Al-Kindi Perintis Pemikiran Radikal dalam Tradisi Filsafat Islam
“Kita bebas mencari kebenaran dari sumber manapun, meskipun ia berasal dari bangsa-bangsa yang jauh dan berbeda dengan kita sekalipun. Sebab tak ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran kecuali kebenaran itu sendiri.”
(Al-Kindi)
A. Sketsa Biografis Al-Kindi
Lengkapnya bernama Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al-Sabbah, ibnu al-Ash’ats bin Qois Al-Kindi. Filosof yang mengaku keturunan kabilah Kindah ini terlahir di kota Kufah pada tahun 185 H/801 M. Kindah adalah salah satu suku Arab yang memiliki populasi besar di zaman pra-Islam. Kakeknya, Ash’ats bin Qois, memeluk Islam dan dianggap sebagai salah seorang sahabat Nabi SAW yang taat. Al-Ash’ats bersama beberapa para perintis Muslim pergi ke Kufah untuk berdakwah. Di kota inilah, ia dan keturunannya bermukim dan menghabiskan usia. Al-Kindi berasal dari keluarga ningrat. Ayahnya bernama Ishaq al-Sabbah. Ia adalah seorang gubernur Irak pada masa daulah Abbasiyah. Tepatnya pada masa pemerintahan al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid.
Kufah dan Basrah pada rentang abad kedua sampai abad keempat menjadi pusat kebudayaan Islam. Dua kota itu tampak bersaing dalam membentuk kebudayaan dan peradaban dalam perkembangan pemikiran Islam. Basrah menjadi tempat yang cenderung konsentrasi pada bidang ubudiyah, tasawuf dan mistis berkembang pesat di kota ini. Sedangkan Kufah memiliki kecenderungan berbeda, Kota ini lebih mengembangkan studi-studi aqliah. Intelektualitas dan rasionalitas diangungkan di kota ini. Bahkan, intelektualitas dan rasionalitas menjadi ‘obat mujarab’ sekali tegak dalam menyikapi segala persoalan hidup kala itu. Al-Kindi melewatkan masa kanak-kanaknya di kota dan lingkungan yang mengagungkan dua kata tersebut; intelektualitas dan rasionalitas.
Al-Kindi tumbuh-berkembang di lingkungan keluarga ningrat dan intelektual yang cemerlang. Ia berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan sejak masih usia belia. Al-Kindi adalah tipe anak yang tidak mudah puas dengan ilmu yang telah didapatnya. Mengulang-ulang pelajaran yang didapat dari gurunya hingga paham, adalah suatu tindakan yang dibiasakan al-Kindi sejak kecil. Sekalipun dia masih berusia belia, dengan tanpa rasa takut duduk bersama dengan orang yang usianya lebih tua untuk belajar bersama. Ia selalu mengisi waktu kosongnya dengan penuh makna, misal berdiskusi. Sebagai anak yang tak mudah puas terhadap ilmu pengetahuan, Al-Kindi sangat semangat menimbah berbagai ilmu. Ia tak pernah mengenal kata lelah dalam belajar, waktunya hanya habis dengan belajar dan membaca.
Sejak kecil, Al-Kindi dikenal sebagai sosok yang tekun dan bersahaja. Karena ketekunannya, Ia selalu haus pada ilmu pengetahuan. Sehingga wajar, semenjak usia muda ia telah banyak mempelajari berbagai bidang ilmu. Semua ini ia lakukan adalah sebagai usahanya untuk mengobati kehausan akan ilmu pengetahuan tersebut. Apakah kehausan akan ilmu pengetahuan Al-Kindi itu berkorelasi dengan ekonomi keluarganya yang ningrat? Jawaban atas pertanyaan ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, tetapi yang pasti Al-Kindi adalah sosok yang tidak kenal kata lelah dalam menimbah Ilmu. Selain itu, ia juga dipandang sebagai sosok cerdas. Karena kecerdasannya, Al-Kindi dapat dengan mudah memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya.
Seperti anak lain seusianya, Al-Kindi mempelajari tata bahasa Arab, kesusasteraan, ilmu hitung dan menghapal al-Quran. Dari berbagai macam mata pelajaran tersebut merupakan kurikulum wajib bagi semua anak Muslim kala itu. Selain itu, Al-Kindi juga mempelajari fiqh dan hadits, ia juga mendalami disiplin ilmu baru yang disebut ilmu kalam. Namun demikian, seiring bergulirnya waktu, tampaknya al-Kindi lebih ‘terpesona’ pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia senantiasa mendarma-baktikan dirinya pada dua hal tersebut. Baginya, filsafat serupa oase yang dapat mengobati dahaga ilmu pengetahuan yang mendera dirinya. Bahkan, Ahmad Fuad el-Ahnawi mencatat, bahwa Al-Kindi mengabdikan seluruh sisa hidupnya pada disiplin pemikiran filosofis.
Bermula dari ketekunan dan kecerdasannya, nama Al-Kindi cukup terkenal di saantero raya, apalagi dalam kancah jagad ilmu pengetahuan. Ia tercatat sebagai pribadi luar biasa yang memiliki pemikiran cemerlang. Ia tidak kenal kata lelah dalam menimba ilmu pengetahuan dan dalam menggali khazanah tradisi filsafat Yunani. Karenanya, Ia juga sering disebut sebagai filosof berbakat sekaligus pewaris tradisi Aristotelian yang pertama dalam kultur pemikiran Islam. Namun, bukan berarti kaum muslim sebelum Al-Kindi tidak mempunyai perhatian sama sekali terhadap filsafat Yunani, melainkan pengetahuan filsafat meskipun sepotong-sepotong sudah tampak bersemi. Ihwal ini, dapat dinisbahkan pada berkembangnya ilmu kalam Mu’tazilah awal.
Setelah merasa cukup menimba ilmu di Kufah, Al-Kindi berinisiatif untuk pindah ke Baghdad. Ia menganggap Baghdad sebagai kota diperhitungkan dalam dunia ilmu pengetahuan. Rasa ingin memperdalam ilmu pengetahuan di kota yang menjadi pusat pemerintahan Daulah Abbasiyah ini, cukup menggelora dalam diri Al-Kindi. Tidak lama kemudian, Al-Kindi berangkat ke Baghdad dengan tujuan melakukan rihlah intelektual. Sesampainya di kota yang juga menjadi pusat keilmuan pada masa Daulah Abbasiyah ini, Al-Kindi langsung menemui Al-Ma’mun. Ia diterima dengan senang hati oleh khalifah Abbasiyah yang ke-7 ini. Bahkan, karena keluasan ilmunya ia diangkat menjadi intelektual kerajaan, selanjutnya Al-Kindi dipercaya sebagai pustakawan kerajaan.
Al-Kindi tidak hanya mendapat dukungan dari Al-Ma’mun saja, melainkan ia juga mengantongi kepercayaan dari khalifah setelahnya; Al-Mu’tasyim. Dari khalifah Abbasiyah ke-8 ini, Al-Kindi mendapat kepercayaan untuk mendampingi perkembangan intelektual putranya, Ahmad ibn Mu’tasyim. Al-Kindi diangkat menjadi guru pribadi sekaligus menjadi teman diskusi dari putra mahkota al-Mu’tasyim ini. Karena loyalitasnya yang tinggi terhadap kerajaan, Al-Kindi mendapat dukungan aktivitas intelektual. Khalifah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tsyim keduanya secara total mendukung keberlangsungan belajar-mengajar, serta kegiatan ilmiah, filosofis dan kesusasteraan yang digawangi oleh Al-Kindi. Bahkan, mereka menanggung segala kebutuhan biaya demi lancarnya aktivitas intelektual tersebut.
