NASKAH DRAMA TEATER Part 2

1.    ARCHITRUC: MEMANDANG KE SEBERANG ABSURDITAS

        Sebuah tulisan tentang karya seni tidak bisa lain kecuali bersifat subjektif. Tampaknya terdapat suatu kontradiksi yang menarik, yaitu bahwa karya seni yang merupakan hasil kerja subjektivitas seniman hanya dapat diterima oleh subjektivitas lagi. Suatu karya seni adalah perkawinan atau pergulatan antara pikiran dan perasaan seniman yang subjektif dengan masalah objektif yang menghadang seniman dalam kehidupannya. Pikiran dan perasaan seniman tidak bisa lain kecuali bersifat subjektif, karena dibentuk oleh lingkungan serta riwayat sang seniman yang amung (unik). Subjektivitas inilah yang kemudian tampil bersama objektivitas yaitu masalah, di dalam karya seninya. Kalau masalah yang bersifat objektif dari suatu karya seni dapat diterima dengan pikiran objektif penulis, maka subjektivitas sang seniman tidak bisa lain kecuali diterima oleh subjektivitas penulis pula. Nuansa-nuansa perasaan, kecemasan-kecemasan dan harapan-harapan seniman dalam hubungannya dengan masalah yang digulatinya tidak bisa lain kecuali diterima melalui pembiasaan dari perasaan, kecemasan dan harapan penulis sendiri tentang masalah yang sama. Dengan kata lain, tulisan tentang suatu karya seni tidak mungkin merupakan upaya objektivikasi mengenai karya seni itu melainkan hanya akan merupakan dialog antara dua subjektivitas di sekitar masalah tertentu, yaitu masalah yang menjadi sumber ilham bagi karya seni itu.

        Dengan kata lain hendaknya disadari, bahwa tulisan ini sama sekali tidak bermaksud memberikan kata akhir tentang makna apalagi nilai architruc, melainkan sekedar menawarkan suatu cara memandang atau perspektif lain di antara yang sudah atau akan ada.

Pinget dan Absurditas

        Di samping membaca karya-karyanya, salah satu cara memahami seorang pengarang adalah dengan menelaah latar-belakang kehidupannya. Biografi penulis architruc, yaitu Robert Pinget, menunjuk ke arah lingkungan pemikiran yang dipengaruhi oleh filsafat absurd. Pinget lahir di Geneva tahun 1919 dan giat menulis sejak awal dasawarsa tahun lima puluhan sampai sekarang. Ia bukan saja sejaman dengan almarhum Samuel Beckett, akan tetapi bahkan mereka berkawan dan bekerjasama, yaitu Pinget menerjemahkan karya-karya Beckett ke dalam Bahasa Perancis sedang Beckett menerjemahkan karya-karya Pinget ke dalam Bahasa Inggeris. Merekapun bekerjasama dalam penulisan dan penyiaran sandiwara radio. Mudahlah dipahami kalau karya-karya Pinget termasuk architruc, memiliki nada dasar seperti yang bergema dari karya-karya Beckett, yaitu absurdisme.

        Sebelum langsung menelaah sandiwara Architrug, kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan absurdisme. Untuk itu kita terdorong untuk menoleh kepada tulisan Albert Camus, salah seorang yang paling fasih dalam menjelaskan absurdisme itu. Menurut Camus, manusia absurd ialah dia yang di satu pihak menyadari keinginannya untuk hidup di dalam ketertiban, di lain pihak menyadari pula bahwa alam semesta tidaklah tertib, di satu pihak ia mendambakan rasionalitas, di lain pihak alam semesta tidaklah rasional; hatinya yang penuh pertanyaan berhadapan dengan alam semesta yang bisu; hasratnya yang menggapai-gapai makna hanya menangkap ruang yang kosong tanpa makna. Dalam hubungan dengan makna ini Camus memberikan penjelasan melalui sebuah contoh. Penderitaan dapat diterima seandainya kita tahu untuk apa kita menderita. Seorang anak akan bersedia disuntik kalau ia memahami bahwa penderitaannya itu demi kepentingannya yang lebih tinggi. Namun tidaklah demikian halnya dengan penderitaan manusia, demikian Camus. Manusia hidup tak bahagia dan ia (kemudian) mati, kata Caligula, salah satu tokoh dalam sandiwara Camus yang sangat terkenal. Dan manusia tidak tahu untuk apa ia menderita dan mati. Nasib manusia yang seperti itu tidak bisa lain kecuali bersifat konyol alias absurd.

        Absurdisme sebagai jalan pikiran atau filsafat hanya dapat dipahami melalui latar-belakang, baik itu latar belakang sejarah pemikiran Eropah maupun sejarah faktual. Humanisme Eropa yang berawal di zaman Yunani Purba dan mencapai salah satu puncaknya dalam bentuk Rasionalisme, pada suatu ketika niscaya akan berhadapan dengan pertanyaan yang tidak dapat dijawab secara rasional, di antaranya tentang nasib manusia. Karena humanisme (modern) umumnya nontheistic dan memandang agama-agama tentang nasib manusia ditolaknya. Dengan demikian, tinggalah kekonyolan (absurditas) sebagai pilihan akhir.

        Kita dapat saja tidak setuju dengan filsafat absurd, namun untuk dapat memahami dan menikmati Architruc, kita memerlukannya sebagai perspektif.

Architruc, Memandang ke Seberang

        Architruc dan Baga, tokoh-tokoh utama dalam sandiwara Architruc ini adalah gambaran manusia yang gagal menemukan dan memberikan makna pada hidupnya. Mereka memainkan berbagai peran, di antaranya sebagai raja dan perdana menteri, sebagai raja dan duta, sebagai ayah, ayah pelindung (godfather) dan anak pungut. Namun mereka gagal menetapkan (mendefinisikan) peran hakiki dalam kehidupan nyata. Mereka tidk tahu untuk apa mereka hidup atau apa yang akan yaitu dalam bentuk waktu dan harta. Mereka gagal memberi makna kepada hidup mereka dan oleh karena itu mereka akan tampak konyol di hadapan penonton sandiwara ini.

        Architruc dan Baga, seperti juga Vladimir (Didi) dan Estragon (Gogo) dalam Waiting for Godot karya Samuel Beckett, adalah tokoh-tokoh absurd (konyol). Mereka tidak bahagia dengan hidup mereka masing-masing, namun tak mampu menemukan jalan keluar. Sebabnya ialah karena yang ingin mereka capai atau mereka harapkan tidaklah jelas. Atau menurut pandangan filsafat absurd, memang tidak ada yang dapat dicapai atau ditunggu dalam alam semesta yang irrasional ini. Jadi, Architruc hanya semata-mata menginginkan menginginkan pergi sebagai wisatawan seperti juga Didi dan Gogo mereka akan tetap menunggu Godot. Dengan kata lain, makna itu sebenarnya tidak ada dan nasib manusia adalah konyol belaka.

        Seperti juga karya-karya absurd lain, misalnya karya Becktt dan  Ionesco, karya Pinget menarik perhatian kita untuk lebih merenungkan makna hidup kita; atau, perhatian kita ditarik untuk merenungkan dan menjawab pertanyaan ini: Makna apa yang akan kita berikan pada hidup kita ini? Banyak orang yang tak suka pada teater absurd. Itu syah saja. Namun kalau kita berpikir positif satu hal tidak akan lolos. Justru dengan dihadapkan pada nihilisme dan kekonyolan, kita mendapat peluang lebih besar untuk menoleh ke seberangnya.  

 2.    PACAR (THE LOVER) KARYA: HAROLD PINTER

   Panggung terbagi dua daerah (area). Di sebelah kanan ruang duduk dengan ruangan depan dan pintu depan di up centre. Kamar tidur dan dan balkon sejajar, di sebelah kiri. Ada tangga menuju ke tempat tidur. Dapur ada di sebelah kanan off stage. Sebuah meja dengan taplak beludru pajangan terletak di dinding kiri ruang duduk, contra stage. Di ruang depan ada lemari kecil. Segala perabotan disusun dengan penuh selera dan suasananya mengesankan.
    Sarah sedang membereskan dan membersihkan asbak di ruang duduk. Pagi hari dengan menggunakan gaun pagi yang riang dan segar serta sopan. Ricard masuk dari kamar mandi ke kamar tidur, off stage kiri, mengambil jas kantor dari lemari, menghampiri Sarah, menciumnya di pipi, ia memandang kepada istrinya sambil tersenyum, Sarah tersenyum juga.
ADEGAN 1:
RICHARD      : (DENGAN RAMAH) Pacarmu datang hari ini?
SARAH      : He….eh.
RICHARD      : Jam berapa?
SARAH      : Tiga.
RICHARD      : Apa acara kalian malam ini….ke luar apa di rumah saja?
SARAH      : Hmm. Di rumah.
RICHARD      : Kalian tidak jadi ke pameran itu?
SARAH      : Tadinya mau ke sana, tapi pikir-pikir sekali-kali aku ingin diam di rumah
     bersamanya.
RICHARD      : Hmm, nah aku mesti berangkat. (DIA MENUJU RUANG DEPAN
    MENGGUNAKAN TOPINYA) Apa dia akan lama di sini kau kira?
SARAH      : Mmm….
RICHARD      : Kira-kira….jam enam, kalau begitu.
SARAH      : Ya.
RICHARD      : Mudah-mudahan lancar dan menyenangkan.
SARAH      : Mmmmmm.
RICHARD      : Sampai nanti, ya!
SARAH      : Ya.

