar! Aku bukan ibumu atau nenekmu.
NYOMAN    : Nah, sekarang kita mulai dengan tablet-tablet ini. Menurut resep boleh ditelan atau dihancurkan. Mana Gusti pilih? Kita mulai saja dengan pil merah ini.
GUSTI BIANG    : Dewa Ratu!
NYOMAN    : Telan saja, itu yang paling aman.
GUSTI BIANG    : Aku tidak mau dibujuk. Mana Wayan kambing itu. Setan ini mau meracunku benar-benar.
NYOMAN    : Ayo Gusti, telan cepat. Tidak akan terasa apa-apa.
GUSTI BIANG    : Wayaaaaaaaaaaan ……….. Wayaaaaaaaaaaaaan. Wayan tua tolong Wayan ……………..
NYOMAN    : Letakkan di atas pisang atau di ujung lidah lantas pejamkan mata, lihat … (MEMBERI CONTOH) Telan secepat kilat, dia akan meluncur, tidak pahit dan tidak sakit Gusti. (GUSTI BIANG MEMUKUL NYOMAN DENGAN TONGKAT, OBAT JATUH BERANTAKAN DAN NYOMAN MEMUNGUT TABLET-TABLET SAMBIL MENANGIS).
GUSTI BIANG    : Racunlah dirimu sendiri! Gosoklah punggungmu sendiri! Kenapa kau meributkan penyakit orang lain? Itu tugas dokter di rumah sakit. Bukan tugas penjeroan seperti engkau. Kalau aku memang sakit, aku akan berbaring memanggil Wayan untuk memijit kening dan betisku. Tidak ada yang salah kalau laki-laki itu ada di sini. Wayaaaaaaaaaaaaan ……… Wayaaaaaaaaaaaan tua. Lehermu akan diputarnya.
NYOMAN    : Mengapa Gusti Biang jadi seperti itu? Gusti telah mengecawakan tiyang.
GUSTI BIANG    : Sakit gede! Seumur hidupmulah. Kalau toh aku mati karena racunmu awas-awaslah! Rohku akan membalas dendam. Aku akan diam di batang-batang pisang, di batu-batu besar dan akan mengganggumu sampai mati. Tiap malam kliwon bila malam bertambah malam. Setan! Pergilah kau sebelum kulempar dengan tongkat ini.
NYOMAN    : (BERUSAHA TETAP RAMAH) Baiklah, tiyang hampir lupa. Ya tak apalah, Gusti pasti lebih suka kalau puyer itu diminum terlebih dulu, kemudian menyusul pil-pil yang lain. Atau Gusti ingi bersantap malam dulu? Percayalah tidak akan terjadi apa-apa.
GUSTI BIANG    : Wayaaaaaaaaaan ….. Wayaaaaaaaaan (TERBATUK-BATUK).
NYOMAN    : Lihat, Gusti telah merusak badan Gusti sendiri dengan berteriak-teriak.
GUSTI BIANG    : Bedebah, kurang ajar! Dimakan leak engkau! (MENYODOK NYOMAN).
NYOMAN    : Gusti telah menyakiti tiyang lagi.
GUSTI BIANG    : Leak! Pergi! Pergi bedebah!
NYOMAN    : (TERHINA DAN GERAM) Tiyang akan pergi. Ya ………… tiyang akan pergi sekarang. (GUSTI BIANG BERGULAT MELAWAN BATUK, NYOMAN KASIHAN DAN MENGHENTIKAN LANGKAH). Waktu putera Gusti pergi lima tahun yang lalu, ia berpesan kepada tiyang; jaga baik-baik ibuku Nyoman, pelihara kesehatannya, jangan biarkan beliau menderita. Sekarang Gusti Biang dinyatakan dokter sakit, Gusti harus berobat.
GUSTI BIANG    : Diam! Diam!
NYOMAN    : Baiklah kalau begitu (HENDAK PERGI) Gusti tidak usah berobat. Ya, apa perduli tiyang. Segera gusti akan terkapar lesu. Malam akan bertambah kelam jua (SAMPAI DI PINTU IA BERBALIK DAN MENDEKATI MEJA).
GUSTI BIANG    : Apa perdulimu?
NYOMAN    : Tapi semua itu akan segera hilang ………. Kalau Gusti mau meneguk air daun belimbing ini. Jamu ini diramu berdasarkan petunjuk dukun kesayangan Gusti Biang, tiyang sudah mencampurnya dengan akar-akaran yang harum dan akan menguatkan badan. Pasti Gusti Biang tidak akan batuk-batuk lagi. Gusti minumlah ……….
GUSTI BIANG    : Kau memang setan licik! (BERTERIAK HENDAK MEMUKUL, NYOMAN MENARIK DARI BELAKANG). Lepaskan! Lepaskan leak! Wayaaaaaaaaaan,…………Wayaaaaaaaaan ……….(NYOMAN BERHASIL MENDUDUKAN GUSTI BIANG DI KURSI TAPI GUSTI BIANG MEMUKUL BERTUBI-TUBI DAN NYOMAN BERLARI KE SUDUT RUANG).
NYOMAN    : Cukup! Cukup! (BERLARI MENGELILINGI MEJA).
GUSTI BIANG    : (TERUS MEMUKUL NYOMAN DAN NYOMAN MEREBUT TONGKAT). Wayaaaaaan …….. Tolong Wayaaaan.
NYOMAN    : Tak tiyang sangka Gusti seberat ini! Tak tiyang sangka. Tiyang pergi sekarang ke desa, tak mau meladeni Gusti lagi!
GUSTI BIANG    : Pergilah leak! Aku sama sekali tidak menyesal!
NYOMAN    : (BERLARI KE LUAR) Tiyang tak akan kembali lagi!
GUSTI BIANG    : Pergi sekarang juga! Wayaaaaaaan, Wayan tua ………. (DUDUK), Ratu Singgih, moga-moga tulahlah perempuan itu, Wayaaaaaaaaaaan …………
(WAYAN MASUK)
WAYAN        : Kalau tak salah seperti ada yang berteriak.
GUSTI BIANG    : Tua bangka. Ke mana saja kau tadi. Kenapa baru datang!
WAYAN        : Titiyang ketiduran di dalam gudang.
GUSTI BIANG    : Kejar setan itu. Putar lehernya. Kejar dia goblok!
WAYAN        : Mana ada setan sore-sore begini Gusti?
GUSTI BIANG    : Kejar perempuan setan itu.
WAYAN        : Perempuan, perempuan yang mana gusti?
GUSTI BIANG    : Bejundal itu! Masukkan ia ke dalam gudang!
WAYAN        : Maksud Gusti Nyoman?
GUSTI BIANG    : Usir dia dari rumah ini!
WAYAN        : Tetapi ……….. tetapi ……….
GUSTI BIANG    : Tua Bangka. Pukul dia sampai mati, putar lehernya! Diam saja seperti kambing!
WAYAN        : (TERTAWA) Gusti, Gusti tidak ada kambing di sini!
GUSTI BIANG    : Kau juga tidak waras!
WAYAN        : Tetapi, memukul, memutar leher?
GUSTI BIANG    : Penakut!
WAYAN        : Tidak, titiyang tidak takut sama leak atau memedi. Tetapi memutar leher Nyoman, piiih. Lebih baik memutar leher titiyang sendiri. Perawan yang begitu cantik, baik, mahal.
GUSTI BIANG    : Dia mau meracunku!
WAYAN        : Meracun? Masa, ada yang berniat meracun Gusti.
GUSTI BIANG    : Kau tukang ngotot!
WAYAN        : Jangan gampang marah Gusti itu Cuma angan-angan. Sabarlah, kalau usia sudah lanjut tambahan lagi penyakitan, tak baik marah-marah malam begini!
GUSTI BIANG    : Bedebah, anjing ompong! Setelah mengusir dia, aku akan mengutuk kau, biar mati kelaparan di pinggir kali.