Ibnu Nabatah sebagaimana dikutip oleh Ahmad Fuad el-Ahnawi mencatat, bahwa Al-Kindi dan karya-karyanya telah menghiasi kerajaan Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasyim. Ia diterima di kerajaaan secara baik karena memiliki akar ideologi yang sama. Secara basis ideologis, mereka ini umumnya condong pada corak rasionalisme teologis ala-Mu’tazilah. Intelektualitas dan rasionalisme yang dimiliki oleh Al-Kindi membuat dua khalifah tersebut semakin menaruh kepercayaan padanya. Mereka mempercayai Al-Kindi sebagai sosok cerdas yang bijak dalam menyikapi berbagai persoalan keilmuaan. Ihwal ini terbukti, Al-Kindi mendedikasikan karya; al-Falsafah al-Ula kepadanya, dan beberapa risalah lainnya dipersembahkan kepada Ahmad putra sang khalifah.
Kiprahnya di kerajaan semakin tampak ketika Al-Kindi dipercaya menangani lembaga penerjemahan. Bersama Hunain Ibnu Ishaq, Ia menahkodai lembaga ini dengan sengan hati. Mereka melalukan penerjemahan naskah-naskah filsafat Yunani kedalam bahasa Arab. Melalui lembaga ini, Al-Kindi banyak mempelajari tradisi pemikiran filsafat Yunani. Ia sangat giat mengumpulkan dan menerjemahkan karya-karya filsafat. Baik itu karya Plato maupun Aristoteles. Dua nama filosof Yunani ini sering disebut-sebut dan pemikirannya selalu menjadi pengangan bagi Al-Kindi. Ia mempunyai pemahaman yang bagus tentang karya-karya asli Aristoteles. Al-Kindi menerjemahkan metaphysics dan memberi komentar beberapa karya Aristoteles lainnya.
Al-Kindi banyak memanen keuntungan dari lembaga penerjemahan ini. Ia tidak hanya mendapat pengetahuan yang luas tentang filsafat Yunani, tetapi ia juga dapat belajar bahasa Suryani kepada Hunani ibn Ishaq, koleganya. Dari lembaga ini, Al-Kindi menaruh harapan besar bagi keberlanjutan penerjemahan naskah-naskah Yunani Kuno. Ia berharap lembaga ini menjadi jembatan bagi terwujudnya keinginan Al-Kindi. Ia ingin memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada ahlu lisanina -sesama pemakai bahasa Arab. Semua keinginan tersebut akhirnya berhasil, meskipun banyak kecaman dan tuduhan bid’ah daripara teolog. Alhasil, Al-Kindilah orang pertama yang telah membuka lahan baru yang subur dan memperkenalkan terjemahan-terjemahan filsafat Yunani ke dunia Arab.
Sebagai filosof yang memiliki pandangan luas, Al-Kindi terbilang sangat produktif. Ibnu Nadim mencatat, sekitar 260 judul karya yang dihasilkan oleh Al-Kindi selama hidupnya. Al-Falsafah-al-Ula dan Risalah fi Hudud al-Asyya merupakan dua karya fenomenalnya. Dalam dua karya tersebut Al-Kindi membahas masalah metasika dan ketuhanan. Beberapa karya lain diantaranya mungkin hanya karya kecil yang berbentuk risalah. Menurut konstruksi Ibn Nadim risalah-risalah Al-Kindi dapat dikelompokkan menjadi tujuh belas konsentrasi. Beberapa diantaranya, filsafat, seni, ilmu alam, politik dan psikologi. Karya-karya tersebut ia hasilkan ketika masih berada dibawah kekuasaan pemerintahan Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasyim. Darinya Al-Kindi mendapat perlindungan.
Namun tidak selamanya begitu, Al-Kindi mengalami masa-masa sulit setelah masa peralihan permerintahan. Ketika Al-Mutawakkil menjabat khalifah pada 847 M, Al-Kindi bernasib buruk seperti para filosof dan teolog lainnya. Ia dituduh menyalahgunakan kekuasaan dan difitnah mencari keuntungan pribadi dari kerajaan oleh Sanad Ibn Ali. Bermula dari tudahan dan fitnaan tersebut, Al-Mutawakkil mulai tidak percaya terhadap Al-Kindi. Akhirnya, Khalifah ke-9 Daulah Abbasiyah ini memerintah agar Al-Kindi dikeluarkan dari Istana dan diasingkan. Alhasil, perpustakaannya disita dan disegel. Kemudian dibuka kembali dengan nama Perpustakaan Al-Kindi. Hingga akhirnya Al-Kindi menghembuskan nafas terakhirnya pada 260 H/873 M di pengasingan.
B. Proyek Filosofis Al-Kindi
Sebagai sosok yang menaruh perhatian besar terhadap karya-karya klasik Yunani, hati Al-Kindi digelorakan oleh rasa ‘jatuh cinta’ pada filsafat. Baginya, filsafat merupakan jembatan untuk mencapai kebenaran. Oleh sebab itu, Al-Kindi menegaskan, bahwa filsafat hendaknya diterima sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Bahkan, Al-Kindi dalam salah satu risalahnya, Al-Hatsts ala Ta’allum Al-Falsafah sangat menganjurkan untuk mempelajari disiplin ilmu filsafat. Untuk mengokohkan pendapatnya ini, ia mengutip parafrase dari argumen Aristoteles dalam Protrepticus-nya; belajar filsafat memang tidak harus, tetapi juga tidak sia-sia. Apabila dianggap harus, kita tak punya pilihan lain untuk tidak mempelajarinya. Akan tetapi jika dianggap sia-sia, kita harus membuktikan kesia-siannya secara sahih.
Secara etimologis filsafat berasal dari akar kata philos yang berarti ‘cinta’ dan sophia yang memiliki arti ‘hikmah’ atau kebijaksanaan. Kedua akar kata itu merupakan bahasa Yunani yakni philosophia diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi filsafat. Philosophia ini merupakan kata benda yang merupakan hasil dari kegiatan philosphien sebagai kata kerjanya. Sementara itu, kegiatan ini dilakukan oleh philosophos atau filosof sebagai subjek yang berfilsafat. Terselepas dari semua itu, secara terminologis filsafat dapat dirumuskan sebagai ilmu yang mencintai hal-hal yang sifatnya bijaksana. Dengan demikian, meminjam istilah Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), filosof Yunani klasik ini mendifinisikan filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan (mater scientiarum), ilmu kepunyaan dewata.
Namun demikian, dalam perkembangannya –terutama di dunia Islam-, pengertian itu telah mengalami ‘penyegaran’ dan pergeseran makna. Dalam ihwal ini, Al-Kindilah sebagai orang pertama yang membidani lahirnya pengertian baru tersebut. Ia memberi pengertian filsafat sebagai pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia. Tujuan berfilsafat adalah mencari kebenaran, baik secara teoritis mapun praktis. Bagi Al-Kindi kebenaran tertinggi itu adalah Allah. Menurutnya, Allah lah sumber dari segala kebenaran. Gagasan ini merupakan perombakan alur pikir yang radikal terhadap pemikiran filosofis terdahulu, terutama pemikirannya Aristoteles. Inilah gagasannya yang cukup mengejutkan dan melahirkan tafsir baru dalam tradisi filsafat.
Al-Kindi berpendapat, bahwa filsafat serupa lentera yang menerangi hidup manusia dalam kegegelapan. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa melalui filsafat lah seseorang akan mengerti hakikat kebenaran, dan sampai pada pemahaman yang utuh tentang realitas. Berdasarkan pernyataan ini, Ahmad Fuad El-Ahnawi menyebutnya sebagai filosof Arab pertama. Memang, secara umum, gagasan filosofis Al-Kindi bercorak Neo-Platonisme. Namun, tidak bisa disangkal, bahwa ia juga melakukan penyegaran gagasan-gagasan tersebut dalam kerangka berpikir yang benar-benar baru. Ia berusaha mendamaikan warisan Hellenisme dengan kultur pemikiran Islam. Upaya perdamaian inilah yang menghasilkan asas baru dalam tradisi pemikiran filosofis, sekaligus sebagai ciri utama dalam filsafat Islam.