ADEGAN 2
    Richard membuka pintu depan lalu ke luar, Sarah meneruskan pekerjaannya, membereskan ruangan duduk. Lampu fade in. lampu fade up. Hari baru malam, Sarah masuk ke kamar masih memakai baju yang sama, tetapi sekarang memakai sepatu dengat tumit yang sangat tinggi. Ia menuangkan minuman dan duduk di sofa sambil membaca majalah. Lonceng berbunyi enam kali. Richard masuk dari pintu depan. Ia mengenakan stelan yang sopan yang dipakainya tadi pagi. Diletakkan tas kantor di lantai di ruang depan lalu masuk ke ruang duduk. Sarah tersenyum padanya dan menuangkan minuman (whisky).   
SARAH      : Hallo!
RICHARD       : Hallo! (IA MENCIUM PIPI SARAH, MENERIMA GELAS DARI SARAH,
MEMBERIKAN KORAN PETANG PADA SARAH, LALU DUDUK DI   SEBELAH KIRI, SARAH DUDUK DI SOFA SAMBIL MEMBACA KORAN) Terima kasih (RICHARD MINUM, MENGHELA NAFAS DALAM-DALAM DENGAN PUAS) Aah.
SARAH      : Cape?
RICHARD      : Sedikit.
SARAH      : Jalanan macet?
RICHARD      : Tidak, malah agak lancar tadi.
SARAH      : Oh, untunglah.
RICHARD      : Lancar sekali. (PAUSE)
SARAH      : Rasanya kau agak lambat pulang malam ini.
RICHARD      : Ah, masa?
SARAH      : Sedikit.
RICHARD      : Memang agak macet di jalanan tadi. (SARAH BANGKIT, MENGAMBIL
    MINUMANNYA, DUDUK LAGI DI SOFA) Senang tadi?
SARAH      : Hmm, aku pergi ke Cooky tadi.
RICHARD      : Oh, ya? Ketemu siapa?
SARAH      : Tak ada siapa-siapa, aku hanya makan siang di sana.
RICHARD      : Di Cooky.
SARAH      : Ya.
RICHARD      : Enak?
SARAH      : Lumayan. (DUDUK)
RICHARD      : Dan sore tadi, bagaimana? Senang?
SARAH      : Oh, ya senang sekali.
RICHARD       : Jadi pacarmu datang juga tadi? 
SARAH      : Mmmmmm. Oh,ya.
RICHARD        : Kau tunjukkan kembang-kembang Holyhocks itu padanya? (DIAM
            SEBENTAR)
SARAH      : Kembang Holyhocks?
RICHARD      : Ya.
SARAH      : Tidak.
RICHARD      : Oh.
SARAH      : Apa mesti aku tunjukan?
RICHARD       : Bukan, bukan. Cuma aku ingat kau pernah bilang, bahwa dia, senang berkebun. 
SARAH      : Mmmmmm, ya,ya memang. (PAUSE) Tetapi tidak begitu.
RICHARD      : Ah. (PAUSE) Kalian tadi di luar atau di rumah saja?
SARAH      : Di rumah.
RICHARD      : Ah. (MENENGOK KE VENETIAN VLIANDS/KERE) Kenapa tidak rapi
            gulungan kere itu?
SARAH      : Ya, agak mencong sedikit, ya?
RICHARD      : Panas sekali di jalanan tadi, meskipun aku waktu sampai di jalan, matahari
    sudah agak suram. Tapi aku bisa membayangkan, tentunya panas sekali di sini
     tadi. Di kota tadi panas betul.
SARAH      : Masa?
RICHARD      : Sampai lemas rasa-rasanya, tentu di mana-mana juga panas.
SARAH      : Barangkali suhu tinggi sekali hari ini.
RICHARD      : Ada disebutkan di radio?
SARAH      : Rasanya begitu, ya. (PAUSE SEBENTAR)
RICHARD       : Satu gelas lagi sebelum makan? 
SARAH      : Mmmmmm. (RICHARD MENUANGKAN WHISKY LAGI)
RICHARD      : Jadi kere tadi kau turunkan rupanya.
SARAH      : Ya, kami turunkan.
RICHARD      : Sinar matahari memang menyilaukan sekali tadi.
SARAH      : Ya, silau sekali.
RICHARD       : Memang, susahnya sinar langsung masuk ke ruangan ini, kalian tidak pindah ke
            tempat lain?
SARAH      : Tidak. Kami di sini saja.
RICHARD      : Silau sekali tentunya.
SARAH      : Memang, itu sebabnya kere kami turunkan. (PAUSE)
RICHARD      : Soalnya kalau kere tidak diturunkan kamar ini jadi panas sekali.
SARAH      : Begitu, ya?
RICHARD      : Barangkali juga tidak. Barangkali kau Cuma merasa lebih panas.
SARAH      : Ya, itu barangkali. (PAUSE) Apa saja yang kalian kerjakan hari ini?
RICHARD      : Rapat bertele-tele. 
SARAH      : Makan malam dingin, kau suka kan?
RICHARD       : Ya, tidak apa-apa.
SARAH      : Aku tidak sempat masak apa-apa hari ini. (SARAH MENUJU ARAH DAPUR)
RICHARD      : Eh, sebentar….aku sebetulnya ingin menanyakan sesuatu padamu.
SARAH      : Apa?
RICHARD      : Pernahkah terpikirkan olehmu bahwa sewaktu kau melupakan kesetiaanmu
padaku tadi sore, aku sedang duduk di meja kantor membolak-balik lembaran-  lembaran pembukuan.
SARAH      : Lucu sekali pertanyaanmu itu.
RICHARD      : Aku Cuma ingin tahu.
SARAH      : Belum pernah kau bertanya seperti itu.
RICHARD      : Sudah lama ingin ku tanyakan padamu.
SARAH      : (PAUSE SEBENTAR) Kadang-kadang terpikir juga.
RICHARD      : Betul?
SARAH      : Mmmmmm.
RICHARD      : (PAUSE SEBENTAR) Lalu bagaimana perasaanmu tentang itu?
SARAH      : Justru seperti bumbu penyedap. 
RICHARD      : Masa betul begitu?
SARAH      : Ya, betul.
RICHARD      : Maksudmu sewaktu kau bersamanya….kau membayangkan aku, duduk di
            balik meja kantorku membolak-balik kertas pembukuan?
SARAH      : Hanya….kadang-kadang.
RICHARD      : Ya, tentu.
SARAH      : Tidak selalu.
RICHARD      : Ya, tentu saja.
SARAH      : Hanya pada saat-saat tertentu.
RICHARD      : Mmmmmm, tapi nyatanya aku tak pernah benar-benar dilupakan, kan?
SARAH      : Tak pernah.
RICHARD      : Terus terang terharu juga aku mendengarnya. 
SARAH      : (PAUSE SEBENTAR) Bagaimana mungkin aku melupakanmu?
RICHARD      : Gampang sekali kan?
SARAH      : Tapi aku tinggal dalam rumahmu.
RICHARD      : Bersama orang lain.
SARAH      : Tapi kaulah yang aku cintai.
RICHARD      : Apa?
SARAH      : Tapi kaulah yang aku cintai. (PAUSE RICHARD MEMANDANGI
     ISTRINYA, MENGANGKAT GELASNYA)
RICHARD      : Ayo kita minum lagi. (SARAH MAJU SEDIKIT, RICHARD MENARIK
            KEMBALI GELASNYA MELIHAT KE SEPATU SARAH) Sepatu apa itu?
SARAH      : Mmmmmm? 
RICHARD      : Sepatu itu. Aku belum pernah melihatnya, tumitnya tinggi sekali.
SARAH      : (MENGGUMAM) Salah, sorry.
RICHARD      : (TIDAK DENGAR) Sorry, kenapa?
SARAH      : Sebentar….kutanggalkan dulu.
RICHARD      : Pasti tidak begitu enak dipakai di dalam rumah kiraku. (SARAH KE RUANG
DEPAN MEMBUKA LEMARI, MENARUH SEPATU BERTUMIT TINGGI DI DALAMNYA, DAN MENGELUARKAN SEPATU BERTUMIT RENDAH, RICHARD MENUANGKAN MINUMAN UNTUK DIRINYA SENDIRI. SARAH KE MEJA SAMBIL MENYALAKAN ROKOK) Jadi kau membayangkan diriku seperti katamu tadi, duduk di meja kantorku?
SARAH      : Ya, tapi bayangan itu tidak begitu meyakikanku.
RICHARD      : Kenapa tidak?
SARAH      : Karena aku tahu kau tidak ada di sana. Aku tahu pasti kau bersama gula-
            gulamu.
RICHARD      : (PAUSE) Oh, begitu?
SARAH      : (PAUSE SEBENTAR) Kau tidak lapar?
RICHARD      : Banyak sekali tadi aku makan siang.
SARAH      : Apa saja yang kau makan?
RICHARD      : (BERDIRI DEKAT JENDELA) Bagusnya matahari senja.
SARAH      : Betulkah kau bersama gula-gulamu?
RICHARD      : (MEMBALIKKAN BADANYA DAN KETAWA) Gula-gula? Apa itu?
SARAH      : Alah, Richard….
RICHARD      : Bukan, bukan. Cuma kata-kata itu kedengarannya aneh di telingaku.
SARAH      : Aneh? Kenapa? (PAUSE SEBENTAR) Aku selalu terus terang padamu,
            mengapa kau tidak terus terang juga padaku?
RICHARD      : Tapi aku tidak punya gula-gula, aku bergaul akrab dengan seorang pelacur, tapi
     aku tidak punya gula-gula. Ada perbedan besar antara kedua-duanya.
SARAH      : Pelacur?
RICHARD      : (SAMBIL MEMASUKKAN SEBUAH ZAITUN KE MULUTNYA) Ya
seorang pelacur biasa, seorang perempuan jalang biasa. Tidak berharga apa-apa untuk dibicarakan. Selalu siap dipakai sehabis perjalanan jauh dengan kereta api, Cuma itu saja.
SARAH      : Kau kan tak pernah bepergian naik kereta api? Kau kan naik mobil kemana-
            mana?
RICHARD      : Tepat, secangkir coklat panas, sementara minyak dan air mobil diperiksa.