WAYAN        : Baik. Kutuklah titiyang. Usir sekarang. Tapi jangan menyuruh menyakiti orang dalam usia lanjut. Orang sedang bertapa dan bertobat disuruh mukul orang. Kalau ular belang atau ular hijau, cacing tanah atau ulat bulu. Wayan akan bunuh untuk keselamatan Gusti, seperti tiga bulan yang lalu. Gusti duduk di sini dan titiyang di sana di bawah pohon sawo. Tiba-tiba Gusti Biang berteriak; ulaaaaar!!! Sekejap mata, ular itu telah menjadi delapan potong, ya, tidak? 
GUSTI BIANG    : Ular ……. ?
WAYAN        : Jangan takut. Ular kelihatannya saja sangat berbahaya, tetapi sebenarnya binatang yang sangat pemalu dan lucu. Titiyang sendiri sering menyimpan ular sawah dalam saku untuk dibelai pada waktu senggang. Oh, mana ya? Ular sawah tak mengandung bisa. Gusti jangan takut (MEROGOH SAKUNYA) Ah, ini dia ………….
GUSTI BIANG    : Ulaaaarrrrrrrrrrr …….. (GUSTI BIANG LARI, WAYAN MENGGELENG-GELENGKAN KEPALA MENDENGAR JANDA BANGSAWN ITU MEMAKI-MAKI. MALAM BERTAMBAH LARUT).
EXT. HALAMAN RUMAH. MALAM.
(WAYAN SEDANG MENGENANG MASA-MASA MUDANYA. NAMPAK ANAK-ANAK SEDANG BERMAIN TIDAK JAUH DARI TEMPAT WAYAN).
EXT. HALAMAN. MALAM.
(WAYAN MENEMBANG PELAN-PELAN. TIBA-TIBA MELIHAT SOSOK TUBUH, LALU MENGHAMPIRINYA).
WAYAN        : Mau ke mana Nyoman?
NYOMAN    : Pulang ke desa Bape.
WAYAN        : Malam-malam begini?
NYOMAN    : Apa salahnya?
WAYAN        : Kau akan kemalaman di jalan.
NYOMAN    : Aku tidak takut Bape.
WAYAN        : Banyak orang jahat sekarang.
NYOMAN    : Biar, dari pada saya sakit tinggal di sini.
WAYAN        : Besok sajalah pagi-pagi, Bape akan menghatarmu dengan bus. Oh ya, kau belum dapat ijinkan?
NYOMAN    : Biar.
WAYAN        : Kapan kau akan balik? Kenapa tergesa-gesa? Bape tidak marah Nyoman, Bape bersumpah lebih baik mati dimakan leak dari pada memukul engkau. Kenapa tiba-tiba saja pulang?
NYOMAN    : Saya dipukul, saya diusir, buat apa tinggal di sini kalau tidak disukai.
WAYAN        : Nyoman, Nyoman sudah biasa tinggal di sini. Kau tidak akan betah tinggal di sana. Nanti kamu akan rusak di sana.
NYOMAN    : Tapi di sana orangnya baik-baik. Saya tidak pernah dipukul, saya lebih senang tinggal di situ biar Cuma makan batu.
WAYAN        : Dari pada makan batu lebih baik tinggal di sini. Makan minum cukup, ada radio, bisa nonton film India lagi.
NYOMAN    : Tapi kalau tertekan seperti binatang? Dimarahi, dihina, dipukul seperti anak kecil.
WAYAN        : Tapi Nyoman harus mengerti, kita berhutang budi pada Gusti Biang.
NYOMAN    : (PELAN-PELAN) Memang. Saya banyak berhutang budi, dikasih makan, disekolahkan, dibelikan baju, dimasukkan kursus modes, tapi kalau tiap hari dijadikan bal-balan, disalah-salahkan terus? Sungguh mati kalau tidak dikuat-kuatkan, kalau tidak ingat pesan Tu Ngurah, saudah dari dulu-dulu sebetulnya …………..
WAYAN        : Aduh, apa yang mesti Bape katakana kalau dia menanyakan Nyoman. Di mana Nyoman Bape? Nah, apa yang akan Bape jawab?
NYOMAN    : Ide sudah lupa sama Icang Bape, di sana kan banyak bintang-bintang film, pasti dia sudah lupa. Nulis surat saja tidak.
WAYAN        : Tidak, dia tidak begitu.
NYOMAN    : Siapa bilang begitu?
WAYAN        : Aku yang bilang tidak. Ha ……… ha ……….. pasti dia tidak akan begitu. Kalau sampai begitu, aku yang tanggung jawab. Makanya jangan pulang, sini barangnya ……….
NYOMAN    : Akan saya tunggu di desa saja Bape.
WAYAN        : Sudahlah, dia Cuma orang tua Bangka. Umurnya hampir tujuh puluh tahun. Kenapa Nyoman pusing benar kepadanya?
OS. (SUARA GUSTI BIANG MENCARI NYOMAN. GUSTI BIANG MUNCUL DAN MENGHAMPIRI WAYAN).
NYOMAN    : Saya pergi Bape, tidak bisa tahan lagi. Saya sudah bosan.
GUSTI BIANG    : Jangan biarkan dia membawa bungkusan itu! Tahan dia Wayan.
WAYAN        : Tentu Gusti Biang.
NYOMAN    : Baik, titiyang akan pergi Gusti.
GUSTI BIANG    : Suruh dia pergi goblok. Jangan biarkan dia mencuri bungkusan itu. Itu bukan kepunyaannya.
WAYAN        : Tapi itu pakaiannya sendiri Gusti,
GUSTI BIANG    : Dulu, ketika dia kubawa ke mari, dia Cuma pakai kain rombengan. Ambil segera Wayan! Sakit Gede.
NYOMAN    : Baik. Ambil saja Bape Wayan.
GUSTI BIANG    : Nanti dulu.
NYOMAN    : Apalagi yang Gusti kehendaki?
GUSTI BIANG    : Wayan!
WAYAN        : Ya, ada apa Gusti?
GUSTI BIANG    : Simpan bungkusan itu, jangan goblok kamu. Lalu ambil buku besar, catatan ke luar masuk uang, dari dalam almari. Ini kuncinya, cepat!
WAYAN        : Ah, catatan uang ke luar masuk? Baru kali ini titiyang mendengarnya.
GUSTI BIANG    : Ambil cepat goblok!
WAYAN        : Tapi buku besar yang mana Gusti?
GUSTI BIANG    : Tolol kamu ini! Buku besar di dalam almari yang berwarna hijau.
WAYAN        : Oh …..
GUSTI BIANG    : Ayo cepat!
(WAYAN MASUK MEMBAWA BUNGKUSAN. GUSTI BIANG BERTOLAK PINGGANG. NYOMAN MEMPERHATIKAN DENGAN SANGAT BENCI).
GUSTI BIANG    : Perempuan tidak tahu membalas budi. Tidak tahu berterimakasih. Dikasih makan tiap hari malah durhaka. Di sekolahkan malah jadi lawan. Maling, ular, mau meracun.
NYOMAN    : Katakan sepuas-puasnya Gusti BIang.
GUSTI BIANG    : Aku mau diracunnya. Terlalu. Akan aku adukan kepada polisi. Gial!
NYOMAN    : Gusti sendiri yang menyikasa tiyang.
GUSTI BIANG    : Dasar penjilat! Kuberhentikan sekolah karena kau main mata dengan guru dan tukang kebun sekolah itu.
NYOMAN    : Bohong! Itu hasutan anak Gusti Biang sendiri.
GUSTI BIANG    : Benar!
NYOMAN    : Bohong!
GUSTI BIANG    : Benar! Kau memang liar, genit dan licik serta apa saja yang jelek-jelek.
NYOMAN    : Baik. Baik, tapi kau juga genit.
GUSTI BIANG    : Apa katamu?
NYOMAN    : Kau juga genit, kau ….
GUSTI BIANG    : Apa katamu leak? Wayan akan memutar lehermu!
NYOMAN    : Wayan akan memutar lehermu!
GUSTI BIANG    : Bohong! Dia akan menguncimu dalam gudang!
NYOMAN    : Dia akan menguncimu dalam gudang!
GUSTI BIANG    : Setan! Akan kucarikan kau ke polisi.
NYOMAN    : Polisi itu akan membawakan Gusti ular belang.
