ARWAH-ARWAH KARYA W.B. YEATS

BENGKEL TEATER
PPPG KESENIAN YOGYAKARTA
2004

ARWAH-ARWAH
KARYA W.B. YEATS
TERJEMAHAN SUYATNA ANIRUN


RERUNTUHAN RUMAH, SEBATANG POHON TAK BERDAUN

PEMUDA    :    Setengah pintu, pintu tengah
        Kesana kemari siang dan malam
        Memikul beban, ke bukit dan ke lembah
        Mendengar kau bicara saja.

ORANG TUA    :    Perhatikan rumah itu. Kuingat kisah dan leluconnya. Kuingat apa yang dikatakan si pelayan kepada si penjaga mabuk pada pertengahan Oktober, tapi aku tak bisa. Dimana kisah dan lelucon sebuah rumah kalau ambang pintunya dipakai memperbaiki kandang babi?

PEMUDA        Kau pernah kenal jalan ini?

ORANG TUA    :    Bulan bersinar di atas jalan, bayangkan awan jatuh di atas atap rumah. Itulah lambang. Lihatlah pohon itu! Seperti apa rupanya?

PEMUDA    :    Orang tua lupa ingatan!

ORANG TUA    :    Aku melihatnya tahun yang lalu botak seperti sekarang. Maka kupilih kerja yang paling baik. Aku melihatnya lima puluh tahun yang lalu sebelum petir membelahnya. Daun-daun hijau, daun-daun tua, daun-daun segemuk mentega, hidup gemuk dan berlemak. Berdiri di situ dan lihatlah! Karena ada orang di rumah itu.

PEMUDA    :    Tak seorangpun di sini.

ORANG TUA    :    Ada orang di situ!
PEMUDA    :    Lantai sudah hilang, jendela hilang dan dimana seharusnya ada atap, hanya langit yang membentang. Dan di sini pun pecahan kulit telur jatuh dari sarang burung gagak.

ORANG TUA    :    Tapi ada beberapa yang tidak peduli pada apa yang hilang atau pada apa yang ada. Arwah-arwah dari alam barzah yang kembali ke rumah dan tempat yang mereka kenal.

PEMUDA    :    Kau sedang melantur lagi!

ORANG TUA    :    Untuk merasakan lagi dosa-dosa mereka. Tidak sekali tapi berulang-ulang. Akhirnya mereka tahu akibat dari dosa-dosa itu. Atas orang lain ataupun atas dirinya sendiri. Atas orang lain, orang lain bisa menolong. Tapi kalau atas dirinya sendiri tak ada pertolongan kecuali atas diri sendiri dan pada belas kasihan Tuhan.

PEMUDA    :    Cukup sudah! Bicaralah pada burung-burung kalau kau harus bicara juga!

ORANG TUA    :    Berhenti! Duduk di situ! Itulah rumah dimana aku dilahirkan.

PEMUDA    :    Rumah tua yang terbakar itu?

ORANG TUA    :    Ibuku atau nenekmu memiliki tanah di daerah ini. Kandang-kandang anjing dan kuda. Ia punya kuda di ladang ternak dan disana bertemu dengan ayahku, budak di kandang kuda. Saling pandang, lalu mereka kawin. Tapi kemudian ibuku tak mau mengenalnya lagi.

PEMUDA    :    Apa yang benar dan apa yang salah? Kakekku mendapatkan gadisnya beserta uangnya.

ORANG TUA    :    Ayahku memboroskan semua milik ibuku. Ibuku tak pernah tahu yang terjelek karena ia meninggal waktu melahirkan aku. Tapi sekarang ia tahu semuanya karena ia telah mati. Orang-orang besar hidup dan mati di rumah ini. Patih-patih, Demang-demang dan Hakim-hakim, Ponggawa-ponggawa dan perwira yang dulu bertempur di semenanjung dan muara. Mereka yang telah pergi dengan tugas pemerintah pulang untuk mati atau datang dari seberang tiap awal musim kemarau untuk meninjau bunga-bunga di bulam Mei dalam taman. Mereka mencintai pohon-pohon yang ditebang ayahku untuk membayar kekalahan di meja judi atau dengan kuda, minuman atau perempuan. Mereka mencintai semua lorong yang ada di rumah ini. Membinasakan rumah dimana orang-orang besar menjadi dewasa, kawin dan meninggal. Kunyatakan disini, telah berlangsung suatu kejahatan yang laknat!