Pandangannya mengenai filsafat sebagai pengetahuan tentang kebenaran, menjadi basis dalam kajian Al-Kindi. ia menjadikan filsafat sebagai studi menyeluruh yang mencakup seluruh ilmu dalam kultur Islam. Atas dasar itu, Al-Kindi menulis bahwa filsafat juga sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Anggapan ini tentunya tidak terlepas dari corak pemikiran Al-Kindi yang cenderung rasional. Ia ingin menghadirkan wajah Islam dalam bingkai ‘kebenaran abadi’ yang dicapai dengan wacana rasionalitas. Lebih jauh, layaknya filosof Yunani, Al-Kindi meyakini bahwa kebenaran jauh berada di atas pengalaman. Dalam arti ini, Al-Kindi ingin menegaskan bahwa kebenaran itu abadi di alam adiduniawi. Dari sinilah kemudian muncul gagasan Al-Kindi yang menyifati Allah dengan istilah kebenaran, yang tidak lain sebagai tujuan akhir filsafat.
Istilah kebenaran yang digelontorkan Al-Kindi ini, sebenarnya sebagai bentuk catatan kaki terhadap unmoveble mover-nya Aristoteles. Dalam alur pikir Aristoteles, penggerak yang tidak bergerak itu dicapai dari pemikiran induktif, yaitu dari realitas menuju ide. Karena setiap yang bergerak itu mesti ada yang menggerakkan, maka harus sampai pada penggerak terakhir yang tak bergerak. Bagi Aristoteles setiap yang bergerak itu mengandung unsur materi dan membutuhkan penggerak di atasnya. Adapun penggerak terakhir yang tidak bergerak ini, Aristoteles menamainya sebagai immateri. Bagaimana yang immateri dapat menggerakkan yang materi, Aristoteles menjawabnya dengan satu kata cinta. Baginya, karena kekuatan cinta lah yang membuat benda materi dapat bergerak.
Dalam banyak hal, pemikiran Al-Kindi memang banyak diilhami oleh karya-karya Aristoteles. Bahkan semua penulis biografi Al-Kindi sepakat, bahwa Al-Kindi adalah sosok yang tekun mengumpulkan dan mempelajari karya-karya Aristoteles. Namun demikian, dalam menyikapi persoalan di atas, Al-Kindi menghadirkan pandangan berbeda. Ia justru menempuh alur pikir deduktif, yakni dari yang khusus menuju yang umum. Dalam kata lain, karena dari Allah maka terjadilah semua makhluk ciptaan-Nya. Atas dasar inilah, Al-Kindi secara tegas menyatakan, bahwa Allah lah sebagai penyebab pertama. Dari sumber paling awal inilah, yakni Allah, segala sesuatu kemudian berlangsung secara terus-menerus. Pendapat Al-Kindi ini, merupakan konsekuensi dari keyakinannnya sebagai muslim.
Sementara itu, Al-Kindi membagi filsafat menjadi dua bagian utama: studi teoritis dan studi praktis. Studi teoritis di sini dimaksudkan, bahwa filsafat bukan sekadar ilmu yang tidak memiliki sumber sahih, melainkan ia juga bagian dari peradaban Islam. di tangan Al-Kindi filsafat memiliki rujukan yang sah dalam kultur Islam, yakni al-Quran dan Hadits. Studi teoritis meliputi ilmu fisika (ilm-ut-thibiyyat), sebagai tingkatan terendah, ilmu matematika (al-ilm-ar-riyadhi), tingkatan pertengahan dan ilmu ketuhanan (ilm-ur-rububiyyah), tingkatan tertinggi. Adapun studi praktis meliputi etika, ekonomi dan politik. Batasan filsafat dan pembagian ini, masih bercorak yunanian dan bersifat tradisional. Ihwal ini, kemungkinan besar sebagai bentuk dari pengaruh Ariestotelian yang mengakar dalam pemikiran Al-Kindi.
Kendati pun demikian, nama Al-Kindi sebagai filosof pertama dalam Islam tidak bisa disangsikan. Usahanya untuk memperkenalkan panorama filsafat Yunani dalam kultur Islam mendapatkan hasil yang memuaskan. Berkat usaha kerasnya ini, Al-Kindi sukses mencetak filosof-filosof muslim handal pada periode berikutnya. Al-Farobi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd hadir belakangan dan tampil sebagai ilmuwan sekaligus filosof muslim. Atas dasar itu, seperti dikutip oleh Ahmad Fuad el-Ahnawi, Al-Nadim dalam al-First menuliskan bahwa Al-Kindi sebagai filosof muslim terkemuka. Berikut ini, gambaran penuhnya tentang Al-Kindi: ‘Al-Kindi adalah manusia terbaik pada masanya. Pengetahuannya tentang seluruh ilmu kuno menyajikan keunikan tersendiri. Dengan demikian, karena ia menonjol dan terkemuka dalam ilmu pengetahaun, kami menyebutnya sebagai filosof alam’.
C. Mendamaikan Filsafat dan Agama
Masalah posisi dan hubungan antara filsafat dan agama, telah menjadi persoalan rumit dalam sejarah pemikiran Islam. Kutub ekstrim dari dua ihwal tersebut juga telah melahirkan pertentangan sengit dari para pendukungnya, bahkan tidak jarang menimbulkan korban. Vonis kufur yang diberikan yang diberikan oleh al-Ghazali terhadap para filosof, khususnya adakah al-Farabi dan Ibn Sina adalah salah satu bukti tentang sengitnya pertentangan antara dua kutub ini. Karena itulah para pemikir muslim sejak berabad-abad pertengahan telah berusaha keras memecahkan posisi serta hubungan di antar dua kutub ini. Para fuqaha’ dan filosof sama-sama mencurahkan perhatiannya pada persoalan ini. Ragam pandangan muncul. Ada yang mengutuk, dan tidak sedikit yang berusaha mendamaikan kutub keduanya.
Menurut Yusuf Musa, secara umum pandangan para ahli tentang masalah ini memiliki tiga corak: pertama, mengambil wahyu dan menyampingkan rasio. Ihwal ini, umumnya dilakukan oleh para teolog. Mereka beranggapan, bahwa wahyu adalah satu-satunya sumber kebenaran dan tidak ada yang dapat dijadikan pegangan kecuali wahyu. Corak kedua, mengutamakan rasio dan menepikan wahyu. Pandangan macam ini, umumnya dilakukan oleh para rasionalis murni, atau filosof Muslim yang tidak peduli terhadap ajaran agamanya. Baginya rasio adalah anugerah terbaik yang diberikan Tuhan pada manusia. Dengan rasio manusia telah mampu mengetahui sesuatu yang baik dan buruk. Dengan rasio pula, manusia mampu mengenal Tuhan dan dapat mengatur kehidupannya sendiri dengan baik. Singkatnya, kelompok kedua ini, menempatkan wahyu dibawah kekuatan dan kendali rasio.
Adapun corak ketiga, adalah mencari titik temu antara wahyu dan rasio. Ia berusaha mendamaikan antara filsafat dan agama dengan segala cara. Ihwal demikian biasa dilakukan oleh kalangan filosof muslim yang sangat peduli dengan doktrin keagamaan dan filsafat. Al-Kindi menjadi salah satu tokoh penggagas corak pemikiran ini. Karenanya, al-Kindi berusaha mati-matian untuk sedapat mungkin mempertalikan antara filsafat dan agama. Ia tidak hanya terpaku pada tuntunan wahyu saja, tetapi ia juga mencurahkan perhatiannya terhadap filsafat untuk mencapai kebenaran. Upayanya dalam memperjuangkan ini, membuatnya tidak saklek pada transferensial semata. Ia bersikap bebas untuk mengambil refrensi dari ragam budaya, dan corak pemikiran dari berbagam tradisi keagamaan yang berbeda.