GUSTI BIANG    : Diam! Diam! (NYOMAN HENDAK PERGI MENINGGALKAN GUSTI BIANG, TAPI GUSTI BIANG MENCEGAHNYA). Jangan pergi! Jangan duduk! Dan jangan bergerak! (NYOMAN BERHENTI LALU MENDEKAT DAN MEMANDANG GUSTI BIANG DENGAN MARAH).
NYOMAN    : Gusti Biang. Tiyang bosan merendahkan diri. Dulu tiyang menghormati Gusti karena usia Gusti lanjut. Tiyang mengikuti semua apa yang Gusti katakana, apa yang Gusti perintahkan meskipun tiyang sering tidak setuju, tetapi Gusti sudah keterlaluan sekarang, orang disuruh makan terus menerus. Gusti menganggap tiyang tak lebih dari cacing tanah. Semutpun kalau terus diinjak menggigit, apalagi manusia. Gusti yang seharusnya agung, luhur menjadi tauladan, tapi seperti ……….
GUSTI BIANG    : Seperti apa?
NYOMAN    : Orang kebanyakan saja punya kasih saying dan menghargai orang lain. Tapi Gusti. Di mana letak keagungan Gusti? Cobalah Gusti berjalan di jalan raya seperti sekarang. Gusti akan ditertawakan oleh orang banyak. Sekarang orang tidak lagi diukur dari keturunan, tapi kelakuan dan kepandaian yang menentukan. Sekarang tidak hanya bangsawan, semua orang berhak dihormati kalau baik. Begitu mestinya, begitu mestinya.
GUSTI BIANG    : Begitu mestinya, bohong tolol!
NYOMAN    : Memang tiyang tolol. Buat apa mengatakan ini semua. Gusti sudah terlalu lanjut, akan terlalu sakit untuk merubah kebiasaan Gusti. Tapi seandainya mau mencoba, mencoba saja, saya akan mau di sini mengabdi untuk selama-lamanya. (GUSTI BIANG MELUDAH DAN BERKATA).
GUSTI BIANG    : Ha ………… ha …… kau tidak perlu pidato, omong kosong. Kau perempuan sudre, kau akan kena tulah karena berani menentangku. Hei cepat Wayan! (WAYAN MUNCUL DENGAN BUKU DI TANGANNYA). Nah sekarang sebelum kau pergi, kau harus melunasi hutang-hutangmu dulu.
NYOMAN    : Hutang apa? Nyoman tidak pernah meminjam uang.
GUSTI BIANG    : Buka bagian yang bertuliskan tinta merah, Wayan. Cepat Wayan. (WAYAN TAMPAK BINGUNG MEMBALIK-BALIKAN BUKU).
WAYAN        : Nanti dulu. Piiih, nah ini dia.
GUSTI BIANG    : Baca perlahan-lahan dengan jelas. Baca kataku! (MASIH KEBINGUNGAN).
WAYAN        : (MENDEKATI LAMPU) PIIIH, mata titiyang kurang terang. Sebentar, sebentar. Piiih, kenapa belum terang juga, kabur Gusti.
NYOMAN    : Gusti lupa, Wayan tak pernah belajar membaca.
GUSTI BIANG    : Setan! Bawa kemari buku itu.
(GUSTI BIANG MENGAMBIL BUKU ITU DAN MEMBERI ISYARAT KEPADA WAYAN AGAR MENGAMBIL KACA MATA DAN LAMPU TEMPLOK, WAYAN SEGERA MELAKUKANNYA DAN MENGANGKAT LAMPU TINGGI-TINGGI).
GUSTI BIANG    : Nah, di sini dicatat semua perongkosan yang kau habiskan selama kau dipelihara di sini. Nyoman Niti. Asal dari desa Maliling, umur lebih kurang delapan belas tahun, kulit kuning dan rambut panjang. Badan biasa, lebih tinggi sedikit dari Gusti Biang. Mulai dari tahun 54, lima pasang baju, sebuah bola bekel, satu biji kelereng, satu tusuk konde dan ………..
WAYAN        : (MEMOTONG) Benar, piiih. Semuanya Gusti catat.
NYOMAN    : Gusti Biang ……….
GUSTI BIANG    : Tahun 55 sekarang! Dua baju rok, batu tulis, kebaya, pinsil, satu batang jarum, sepasang teklek, tikar dan seekor anak kucing belang.
WAYAN        : Ah benar Gusti Biang, titiyang masih ingat sekali ketika pertama kali Nyoman mengenakan kain kebaya, piiih, semuanya itu sudah lewat.
GUSTI BIANG    : Selama dua tahun ini sudah berjumlah dua juta rupiah. Sekarang tahun 56! Tidak ada, sebab aku lupa mencatatnya. Haa …. Tahun 57! Aku lupa mencatat, tetapi di sini ada yang kuingat. Ia memecahkan sebuah cangkir dan kaca mataku. Lalu tahun 58! Sepasang sandal, sekotak bedak, kaca jendela dipecahkannya, dua buah gelas tiba-tiba menghilang, sekilo daging dimakan si belang karena lupa mengunci dapur, tiga buah sisir, tiga butir kelapa hilang, seekor ayamku yang paling baik disembelihnya, sepuluh anak ayam tiba-tiba mati, yang bulunya putih, hitam coklat, kuning dan berumbun. Lalu …………….
WAYAN        : Tapi semua itu tak bisa dipertanggung jawabkan kepada Nyoman, Gusti. Itu adalah kesalahan induknya yang tidak berhati-hati menjaga anaknya. Bukan kesalahan Nyoman.
GUSTI BIANG    : Diam! Diam kataku! Ini adalah urusanku. Nanti kau akan mendapat bagian juga. Nah ongkos hidupmu hampir delapan belas tahun di sini benar-benar sudah kelewat batas. Coba lihat di sini. Tahun 60 misalnya, memecahkan kaca jendela, korupsi sabun, menghanguskan nasi, korupsi uang belanja dapur dan pekerjaan-pekerjaan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Beberapa kali aku memanggil mantra untuk mengobatinya, membeli obat waktu dia sakit. Banyak, banyak sekali. Itu belum ditambah yang lain-lain yang lupa aku catat. Belum lagi ditambah dengan bunganya.
WAYAN        : Piiih. Ini adalah perhitungan gila!
GUSTI BIANG    : (BERKATA SUNGGUH-SUNGGUH). Semuanya telah aku catat bersama tanggal dan hari kejadiannya. Sekarang kau boleh pergi. Kapan-kapan aku dan Wayan akan datang ke tempatmu dengan seorang polisi dan juru sita, sebab kau pasti tidak akan bisa membayar. Kau cuma punya gubuk buruk di desa dan tak pernah makan nasi. Rentennya sepuluh persen perbulan. Nah, bawa lagi buku ini ke dalam Wayan. Simapnlah baik-baik, untuk dipergunakan kelak. Lalu usir dia! Apa yang kau tunggu lagi? Ambil buku ini, dan usir dia! (WAYAN TIDAK MENERIMA IA MENDEKAT KE MEJA DAN MELETAKKAN LAMPU TEMPLOK KEMUDIAN BERJONGKOK).
WAYAN        : Titiyang tak kuasa. Badan titiyang lemas. Gusti telah mencatat hutang-hutang titiyang pula. Berapa semuanya Gusti?
GUSTI BIANG    : Sudah tak terhitung lagi. Hampir dua puluh juta!
WAYAN        : Piiih, titiyang punya nyawa pun tak ada harganya dua puluh juta. Gusti, titiyang benar-benar ingin menangis sekarang.
GUSTI BIANG    : Usir dia sekarang juga, jangan ngarje roras di sini (MELIHAT WAYAN YANG MASIH BERJONGKOK). Apa? Baik, aku sendiri yang mengusirnya kalau kau tak mau.
NYOMAN    : Tidak usah disuruh Gusti. Tiyang memang mau pergi sekarang. Tetapi sebelum tiyang pergi, tiyang hitung berapa hutang Gusti Biang kepada tiyang.
GUSTI BIANG    : Oh, aku tak pernah pinjam uang sepanjang hidupku.