SARAH      : (PAUSE SEBENTAR) Gersang sekali kedengarannya, seperti mesin saja. 
RICHARD      : Oh, tidak.
SARAH      : (PAUSE) Terus terang, aku tidak pernah mendengarkan kau mengakui
             segalanya dengan serendah itu.
RICHARD      : Kenapa tidak? Kau pun belum pernah seperti sekarang kan? Bicara terus
terang. Kejujuran apa pun bayarannya. Ku uji kebahagiaan setiap perkawinan. Kau setuju kan?
SARAH      : Tentu.
RICHARD      : Jadi kau setuju?
SARAH      : Seratus persen.
RICHARD      : Maksudku, kalau begitu kau pun harus berterus terang padaku.
SARAH      : Tak ada satu pun yang aku sembunyikan.
RICHARD      : Tentang pacarmu. Aku harus mengikuti jejakmu.
SARAH      : Terima kasih. (PAUSE) Ya, aku juga sudah lama merasakannya.
RICHARD      : Masa, kau sudah merasa curiga juga?
SARAH      : Mmmmmm.
RICHARD      : Perasaanmu memang tajam sekali.
SARAH      : Tapi sungguh tak masuk akalku bahwa dia cuma perempuan seperti katamu
             tadi.
RICHARD      : kenapa tidak?
SARAH      : Pokoknya tidak masuk akal. Kau mempunyai selera yang baik. Kau
            menyenangi perempuan yang luwes dan lembut.
RICHARD      : Dan yang cerdas.
SARAH      : Ya, yang cerdas.
RICHARD      : Ya, kecerdasan. Betul-betul syarat mutlak bagi seorang laki-laki.
SARAH      : Apa dia cerdas.
RICHARD      : (TERTAWA) Bagaimana kita bisa menggunakan kata seperti itu. Tidak
mungkin kita bertanya apa seorang pelacur itu cerdas atau tidak. Apa dungu atau bijak itu sama sekali tidak menjadi soal. Dia cuma seorang pelacur, sekedar alat yang bisa memuaskan atau tidak memuaskan.
SARAH      : Dan dia memuaskan kau.
RICHARD      : Hari ini dia memuaskan. Tapi besok belum kita pastikan. (IA MENUJU KE
    ARAH TEMPAT TIDUR SAMBIL MEMBUKA JASNYA) 
SARAH      : Sikapmu terhadap perempuan sungguh aneh dan mengejutkan.
RICHARD      : Mengapa? Aku toh tidak berusaha mencari seorang perempuan yang persis
seperti kau, aku tidak mencari seorang perempuan seperti yang bisa kuhormati, seperti aku hormat padamu, kan? Yang kubutuhkan hanyalah….bagaimana aku mesti mengakuinya….seseorang yang bisa membangkitkan nafsuku dengan segala daya rangsang yang ada padanya, cuma itu. (IA PERGI KE KAMAR TIDUR, MENGGANTUNG JASNYA DI LEMARI DAN MEMAKAI SANDAL. DI KAMAR SARAH DUDUK MELETAKKAN GELAS MINUMANNYA, RAGU-RAGU LALU MENGIKUTI KE KAMAR TIDUR)
SARAH      : Aku merasa sayang hubunganmu dengan perempuan itu begitu rendah, tak
    bermartabat.
RICHARD      : Martabatku, ada dalam kehidupan rumah tanggaku.
SARAH      : Tanpa kebijaksanaan.
RICHARD      : Begitu juga kebijaksanaanku, bukan nilai-nilai itu yang kucari, itu semua sudah
     terpenuhi dalam dirimu.
SARAH      : Kalau begitu buat apa kau mencarinya juga. (PAUSE)
RICHARD      : Apa katamu?
SARAH      : Buat apa….kau mencarinya di tempat lain.
RICHARD      : Tapi kau juga mencari-carinya. Mengapa aku tidak boleh.
SARAH      : (PAUSE) Siapa yang mencarinya terlebih dahulu?
RICHARD      : Kau?
SARAH      : Tidak, aku kira itu tidak betul.
RICHARD      : Siapa yang lebih dahulu kalu begitu. (SARAH MELIHAT KE RICHARD
    SAMBIL TERSENYUM SEDIKIT. FADE UP).
    (MALAM TERANG BULAN DI BALKON. LAMPU-LAMPU FADE IN
    RICHARD MASUK KE KAMAR TIDUR DENGAN PIAMANYA,
    MELIHAT-LIHAT BUKU DAN MEMBOLAK-BALIKNYA. SARAH KE
    LUAR DARI KAMAR MANDI DENGAN BAJU TIDURNYA, SARAH
    DUDUK DIMUKA TOILET MENYISIR RAMBUTNYA)
SARAH      : Richard?
RICHARD      : Hmmmmm?
SARAH      : Apa kau ingat juga padaku….waktu kau bersamanya?
RICHARD      : Oh, sedikit. Tidak terlalu. (PAUSE) Kami membicarakan kau.
SARAH      : Kau cerita tentang aku padanya?
RICHARD      : Kadang-kadang, dia senang mendengarnya.
SARAH      : Senang?
RICHARD      : (MENGAMBIL SEBUAH BUKU) Hmmmmm.
SARAH      : Bagaimana….caranya kau membicarakan aku.
RICHARD      : Secara halus tentunya, kami menganggap sebagai bahan bercanda, untuk
                    perangsang kalau kami membutuhkannya.
SARAH      : (PAUSE) Bagaimanapun juga aku tidak bisa bilang bahwa aku senang kau
            jadikan bahan pembicaraan seperti itu.
RICHARD      : Memang maksudnya bukan untuk menyenangkan hatimu.
SARAH      : Tapi aku, ya, sudah jelas.
RICHARD      : (DUDUK DI TEMPAT TIDUR) Tentunya kenikmatan yang kau peroleh setiap
            sore sudah cukup bagimu. Kau tentu tidak mengharapkan, tambahan
            kenikmatan dari kesenangan yang kuperoleh kan?
SARAH      : Tidak, tentu tidak.
RICHARD      : Lalu apa gunanya pertanyaan ini?
SARAH      : Tapi kau yang memulainya dulu. Kau mengorek-ngorek cerita….pihakku. kau
    biasanya tidak pernah bertanya apa-apa. 
RICHARD      :  Rasa ingin tahu yang objektif. Cuma itu. (MENYENTUH PUNDAK SARAH)
Kau kan tidak mau bilang bahwa sku cemburu padamu? (SARAH TERSENYUM SAMBIL MEMBELAI-BELAI TANGAN RICHARD)
SARAH      : Sayang, aku kenal kau. Kau tidak akan sudi merendahkan dirimu sampai sejauh
     itu.
RICHARD      : Tentu saja tidak. (MEREMAS PUNDAK SARAH) Dan kau? Kau tidak
    cemburu kan?
SARAH      : Tidak. Dari ceritamu tentang wanita itu aku tahu bahwa apa yang kualami
    selama ini, jauh lebih kaya dan berharga dari pada pengalaman kalian.
RICHARD      : Mungkin. (IA MEMBUKA JENDELA LEBAR-LEBAR DAN BERDIRI
MEMANDANG KE LUAR) Ah, tentramnya, coba kau kemari dan lihat ke sana. (SARAH MENDEKATI RICHARD MEREKA BERDUA BERDIRI TERDIAM) Apa yang akan terjadinya sekiranya aku pulang cepat. Barangkali kita bisa berkumpul sore hari, sambil minum the di restauran.
SARAH      : Kenapa mesti di restauran? Kenapa tidak di sini saja?
RICHARD      : Di sin? Janggal sekali menurut perasaanku. (PAUSE) Sayang pacarmu itu
    belum pernah menyaksikan malam dari jendela ini.
SARAH      : Belum, dia terpaksa pulang sebelum matahari terbenam.
RICHARD      : Apa dia tidak pernah bosan pada pertemuan-pertemuan di sore hari yang kalian  
lakukan ini? Saban sore minum the bersama. Kalau aku tentu bosan. Sebuah poci susu dan teko the sebagai lambang abadi untuk mengenangkan saat-saat nafsu kita menggelora. Pasti akan menghempaskan segala gejolak yang ada di dadamu.
SARAH      : Tapi dia menyesuaikan diri. Dan lagi, kalau kere diturunkan, rasanya seperti
     malam juga.
RICHARD      : Ya, tentu saja. (PAUSE) apa pendapatnya tentang suamimu?
SARAH      :  (PAUSE SEBENTAR) Dia menghargaimu.
RICHARD      : (PAUSE) Aneh, tapi aku merasa terharu juga bahwa dia merasa begitu
            terhadapku. Sekarang aku mengerti mengapa kau begitu menyukainya.
SARAH      : Dia baik sekali.
RICHARD      : Mmmmmm.
SARAH      : Kadang-kadang dia berengsek juga tentu.
RICHARD      : Ya, setiap orang kan begitu.
SARAH      : Tapi dia sayang sekali padaku. Seluruh tubuhnya memancarkan kasih sayang.
RICHARD      : Menjijikan.
SARAH      : Tidak.
RICHARD      : Dia juga jantan kuharap.
SARAH      : Jantan sekali.
RICHARD      : Pasti membosankan.
SARAH      : Tidak, sama sekali tidak. (PAUSE) Orangnya menyenangkan sekali, ada-ada
    saja leluconnya.
RICHARD      : Oh, senang juga kalau begitu. Jadi dia membuatmu tertawa. Tapi, awas jangan
sampai tetangga mendengar omongan kalian, kita meski menjaga omongan orang.
SARAH      : (PAUSE) Kita beruntung tinggal di daerah ini, jauh dari jalan besar, jauh dari
             mana-mana.
RICHARD      : Ya. Kau benar. (MEREKA KEMBALI KE KAMAR. BERBARING DI
TEMPAT TIDUR. RICHARD MENGAMBIL BUKU DAN MEMPERHATIKANNYA, DITUTUP BUKU ITU DAN DILETAKKANNYA) Tidak begitu menarik. (DIMATIKANNYA LAMPU DI MEJA SAMPINGNYA) Dia sudah kawin?