Meskipun membuahkan hasil yang memuaskan, perjuangan Al-Kindi memperkenalkan filsafat Yunani dalam tradisi Islam bukan tanpa rintangan. Ia dituduh bid’ah dan mendapat banyak kecaman, terutama dari para teolog. Sepanjang berpegang teguh pada ajaran-ajaran Neo-Palotinisme yang percaya pada satu Tuhan yang menciptakan dunia dari ketiadaan (creatio ex nihilo), ia masih dianggap selaras dengan hukum Islam. Akan tetapi, segera setelah ia mengambil doktrin dari filsafat pagan, terutama Aristoteles ia langsung dianggap telah menyimpang dari kebenaran wahyu Islam. Selain itu, Al-Kindi kerap mengemukakan pandangannya dengan mengatasnamakan Aristoteles. Dari sinilah, tuduhan bid’ah dan kecaman para teolog bermula.
Berbagai problem yang dihadapi ketika itu. Tidak hanya tuduhan bid’ah dan dikecam oleh para teolog saja, melainkan problem dualisme kebenaran menjadi masalah akut yang dihadapi Al-Kindi. Ketika umat Islam mengadopsi filsafat dari Yunani maka yang terjadi adalah semacam ‘kekaburan’ kebenaran. Ihwal ini, disebabkan oleh adanya dualisme kebenaran. Kebenaran agama yang bersumber dari wahyu di satu pihak, dan kebenaran filsafat yang bersandar pada rasionalitas di lain pihak. Bagi para teolog dan fuqoha dualisme kebenaran ini menjadi persoalan krusial yang serius. Ia mempertanyakan diantara keduanya, kebenaran mana yang harus dipedomani. Selain itu, filsafat dipandang sebagai disiplin keilmuan yang kadang-kadang mengancam keimanan seorang muslim.
Sebagai orang pertama yang memperkenalkan filsafat dalam dunia Islam, Al-Kindi merasa bertanggung jawab dengan semua itu. Ia berusaha memberi pemahaman terhadap para agamawan tentang fungsi dan posisi filsafat. Sebagai pengetahuan yang membahas hakikat segala sesuatu, Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat mengandung pula teologi, ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Al-Kindi juga menegaskan, bahwa Nabi memerintahkan pada umatnya untuk mencari kebenaran dan kebijakan. Dalam konteks inilah Al-Kindi secara gigih membela filsafat. Baginya, filsafat tidak bertentangan dengan agama, justru malah sebaliknya. Filsafat hadir untuk menopang argumen-argumen keagamaan sehingga semakin rasional. Artinya, meminjam istilah Musa Asy’ari, filsafat sebagai sunnah nabi dalam berpikir.
Argumen di atas, bukan sekadar pembelaan terhadap filsafat, tetapi juga bangunan rasionalitas yang kokoh dan beralasan. Rasionalitas argumen tersebut setidaknya memuat tiga alasan. Pertama, filsafat tidak bertentangan dengan agama karena ia sebagai ilmu tentang kebenaran. Sebagai ilmu tentang kebenaran, maka didalamnya filsafat mengandung bahasan mengenai kebenaran ketuhanan. Al-Kindi menyebut ihwal ini sebagai filsafat pertama (al-Falsafah al-Ula). Baginya, kalaupun ada pertentangan antara filsafat dan dalil agama, maka dapat diatasi melalui jalan takwil atau hermeneutika. Artinya, jika dalam kenyataannya terkesan ada pertentangan antara keduanya, maka dapat dikompromikan. Ihwal ini, bisa ditempuh melalui jalan memahami makna metaforis di balik teks al-Quran.
Kedua, secara tegas Al-Kindi menyatakan bahwa antara wahyu dengan filsafat saling bersesuaian. Keduanya sama-sama memiliki kebenaran yang saling berjalin-kelindan. Wahyu yang diturunkan kepada nabi sebagai pedoman hidup, sedangkan kebenaran filsafat sebagai penguat dari wahyu tersebut. Menurut Al-Kindi para nabi memerintahkan untuk mencari kebenaran dan berbuat kebajikan. Nabi juga menyuruh umatnya untuk mencari ilmu yang bermanfaat, dan menghindari sesuatu yang membawa madlarat. Bahkan, dalam pesan ini, Nabi sampai pada tataran faridlatun yang berarti wajib. Dengan demikian, mempelajari filsafat merupakan salah satu bentuk dari mewujudkan kata faridlatun tersebut. Para Nabi juga telah menyatakan tentang kemahaesaan Allah dan kebajikan yang diridlainya. Nah, di sinilah menurut Al-Kindi letak peran filsafat dalam mengokohkan dalil-dalil agama.
Ketiga, agama sangat menganjurkan bagi penganutnya untuk menuntut ilmu yang bercorak logis-rasional. Bahkan, al-Quran kerap menyatakan pentingnya berfikir, afala tatafakkarun. Ihwal ini, yang memotivasi Al-Kindi untuk tetap gigih memperjuangkan filsafat. Secara tegas Al-Kindi menyatakan, bahwa semua ajaran agama yang dibawa oleh Nabi itu hanya dapat dipahami melalui analogi akali. Meminjam istilah Musa Asy’ari, pemikiran Al-Kindi ini dapat disebut sebagai metode pendekatan fungsional. Dalam prakteknya, metode ini berusaha meletakkan al-Quran dan aqal dalam hubungan dialogis. Sementara para agamawan cenderung memakai metode pendekatan struktural. Metode ini, meletakkan al-Quran dan aqal atas-bawah yang mengundang adanya dominasi di antara keduanya.
Dengan mengemukakan tiga argumen di atas, Al-Kindi menegaskan bahwa belajar filsafat adalah perlu. Baginya, belajar filsafat merupakan upaya untuk mempertahankan keimanan. Menyikapi serangan para agamawan, Al-Kindi justru melakukan serangan yang tak kalah kritisnya. Menurutnya, orang-orang yang menolak filsafat itu diragukan keimanan dan keberagamaannya. Ia menegaskan, kalaupun para teolog menolak filsafat, mestinya ia memberi alasan lugas yang rasional. Tidak hanya menuduh buta tanpa alasan. Pemberian alasan dan pemaparannya ini, merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat, filosofis. Karenanya, para teolog, mereka perlu memiliki pengetahuan ini dan menyadari bahwa mereka harus memperoleh dan mempelajarinya.
Di tengah meruncingnya polemik dengan para teolog yang berkepanjangan, Al-Kindi menyatakan sikap secara mengejutkan. Ia sendiri semakin berani dan tidak pernah ragu untuk mencari kebenaran dari berbagai sumber, bahkan dari filsafat sekalipun. Baginya, kendatipun kebenaran harus didapat dari bangsa-bangsa yang jauh, ia tetap harus dicari dan didapatkan. Sebab, tidak ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran kecuali kebenaran itu sendiri. Para pencari kebenaran seharusnya tidak gentar dengan klaim-klaim rancu seorang penipu –dalam hal ini teolog- yang menghalanginya dengan nama agama. Bagi Al-Kindi, para penipu ini, sebetulnya hanya ingin mempertahankan kedudukan, pangkat dan keuntungan sesaat yang mereka peroleh dengan mencatut nama agama.