NYOMAN    : Lebih dari sepuluh tahun tiyang menghamba di sini. Bekerja keras dengan tidak menerima gaji. Kalau tidak ada Bape Wayan, sudah lama tiyang pergi dari sini. Selama ini tiyang telah membiarkan diri diinjak-injak, disakiti, dijadikan bulan-bulanan seperti keranjang sampah. Tidak perlu rentennya, pokok-pokonya saja. Hutang Gusti Biang kepada tiyang sepuluh juta kali sepuluh tahun. Belum lagi sakit hati tiyang karena fitnahan dan hinaan Gusti. Pokoknya melebihi harta benda yang masih Gusti miliki sekarang. Tapi ambilah semua itu sebagai tanda bakti tiyang yang terakhir.
GUSTI BIANG    : Pergiiiii! Pergiiiiiiiiiiii!!
(NYOMAN MENGHAPUS AIR MATA DAN BERLARI KE LUAR PINTU. JANDA BANGSAWAN ITU MENGAWASINYA DENGAN MENGANGKAT LAMPU TEPLOK).
(WAYAN YANG DUDUK MEMBELAKANGI GUSTI BIANG TIDAK TAHU KALAU NYOMAN TELAH PERGI).
WAYAN        : (BERGUMAM) Satu milyar kali sepuluh tahun? Aneh-aneh saja pembukuan jaman sekarang.
GUSTI BIANG    : (MENDEKAT WAYAN) Jangan cerewet Wayan. Awasi dia supaya jangan kembali kemari, kau dengar?!
WAYAN        : Sabar Gusti, kenapa Gusti gelap mata? Gusti telah menghantam semua orang dengan hutang. Satu milyar dan ……………. (MENOLEH KE BELAKANG DAN HERAN). Piiih, di mana Nyoman Gusti?
GUSTI BIANG    : Dia sudah pergi, buta. Dia tidak akan mengganggu kita lagi.
WAYAN        : Maksud Gusti, dia sudah pergi dan titiyang tidak, titiyang tidak melihatnya?
GUSTI BIANG    : Ya, sekarang kita sudah terlepas dari bahaya.
WAYAN        : Terlepas? Justru bahaya itu sekarang baru mulai Gusti.
GUSTI BIANG    : (TERTAWA GELI) Tenang Wayan. Jangan pikirkan yang dua puluh juta itu. Aku cuma berpura-pura.
WAYAN        : (BERINGAS) Titiyang tidak memikirkan. Titiyang punya diri. Titiyang memikirkan putera Gusti Biang.
GUSTI BIANG    : Bagus Wayan. Ah, mana kaca mata itu. Segera kita akan membaca berita yang dikirimnya.
WAYAN        : Dia akan mengumpat titiyang dan mengalungkan ular karena keteledoran titiyang. Ke mana tadi perginya Gusti? Titiyang akan mengejarnya.
GUSTI BIANG    : Apa maksudmu Wayan?
WAYAN        : Nyoman yang Gusti usir tadi, piiih. Gusti tak tahu?
GUSTI BIANG    : Kenapa Wayan?
WAYAN        : Buta! Tuli! Rabun! Pikun! Piih, dunia. Dunia.
GUSTI BIANG    : (PANIK). Katakan, kenapa dia Wayan? Ya, katakana. Katakana apa maksudmu?
(WAYAN MENGGELENG-GELENGKAN KEPALANYA DENGAN KESAL).
WAYAN        : Nyoman Niti, Gusti Biang.
GUSTI BIANG    : Ya. Nyoman begundal itu, kenapa dia?
WAYAN        : Gusti. Nyoman adalah tunangan Ngurah, calon menantu Gusti Biang sendiri. Berani sumpah. Nyoman adalah tunangan Ngurah. Ratu Ngurah sendiri yang mengatakan, aku akan mengawini Nyoman Bape, katanya, biar hanya orang desa, pendidikannya rendah tapi hatinya baik, dari pada …. Biar dimakan leak. Demi apa saja!
GUSTI BIANG    : Tidak! Semua itu hasutan. Anakku tidak akan aku perkenankan kawin dengan bekas pelayannya. Dari keturunan ksatria kenceng, keturunan raja-raja Bali yang tak boleh dicemarkan oleh darah orang sudre.
WAYAN        : Tapi kalau Ratu Ngurah menghendaki, bagaimana?
GUSTI BIANG    : Bisa saja dipelihara sebagai selir. Suamiku dulu memelihara lima puluh orang selir.
WAYAN        : Nyoman tidak mau dijadikan selir.
GUSTI BIANG    : Kalau tidak mau, jangan mendekati anakku.
WAYAN        : Tapi mereka saling mencintai!
GUSTI BIANG    : Cinta? Apa itu cinta. Itu hanya ada dalam kidung-kidung smarandanamu!
WAYAN        : Kalau begitu alamat akan perang.
GUSTI BIANG    : Perang apa maksudmu? Perang sudah selesai. Tak ada perang lagi. Tidak ada perang lagi!
WAYAN        : Wayan tidak mau kehilangan tongkat dua kali.
GUSTI BIANG    : Ngurah tidak akan sudi menjamah perempuan dekil itu.
WAYAN        : Ratu Ngurah benar-benar mencintai mencintai Nyoman, Gusti Biang.
GUSTI BIANG    : Bohong!
WAYAN        : Bacalah surat itu kalau tidak percaya!
GUSTI BIANG    : Surat? Ini surat Ngurah, aku terima tadi.
WAYAN        : Sudah lima hari yang lalu!
GUSTI BIANG    : Coba baca!
(GUSTI BIANG MEMBACA DEKAT LAMPU TEPLOK DAN WAYAN MENDENGARKAN DENGAN TENANG).
GUSTI BIANG    : Swastiastu, ibunda tercinta ……… kalau aku bilang tadi , kamu bilang sudah lima hari, apa saja yang aku katakana kamu lawan! Dewa Ratu, dengarkan Wayan ………. Betapa pintarnya ia menghormati (MEMBACA LAGI). Dengan singkat ananda kabarkan bahwa ananda segera pulang. Ananda telah merencanakan berunding dengan ibu. Sudah masanya sekarang ananda menjelaskan . meskipun ananda belum bisa menyelesaikan pelajaran, bahkan mungkin ananda akan berhenti saja sekolah, sebab tak ada lagi gunanya. Ananda hendak menjelaskan kepada ibu bahwa ananda tidak bisa lagi berpisah lebih lama. Rahasia ini ananda simpan sejak lama. Supaya ibu tidak kaget! Nanti , akan saya terangkan bahwa ananda bermaksud, ananda bermaksud ….. ananda bermaksud (ULANG GUSTI BIANG SAMBIL MENDEKATKAN LAMPU TEPLOK).
WAYAN        : Bermaksud apa?
GUSTI BIANG    : Bermaksud, bermaksud ……
WAYAN        : Ya, bermaksud apa? Baca terusannya Gusti Biang.
(TIBA-TIBA SURAT ITU JATUH DARI TANGANNYA).
GUSTI BIANG    : Jadi, dia benar-benar mau kawin dengan perempuan itu?
WAYAN        : Ya.
GUSTI BIANG    : Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku melarang keras, ngurah kawin dengan orang patut-patut. Dia sudah kujodohkan sejak kecil dengan Sagung Rai. Sudah kurundingkan pula dengan keluarga di sana kapan hari baik untuk mengawinkannya. Dia tidak boleh mendurhakai orang tua seperti itu. Apapun yang terjadi dia harus terus menghargai martabat yang diturunkan laluhur-leluhur di puri ini. Tidak sembarang orang dapat dilahirkan sebagai bangsawan. Kita harus benar-benar menjaga martabat ini. Oh, aku akan malu sekali kalau dia sampai mengotori nama baikku. Lebih baik aku mati menggantung diri dari pada menahan malu seperti ini. Apa nanti kata Sagung Rai? Apa nanti kata keluarganya kepadaku? Tidak, tidak. (WANITA ITU MENDEKATI WAYAN DENGAN BERINGAS). Kau, kau biang keladi semua ini. Kau yang menghasut supaya mereka bertunangan. Kau memang sakit Gede!