SARAH      : Hmmmmm.
RICHARD      : Bahagia?
SARAH      : Mmmmmm. (PAUSE) Kau pun bahagia bukan? Kau toh tidak cemburu atau
    apa?
RICHARD      : Tidak.
SARAH      : Begitulah seharusnya. Sebab segala sesuatu antara kita berimbang dengan baik
    sekali, Richard. (FADE OUT)
ADEGAN 3
    Fade up. Pagi, Sarah sedang memakai baju tidurnya di atas tempat tidur, lalu membereskan tempat tidur.
SARAH      : Sayang. (PAUSE) Apa….akan siap hari ini?
RICHARD      : (DARI KAMAR MANDI) Apanya yang siap? 
SARAH      : ………………………………………………………………
RICHARD      : Belum. Pagi ini belum. (MASUK MEMAKAI STELANNYA BIASA,
MENCIUM SARAH DI PIPI) Hari Jum’at baru siap. Nah, aku pergi. (KE LUAR DARI KAMAR TIDUR, AMBIL TOPI DAN TAS KANTOR DI RUANG DEPAN)
SARAH      : Richard. (RICHARD BERBALIK) Kau tidak akan pulang cepat-cepat hari ini,
            kan?
RICHARD      : Maksudmu, dia mau datang lagi hari ini? Ya ampun kemarin dia kemari, hari
    ini lagi?
SARAH      : Ya.
RICHARD      : Beres kalau begitu. Aku tidak akan pulang cepat. Aku mau ke museum.
SARAH      : Ya, pergilah ke sana.
RICHARD      : Berangkat ya.
SARAH      : Ya. (LAMPU FADE OUT. SARAH TURUN DARI TANGGA MASUK KE
RUANG DUDUK. DIA MEMAKAI BAJU HITAM YANG SANGAT KETAT, DENGAN POTONGAN RENDAH, CEPAT-CEPAT DIRINYA DALAM KACA. TIDAK SADAR DIA MEMAKAI SEPATU HAK RENDAH. CEPAT-CEPAT DIA MENUJU KE LEMARI, MENUKAR SEPATUNYA DENGAN YANG BERHAK TINGGI. MELIHAT LAGI KE KACA SAMBIL MERATAKAN LAGI BAGIAN PINGGULNYA. DIA KE JENDELA MENURUNKAN KERE MENARIKNYA KEMBALI LALU MENURUNKANNYA LAGI SAMPAI TINGGAL ADA SEDIKIT CAHAYA YANG MASUK. TERDENGAR LONCENG TIGA KALI. DIA MELIHAT KE JAM TANGANNYA, MEMPERBAIKI KEMBANG DI MEJA, BEL PINTU BERDERING IA KE PINTU)
(TUKANG SUSU MASUK)
JOHN          : Kepala susu?
SARAH      : Mengapa lambat?
JOHN          : Kepala susu? 
SARAH      : Tidak. Terima kasih.
JOHN           : Mengapa tidak. 
SARAH      : Masih ada, berapa mesti ku bayar?
JOHN           : Ny. Owens ambil tiga botol yang sudah dikentalkan. 
SARAH      : Berapa?
JOHN           : Tapi ini belum hari sabtu. 
SARAH      : (MENGAMBIL SUSU) Terima kasih.
JOHN          : Betul nyonya tidak ambil kepala susu? Nyonya Owens ambil tiga botol.
SARAH      : Terima kasih.
ADEGAN 5
    Ditutupnya pintu, Sarah masuk ke dapur dengan membawa susu itu. Kembali membawa baki, teko the dan cangkir di tangan, meletakkan semua itu di meja samping kursi panjang. Sekali-kali membetulkan letak bung-bunga dalam vas, duduk di kursi panjang, menarik stoking di bawah roknya, bel berbunyi. Sarah menarik roknya ke bawah, dia ke pintu membuka.
SARAH      : Hallo, Max.
    Richard masuk tanpa memaki dasi dengan memakai jacket, dia masuk ke ruang itu dan berdiri di situ. Sarah menutup pintu di belakangnya, bejalan perlahan-lahan melewati Richard, lalu duduk di sofa, menyilangkan kakinya.
    Pause. Max berjalan ke arah sofa dan berdiri, di belakang Sarah. Sarah menegakkan punggungnya ke belakang, menurunkan kakinya, pindah ke kursi yang ada di sebelah kiri.
    Pause. Max melihat ke arah Sarah, lalu ke lemari yang ada di ruang depan mengambil bongo. Ia meletakkan bongo di atas sofa, lalu berdiri.
    Pause. Sarah bangkit melewati Max menuju ke ruang depan, berbalik melihat ke Max, Max pindah ke bawah sofa, mereka berdua duduk di bawah sofa, di ujungnya. Max mulai memukul bongo menuju tangan Sarah, Sarah mencakar punggung tangan Max dengan keras. Tangan Sarah mundur. Jari-jarinya memukul drum bergantian  sambil mendekati Max, lalu berhenti. Telunjuknya menggaruk-garuk antara jari Max, jari-jarinya yang lain mengikuti, kaki-kai menegang, tangan Max memegang tangan Sarah. Tangan Sarah mencoba menghindar, tangan-tangan dan jari bergelut di atas drum, menimbulkan suara-suara liar. Sepi. Sarah, bangun menuju ke meja minuman, menyalakan rokok. Pindah ke mejanya. Max meletakkan drum di kursi sebelah kanan, mengmbil rokok, bergerak ke dekat Sarah.
MAX          : Maaf. (SARAH MENENGOK KE ARAH MAX LALU MEMBUANG MUKA
LAGI) Maaf ada api? (SARAH TIDAK MEMBERI REAKSI) Apa kau punya korek api?
SARAH      : Jangan ganggu aku.
MAX          : Kenapa? (PAUSE) Aku Cuma tanya apa kau punya korek api? (SARAH
MENJAUH DARI MAX DAN MELIHAT DARI ATAS KE BAWAH. MAX MENDEKATI SARAH SAMPAI KEDEKAT PUNCAKNYA, SARAH KEMBALI KE TEMPAT SEMULA)
SARAH      : Maaf. (SARAH LEWAT DI DEPAN MAX. TUBUH MAX
          MENGIKUTINYA, SARAH BERHENTI) Aku tidak suka diikuti.
MAX           : Kasih dulu api, aku tidak akan mengganggu kau lagi, cuma itu yang aku
    perlukan.
SARAH      : (GIGI TERKATUP) Pergilah dari sini. Aku sedang menunggu seseorang.
MAX           : Siapa?
SARAH      : Suamiku.
MAX           : Buat apa malu? Eh, mana korek api? (DISENTUHNYA TUBUH SARAH.
SEBUAH HELAAN NAFAS DARI SARAH) Di sini? (PAUSE) Dimana? (DISENTHNYA LAGI TUBUH SARAH. NAFAS YANG TERSENTAK DARI SARAH)     
SARAH      : (MENDESIS) Kau pikir apa yang sedang kau lakukan ini.
MAX            : Mulutku asam mau merokok. 
SARAH      : Aku sedang menunggu suamiku.
MAX           : Aku mau api dari kau. (MEREKA BERGULAT DIAM-DIAM SARAH
MELEMPARKAN DIRI MERAPAT KE TEMBOK, DIAM. MAX MENGHAMPIRI) Tidak apa-apa nona? Laki-laki itu dudah ku usir. Apa dia melukaimu, barangkali?
SARAH      : Oh, tuan baik sekali. Tidak, tidak, aku tidak apa-apa. Terimakasih.
MAX            : Untung sekali aku lewat di sini, siapa mengira hal seperti ini bisa terjadi di
            taman secantik ini.
SARAH      : Ya, betul. Siapa yang mengira.
MAX           : Bagaimana pun juga nona tidak diapa-apakannya?
SARAH      : Aku sungguh berterimakasih. Aku berhutang budi pada tuan, sungguh takkan
    terbalaskan olehku.
MAX            : Duduklah nona sebentar dan tenangkan hati nona.
SARAH      : Oh, aku sudah tenang, terimakasih, tetapi baiklah, tuan baik sekali. Dimana kita
            akan duduk?
MAX            : Tentu kita tidak bisa duduk di luar. Bagaimana kalau kita duduk di pondok jaga
            taman itu?
SARAH      : Tuan, kita sebaiknya ke sana? Maksudku, bagaimana dengan penjaga taman
    nanti.
MAX            : Akulah penjaga taman ini. (MEREKA DUDUK DI PONDOK/DI SOFA)
SARAH      : Aku tidak pernah membayangkan ada orang sebaik tuan.
MAX            : Memperlakukan wanita cantik seperti nona dengan kurang ajar seperti itu.
            Sungguh tidak bisa dimaafkan.
SARAH      : (MEMANDANG MAX) Tuan begitu dewasa, begitu penuh pengertian.
MAX            : Tentu.
SARAH      : Begitu lembut. Begitu….barangkali memang semua ini terjadi untuk kebaikan
    juga.
MAX           : Bagaimana maksudmu?
SARAH      : Untuk mempertemukan kita. Untuk mempertemukan kita. Kau dan aku. (JARI-
JARI SARAH MERABA PINGGUL MAX. MAX MEMPERHATIKAN   JARI-JARI ITU LALU MENGANGKATNYA)
MAX           : Tunggu dulu, maafkan, aku sudah kawin. (SARAH MENARIK TANGAN
            DAN MELETAKKANNYA DI ATAS PAHANYA)
SARAH      : Kau begitu baik, kau tidak usah terlalu memusingkannya.
MAX            : (MENARIK TANGANNYA KEMBALI) Tidak, aku benar-benar sudah kawin.
            Istriku menunggu.
SARAH      : Tidakkah kau bisa bercakap-cakap dengan gadis yang tidak kenal.
MAX          : Tidak.
SARAH      : Oh, kau benar-benar memualkan, hambar.
MAX          : Maafkan aku.
SARAH      : Kalian laki-laki dimana-mana sama saja, beri aku rokok.
MAX          : Biar mampus tidak akan kuberikan.
SARAH      : Apa katamu?