Bagi al-Kindi agama dan filsafat adalah dua hal yang berbeda dari aspek sumber ataupun metodenya. Filsafat berasal dari pengetahuan diskursif, sedangkan agama berasal dari wahyu ilahi. Meski demikian, tujuan tertinggi yang ingin dicapai keduanya adalah sama, yaitu ilmu ketuhanan atau metafisika. Al-Kindi menyebut ini sebagai ilmu kebenaran pertama, sehingga tujuan adama dan filsafat adalah sama. Artinya, al-Kindi mempertemukan agama dan filsafat pada bentuk subtansinya. Ia juga mempertalikan keduanya pada bentuk kajiannya. Oleh karena itu, bagi al-Kindi, agama dan filsafat sama-sama mencari kebenaran tunggal dan tertinggi. Keduanya sama-sama mendarma-baktikan dirinya demi tujuan kebenaran. Agama dan filsafat adalah serupa jalan yang dapat menghantar manusia pada ‘rumah’ kebenaran absolut.
Mengikuti pendapat Ahmad Fuad el-Ahnawi yang secara mengatakan, bahwa Al-Kindi juga melakukan klasifikasi agama dan filsafat. Ia membedakan secara tajam antara agama –dalam ihwal ini Islam- dengan filsafat. Posisi agama setingkat lebih tinggi dari filsafat. Menurutnya, agama merupakan al-ilmu-ilaihiyyah, sedangkan filsafat berposisi sebagai ilmu insani. Jalur agama adalah keimanan sedangkan filsafat adalah jalan nalar dan akal. Pengetahuan Nabi diperoleh secara langsung melalui wahyu, sedangkan pengetahuan para filosof diperoleh melalui logika dan pemaparan. Ilmu insani diperoleh melalui riset dan ketekunan. Ilmu-ilmu ini berada di bawah kedudukan ilm al-Ilaihiyah yang diperoleh tanpa riset, melainkan dengan penyucian dan penyerahan jiwa. Dari dua hal itu kemudian, para nabi mendapatkan kebenaran melalui ilham dan wahyu.
Berdasarkan klasifikasi di atas, Al-Kindi meyakini bahwa hujjah-hujjah al-Quran lebih pasti daripada dalil filosofis. Al-Quran memberikan pemecahan atas berbagai masalah yang hakiki, misal masalah penciptan dan kebangkitan kembali. Atas dasar inilah kemudian Al-Kindi membuka pintu bagi penasiran filosofis terhadap al-Quran. Mengenai ihwal ini, ia memberikan dua pandangan yang berbeda. Pertama, mengikuti jalur logika dan filsafat agama. Kedua, memandang agama sebagai ilmu ilaihiyah dan menempatkannya di atas posisi filsafat. Ilmu ilaihiyah ini diketahui dan didapat melalui jalur para nabi. Selanjutnya melalui penafsiran filosofis, Ia berhasil mendamaikan antara filsafat dan agama. Dengan demikian, Al-Kindi memuluskan jalan bagi filosof sesudahnya, seperti al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
D. Metafisika Sebagai Al-Falsafah al-Ula
Berpangkal pada ketekunannya yang intens, Al-Kindi menghasilkan sederet karya yang fenomenal. Seperti dicatat oleh al-Nadim, Al-Kindi tidak hanya berkecimpung pada filsafat Yunani, tetapi juga mencakup studi mengenai agama India, Chaldean dan Harran. Ia produktif dalam menulis dan memiliki objek pembahasan yang amat luas. Namun sangat disayangkan, pasca perang Salib banyak karya-karya Al-Kindi hilang tanpa diketahui rimbanya. Disamping subyek bahasannya yang luas, semua tulisan Al-Kindi mencerminkan komitmen kuatnya pada jalan filsafat dan wacana rasional. Al-Hatsts ala Ta’allum al-Falsafah dan al-Falsafah al-Ula adalah sekian karya fenomenal yang mengukuhkan anggapan itu. Dalam kedua karya tersebut, Al-Kindi menunjukkan kecintaannya yang mendalam pada filsafat.
Sebagai sosok yang ‘ngefans’ terhadap pemikiran Aristoteles, sudah barang tentu Al-Kindi merefleksikan doktrin-doktrin yang diperoleh darinya. Bahkan, tidak berlebihan jika pikiran-pikiran Aristoteles menjadi basis dalam karya-karya Al-Kindi. Ihwal ini tercermin –salah satunya- dalam al-Falsafah al-Ula, karya Al-Kindi yang dipersembahkan kepada Ahmad putra Al-Mu’tasim sang Khalifah. Dalam karya yang banyak mendapat inspirasi dari Metaphisic-nya Aristoteles ini, Al-Kindi membahas masalah metafisika. Aristoteles menyebut metafisika sebagai prote philosophia atau filsafat pertama. Kemudian, Al-Kindi meminjam sebutan ini dengan istilah al-Falsafah al-Ula. Meskipun demikian, karya Al-Kindi tersebut bukanlah replikasi, melainkan sebagai catan kritis terhadap pandangan Aristoteles.
Sebagai filsafat pertama, metafisika berusaha membongkar masalah-masalah tentang ‘ada’. Secara umum, metafisika mengambil konsentrasi pembahasan hakikat dari segala yang ada atau yang dianggap ada. Ia melampui fisika atau materi yang nampak. Fisika oleh Al-Kindi didefinisikan sebagai telaah atas objek-objek kendriya –yang terindra, nampak- atau yang bersifat meteriil dan bergerak. Sedangkan metafisika didefinisikan sebagai studi tentang yang tak bergerak dan mujarrad (immateril). Definisi ini secara subtansial sama dengan definisi yang ditulis oleh Aristoteles, namun Al-Kindi menyeretnya pada ruang ilaihiyah. Artinya, Al-Kindi langsung membingkai metafisika dengan pembahasan tentang sebab pertama, Tuhan. Menurutnya, mutlakknya keesaan Allah menjadi penyebab bagi semua yang maujud.
Dengan premis yang bercorak Platonian ini, sebenarnya al-Kindi ingin mempertahankan tesisnya. Ia hendak membuktikan bahwa Sang Maha Esa adalah sumber dari segala sesuatu. Alih-alih mengikuti konsep emanasi ala Plotinus, al-Kindi malah mengambil konsep penciptaaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Dengan demikian, al-Kindi telah mengajukan serangkaian argumen logis dan matematis untuk membuktikan, bahwa waktu dan gerak bersifat terbatas. Baginya, alam, sebagai karya kekuasaan kreatif Tuhan, niscaya memiliki awal dan akhir yang bersifat sementara dan temporal. Dengan sifat kesementaraan ini, al-Kindi merajut argumen tentang eksistensi Tuhan. Argumen yang kemudian hari dikenal dengan ‘kesementaraan alam’ ini sangat digemari oleh para teolog waktu itu.
Setelah membingkai metafisika dengan pembahasan tentang Tuhan, Al-Kindi kemudian memberi garis besar haluan metafisika. Ia merumuskan metafisika sebagai jalan besar yang di dalamnya cabang-cabang filsafat berlalu-lalang. Selanjutnya Ia menjelaskan makna metafisika secara lugas dan detail. Metafisika baginya, adalah sebagai pengetahuan sebab pertama. Metafisika disebut sebagai filsafat pertama, menurutnya karena cabang filsafat lainnya, seperti episteme dan aksiologi terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu, sebab pertama adalah pertama dalam kemuliaan, pertama dalam genus. Selain itu, filsafat pertama juga menempati posisi derajat utama dalam hirarki ilmu pengetahuan yang paling pasti. Ia juga menempati posisi utama dalam waktu. Karenanya ia adalah sebab dalam waktu.
Seperti yang telah disebutkan di atas, meskipun banyak terinspirasi dari Aristoteles, tradisi neo-Palatonik juga banyak berkonstribusi bagi pemikirannya Al-Kindi. al-Falsafah al-Ula hadir karena keinginan kuat Al-Kindi untuk memberikan ringkasan filsafat Yunani dalam bentuk definisi-definisi. Ketekunan Al-Kindi mengumpulkan karya-karya Aristoteles dan kesukaannya tidak bisa diabaikan dalam lahirnya karya ini. Bahkan, dari saking sukanya Al-Kindi kerap menisbahkan sumber-sumber lain kepada Aristoteles. Ihwal ini, menurut Felix salah satunya terjadi pada karya tersebut. Felix menegaskan selain Aristoteles, Neo-Platonisme juga banyak mewarnai pemikiran Al-Kindi. terbukti, Al-Kindi menyebut Tuhan sebagai ‘Penyebab Pertama’. Pendapat ini mirip dengan ‘Agen Pertama’-nya Plotinus.