PEMUDA    :    Wah, tapi kau beruntung. Pakaian mewah, mungkin kuda gagah untuk ditunggangi.

ORANG TUA    :    Supaya aku tidak lebih unggul darinya, ayahku tidak pernah mengirim aku ke sekolah. Tapi masih ada orang yang cinta karena aku juga anak ibuku. Istri penjaga mengajar aku membaca, Pak Padri mengajar aku bahasa. Banyak buku-buku berharga dengan jilidan mewah abad lalu. Buku-buku modern dan kuno. Beribu-ribu buku.

PEMUDA    :    Dan aku kau beri pendidikan apa?

ORANG TUA    :    Kuberi kau pendidikan yang patut bagi anak haram yang gampang. Ketika aku berumur enam belas tahun, ayahku membakar rumah-rumah itu dalam mabuknya.

PEMUDA    :    Itu usiaku enam belas tahun.

ORANG TUA    :    Dan seluruhnya terbakar habis. Buku-buku, perpustakaan dan segalanya.

PEMUDA    :    Apa benar juga yang kudengar sepanjang jalan bahwa kau membunuh ayahmu di rumah yang terbakar itu.

ORANG TUA    :    Tak ada seorangpun disini kecuali kita?

PEMUDA    :    Tak seorangpun ayah.

ORANG TUA    :    Kutikam dia dengan pisau. Pisau yang sehari-hari biasa kita pakai. Setelah itu kutinggalkan dia di tengah api yang sedang berkobar. Mereka menemukan mayatnya. Seseorang menemukan bekas pisau tapi tak berani memastikan karena mayat itu hangus bagai arang. Beberapa teman pemabuknya bersumpah untuk menghadapkan aku ke pengadilan, mendalihkan ancaman yang pernah dilontarkan. Penjaga memberikan pakaian tua, aku melarikan diri, bekerja dimana-mana, hingga aku menjadi penjual dari jalan ke jalan. Bukan pekerjaan baik, tapi cukup baik. Karena aku anak ayahku. Karena apa yang dia lakukan bisa aku lakukan. Dengar! Dengarlah! Derap kuda! Dengar!

PEMUDA    :    Aku tidak mendengar apa-apa.

ORANG TUA    :    Jalan terus! Jalan terus! Malam ini adalah peringatan malam perkawinan ibuku atau malam aku dikandung, ayahku naik kuda dari tempat minum. Sebotol arak di tanganya.
       
        DI JENDELA MUNCUL WANITA MUDA

ORANG TUA    :    Lihat di jendela! Ibuku berdiri di situ, mendengar. Pelayan-pelayan sudah tidur. Ibuku sendirian. Ayahku pulang jauh ditengah malam karena ia berjudi dan mabuk-mabukan di kedai minum.

PEMUDA    :    Tak ada apa-apa kecuali lubang kosong pada tembok. Kau dusta. Tidak, kau gila! Kau makin gila tiap hari!

ORANG TUA    :    Suara itu makin keras karena ia melewati jalan berkerikil yang kini ditutupi rumput. Suara derap berhenti. Ia pergi ke belakang rumah, mengandangkan kudanya. Ibuku turun membuka pintu, malam ini ia tak lebih sopan dari suaminya yang terhuyung karena mabuk. Ibuku tergila-gila padanya. Mareka naik tangga. Ibuku membawanya ke tempat tidur. Itulah kamar perkawinan mereka dan itulah ranjang perkawinan mereka. Jendela sudah setengah gelap kembali. Jangan biarkan dia menjamahku! Tidak benar bahwa suami mabuk tak bisa membuahi dan kalau ia mulai berhasil, kau harus mengambil benih pembunuhnya. Tuli! Tuli! Keduanya tuli! Bahkan jika kulempar kayu atau batu mereka tak mendengar. Itulah bukti pikiranku sudah sakit. Tapi ada satu soal, ibuku harus mengalami sekali lagi semua bahkan segalanya. Didorong oleh rasa sesal. Tapi bisakah ia berkelamin lagi dan tak menemukan kepuasan didalamnya. Bila ketidakpuasan harus bersama-sama, mana yang lebih kuat! Aku tanpa didikan. Pergilah! Panggil pelayan! Ia dan aku akan menguraikan segalanya sementara kedua orang itu berbaring di ranjang, membuahi dan mengandung aku.