MAX          : Ayolah mari kita ke Dolores.
SARAH      : Oh, tidak, sekali lagi tidak. Aku tidak sudi kehilangan tongkatku dua kali,
          terimakasih. (SARAH BERDIRI) Selamat tinggal.
MAX            : Kau tidak bisa ke luar, sayang. Pondok ini terkunci. Kita Cuma berdua di sini,
             kau telah masuk perangkap.
SARAH      : Perangkap! Aku sudah kawin jangan perlakukan aku seperti ini.
MAX           : (MENDEKATI SARAH) Sudah waktunya minum teh, mari. (SARAH
BERJALAN KE BELAKANG MEJA DAN BERDIRI DI SITU MEMBELAKANGI TEMBOK, MAX MENUJU KE UJUNG MEJA YANG LAIN, MENANGGALKAN CELANANYA MEMBONGKOK LALU MERANGKAK DI BAWAH MEJA DEKAT SARAH. MAX MENGHILANG DI BAWAH TAPLAK BELUDRU DIAM. SARAH MEMANDANGI KE MEJA, KAKI SARAH TIDAK KELIHATAN. TANGAN MAX MEMEGANG KAKINYA, SARAH MELIHAT KE SEKITARNYA, MENYERINGAI, MENGATUPKAN GIGINYA, BERNAFAS TERSENGGAL-SENGGAL, LALU PERLAHAN MASUK KE MEJA, MENGHILANG. DIAM LAMA) (SUARA MARAH) Max! (MAX DUDUK DI KURSI KIRI. SARAH MENUANG TEH)
SARAH      : Max.
MAX          : Apa?
SARAH      : (DENGAN KASIH SAYANG….DIAM SEBENTAR) Apa yang sedang kau
     pikirkan?
MAX           : Tidak apa-apa.
SARAH      : Pasti ada, aku tahu.
MAX          : (PAUSE) Mana suamimu?
SARAH      : (PAUSE) Suamiku? Kau tahu dimana?
MAX          : Dimana?
SARAH      : Bekerja.
MAX           : Kasihan dia, bekerja terus menerus sepanjang hari. (PAUSE) Aku ingin tahu
    bagaimana rupanya.
SARAH      : (TERTAWA) Oh, Max. Ada-ada saja kau.
MAX          : Barangkali kami bisa sesuai, siapa tahu….barangkali kami bisa bersahabat.
SARAH      : Aku kira tidak mungkin.
MAX           : Kenapa tidak?
SARAH      : Kalian begitu berbeda.
MAX          : Oh, begitu? Yang jelas dia pasti gampang menyesuaikan diri dengan orang,
            maksudku dia tentu tahu tentang pertemuan-pertemuan kita ini, kan?
SARAH      : Tentu saja.
MAX           : Dia sudah bertahun-tahun tahu tentang kita, kan? (PAUSE) Mengapa dia
    membiarkan kita?
SARAH      : Mengapa tiba-tiba membicarakannya? Maksudku apa gunanya? Biasanya kau
            tidak pernah berpanjang-panjang tentang hal ini.
MAX          : Mengapa dia membiarkan kita?
SARAH      : Oh, tutup mulutmu.
MAX           : Aku bertanya padamu.
SARAH      : Dia tidak keberatan.
MAX          : Tidak. (PAUSE) Tapi sekarang aku yang mulai keberatan.
SARAH      : Apa katamu?
MAX          : Aku mulai merasa keberatan. (PAUSE SEBENTAR) Kita mesti
            memperhatikan ini. Hubungan kita tidak bisa kita teruskan.
SARAH      : Kau sungguh-sungguh?
MAX           : Tidak mungkin kita teruskan.
SARAH      : Kau main-main.
MAX           : Tidak, aku tidak main-main.
SARAH      : Kenapa, karena suamiku? Aku harap bukan karena suamiku. Itu namanya
    sudah agak keterlaluan.
MAX           : Bukan, tak ada sangkut pautnya dengan suamimu. Tapi istriku.
SARAH      : Istrimu.
MAX           : Aku tak sanggup lagi membohonginya terus menerus. Aku telah bertahun-tahun
            membohonginya. Aku tidak sanggup lagi, aku merana dibuatnya.
SARAH      : Tapi sayang dengar dulu.
MAX            : Jangan sentuh aku.
SARAH      : Apa katamu?
MAX           : Kau sudah dengar.
SARAH      : (PAUSE) Tapi istrimu sudah tahu, kau sudah menceritakan tentang kita
            padanya. Dia sudah lama tahu.
MAX          : Tidak, dia tidak tahu. Dia kira aku kenal seorang pelacur. Pelacur yang bisa ku
             pakai sekali-kali, cuma itu yang dia tahu.
SARAH      : Ya, tapi kita mesti dewasa menghadapinya….sayangku….dia toh tidak
    keberatan.
MAX           : Pasti dia akan keberatan kalau dia tahu bahwa sebetulnya….aku punya gula-
gula yang aku kunjungi  secara teratur, dua, tiga kali seminggu, seorang wanita   yang mempunyai keluwesan yang agung, cerdas dan berpandangan luas.
SARAH      : Ya, ya memang betul.
MAX           : Dan aku telah berhubungan dengan wanita itu bertahun-tahun.
SARAH      : Dia tidak keberatan, dia tidak akan keberatan, dia bahagia, dai bahagia.
(PAUSE) Oh, tetapi kenapa tak kau perhatikan saja omong kosong ini. (DIANGKATNYA BAKI-BAKI YANG BERISI MANGKUK THE, TEKO DAN MENUJU DAPUR) Rupanya kau berusaha keras merusak suasana pertemuan kita ini. (DIA MENGANGKAT BAKI KE LUAR, KEMBALI MELIHAT KE MAX LALU MENGHAMPIRINYASayang kau tak mungkin memperoleh kebahagiaan seperti yang kita milliki ini, dengan istrimu. Maksudku, suamiku, misalnya dengan sepenuh hati menghargai aku….
Max            : Bagaimana dia menahankannya, suamimu. Bagaimana dia menahankannya?
Apa dia mencium bauku begitu dia sampai ke rumah, pada malam hari? Apa yang dikatakannya? Dia tentu gila. Nah, sekarang jam berapa? Setengah lima, sekarang dia sedang duduk di kantornya, tahu apa yang sedang terjadi di sini….bagaimana perasaannya, bagaimana dia menahankannya?....Bagaimana?
SARAH      : Dia bahagia kalau aku bahagia. Dia menghargai diriku sebagaimana adanya.
            Dia mengerti.
MAX           : Barangkali aku mesti menemuainya dan bicara padanya.
SARAH      : Kau mabuk barangkali.
MAX          : Barangkali itulah yang mesti aku lakukan. Bagaimanapun juga dia laki-laki,
             seperti aku. Kami berdua laki-laki. Kau inikan cuma sekedar perempuan.
SARAH      : Hentikan semua. Mengapa kau? Apa yang terjadi dengan dirimu? (DENGAN
PERLAHAN) Ayolah, hentikan, hentikan….apa maksudmu. Apa ini juga termasuk dalam salah satu permainanmu?
MAX           : Permainan? Aku tidak pernah main-main.
SARAH      : Tidak pernah? Kau selalu main-main. Kau selalu main-main, biasanya, aku
             suka permainanmu yang bermacam-macam itu.
MAX           : Kalau begitu inilah permainanku yang terakhir. Aku tidak mau main-main lagi.
SARAH      : Mengapa? (PAUSE SEBENTAR)
MAX          : Anak-anak. (PAUSE)
SARAH      : Apa?
MAX           : Anak-anak, aku harus memikirkan anak-anak.
SARAH      : Anak-anak yang mana?
MAX          : Anak-anaku, anak-anak istriku. Sebentar lagi mreka akan siap sekolah. Aku
            harus memikirkan mereka. (SARAH DUDUK DEKAT MAX)
SARAH      : Aku ingin membisikkan sesuatu padamu. Dengar, biar kubisikan.
Mmmmmmm? Boleh kau ijinkan? Ini sudah waktunya berbisik-bisik, waktu minum the sudah lewat tadi. Iya, kan? Sekarang waktu berbisik. (PAUSE) Kau senang kalau aku berbisik padamu. Kau senag kalau aku mencintaimu, sambil berbisik dengar. Kau tidak usah merisaukan tentang istri-istri….suami-suami atau yang sebangsanya. Konyol buat apa? Buat apa, soalnya hanya kau, kau sekarang di sini, di sini bersamaku, di sini bersama-sama, itulah yang penting kan? Kau berbisik padaku, kau kerjakan bukan, itulah kita, kita cintai aku. (MAX BANGKIT)
MAX          : Kau terlalu kerempeng. (MAX MENGHINDAR) Itu soalnya, sebetulnya aku
    bisa tahan, asal kau tidak begitu, kau terlalu kerempeng.
SARAH      : Aku? Kerempeng? Mana bisa kau bicara yang bukan-bukan.
MAX          : Tidak, aku bilang sebetulnya.
SARAH      : Bagaimana mungkin kau bilang aku kerempeng.
MAX            : Setiap aku bergerak, tulangmu menusuk tubuhku. Aku sudah bosan dan muak
    dengan tulang-tulangmu.
SARAH      : Tapi aku gemuk! Lihat, badanku berisi, setidak-tidaknya kau selalu bilang
            badanku berisi.
MAX           : Dulu memang, tapi sekarang badanmu tidak montok lagi.
SARAH      : Coba lihat padaku! (MAX MELIHAT KE SARAH)
MAX          : Kau tidak cukup montok, mendekati montok pun tidak, kau tahu kegemaranku
kan? Aku senang perempuan yang bertubuh besar, seperti sapi betina yang   montok dan bersusu. Sapi perahan dengan susu besar dan montok.