WAYAN        : Tidak, titiyang tidak ikut campur Gusti Biang.
GUSTI BIANG    : Ya, kaulah hantu yang memburu hidupku. Aku masih ingat kejadian jaman dulu. Waktu aku masih muda dank au memburuku dengan kata buayamu itu. Kau memang licik! Dasar manusia sudre! Kau menghasut anakku supaya kawin dengan Nyoman karena kau sendiri gagal.
WAYAN        : Siapa bilang titiyang gagal?
GUSTI BIANG    : Suamiku yang telah menggagalkan kau.
WAYAN     : Suami Gusti Biang seorang pembohong!
GUSTI BIANG    : Bedebah! Berani kau menghina pahlawan di puri ini! (WAYAN TERTAWA PAHIT, WAJAHNYA MENJADI KERAS).
WAYAN        : Pahlawan? Pahlawan apa? Siapa yang mengatakan dia pahlawan?
GUSTI BIANG    : Semua mengatakan dia pahlawan! Dia telah berjuang untuk kemerdekaan dan mati di tembak NICA!
WAYAN        : Itu bohong! Dia berjuang demi keselamatannya sendiri. Dia memata-matai NICA! Orang-orang seperti dia yang menggabungkan diri dalam pasukan gajah merah pantas disebut pahlawan. Pahlawan penjajah! Orang-orang semacam dia telah menikam perjuangan dari belakang.
GUSTI BIANG    : Pergi! Pergi bangsat! Angkat barang-barangmu, tinggalkan rumah suamiku ini. Aku tidak sudi memandang mukamu! (GUSTI BIANG MELEMPARI WAYAN DENGAN BOTOL-BOTOL).
WAYAN        : Baik. Aku akan pergi sekarang, aku akan menyusul Nyoman, aku juga bosan di sini meladeni tingkah lakumu. Tapi sebelum aku pergi, akan kujelaskan tentang pahlawan gadungan itu. Gusti harus tahu ………………..
GUSTI BIANG    : (MEMOTONG). Tidak! Aku tidak mau mendengar. Kau telah menghina suamiku. Ini tidak bisa dimaafkan lagi. Pergi! Pergi, sebelum aku mengutukmu. Pergi! Rumah ini kepunyaanku, tinggalkan gudang itu. Pergi bedebah!
WAYAN        : Benar?
GUSTI BIANG    : Pergi leak! Jangan kau menggangguku lagi. Pergi!
WAYAN        : Baik, tiyang akan pergi Gusti Biang. (WAYAN MENINGGALKAN RUANGAN. GUSTI BIANG MELONTARKAN KUTUKAN).
GUSTI BIANG    : Tinggalkan gudang itu sekarang juga. Enyah dari rumah suamiku. (AGAK RENDAH, JONGKOK). Dia sudah menjadi setan, suamiku dihinanya, anakku dihasutnya. Terkutuk, terkutuklah bedebah itu. Apa yang harus kukatakan kepada Sagung Rai kalau Ngurah kawin dengan perempuan sudre itu? Bedebah, terkutuk! Dewa Ratu, malangnya nasib orang tua malang ini, semua telah mendustainya semua orang telah menjadi binatang. (GUSTI BIANG MEMANDANG SEKELILING LALU DUDUK DI  KURSI. UNTUK BEBERAPA SAAT IA TERTIDUR DI KURSI ITU).
(SUARA ORANG-ORANG TERTAWA BERDERAI DI LUAR).
EXT. (DI MUKA GERBANG. SEJUMLAH ORANG ISENG-ISENG DI PINGGIR JALAN. SEORANG WANITA BERJALAN NAIK SEPEDA YANG JATUH BANGUN DARI KETAWAAN WAKTU DIA JATUH, SESEORANG MELIHAT NGURAH DATANG SAMBIL MENENTENG KOPER).
SESEORANG    : Itu Ngurah …………..!
EXT. (HALAMAN).
(NGURAH MASUK DIIRINGI ORANG-ORANG. NGURAH TERKEJUT MELIHAT KEADAAN RUMAH BERANTAKAN. IA MENOLEH. ISYARAT SUPAYA SEMUA ORANG PERGI. KEMUDIAN MASUK KE DALAM RUMAH) ………….

INT. TEMPAT GUSTI BIANG. GUSTI BIANG TERTIDUR. NGURAH MASUK.
NGURAH    : Ibu ……. Ibu ……… Ibu ………
GUSTI BIANG    : Siapa?
NGURAH    : Tiyang Ngurah. Tiyang datang, Ibu.
GUSTI BIANG    : Ngurah?
NGURAH    : Ya, Ngurah. Bangun Ibu. (GUSTI BIANG MENGUSAP MATANYA TAK PERCAYA LALU TERBELALAK SAMBIL TERSENYUM).
GUSTI BIANG    : Ngurah ……… Ngurah, kenapa baru sekarang pulang. Kau sudah lupa pada ibumu. Kurang ajar, aku telah dihina, direndahkan, leak. Kalau kau ada di rumah, mereka tidak akan berani. Semua orang telah pergi, tak ada orng yang merawatku. Kamu jadi kurus, hitam seperti kuli.
NGURAH    : Ya. Saya bekerja di situ Ibu.
GUSTI BIANG    : Bekerja? Katanya belajar kenapa bekerja?
NGURAH    : Ya. Bekerja sambil belajar.
GUSTI BIANG    : Karena itu kamu gagal.
NGURAH    : Ibu, banyak sekali yang saya pikirkan.
GUSTI BIANG    : Tapi kau tidak pernah memikirkan ibumu?
NGURAH    : Justru karena tiyang memikirkan ibu jadi begini.
GUSTI BIANG    : Kau memikirkan ibumu, kalau perlu uang. Itu barang-barangmu?
NGURAH    : Ya.
GUSTI BIANG    : Itu koper yang ibu belikan dulu?
NGURAH    : Ya, betul Ibu.
GUSTI BIANG    : Koper itu bisa kau jaga, tapi tujuanmu ke sana tidak. Mana barang-barangmu yang lain?
NGURAH    : Masih ada di pondokan Ibu.
GUSTI BIANG    : Mengapa kau tinggalkan. Apa kau akan kembali lagi ke situ?
NGURAH    : Saya tidak tahu. Semuanya tergantung …………..
GUSTI BIANG    : Tergantung apa?
NGURAH    : Entahlah, keadaan tentunya saja Ibu.
GUSTI BIANG    : Ibu kira kau sudah jadi orang, ternyata …….. mana cincinmu?
NGURAH    : Cincin?
GUSTI BIANG    : Waktu berangkat dulu kau ibu kasih 3 buah cincin peninggalan ayahmu. Mana sekarang?
NGURAH    : Masih ada ……….
GUSTI BIANG    : Ada di tukang gadai? Aku sudah tahu kelakuan anak-anak yang mengaku-ngaku sekolah tapi nyatanya hanya nonton bioskop. Aku sudah mendapat firasat buruk. Kalau barang peninggalan leluhurmu sudah kau perlakukan seperti itu. Jangan-jangan kau akan ikut menghina dan merendahkan ibumu ini. Buat apa kau pergi jauh-jauh kalau untuk bertambah bodoh, untung kamu tidak membawa perempuan dari sana seperti Ngurah Purname di puri Anom. Aku bisa mati berdiri. Kalau cuma perawan, perawan macam apapun di sini ada, tinggal pilih saja. Tapi tak ada yang lebih cantik, lebih halus, lebih rajin dari Sagung Rai diseluruh puri-puri di Tabanan ini sekarang dia sudah besar dan cantik sekali. Besok kamu harus ke sana membawa oleh-oleh.
NGURAH    : Ibu. Ibu bicara apa itu?
GUSTI BIANG    : Kau sudah besar dan pantas memberikan aku cucu, sebelum kelewatan hanya itu yang aku tunggu-tunggu. Sekarang.
NGURAH    : Nanti saja kita bicarakan itu.
GUSTI BIANG    : Tidak. Sekarang! Apa oleh-olehmu untuk Sagung Rai? Ha ……… ha ….. Kamu juga tidak membawa apa-apa buat ibu bukan?