Selanjutnya, Al-Kindi membahas metafisika mulai dari realitas alam semesta. Ia membagi alam semesta menjadi dua tingkatan; alam atas dan alam bawah. Pertama-tama ia memberi definisi dari kedua alam tersebut. Alam atas, menurutnya ditandai dengan definisi-definisi akal, alam dan jiwa. Sedangkan alam bawah tersusun dari badan (jirm) penciptaan (ibda’), materi (hayula), bentuk (shirah), dan sebagainya. Dari dua alam ini, kajian metafisika mengambil bagian. Menurutnya, tanpa menempuh kajian metafisika, maka akan sulit untuk menguliti hakikat dari dua alam tersebut. Atas dasar itu, bagi Al-Kindi, metafisikalah yang dapat memberi petujuk bagi kita untuk mencapai hakikat dari dua alam tersebut beserta berbagai susunannya.
Oleh karena itu, Al-Kindi memahami alam atas sebagai wujud spiritual yang tidak diciptakan. Sedangkan alam bawah berkedudukan sebagai wujud temporal yang diciptakan. Baginya, jiwa merupakan wujud spiritual yang tidak diciptakan, sementara materi, ruang dan waktu, adalah wujud temporal yang diciptakan dan bersifat jasmaniah. Penciptaan (ibda’) dalam pandangan Al-Kindi adalah penciptaan dari ketiadaan di dalam dimensi waktu. Lebih lanjut, Al-Kindi menyatakan bahwa kedua alam tersebut, atas dan bawah, pada mulanya berasal dari satu sumber yang sama; sebab pertama dari segala sesuatu. Dari sumber paling awal inilah, yakni Tuhan, segala sesuatu kemudian berlangsung secara terus-menerus.
Mencermati penjelasan Al-Kindi di atas, sebenarnya ia hendak menegaskan bahwa metafisika adalah kajian tentang ketuhanan. Bagi Al-Kindi, topik utama yang dikaji oleh metafisika adalah Tuhan Esa yang Maha Abadi, Nirbatas dan Nirwikara. Tuhan dikatakan Nirbatas, karena ia tidak memiliki jenis atau spisies, dan disebut Nirwikara, karena ia tak mengalami perubahan yang mengurangi kesempurnaannya. Sebagai kajian tentang Tuhan, metafiska mencurahkan perhatiannya tentang wujud Tuhan dan keesaannya. Melalui disiplin metafisika ini, Al-Kindi berusah membongkar bukti tentang ketuhanan dan penjelasan tentang keesaannya. Ia mencoba menalar Tuhan melalui akal dan mengeksplorasinya secara tekun dengan memakai rasionalisasi ala-Mu’tazilah.
Keesaan Tuhan menjadi doktrin inti Mu’tazilah. Karenanya, mereka disebut sebagai aliran yang menjadikan keesaan Tuhan sebagai dasar keyakinan, tauhid. Sebagai aliran yang menjunjung tinggi rasionalisme, Mu’tazilah cenderung mengagungkan akal. Al-Kindi adalah sosok yang besar dalam tradisi ini. Dalam analisisnya tentang Tuhan mulanya ia menaruh perhatian besar pada fungsi akal. Namun, akhirnya ia berpendapat bahwa meskipun kepastian intelektual tentang Tuhan dan keesaannya dapat dicapai, tetapi intelek hanya mempu menggambarkan Tuhan dalam term-term negatif. Dengan demikian, wujud Tuhan selalu tidak bisa digambarkan dengan materi dan tidak dapat terpikir secara logis oleh manusia. Dalam arti ini, wujud Tuhan tidak terbatasi oleh dan tidak terkungkung dalam ruang dan waktu, seperti benda-benda fisik.
E. Duduk Perkara Filsafat Ketuhanan
Tuhan selalu menjadi tema aktual dalam kajian filsafat. Ia selalu hadir dan selalu menarik minat pembincang filsafat dalam setiap kesempatan. Bahkan, tidak berlebihan jika dalam tradisi pemikiran Islam, filsafat hadir untuk mendarmabaktikan dirinya pada persoalan ketuhanan dan keimanan. Persolan keimanan dan mengetahui sifat-sifat serta kekuasaan Tuhan merupakan bekal utama memasuki pintu bahasan tauhid dalam Islam. Sebagai Dzat pencipta, Bagi Al-Kindi Tuhan mampu menghasilkan suatu materi dari materi lain yang berlawanan. Materi yang demikian itu, tentu saja dicipta dengan cara yang tidak terpikir oleh manusia. Atas dasar inilah, kata Al-Kindi, filsafat hadir untuk menyelidiki dan membongkar berbagai sifat dan kekuasaan Tuhan yang tak bisa tertampung oleh kata-kata.
Kehadiran filsafat dalam tradisi Islam merupakan mula untuk mencari kebenaran. Al-Kindi berupaya keras untuk menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab dengan mengantongi berbagai tujuan. Salah satu dari tujuan itu, adalah menanam benih-benih pemikiran radikal untuk menyemai kebenaran. Di samping itu, Al-Kindi ingin filsafat dijadikan penguat dari hujjah-hujjah al-Quran. Namun yang terpenting dan perlu dicatat dari upaya Al-Kindi tersebut adalah hakikat segala sesuatu. Al-Kindi menerjemahkan berbagai karya Yunani ke dalam bahasa Arab, bermotif mencari kebenaran dan ingin mengantongi hakikat segala sesuatu. Ia ingin mendapatkan pengetahuan dan hujah yang rasional tentang Tuhan dan hakikat sesuatu dalam bingkai filosofis.
Pengetahuan tentang hakikat sesuatu, yang menjadi tujuan utama filsafat, tidak hanya dibatasi oleh dunia inderawi. Tetapi ia pula hadir dengan kemasan topik yang membahas tema non-inderawi juga. Atas dasar itulah, Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat juga mencakup pengetahuan tentang ketuhanan dan kebenaran. Atas dasar ini, kemudian Al-Kindi secara tegas menyatakan, bahwa kebenaran filosof tidak berbeda dengan kebenaran kaum Muslim yang beriman. Filsafat dan teologi mengabdi pada tujuan yang sama: pengetahuan tentang hakikat Yang Benar (al-Haqq), yakni Tuhan. Untuk membahas masalah ini, Ia menggunakan istilah al-Barii (pencipta) atau al-Illat al-Ula (sebab pertama). Istilah-istilah tersebut dipilih untuk membedakannya dengan kajian ketuhanan yang rancak dibahas dalam literatur kalam.
Meskipun demikian, dua istilah tersebut bukan sepenuhnya origin terlahir dari pikiran Al-Kindi, melainkan juga terinspirasi dari al-Quran. Sebutan yang pertama, yakni al-Barii itu sekali disinggung dalam al-Quran. Sedangkan yang lainnya; al-Illat al-Ula sama sekali tidak disebut dalam al-Quran dan kitab-kitab suci. Dalam ihwal ini Al-Kindi dapat inspirasi dari keyakinan umum umat mukmin. Orang-orang yang beriman menganggap gagasan bahwa Tuhan adalah sebab pertama. Tuhan bagi orang yang beriman adalah satu-satunya sebab dan pencipta segala sesuatu. Al-Kindi menyebut kata penciptaan dari ketiadaan dengan istilah Ibda’ untuk menggatikan kata khaliq. Setidaknya dari pilihan bahasa ibda’ ini memberikan kesan bahwa Al-Kindi sengaja menghindari ungkapan-ungkapan Qurani.