SARAH      : Kau bicara tentang sapi kalau begitu.
MAX           : Bukan sapi, yang kumaksud sapi betina gemuk yang besar-besar. Pernah dulu
            bertahun-tahun yang lalu, kau mirip begitu.
SARAH      : Terimakasih.
MAX          : Tapi sekarang terus terang saja, dibandingkan dengan perempuan
            idamanku….(MAX MEMANDANG SARAH)….Kau cuma tulang dibalut
            kulit. (MEREKA PANDANG MEMANDANG, MAX MENGENAKAN
            JACKETNYA)
SARAH      : Leluconmu menyenangkan sekali.
MAX           : Ini bukan lelucon….permisi.
ADEGAN 6
    Max ke luar, Sarah memandangnya. Ia berbalik perlahan-lahan menuju ke bongo, mengambilnya lalu meletakannya di lemari. Ia kembali memandangi sofa sebentar, perlahan-lahan menuju ke kamar tidur, dudk di ujung tempat tidur, lampu pade out. Pade up. Di ujung malam, bunyi lonceng enam kali. Richard masuk dari pintu depa. Dia memakai stelan jas sopan yang biasa dipakainya, diletakkan tasnya di lemari, topinya di tempat biasanya, melihat kesekitar ruangan menuangkan minuman. Sarah masuk ke tempat tidur dari kamar mandi dengan memakai baju sopan. Mereka berdua berdiri diam di kedua ruangan beberapa saat. Sarah menuju ke balkon, melihat ke luar, Richard masuk ke tempat tidur.
RICHARD      : Hallo! (PAUSE)
SARAH      : Hallo!
RICHARD      : Menikmati matahari tenggelam? (IA MENGAMBIL BOTOL) Minum?
SARAH      : Tidak sekarang, aku tidak ingin minum, terimakasih.
RICHARD      : Oh, tadi rapat membosankan sekali, berlarut-larut sampai seharian, melelahkan
sekali. Tapi ada juga hasilnya kukira, maaf aku agak terlambat, terpaksa menemani tamu-tamu kantor dari luar negeri, orang baik-baik. (IA DUDUK) Bagaimana kau?
SARAH      : Baik-baik saja.
RICHARD      : Bagus! (DIAM) Kau kelihatan agak murung ada yang kurang beres.
SARAH      : Tidak.
RICHARD      : Bagaimana kau hari ini, senang?
SARAH      : Biasa.
RICHARD      : Tidak ada yang luar biasa yang menyenangkan hatimu? (PAUSE)
SARAH      : Sedang-sedang saja.
RICHARD      : Oh, sayang sekali. (PAUSE) Nyaman rasanya pulang ke rumah, tak bias
kubayangkan, lega dan tentram rasanya. (PAUSE) Pacarmu tadi datang? (PAUSE) Sarah?
SARAH      : Apa? Maaf ada yang sedang kupikirkan.
RICHARD      : Apa pacarmu datang tadi?
SARAH      : Oh, ya dia datang.
RICHARD      : Apa dia datang dalam keadaan baik?
SARAH      : Kepala ku agak pusing rasanya.
RICHARD      : Apa keadaannya kurang baik?
SARAH      : Semua orang pasti pernah absen dalam hidupnya.
RICHARD      : Masa dia juga? Bukankah tugas seorang pacar itu justru harus siap, setiap saat.
Maksudku misalnya, andai kata kau mendapat kesempatan jadi kecintaan seseorang dan diminta untuk menjalankan tugasku, pasti akan kulepaskan karena tidak sanggup melaksanakan tugas dengan teratur dan memuaskan.
SARAH      : Kau gemar sekali memakai kalimat-kalimat yang panjang kelihatannya.
RICHARD      : Apa kau lebih senang aku menggunakan kata-kata yang pendek?
SARAH      : Tidak usah terimakasih. (PAUSE)
RICHARD      : Tapi benar-benar aku turut menyesal, pengalamanmu hari ini tidak
     menyenangkan.
SARAH      : Ah, tidak apa-apa.
RICHARD      : Mungkin segalanya akan menjadi lebih baik.
SARAH      : Mungkin. (PAUSE) Aku harap begitu. (SARAH KE LUAR DARI KAMAR
TIDUR MASUK KE RUANG DUDUK, MENYALAKAN ROKOK LALU DUDUK, RICHARD MENGIKUTINYA)
RICHARD      : Bagaimana pun juga kau cantik sekali!
SARAH      : Terimakasih.
RICHARD      : Ya, kau cantik sekali, aku bangga setiap kali orang melihatku bersamamu,
            kalau kita pergi makan malam atau nonton teater.
SARAH      : Syukurlah.
RICHARD      : Atau dalam pesta-pesta dansa.
SARAH      : Ya, pesta-pesta dansa.
RICHARD      : Aku tidk main-main, aku betul-betul merasa bangga berjalan bersamamu
sebagai istriku, menggandengmu. Aku senang melihat kau tersenyum, tertawa, jalan, bicara, membungkuk, diam. Mendengar caramu bicara, kau gunakan susunan kalimat-kalimat dan ungkapan-ungkapan yang paling muktahir, kau selalu memakai kata-kata yang tepat dengan rasa bahasamu yang halus. Ya, aku merasa bangga melihat orang lain iri hati akan keberuntunganku, berusaha memikat hatimu dengan cara baik atau tercela, dan melihat pembawaanmu yang agung itu mengutuk dan mengusir mereka. Benar-benar menjadi sumber kebahagiaan yang tiada taranya bagiku. (PAUSE) Kita makan apa mala mini?
SARAH      : Belum kupikirkan.
RICHARD      : Oh, mengapa belum?
SARAH      : Aku capek memikirkannya, lebih baik tidak kupikirkan.
RICHARD      : Oh, saying sekali, padahal aku lapar. (PAUSE SEBENTAR) Tampaknya kau
tidak mengira kalau aku akan minta makan, setelah bekerja keras menyaring dan membicarakan soal-soal pembiayaan yang rumit di kota. (SARAH TERTAWA) Agaknya kau bisa dikatakan telah melalaikan tugasmu sebagai seorang istri.
SARAH      : Ya, Tuhan.
RICHARD      : Terus terang aku memang telah mengira hal seperti ini akan terjadi sekali
    waktu. (PAUSE)
SARAH      : Bagaimana kabarnya pelacurmu?
RICHARD      : Baik-baik saja.
SARAH      : Apa sekarang dia lebih gemuk atau kurus?
RICHARD      : Semakin lama semakin kurus.
SARAH      : Tentu dia mengecewakanmu.
RICHARD         : Sama sekali tidak, aku senang wanita yang kurus.
SARAH      : Bukan sebaliknya.
RICHARD      : Sebaliknya? Apa sebab kau berpikir begitu? (PAUSE) Tentu saja kegagalanmu
menyediakan makan mala mini ada hubungannya juga dengan kehidupan yang kau jalani akhir-akhir ini bukan?
SARAH      : Tidak.
RICHARD      : Aku yakin. (PAUSE) Mungkin aku telah menyakiti hatimu, betulkah?
SARAH      : (MELIHAT PADA RICHARD) Entahlah.
RICHARD      : Ya, memang betul, waktu jalanan macet di jembatan tadi, aku telah mengambil
    keputusan. (PAUSE)
SARAH      : Oh, keputusan apa?
RICHARD      : Bahwa ini harus dihentikan.
SARAH      : Apa?
RICHARD      : Penyelewenganmu. (PAUSE) Kehidupanmu yang indah, jalan hidupmu yang
    serong.
SARAH      : Begitu?
RICHARD      : Ya, aku telah mengambil keputusan yang tidak bisa diubah lagi. (SARAH BERDIRI)
SARAH      : Kau mau makan ham dingin?
RICHARD      : Kau menggerutu maksudku?
SARAH      : Sama sekali tidak, aku simpan makanan di lemari es.
RICHARD      : Terlalu dingin, pasti, soalnya ini adalah rumahku. Mulai hari ini aku melarang
pacarmu di sini, ini berlaku untuk setiap waktu, siang atau pun malam. Kau   mengerti?
SARAH      : Tadi aku bikin selai untukmu.
RICHARD      : Kau sedang minum agaknya.
SARAH      : Ya, aksih aku minum.
RICHARD      : Apa yang kau minum?
SARAH      : Kau pasti tahu minuman kesenanganku, kita sudah kawin sepuluh tahun.
RICHARD      : Ya, memang. (RICHARD MENUANGKAN MINUMAN KE GELAS) Aneh
sekali, tapi setelah begitu lama berlangsung baru sekrang aku menyadari kedudukanku yang rendah dan tercemar.
SARAH      : Sepuluh tahun yang lalu aku belum punya pacar, belum. Paling tidak waktu
    kita berbulan madu.
RICHARD      : Ini tidak ada hubungannya dengan itu. Yang jelas aku ini adalah seorang suami
yang telah membiarkan istrinya menjamu dan menerima pacarnya setiap sore menurut keinginannya, aku ini suami yang terlalu baik. Bukankah aku ini sudah amat bermurah hati?
SARAH      : Tapi aku tahu itu, kau memang sangat baik hati.
RICHARD      : Aku harapkan sampaikan salamku. Lewat surat kalau kau mau, dan minta lagi
padanya untuk tidak datang lagi kemari mulai (IA MELIHAT KALENDER) tanggal 12 bulan ini. (DIAM LAMA)