NGURAH    : Maaf Ibu.
GUSTI BIANG    : Tapi kamu pasti tidak lupa membelikan begundal itu klompen, baju brokat, kaca mata, de cologne, gincu, tas ha! Aku minta balsam cap macan saja tidak digubris. Perempuan kurang ajar!
NGURAH    : Perempuan. Perempuan siapa Ibu?
GUSTI BIANG    : Putar-putar! Aku sudah menerima suratmu.
NGURAH    : Ya. Tapi nanti saja kita bicarakan.
GUSTI BIANG    : Kau sendiri yang menuliskan?
NGURAH    : Ya.
GUSTI BIANG    : Kau ingat apayang kau tulis? Benar semua itu?
NGURAH    : Ya. Nanti, nanti kita bicarakan Ibu.
GUSTI BIANG    : Nanti atau sekarang sama saja. Benar Ngurah kau yang menuliskan surat itu?
NGURAH    : Sebentar Ibu. Tiyang akan jelaskan.
GUSTI BIANG    : Ngurah kau anak durhaka!
NGURAH    : Ibu. Tenanglah Ibu.
GUSTI BIANG    : Tidak! Kalau masih berniat kawin dengan dia. Jangan coba-coba memasuki rumah ini. Dan kalau kau kawin juga dengan dia, jangan lagi menyebut Ibu kepadaku.
NGURAH    : Tenang, mari kita bicarakan nanti baik-baik. Tiyang sudah lelah. Semuanya nanti kita bicarakan.
GUSTI BIANG    : Ibu pun sangat lelah. Tidak ada waktu lagi berpanjang-panjang sebelum ini berakar menjadi sakit hati, kita harus menyelesaikannya. Sekarang juga harus selesai!
NGURAH    : Begitukah keputusan Ibu?
GUSTI BIANG    : Ya.
NGURAH    : Tiyang ingin istirahat dulu Ibu.
GUSTI BIANG    : Kau boleh berbuat sesukamu kalau semuanya beres. Ini adalah rumahku dank au adalah satu-satunya ahli waris satu-satunya.
NGURAH    : Baiklah, kalau itu yang Ibu kehendaki. (HENDAK DUDUK).
GUSTI BIANG    : Kau tak perlu duduk! Ibu sendiri takkan duduk sebelum semuanya selesai dengan baik. Kita akan selesaikan sekarang. Jadi kau bermaksud kawin dengan penjeroan itu?
NGURAH    : Begini Ibu.
GUSTI BIANG    : Jawab saja dengan singkat. Benar kau akan mengawininya? Jawab Ngurah, jawab ngurah!
NGURAH    : Ya. Tiyang akan mengawininya Ibu.
GUSTI BIANG    : Ngurah! Kau sudah diguna-gunanya.
NGURAH    : Kami saling mencintai Ibu.
GUSTI BIANG    : Cinta? Ibu dan ayahmu kawin tanpa cinta. Apa itu cinta? Yang ada adalah keajiban untuk menghormati leluhur yang telah menurunkanmu, menurunkan kita semua di sini. Kau tak boleh kawin dengan dia, betapapun kau menghendakinya. Aku telah menyediakan orang yang patut untukmu. Jangan membuatku malu. Ibu telah menjodohkan kau sejak kecil dengan Sagung Rai.
NGURAH    : Sagung Rai? Tidak Ibu.
GUSTI BIANG    : Apa kurangnya Sagung Rai dibandingkan dengan perempuan desa itu?
NGURAH    : Tidak. Tiyang tidak mau kawin dengan dia.
GUSTI BIANG    : Kenapa tidak? Ibu dan keluarganya sudah selesai merundingkan semua. Dia sudah tamat SMP. Kelakuannya halus dan rajin.
NGURAH    : Ibu. Soalnya bukan itu. Ibu harus mengerti. Sekarang orang ingin sendiri teman hidup.
GUSTI BIANG    : Kalau ingin kau pelihara pelihara sudre itu karena nafsuku, terserahlah. Boleh kau pelihara sebagai selir. Kau boleh berbuat sesukamu, sebab aku telah memelihara sejak kecil. Tetapi untuk mengawininya dengan upacara itu tidak bisa.
NGURAH    : Tidak?
GUSTI BIANG    : Tidak! Aku menentangnya.
NGURAH    : Kenapa Ibu?
GUSTI BIANG    : Dia tidak pantas menjadi istrimu! Dia tidak pantas menjadi menantuku!
NGURAH    : Kenapa tidak Ibu? Kenapa? Siapa yang menjadikan Sagung Rai lebih pantas dari nyoman untuk menjadi istri karena derajatnya? Tiyang tidak pernah merasa derajat tiyang lebih tinggi dari orang lain. Kalau toh tiyang dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan tiyang harus berhati-hati. Harus pintar, berkelakuan baik agar bisa jadi teladan orang. Yang lain-lain omong kosong semua! (GUSTI BIANG TERBELALAK DAN MENDEKAT). Tiyang sebenarnya pulang meminta restu dari Ibu. Tapi karena Ibu menolaknya karena soal kasta. Alas an yang tidak sesuai lagi, tiyang akan memberikan akibatnya. (GUSTI BIANG MENANGIS. NGURAH BERGULAT DENGAN BATINNYA DAN BERKATA DENGAN PASTI). Tiyang akan kawin dengan Nyoman.  Sekarang ini soal kebangsawanan jangan dibesar-besarkan lagi. Ibu harus menyesuaikan diri, kalau tidak, Ibu akan ditertawakan orang. (GUSTI BIANG MASUK KAMAR. NGURAH DIAM. SUARA GUSTI BIANG MENANGIS. NGURAH MENYUSUL DAN BERDIRI DI PINTU).
INT. (KAMAR GUSTI BIANG).
NGURAH    : Ibu …… Ibu …..
GUSTI BIANG    : Tinggalkan aku anak durhaka! Pergilah memeluk kaki perempuan itu! Kau bukan anakku lagi! Leluhur akan mengutukmu. Kau akan ketulahan.
NGURAH    : (MEMEGANG KEPALA). Ini tidak bisa diselesaikan begini saja. Panggilah Nyoman dan bape Wayan kita bicarakan tenang-tenang.
GUSTI BIANG    : Tidak! Sudah kuusir leak-leak itu! Aku sudah dihina diinjak-injak!
NGURAH    : Diusir? Nyoman, ibu usir? (KE LUAR).
GUSTI BIANG    : Ya! Leak itu tidak boleh lagi masuk rumahku ini. Setan tua itu juga! Biar mati dua-duanya sekarang! Kalau kau mau ikut pergi terserah. Aku akan mempertahankan kehormatanku. Kehormatan suamiku. Kehormatan Sagung Rai. Kehormatan leluhur-leluhur di puri ini.
EXT. (DEPAN RUMAH. MALAM).
(WAYAN MUNCUL MEMBAWA KOPOR SENG DAN SENJATA. IA MENGUSIR ORANG-ORANG YANG DATANG BERKERUMUN, LALU MELIHAT KE DALAM RUMAH).
WAYAN        : Tu ….. Ngurah …… (NGGURAH MUNCUL DI SAMPING BAPE WAYAN).
NGURAH    : Bape Wayan!
WAYAN        : Tepat sekali Ratu Ngurah datang.
NGURAH    : Apa kabar Bape?
WAYAN        : Buruk Tu Ngurah, buruk sekali.
NGURAH    : Bape sehat-sehat saje?
WAYAN        : Marahlah. Umpatlah si tua yang pikun ini.
NGURAH    : Kenapa Bape?
WAYAN        : Nyoman telah pergi.
NGURAH    : Ke mana Bape?
WAYAN        : Baru saja. Tiyang hendak menyusulnya sekarang.
NGURAH    : Baru saja Bape?
WAYAN        : Ya. Baru saja. Pasti belum jauh.
NGURAH    : Kenapa dia pergi Bape?