Ahmad Fuad el-Ahnawi mencatat, bahwa gagasan ketuhanan Al-Kindi banyak diwarnai oleh pemikiran Ptolomeus. Filosof Yunani Klasik ini, menggambarkan Tuhan sebagai Dzat bersifat tetap, tunggal, gaib, dan penyebab utama dari sejati gerak. Dengan memetik inspirasi dari ungkapan Ptolomeus ini, dalam al-Sina’at al-Uzma Al-Kindi memaparkan bahwa Allah sebab dari segala sebab. Ia berkata, karena Allah maha kuasa, Dialah penyebab gerak ini. Ia tunggal dan abadi selamanya. Sebagai Dzat yang tunggal dan abadi, maka Ia tak dapat dilihat dan tak bergerak, Ia adalah sebagai penyebab gerak tanpa menggerakkan dirinya. Ia tidak tersusun dari benda materi, karenanya tak ada susunan baginya. Ia terpisah dari segala yang terlihat. Oleh sebab itu, ia adalah penyebab gerak segala yang dapat dilihat.
Gagasan ketuhanan Al-Kindi di atas, sepintas menyerupai gagasan Plotinus tentang The One. Namun, tidak berhenti di situ, ia juga mengkombinasikannya dengan gagasan dasar ketuhanan dalam Islam. Keesaan, penciptaan dari ketiadaan dan ketergantungan segala ciptaan terhadap-Nya merupakan dasar gagasan ketuhanan dalam Islam. Sifat-sifat tersebut, dalam al-Quran dinyatakan secara kurtang filosofis dan dialektis. Al-Kindi hadir sekaligus memberi sifat Tuhan dengan istilah-istilah baru. Tuhan adalah yang benar. Ia maha Tinggi dan dapat disifati dengan sebutan-sebutan negatif. Ia bukan materi, tak berbentuk, tak berjenis, dan tak berkejadian. Oleh karena itu, ia Maha Esa (wahdah). Lewat perpaduan apik antara pemikiran Neo-Platonisme dan Islam inilah, Al-Kindi menyumbangkan orisinalitas pemikiran ketuhanan dalam tradisi filsafat Islam.
Argumentasi yang dibangun Al-Kindi dalam membahas kemaujudan Allah sepenuhnya betumpuh pada konsep sebab akibat. Baginya, semua yang maujud pasti memiliki sebab yang mewujudkannya. Karena rangkaian sebab itu terbatas, maka akan berujung pada titik akhir, sebab pertama atau dalam bahasa Al-Kindi al-Barii; Allah. Ia secara tegas menyatakan, bahwa Allahlah yang menjadi sebab dari segala sebab yang ada. Selanjutnya, Al-Kindi membuktikan kemaujudan Tuhan dengan menunjukkan keteraturan alam semesta ini. Baginya, keteraturan dunia, hirarkis bagian-bagiannya dan interaksi yang sempurna dari bagian-bagian tersebut merupakan kesempurnaan paling tinggi dari segala maujud-Nya. Atas dasar ini, kata Al-Kindi semua itu merupakan bukti kongkret adanya satu kemaujudan sempurna pengatur segala sesuatu dengan kebijakan sempurna, yakni Tuhan.
Mengenai sifat esensial Tuhan, Al-Kindi menggarisbawahi mutlaknya keesaan Allah. Baginya keesaan Allah ini, adalah penyebab bagi semua yang ada (maujud). Meskipun tampak beragam dan plural, semua yang maujud pada dasarnya bermula dari kesatuan Yang Maha Esa. Ia adalah sumber dari segala ada di seluru penjuru jagad ini. Tanpa kesatuan semacam itu, tidak akan ada satu apa pun di dunia ini. Kesatuan demikian sesungguhnya identik dengan keberadaan. Tuhan sebagai Yang Esa, Dia menampung sifat wahdah dan wujud. Akibatnya, dari sifat wahdah dan wujud tersebut segala sesuatu menjadi ada (maujud). Kalau sekiranya dia berhenti memlihara dan mengatur alam semesta ini, maka segala yang ada bakal hancur-lebur berantakan.
Namun demikian, meskipun segala sesuatu merupakan akibat dari rangkaian sebab yang mendahuluinya, al-Barii tetap merupakan satu-satunya sebab. Atas dasar ini, Al-Kindi mengamini konsep emanasi yang dibidani oleh Plotinus. Bagi Al-Kindi, alam adalah buah dari hasil proses emanasi. Alam, yang mulanya beremanasi dari sebab pertama, bergantung dan berkaitan pada al-Barii. Kendati pun seperti itu, alam terpisah dari-Nya karena alam terbatas dalam spasio-temporal. Keesaan sebab pertama dikontraskan dengan kemajemukan dunia yang diciptakan. Oleh sebab itu, alam memiliki pencipta. Dalam konteks ini, Al-Kindi benar-benar selaras dengan Islam. Dunia diciptakan dari ketiadaan dan dibentuk dalam waktu, sehingga dunia menjadi ada setelah tidak ada. Ini bukan hanya keyakinan agamanya, melainkan juga pendiriannya sebagai filosof.
Selanjutnya, sebagai karya kreatif Tuhan, alam tentunya mempunyai awal dan akhir. Ia bersifat huduts. Dengan asas kesementaraan atau huduts ini, Al-Kindi merajut argumennya tentang eksistensi Tuhan. Baginya, mustahil ada benda-benda alam yang bersifat abadi. Segenap benda mesti bermula (muhdats). Sedang yang bermula niscaya tercipta dalam ruang dan waktu (muhdits). Argumen yang kemudian hari dikenal dengan “hujjah kesementaraan alam” ini sangat digemari oleh para teolog. Oleh karena itu, filsafat Al-Kindi menganrarkan pada teologi negatif, yaitu Tuhan hanya digambarkan dalam batas-batas negatif. Pertanyaan yang muncul kemudian, jika intelek tidak dapat mengantarkan orang mengetahui Tuhan dalam terma-terma positif, filsafat tidak lebih unggul daripada teologi.
Berdasarkan pertanyaan ini, lalu Al-Kindi membahas ihwal jiwa dan akal. Bagi Al-Kindi, jiwa adalah suatu wujud sederhana yang dzatnya terpancar dari Sang Pencipta. Layaknya sinar matahari, pancaran jiwa ini terpisah dari tubuh. Ia bersifat spiritual dan menampung hakikat ketuhanan. Apabila dipisahkan dari Tubuh, maka jiwa memperoleh pengetahuan tentang segala yang ada di dunia. Ia dapat melihat segala sesuatu yang adialami. Begitu beranjak dari dunia, jiwa manusia berkemampuan menguak segala misteri yang terdapat di dalam dirinya. Dengan demikian, tak ada lagi yang tersembunyi dari pemahamannya. Selanjutnya, al-Kindi membagi jiwa meliputi tiga bagian; nalar (al-Quwwah al-Aqliyyah), amarah (al-Ghadabiyah), dan hasrat (as-Syahwaniyah).
Melalui konsepsinya tentang jiwa ini, Al-Kindi sebenarnya tengah merumuskan nuansa etis. Ia menggambarkan suasana psikologis seseorang untuk dijadikan sebuah acuan etis bagi kehidupan manusia dalam keseharian. Atas dasar ini, Dengan sikap seperti kebanyakan filosof etis lainnya, Al-Kindi mengembangkan doktrin etis yang menempatkan kebijaksanaan sebagai puncak kesempurnaan nalar atau rasio. Sementara itu, keberanian diposisikan sebagai puncak kesempurnaan bagi amarah. Dan, pengendalian diri sebagai puncak kesempurnaan bagi hasrat. Dalam arti ini, orang yang meninggalkan kesenangan jasamani, menurut Al-Kindi, dan orang yang berupaya mencapai hakikat segala sesuatu, adalah orang yang baik dan sangat sesuai dengan Sang Pencipta. Tandasnya.