SARAH      : Apa yang menyebabkan kau sampai bicara seperti ini? (PAUSE) Mengapa
sekarang begitu tiba-tiba? (PAUSE) Mmmmmm. (SARAH MENDEKATI RICHARD) Kau terlalu lelah….di kantor. Menemani tamu dari luar negeri itu tentu sangat melelahkan, tapi mengapa kau bicara seperti ini, itu sungguh kekanak-kanakan. Aku di sini untukmu, dank au sendiri selama ini selalu bisa menghargai....betapa berharganya sore-sore itu, kau selama ini selalu bisa mengerti. (SARAH MENEMPELKAN PIPINYA DI PIPI RICHARD) Jarang sekali orang yang bisa mengerti, pengertianmu tak ternilaikan.
RICHARD      : Apa kau senang aku menyadari bahwa istriku menghianati aku, dua atau tiga
    kali seminggu dengan sangat teratur.
SARAH      : Richard.
RICHARD      : Aku tidak tahan lagi, aku sekarang tidak tahan lagi, keadaanku, jiwaku, tidak
    memungkinkan lagi bagiku untuk membiarkan hal ini berlangsung terus.
SARAH      : (KEPADA RICHARD) Manis….Richard….aku mohon.
RICHARD      : Mohon apa? (SARAH BERHENTI) Akan kukatakan apa yang bisa ku lakukan.
SARAH      : Apa?
RICHARD      : Ajak dia pergi ke lading, cari selokan, atau bekas-bekas kayu bakar, cari
onggokan sampah. Mmmmmmm? Bagaimana? (SARAH BERDIRI DIAM) Beli kano dan cari telaga yang tidak mengalir, semaumu di mana saja terserah. Asal jangn di ruang duduk rumahku.
SARAH      : Kukira itu tidak mungkin.
RICHARD      : Kenapa tidak?
SARAH      : Aku bilang tidak mungkin.
RICHARD      : Tapi kalau kau begitu merindukan pacarmu, itulah jalan satu-satunya, karena
kedatangannya ke rumah ini terlarang, aku berusaha menolongmu, saying. Karena aku cinta kau, kau bisa merasakannya bukan? Kalau aku lihat dia ada di sini, akan ku tending sampai rontok semua giginya.
SARAH      : Kau gila. (RICHARD MEMANDANG SARAH LAMA-LAMA)
RICHARD      : Akan ku tending sampai kepalanya masuk ke dalam perut. (PAUSE)
SARAH      : Lalu bagaimana dengan pelacur berengsek itu?
RICHARD      : Sudh kubayar penuh dan kusuruh pergi.
SARAH      : Betulkah? Mengapa?
RICHARD        : Dia terlalu kerempeng. (PAUSE SEBENTAR)
SARAH      : Tapi kau suka….kau bilang kau suka, Richard….tapi kalau begitu kau cinta
             padaku….
RICHARD      : Tentu.
SARAH      : Ya….kau cinta padaku….kau biarkan dia….kau mengerti dia….maksudku
lebih mengerti dari aku sendiri….sayang….semua beres….semua beres….malam itu….dan sore itu….bukan? Dengarkan aku sudah siapkan makan malam untukmu, Cuma bistik ham sapi, besok kumasakkan ayam panggang, kau suka kan? (MEREKA SALING PANDANG)
RICHARD      : (PERLAHAN-LAHAN) Perayu.
SARAH      : Jangan ah, jangan seperti itu, tidak mungkin, kau tahu, tidak bisa, apa-apaan
ini? Richard….(RICHARD TETAP MEMANDANG SARAH BEBERAPA LAMA LALU MENUJU RUANG DEPAN DAN MEMBUKA LEMARI DAN MENGELUARKAN BONGO, SARAH MEMPERHATIKANNYA RICHARD KEMBALI)
RICHARD       : Apa ini? Aku menemukannya beberapa hari yang lalu, apa ini? (PAUSE) Apa ini?
SARAH      : Sebetulnya kau tidak boleh menyentuhnya.
RICHARD      : Tapi aku menemukannya di rumahku, ini mestinya milikku, milkmuatau milik
    orang itu.
SARAH      : Bukan apa-apa, aku membelinya di pasar loak. Itu bukan apa-apa. Kau kira apa
    sebetulnya? Kembalikan saja?
RICHARD      : Bukan apa-apa? Ini? Sebuah bongo dalam lemari itu?
SARAH       : Kembalikan.
RICHARD      : Apa mungkin ada hubungannya dengan penyelewengan itu?
SARAH      : Tidak, sama sekali tidak. Apa hubungannya?
RICHARD      : Bongo ini kalian gunakan. Ini dipakai aku kira begitu?
SARAH      : Kau mengira yang bukan-bukan berikan padaku.
RICHARD      : Bagaimana dia memakainya? Bagaimana kalian memakainya? Kalian
memainkannya kalau aku di kantor? (SARAH MENCOBA MEREBUT BONGO. RICHARD MEMPERTAHANKANNYA, MEREKA DIAM, TANGAN-TANGAN MEREKA PADA BONGO) Apa kegunaan bongo ini? Ini bukan sekedar hiasan? Apa yang kalian lakukan dengan bongo ini?
SARAH      : (DENGAN PERASAAN SAKIT HATI DAN PENDERITAAN DALAM
SUARANYA) Kau tak berhak bertanya seperti itu. Tak berhak sama sekali, kita sudah sepakat. Kita tidak akan bertanya-tanya tentang soal ini, aku mohon, jangan. Kita sama-sama sudah berjanji.
RICHARD      : Aku ingintahu. (SARAH MEMEJAMKAN MATA)
SARAH      : Jangan….
RICHARD       : Apa kalian berdua sama-sama memainkannya? Mmmmmm? Kalian
           memainkannya? Bersama-sama? (SARAH MENJAUH, LALU MEMBALIK,
            MENDESIS)
SARAH      : Tolol….(IA MENANTANG RICHARD DENGAN DINGIN) Kau kira Cuma
dia yang selalu datang kemari? Kau kira hanya dia yang kulayani di sini? Jangan seperti anak-anak, aku banyak pengunjung, banyak pengunjung-pengunjung selalu, aku memberikan setiap saat, setiap sore selalu. Aku suguhi mereka buah-buahan menurut musimnya. Strawberry dengan cream, orang-orang asing yang sama sekali tak kukenal. Tapi mereka bukan datang padaku, tidak selamanya mereka berada di sini, mereka datang kemari untuk melihat-lihat bunga hollyhock, lalu mereka tinggal untuk minum the , selalu, selalu….
RICHARD      : Oh, begitu? (RICHARD MENDEKATI SARAH, SAMBIL MEMUKUL
BONGO PERLAHAN-AHAN; RICHARD MENGHADANG MUKA SARAH MENRIK TANGANNYA DAN MENCAKAR JARI-JARI SARAH KE BONGO)
SARAH      : Apa yang kau lakukan?
RICHARD      : Itu yang kau lakukan, begini? (SARAH MENARIK DIRINYA, LALU
MENUJU KE BALIK MEJA. RICHARD MENGIKTINYA SAMBIL   MEMUKUL-MUKUL BONGO) Seperti ini? (PAUSE) Ada api? (SARAH MUNDUR KEARAH MEJA. LALU AKHIRNYA BERHENTI DI UJUNGNYA) Ayolah, jangan merusak permainan suamimu tidak apa-apa kalau kau berikan aku api. Kau pucat, mengapa kau pucat? Gadis secantik ini.
SARAH      : Jangan kau lakukan….Jangan kau lakukan, jangan.
RICHARD      : Dia tidak marah. (RICHARD MENDEKATINYA, KEDEKAT MEJA) Tidak
ada yang tahu. (PAUSE) yang dengar, tidak ada yang tahu kita di sini. (PAUSE) Ayolah beri kami api. (PAUSE) Kau tidak bisa lari  saying, kau telah masuk perangkap. (MEREKA SALING BERHADAPAN DIKEDUA UJUNG MEJA, TIBA-TIBA SARAH KETAWA GELI. DIAM)
SARAH      : Aku terjebak. (PAUSE) Apa kata suamiku nanti. (PAUSE) Dia menunggu, dia
sedang menunggu. Aku tidak bisa ke luar. Aku terperangkap, kau tak berhak memperlakukan wanita yang telah kawin seperti ini, bukan? Piker-pikir apa yang sedang kau lakukan ini. (SARAH MELIHAT KEPADA RICHARD, MEMBUNGKUK DAN MERANGKAK DI BAWAH MEJA KE TEMPAT RICHARD, SARAH MUNDUR DARI BAWAH MEJA DEKAT KAKI RICHARD, BERLUTUT DAN MENENGOK KE MUKA RICHARD TANGANNYA MERAIH KAKI RICHARD, RICHARD MELIHAT KE BAWAH SARAH) Kau sangat berani, betul-betul berani tapi suamiku akan mengerti. Suamiku selalu mengerti, kemari, turunlah kemari, akan aku jelaskan, bagaimana pun juga kau harus ingat rumah tanggaku. Dia mencitaiku. Duduklah nanti aku bisikkan. Aku akan berbisik. Ini sudah waktunya berbisik bukan? (DIRAIHNYA TANGAN RICHARD, RICHARD IKUT BERLUTUT BERSAMA SARAH, BERDUA MEREKA BERLUTUT, BERDEKATAN, SARAH MEMBELAI MUKA RICHARD) Sudah terlalu malam untuk minum the sebenarnya! Tapi aku suka juga, manisnya kau, aku belum pernah memandang wajahmu setelah matahari terbenam. Suamiku sedang rapat kerja hingga malam, ya, kau kelihatan lain, mengapa kau memakai stelan ini, belum pernah aku melihatnya, dan dasi ini, biasanya kau pakai pakaian yang lain kan? Buka jasmu mmmmmm? Kau mau aku mengganti pakaian? Aku akan ganti pakaianku? Aku akan buka untukmu, begitu? Kau senang, bukan? (DIAM….SARAH MERAPAT DENGAN RICHARD)
RICHARD      : ....Ya. Tuhan. (PAUSE)
SARAH      : Jatuhkan pakaianmu. (PAUSE)
RICHARD      : Pelacur manis. (MEREKA BERDUA DIAM, BERLUTUT SARAH
            BERSANDAR PADA RICHARD)