WAYAN        : Tu Ngurah tahu sendiri. Sudah lama gusti Biang tidak cocok dengan Nyoman. Titiyang tidak bisa mendamaikannya. Nyoman sudah sering ingin minggat. Tapi tadi, tiba-tiba saja dia pergi. Salah titiyang juga, Tu ngurah.
NGURAH    : Sudahlah, biar dulu begitu. Semuanya akan selesai nanti. Saya juga sudah bertengkar dengan Ibu. Duduklan Bape. Bape jangan ikut pergi. Duduklah Bape. Pasti ibu yang salah. Bape sudah bertahun-tahun di sini, tak baik kalau tiba-tiba pergi. Duduklah Bape.
INT. RUMAH. (GUSTI BIANG MUNCUL).
GUSTI BIANG    : Tinggalkan rumahku sekarang ini juga!
WAYAN        : Tiyang telah berusaha baik-baik tapi tidak berhasil. Bape pergi sekarang. (KEPADA NGURAH).
GUSTI BIANG    : Pergilah cepat leak! Jangan mengotori rumah suamiku. (WAYAN HENDAK PERGI, NGURAH MENAHANNYA).
NGURAH    : Bape! Jangan pergi! Ingat saya Bape. Jadi Bape akan tinggalkan?
GUSTI BIANG    : Dia hantu! Tinggalkan rumah ini cepat!
WAYAN        : Ya. Tiyang hantu! Seperempat abad tiyang mengabdi di rumah ini karena cinta. Sekarang keadaan tambah buruk. Bape pergi Tu Ngurah.                      
(WAYAN MENGANGKAT KOPER HENDAK PERGI ). 
GUSTI BIANG    : Tunggu dulu? Apa yang kau bawa itu? Kau mencuri barang-barangku. Bedil? Bedil siapa itu?
WAYAN        : Pak Rajawali punya bedil waktu revolusi. Bedil ini sudah banyak membunuh pengkhianat!
GUSTI BIANG    : Bedil itu kepunyaanku!
WAYAN        : Kepunyaan Gusti Biang? (KEPADA NGURAH). Ini bedil Bape.
GUSTI BIANG    : Ngurah! Ambil bedil itu! Ia mencuri bedil yang kusimpan di kamar ayahmu.
NGURAH    : (TERTARIK KEPADA BENTUK BEDIL ITU). Coba lihat. Aneh sekali bentuknya.
WAYAN        : Bedil ini kepunyaan tiyang.
NGURAH    : Benar? Coba saya ingin lihat.
GUSTI BIANG    : Rebut saja! Jangan percaya dia lagi!
NGURAH    : Ibu. Di mana peluru yang telah menewaskan ayah?
GUSTI BIANG    : Tentu. Aku selalu membawanya sebagai jimat.
NGURAH    : Coba lihat (MENERIMA PELURU). Peluru ini yang telah membunuh ayah.  Dokter Belanda itu membedah mayat ayah dan menyerahkan peluru ini pada Ibu. Ibu menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Kemudian atas permintaan Ibu, dokter itu juga memberikan senjata yang dipergunakan menembakkan peluru ini. Inikah senjata yang dipergunakan untuk menembakan peluru ini.
GUSTI BIANG    : Benar. Senjata laknat ini yang telah membunuh suamiku. NICA jahanam!
WAYAN        : NICA tidak mempunyai bedil macam ini.
GUSTI BIANG    : Tidak!! Usir dia Ngurah! Usir cepat!
WAYAN        : Bedil macam ini hanya dipunyai gerilya.
GUSTI BIANG    : Bedebah! Tidak! Jangan biarkan dia bicara. Usir!
WAYAN        : (TERTAWA). Semua pahlawan mati tertembak NICA. Tetapi dia tidak. I Gusti Ngurah Ketut Mantri, bukan seorang pahlawan, dia ditembak mati gerilya sebagai pengkhianat.
GUSTI BIANG    : Dengar. Dia menghina ayahmu! Usir dia! Tembak dia sampai mati.
NGURAH    : (MEMEGANG IBU YANG HENDAK MEMUKUL). Tenang Ibu!
GUSTI BIANG    ; Coba katakana lagi suamiku pengkhianat, coba! Kupukul kau bedebah. (NGURAH MENAHANNYA).
WAYAN        : Dia memang pengkhianat.
GUSTI BIANG    : Leak! Terkutuk kau!
NGURAH    : Sabar Ibu. (MENDUDUKAN IBUNYA).
GUSTI BIANG    : kenapa kau diam saja anak durhaka! Tembak jahanam itu! Dia menghina suamiku!
NGURAH    : Baik ibu. Tapi tenang, nanti tetangga-tetangga bangun.
GUSTI BIANG    : Biar. Biar usir dia sekarang. (BATUK KERAS).
NGURAH    : Bape bilang ayah saya pengkhianat? Kenapa Bape Wayan? Membeo kata orang yang iri hati? Bape sudah bertahun-tahun di sini mengapa mau merusakkan nama baik keluarga kami? (SALING BERPANDANG-PANDANGAN).
WAYAN        : (DENGAN TEGAS). Tiyang tahu semuanya, Tu Ngurah. Sebab tiyang telah mendampinginya setiap saat dulu. Sejak kecil tiyang sepermainan dengan dia, seperti Tu Ngurah dengan Nyoman. Tiyang tidak buta huruf seperti disangkanya. Tiyang bisa membaca dokumen-dokumen dan surat-surat rahasia yang ada di meja kerjanya. Siapa yang membocorkan gerakan ciung wanara yang dipimpin oleh Pak Rai. Menghujani dengan peluru-peluru dari berbagai penjuru. Bahkan dibom dari udara, sehingga kawan-kawan semuanya gugur, siapa yang bertanggung jawab atas kematian Sembilan puluh enam kawan-kawan yang berjuang habis-habisan itu? Dalam perang puputan itu kita kehilangan Kapten Sugianyar, kawan-kawan tiyang yang paling baik, bahkan kehilangan Pak Rai sendiri. Dialah yang telah berkhianat, dialah yang telah melaporkan gerakan itu semua kepada NICA.
GUSTI BIANG    : Tidak! Itu tidak benar! Suamiku seorang pahlawan. Ngurah usir dia!
NGURAH    : (MENGHAMPIRI WAYAN). Saya tidak percaya Bape!
GUSTI BIANG    : Jangan percaya! Leak!
NGURAH    : Bape menghina keluarga saya.
WAYAN        : Bukan menghina Tu Ngurah. Begitulah keadaannya. Desa Marga menjadi saksi semua itu. Hanya beliau dilahirkan sebagai putera bangsawan yang berpengaruh serta dihormati karena jasa-jasa leluhur. Dosa beliau kepada Pak Rai terhadap semua korban puputan itu, seperti dilupakan. Tetapi tiyang sendiri tidak pernah melupakannya. Bukan hanya seorang, banyak pengkhianat-pengkhianat di bumi ini dianggap orang sebagai pahlawan. Sedangkan yang benar-benar berjasa dilupakan orang.
NGURAH    : Saya tak senang denga cara-cara Bape ini. Diam-diam menjadi musuh dalam selimut. Susah payah saya memperbaiki nama baik keluarga. Sekarang Bape hendak menodainya. Mencari-cari kesalahan memang gampang Bape. Bape lupa besar jasa-jasa ayah saya kepada perjuangan. Sayang beliau sudah meninggal. Kalau tidak, ia akan mampu menjelaskannya. Tariklah kata-kata Bape. (WAYAN HANYA TERSENYUM DENGAN SINIS). Pergiiiiii ……….
(WAYAN MEMALINGKAN MUKA HENDAK PERGI. TAPI TIBA-TIBA TERTEGUN DAN BERBALIK).
WAYAN        : Berikan bedil itu Tu Ngurah.
GUSTI BIANG    : Tidak, itu bedilku. Kau telah mencurinya.
WAYAN        : Berikan bedil itu Tu Ngurah.
NGURAH    : Coba buktikan. Buktikan kalau ayah saya seorang pengkhianat. Berikan bukti yang nyata, jangan hanya prasangka!
WAYAN        : (MENGGELENG). Berikan bedil itu Tu Ngurah.