Akhirnya, Al-Kindi mengembangkan konsep jiwa ini dengan tema tentang akal. Tema ini memang sering dibahas dalam filsafat Yunani, tak terkecuali dalam juga dalam filsafat Islam. Aristoteles yang membagi akal menjadi dua macam. Akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin menerima pikiran, sedangkan akal agen menghasilakan obyek-obyek pikiran. Akal agen ini, digambarka oleh Aristoteles sebagai akal yang selalu aktual, tersendiri, kekal dan tak akan rusak. Namun, dalam membahas tema yang pernah jadi ‘primadona’ pembahasan pada abad pertengahan ini, Al-Kindi memiliki corak tersendiri. Ia memilih berbeda dengan pandangan Aristoteles di atas. Ia melakukan terobosan pemikiran origin, yang nantinya menjadi sumber inspirasi bagi karya-karya Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan sebagainya.
Mengenai konsepsi Al-Kindi tentang akal, sebenarnya juga banyak mengambil inspirasi dari pemikiran Neo-Platonisme. Ia banyak mengutip dari De Intelectu-Nya Alexander dari Aphrodisias yang membagi akal menjadi tiga. Namun Al-Kindi menambahkan satu, sehingga menjadi empat. Seperti yang terlihat dalam risalah Maqalah fi al-Aql, Al-Kindi membedakan akal menjadi empat bagian. Pertama, akal yang selalu dalam aksi. Kedua, akal yang potensial. Ketiga, akal yang telah melewati keadaan potensialnya menuju keadaan aktualnya, atau akal capaian. Keempat, akal manifest yang berfungsi mengabstraksikan bentuk-bentuk universal dari segenap benda materil. Akal yang disebut terakhir ini, boleh jadi sama dengan akal aktif. Ia berfungsi sebagai pemberi informasi bagi jiwa untuk tahu tentang spesies aneka benda manakala ia sudah lulus dari dari tahap akal capaian.
Sebagai kelanjutan dari gagasan psikologisnya yang dianalisis lewat jiwa dan akal, Al-Kindi membahas ihwal etika. Ia merumuskan bagaimana mestinya menusia menghadapi derita dan kesedihan yang kerap menimpa dalam keseharian. Secara sederhana, kesedihan didefinisikan sebagai rasa sakit yang dialami seseorang setelah putus harapan atau gagal meraih dambaan. Bagi Al-Kindi perenungan menjadi ‘obat mujarab’ untuk menyembuhkan situasi hati macam ini. Perenungan, lanjutnya, akan mengantarkan pada sebuah pemahaman yang menenangkan, bahwa di dunia ini, manusia tidak bisa menpertahankan kesenangan dan mendapatkan semua yang didambakan. Keabadian bukan watak dunia ini, melainkan watak Tuhan. Dialah Dzat yang abadi, Dzat yang tidak pernah dirundung kesedihan, pula diguncang oleh perputaran waktu dan nestapa nasib yang meruang.
F. Kontribusi Bagi Filsafat Dewasa Ini
Umumnya, pemikiran filsafat Al-Kindi diyakini selaras dengan kredo kaum muslim. Anggapan ini didukung, misalnya, oleh argumen Al-Kindi tentang penciptaan. Ia berpendapat bahwa penciptaan berawal dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Namun, harus diingat Al-Kindi juga membahas tentang eksistensi Tuhan dan eksistensi alam semesta. Ihwal ini yang bertentangan dengan pandangan dan keyakinan umum kaum muslim waktu itu. Hal yang sama terjadi pula dalam pandangannya tentang teori emanasi. Teori yang mengambil dari konsep the one-nya Platonis ini, yang menganggap penciptaan dunia bersumber dari sebab-akibat pancaran Tuhan atau sebab pertama bertentangan dengan rukun iman. Dalam rukun iman dijelaskan bahwa dunia diciptakan seketika melalui perintah Tuhan.
Sebagai filosof yang membidani lahirnya pemikiran radikal, dan melakukan upaya penerjemahan pemikiran Yunani ke dalam bahasa Arab, Al-Kindi tentu banyak memberi konstribusi bagi filsafat Islam. Ia dengan berani melakukan itu semua. Meskipun awalnya berada dibawah perlindungan khalifah ke tujuh dan kedelapan Dinasti Abbasiyah, yakni Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasyim, namun akhirnya ia mendapat banyak kecaman. Ia tidak pernah gundah menghadapi kecaman tersebut, bahkan ia semakin keranjingan untuk mendalami filsafat Yunani dan kemudian memberi catatan-catatan kritis terhadapnya. Ia banyak melahirkan pemikiran orisinal, beberapa diantaranya, misal, tentang konsep akal dan jiwa. Pemikirannya tentang akal dan jiwa ini, kemudian menjadi petunjuk bagi filosof setelahnya, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd untuk merumuskan ilmu psikologi dan etika.
Al-Kindi memberi sumbangan pemikiran yang cukup besar bagi perkembangan filsafat Islam. Setidaknya, ia telah ‘membabat hutan’ kejumudan teologis dan membukanya menjadi ladang filosofis yang subur dan mencerahkan. Atas dasar ini, maka tidak heran jika ia disebut sebagai bapak filosof muslim. Ia tidak hanya bergelut dalam peroalan filsafat saja, melainkan ia juga membaktikan dirinya dalam penelitian mengenai hampir semua bidang ilmu kelaman dan matematika. Dari berbagai penelitian tersebut, ia menghaslkan karya-karya cemerlang yang mencerahkan. Dari karya-karya tersebut, filosof setelahnya banyak mengambil petunjuk dan mengembangkan menjadi bangunan pemikiran filosofis yang kian sistematis. Al-Farabi termasuk salah satu tokoh yang mengembangkan pemikiran Al-Kindi ini menjadi kian sistematis dan radik.
Tidak hanya berkonstribusi dalam perkembangan pemikiran filsafat Islam, Al-Kindi juga banyak memberi inspirasi bagi belahan dunia Barat. Melalui terjemahan Latin, karya-karya Al-Kindi mempengaruhi filosof Eropa abad pertengahan. Mereka sangat akrab dengan seluruh spektrum hasil karya litere Al-Kindi, terutama yang membahas masalah ilmu keaalamaan dan matematika. Gerard (1114-1187 M) dari Cremona menerjemahkan sejumlah karya Al-Kindi, di antaranya on Optics. Karya ini kemudian digunakan Roger Bacon (1114-1294 M), ketika membahas masalah kecepatan cahaya. Dengan demikian, maka wajar jika Geronimo Cardano (w. 1576) menyebut Al-Kindi sebagai salah satu dari dua belas pemikir tersbesar yang cukup berpengarah di dunia kala itu.
Akhirnya, konstribusi pemikiran Al-Kindi tidak diragukan lagi. Ia banyak memberi warna bagi perkembangan pemikiran filosofis dewasa ini. Baik itu, dalam tradisi filsafat Islam maupun dalam kultur pemikiran filsafat Barat. Meskipun, cenderung bercorak teologis, namun berbagai pemikiran yang terbentang dari teologi, matematika, fisika, metafisika bahkan filsafat sekalipun patut dihargai dan dipelajari. Melalui karya-karyanya yang cukup brilian dan rancak, setidaknya ia telah berhasil ‘mentransfusi darah’ bagi berdetaknya jantung keilmuan yang semakin berkembang. Al-Kindi tidak hanya dibanggakan di kalangan umat muslim saja, tetapi ia juga diakui oleh kalangan filosof Barat. Atas dasar inilah, maka ia pantas dijuluki sebagai perintis pemikiran radikal dalam tradisi filsafat Islam. Ia yang menggarap ladang subur bagi tumbuhnya benih-benih pemikiran filosofis dalam Islam.[]
Comments
Post a Comment