        PEMUDA MENGADUK-ADUK KANTONG LALU MEMBAWANYA

ORANG TUA    :     Kembali! Kembali! Kau kira kau bisa melarikan diri dengan bungkusan uangku di tanganmu? Dikiranya sementara aku bicara tak melihat kau mengaduk-aduk buntalan itu?

PEMUDA    :    Kau tak pernah memberiku bagian.

ORANG TUA    :    Jika kuberikan, anak muda seperti kau akan menghabiskannya pada minuman.

PEMUDA    :    Kalau aku menghendakinya? Aku berhak menggunakan uangku semaunya.

ORANG TUA    :    Berikan bungkusan itu dan tutup mulutmu!

PEMUDA    :    Tidak mau!

ORANG TUA    :    Akan kuhancurkan jari-jarimu.

        MEREKA MEMPEREBUTKAN KANTUNG. DALAM PERKELAHIAN KANTUNG ITU LEPAS DAN UANGNYA BERHAMBURAN. ORANG TUA ITU TERHUYUNG TAPI TIDAK JATUH. MEREKA BERDIRI SAMBIL MEMANDANG JENDELA. TAMPAK TERANG. TAMPAK SEORANG LELAKI SEDANG MENGISI GELASNYA DENMGAN WHISKEY.
PEMUDA    :    Bagaimana kalau kau kubunuh? Kau membunuh kakekku karena kau muda dan ia tua. Sekarang aku yang muda dan kau yang tua.

ORANG TUA    :    (MELIHAT KE JENDELA) Kini lebih jelas. Enambelas tahun itu.

PEMUDA    :    Apa yang kau ocehkan?

ORANG TUA    :    Lebih muda. Padahal perempuan itu harus tahu bahwa lelaki itu bukan macamnya.

PEMUDA    :    Apa yang kau katakana? Hentikan! Hentikan!

        ORANG TUA ITU MENUNJUK KE JENDELA

PEMUDA    :    Tuhanku! Jendela itu terang dan seseorang berdiri di situ.

ORANG TUA    :    Jendela itu terang lagi. Ayahku datang untuk mendapatkan segelas whiskey. Ia bersandar di sana seperti binatang yang kepenatan.

PEMUDA    :    Orang mati dibunuh yang hidup kembali.

ORANG TUA    :    ‘Dan ranjang pengantin jauh pada Adam’. Dimana kubaca kata-kata itu. Padahal tidak ada sesuatupun yang tersandar di jendela itu selain bayangan yang ada di kepala ibuku yang mati kesepian dalam sesalnya.

PEMUDA    :    Tubuh yang menjelma sebelum dilahirkan. Mengerikan! Mengerikan! (MENUTUP WAJAHNYA)

ORANG TUA    :    Makluk itu takkan tahu apa-apa, karena bukan apa-apa, jika kubunuh orang di bawah jendela itu, ia bahkan takkan sempat memutar kepalanya.

        ORANG TUA MENIKAM ANAK MUDA ITU

ORANG TUA    :    Ayahku dan anakku oleh pisau yang sama. Ini mengakhiri.

        ORANG TUA MENIKAM BERULANG-ULANG, JENDELA JADI GELAP
PEMUDA    :    Ibuku sayang, jendela itu gelap kembali. Tapi kau ada dalam cahaya sebab telah kuselesaikan segala akibatnya. Kubunuh anak itu karena ia telah tumbuh. Ia akan mematahkan nasib seorang perempuan, membuahinya dan melanjutkan keonaran.

SELESAI

Comments

Popular posts from this blog

BULAN DAN KERUPUK KARYA YUSEP MULDIANA

Pemikiran Susanne K. Langer Dalam Memabaca Simbol Pada Seni