NGURAH    : Buktikan ayahku pengkhianat. Bape mengatakan ayah saya pengkhianat. Tapi bape tidak bisa membuktikannya. Itu sama saja dengan fitnahan Bape!
GUSTI BIANG    : Ayahmu mati ditembak NICA!
NGURAH    : (MEMBENTAK). Buktilan!
WAYAN        : Buat apa ……….?
NGURAH    : Buktikan!
WAYAN        : Tiyang selalu mendampinginya. Tiyanglah yang selalu dekat dengan dia. Dan tiyang seorang gerilya.
NGURAH    : Lalu …….? (MEREKA SALING BERPANDANG-PANDANGAN. WAYAN MENGAMBIL BEDIL ITU DARI TANGAN NGURAH, DAN NGURAH SEPERTI TAK BERTENAGA DAN MEMBERIKAN BEDIL ITU).
WAYAN        : (PELAN). Aku telah sengaja melupakannya. Belanda-Belanda itu memungutnya. Tapi tak tahu siapa yang telah menembaknya. (WAYAN MEMBELAI BEDIL DAN NGURAH SEMAKIN TEGANG MENANTI PENJELASAN). Tiyanglah yang telah menembaknya.
NGURAH    : Bape …………...?
GUSTI BIANG    : Tidak! Tidak! Tidak! (BERDIRI HENDAK MELEMPAR DENGAN TONGKAT TAPI WAYAN SEGERA MERAMPAS DAN MENDUDUKAN KEMBALI, SEMENTARA NGURAH HANYA TERCENGANG).
WAYAN        : Diam. Diam! Sudah waktunya menerangkan semua ini sekarang. Dia sudah cukup tua untuk tahu. (KEPADA NGURAH). Ngurah, ngurah mungkin mengira ayah Ngurah yang sejati. Sebab dia suami sah ibu Ngurah. Tapi dia bukanlah seorang pejuang. Dia seorang penjilat. Musuh gerilya. Dia bukan lelaki jantan. Dia seorang wandu. Dia memiliki lima belas orang istri, tapi itu untuk menutupi kewanduannya. Kalau dia harus melakukan tugasnya sebagai seorang suami, tiyanglah yang sebagian besar melakukannya. Tapi semuanya itu menjadi rahasia sampai ……… kau lahir, ngurah, dan menganggap dia sebagai ayahmu yang sebenarnya. Coba tanyakan kepada ibumu, Ngurah, siapa sebenarnya ayah Ngurah yang sejati. (NGURAH TAK PERCAYA DIA MENGHAMPIRI IBUNYA YANG MULAI MENANGIS, KEMUDIAN WAYAN MELANJUTKANNYA LAGI). Dia pura-pura saja tidak tahu siapa laki-laki yang selalu tidur dengan dia. Sebab sesungguhnya kami saling mencintai sejak kecil, sampai pun tua bangak ini. Hanya kesombongan terhadap martabat kebangsawanannya menyebabkan dia menolakku. Lalau dia kawin dengan bangsawan pengkhianat itu, semata-mata hanya soal kasta. Meninggalkan tiyang yang tetap mengharapkannya. Tiyang bisa ditinggalkannya, sedangkan cinta itu semakin lama semakin mendalam. (NGURAH BERDIRI DAN BERTANYA DENGAN TOLOL).
NGURAH    : Betulkah begitu?
WAYAN        : Tanyakan sendiri kepada dia.
NGURAH    : Betulkah semua itu Ibu? (GUSTI BIANG TERUS MENANGIS, SEMENTARA NGURAH TERUS BERTANYA SAMBIL BERTERIAK. KETIKA ITU WAYAN MELANJUTKAN).
WAYAN        : Tiyang menghamba di sini, karena cinta tiyang kepadanya, seperti cinta Ngurah kepada Nyoman. Tiyang tidak pernah kawin seimur hidup. Dan orang-oranf selalu menyangka tiyang gila, pikun, tuli, rabun, cuma tiyang sendiri yang tahu, semuanya itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan, kehilangan masa muda yang tak bisa dibeli lagi. (MEMANDANG NGURAH LEMBUT TAPI TIBA-TIBA IA TERINAGT SESUATU DAN KEMUDIAN BERKATA). Tidak, Ngurah tidak boleh kehilangan masa muda seoperti Bape, hanya karena perbedaan kasta. Kejarlah perempuan itu jangan-jangan dia mendapat halangan di jalan. Dia pasti tidak akan berani pulang malam-malam begini. Mungkin dia bermalam di rumah temannya. Bape akan mengurus ibumu. Pergilah cepat kejar dia sebelum terlambat. (KEDUA LAKI-LAKI ITU SALING PANDANG. GUSTI BIANG TERPAKU DAN MERASA MALU SEKALI. WAYAN KASIHAN DAN MENDEKATI GUSTI BIANG. BEBERAPA SAAT KEMUDIAN WAYAN MEMANDANG NGURAH LAGI). Ngurah sudah tahu semuanya. Ngurah sudah puas mendengar itu. Tapi terlalu memikirkannya. Lupakan saja itu semua. Itu memang sudah terjadi, tetapi sekarang setelah Ngurah tahu, hati kami merasa lega. Sekarang lupakan semua itu. Lupakan jangan bersakit-sakit memikirkannya. (NGURAH MEMALINGKAN MUKA KETIKA WAYAN MENATAPNYA, WAYAN MELANJUTKAN DENGAN SUARA SEMAKIN MANTAP). Itu semua bohong. Titiyang bukan ayah Ngurah. Tiyang adalah Wayan yang pikun dan akan segera mati. Dan beliau itu (MENUNJUK POTRET) bukan pengkhianat. Dia seorang pahlawan dan pantas Ngurah sebut ayah. Ya ……………… banyak terdapat keburukan di atas dunia ini, tapi tidak semua keburukan yang kita ketahui itu perlu diketahui orang lain kalau bisa membuat keadaan lebih buruk lagi. Pergilah tu Ngurah, kejarlah dia. Dia harus membuat air hangat untuk tu Ngurah dan tiyang akan meladeni Gusti Biang. (TANPA MENOLEH NGURAH MENINGGALKAN TEMPAT, GUSTI BIANG SUDAH BERHENTI MENANGIS. IA MALU MENATAP WAYAN. TAPI LAKI-LAKI ITU MENDEKATINYA).
WAYAN        : Bagaimana Gusti Biang?
GUSTI BIANG    : (KEMALU-MALUAN) Kenapa kau ceritakan itu semua kepadanya?
WAYAN        : Waktunya sudah tiba. Dia sudah cukup dewasa untuk mengetahuinya.
GUSTI BIANG    : Kau menyebabkan aku sangat malu. (GUSTI BIANG TERTUNDUK DAN WAYAN MENGHAPUS AIR MATANYA).
WAYAN        : Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah cukup menderita karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi. Bagaimana Gusti Biang?
GUSTI BIANG    : (SAMBIL MENGHAPUS AIR MATANYA) Aku tak akan mencegahnya lagi. Kita akan mengawinkannya. (DENGAN MANJA). Tapi jangan ceritakan yang dulu-dulu aku sangat malu.
WAYAN        : (TERSENYUM) Kalau begitu Wayan tidak jadi pergi. Wayan akan menjagamu Sagung Mirah, sampai kita berdua sama-sama mati dan di atas kuburan kita anak-anak itu berumah tangga dengan baik. Sagung Mirah ……………..
GUSTI BIANG    : Apa Wayan?
WAYAN        : Kau tetap cantik seperti Dewi Sri ….
GUSTI BIANG    : Huuuuussssssssss!
(WAYAN TERTAWA LALU BERJALAN KE GUDANG, GUSTI BIANG PERGI KE MEJA DAN MINUM AIR DAUN BELIMBING YANG TADI DITOLAKNYA. KEMUDIAN IA MENGANGKAT LAMPU TEMPLOK MENERANGI HALAMAN UNTUK WAYAN).
TAMAT
   

Comments

Popular posts from this blog

BULAN DAN KERUPUK KARYA YUSEP MULDIANA

Pemikiran Susanne K. Langer Dalam Memabaca Simbol Pada Seni