 3.    BADAK BADAK Disadur dari “RHICONEROS” Karya: Eugene Ionesco

 Disadur dari “RHICONEROS”
Karya: Eugene Ionesco
Drama 3 babak (4 adegan)
Penyadur: Jim Lim

PARA PELAKU:
ARIFIN
SLAMET
PELAYAN KEDAI
PEMILIK TOKO PANGAN
ISTRINYA
TUAN TUA PENSIUNAN
SARJANA MUDA
NYONYA
TUKANG BAKMI
DEWI
MAS ENTUNG
DARMAWAN SH
SURAHMAN
NYONYA TIGOR
PEMADAM KEBAKARAN
KAKEK
ISTRINYA


BABAK  I
SEBUAH PRAPATAN DI KOTA J. DI PENTAS BELAKANG SEBUAH BANGUNAN MODEL KOLONIAL YANG MENGALAMI PEROMBAKAN. RUMAH INI TERBAGI DUA. SEBELAH KIRI DENGAN KACA ETALASE DIMANA TERTULIS DENGAN HURUF BESAR “TOKO PANGAN”, MENJUAL BERMACAM BAHAN MAKANAN DAN MINUMAN. DI TINGKAT ATAS ADA JENDELA, DAN DI BELAKANGNYA UNTUK TEMPAT TINGGAL PEMILIK TOKO. SEBELAH KANAN BESERTA HALAMAN DEPANNYA YANG CUKUP LUAS DIHUNI OLEH PENJUAL BAKMI BASO DENGAN MEJA-MEJANYA, BANGKU-BANGKU DAN KAIN PELINDUNG PANAS. DI SEBELAH KIRI NAMPAK JALAN YANG MENJAUH DALAM PERSPEKTIF. DI LUAR BATAS PEKARANGAN TOKO ADA SEBUAH POHON KERING BERDEBU. LANGIT BIRU, MATAHARI TERIK. HARI SUDAH JAM 12 SIANG PADA SUATU HARI MINGGU.
SESAAT SEBELUM LAYAR DIBUKA TERDENGAR LONCENG JAUH MENUNJUKKAN JAM 12. KETIKA LAYAR DIBUKA, SEORANG NYONYA RUMAH TANGGA MEMBAWA TAS BELANJA DAN SEEKOR KUCING DI TANGAN YANG LAIN, LEWAT DARI KANAN KE KIRI TANPA SEPATAH KATAPUN, SEKETIKA ITU JUGA ISTERI PEMILIK TOKOMUNCUL DI PINTU.
ISTERI    :    Memuakkan setiap kali kulihat nyonya itu (KEPADA SUAMINYA DI DALAM) Karena kesombongan dia tidak mau lagi datang belanja pada kita (ISTERI MASUK. PANGGUNG KOSONG BEBERAPA DETIK, ARIFIN MUNCUL DARI KANAN BERTEPATAN DENGAN SLAMET YANG MUNCUL DARI KIRI. ARIFIN BERPAKAIAN RAPIH, MEMAKAI DASI DAN TOPI, SEPATUNYA COKLAT MUDA DAN DISEMIR MENGKILAP. SLAMET SEPERTI YANG TIDAK MANDI, RAMBUT KUSUT, PAKAIAN KUMAL. KESELURUHANNYA MENUNJUKKAN KETIDAKMAMPUANNYA MENGURUS DIRI. IA NAMPAK LESU, KURANG TIDUR, SEKALI-KALI IA MENGUAP)
ARIFIN    :    (MAJU) Waduh, akhirnya kau berhasil juga untuk datang, Slamet!
SLAMET    :    (MAJU) Selamat pagi, Arifin!
ARIFIN    :    Lambat seperti biasa, tentu (MELIHAT ARLOJI TANGANNYA) Kita janji jam 11.30. sekarang sudah jam 12 lebih.
SLAMET    :    Maafkan. Apa kau sudah lama menunggu?
ARIFIN    :    Tidak, seperti kau lihat sendiri. Aku juga baru saja datang. (MEREKA DUDUK DI SALAH SATU MEJA KEDAI BASO)
SLAMET    :    Kalau begitu aku merasa lega, berhubung kau sendiripun baru……….
ARIFIN    :    Soalnya lain lagi. Aku tidak suka menunggu, waktuku terlalu berharga. Dan mengetahui kau selalu terlambat, maka sengaja aku datang lat-- aku perkirakan saat kau mungkin datang.
SLAMET    :    Kau benar, memang begitu, tetapi………..
ARIFIN    :    Jangan pura-pura bahwa kau selalu datang tepat!
SLAMET    :    Tentu tidak. Apakah aku mengatakan begitu?
ARIFIN    :    Sudah, jangan membantah!
SLAMET    :    Kita minum apa?
ARIFIN    :    Pada jam begini yang kau ingat minum melulu.
SLAMET    :    Hari panas dan kering.
ARIFIN    :    Makin banyak minum makin haus. Begitulah menurut ilmu pengetahuan…
SLAMET    :    Hari tidak akan sekering ini, dan kita tidak akan kehausan andai saja ilmu pengetahuan bisa menyediakan awan-awan buatan.
ARIFIN    :    (MENGAMATI SLAMET DENGAN CERMAT) Percuma, aku tahu kau bukan haus akan air, Slamet.
SLAMET    :    Aku tahu apa yang kau maksud.
ARIFIN    :    Kau tahu betul? Apa yang kumaksud? Aku bicara tentang tenggorokanmu itu yang gersang, sebuah wilayah yang tak kan pernah tercukupi!
SLAMET    :    Mengapa tenggorokanku mesti kau bandingkan dengan sebidang tanah….
ARIFIN    :    (MEMOTONG) Kau sudah payah kawan.
SLAMET    :    Payah? Sungguh?
ARIFIN    :    Aku tidak buta, setiap orang bisa melihat kau hampir ambruk karena capek. Kau sudah mulai kurang tidur lagi. Tiada hentinya kau menguap. Kau kehabisan tenaga….
SLAMET    :    Rambutku memang lupa disisir.
ARIFIN    :    Kau bau minuman keras.
SLAMET    :    Memang betul aku minum, tapi sedikit sekali.
ARIFIN    :    Sudah berapa lama hari minggu kujumpai kau dalam keadaan ini, belum tentang hari-hari lainnya.
SLAMET    :    Kurasa di hari-hari lain tidak terlalu sering, mengingat aku mesti ke kantor.
ARIFIN    :    mengapa kau tidak pakai dasi? Aku heran kalau itu hilang dalam pesta gila-gilaan.
SLAMET    :    (MMEGANG LEHERNYA) Betul juga. Aneh, kulupa di mana?
ARIFIN    :    (MENGELUARKAN DASI DARI SAKUNYA) Nih, pakai dulu.
SLAMET    :    Terima kasih. Kau selalu baik (DIPAKAINYA DASI)
ARIFIN    :    (SEMENTARA SLAMET MEMBERESKAN RAMBUT DENGAN JARI TANGANNYA) Nih, aku bawa sisir.(DIKELUARKANNYA SISIR DARI SAKU BELAKANG)
SLAMET    :    (MENERIMA SISIR ITU)  Terima kasih (IA MENYISIR ACUH TAK ACUH)
ARIFIN    :    kau juga tidak cukur jenggotmu. Coba, pandanglah dirimu. (DIKELUARKANNYA CERMIN KECIL DARI SAKU, DIBERIKANNYA PADA SLAMET YANG LALU BERKACA. SEKALIGUS DIPERIKSA JUGA LIDAHNYA)
SLAMET    :    Lidahku seperti berselaput.
ARIFIN    :    (MENGAMBIL KEMBALI CERMIN DAN MEMASUKKANNYA KE DALAM SAKU) Tidak heran! (MENGAMBIL SISIR YANG DISODORKAN SLAMET DAN MEMASUKKAN KEDALAM SAKU) Kau sebentar lagi reyot, kawan!
SLAMET    :    (KUATIR) Mungkinkah?
ARIFIN    :    (KEPADA SLAMET YANG MAU MENGEMBALIKAN DASI) Tahan dasi itu. Aku masih punya banyak di rumah>
SLAMET    :    (KAGUM) Kau selalu kelihatan begitu rapih.
ARIFIN    :    (MASIH TERUS MENELITI SLAMET) Pakaianmu sama sekali kumal, memalukan! Bajumu dekil, sepatumu…..(SLAMET MENCOBA MENYEMBUNYIKAN SEPATUNYA DI BAWAH MEJA) Sepatumu tidak pernah disemir. Payah betul kau ini! Dan pundakmu itu, coba….
SLAMET    :    Ada apa dengan pundakku?
ARIFIN    :    Membalik! Ayo, membalik! Kau telah bersandar pada dinding mana. (SLAMET DENGAN PATUH MENYODORKAN  TANGANNYA KE ARIFIN) Tidak, jangan pikir aku membawa sikat, saku bajukubisa menonjol (SLAMET DENGAN PATUH MENEPUK-NEPUK PUNDAKNYA UNTUK MEMBERSIHKAN KAPUR TEMBOK, ARIFIN MEMALINGKAN WAJAHNYA JAUH-JAUH) Astaga ! Di mana kau memperoleh semua itu?
SLAMET    :    Aku tidak ingat lagi.
ARIFIN    :    Betul-betul memalukan! Aku malu berkawan dengan kau!
SLAMET    :    Kau begitu kera terhadapku.
ARIFIN    :    Tetapi dengan alasan.
SLAMET    :    Dengarlah Arifin. Di kota ini hampir tidak ada hiburan, aku sering jemu. Aku sebetulnya merasa kurang cocok dengan pekerjaanku. Setiap hari ngantor, delapan jam sehari, dan setahun hanya dua minggu cuti. Pada setiap sabtu aku sudah begitu lelah. Sebab itulah – kau kan ngerti – sebagai hiburan…
ARIFIN    :    Bung setiap manusia mesti kerja. Aku juga ngantor 8 jam sehari seperti setiap orang. Dan cutiku setahun hanya dua minggu, tapi apakah aku juga seperti kau? Daya kemauanmu, bung!
SLAMET    :    Tidak setiap orang punya daya kemauan seperti kau. Aku tidak dapat membiasakan diriku. Aku ini tidak bisa seirama dengan kehidupan.
ARIFIN    :    Setiap orang harus bisa membiasakan diri. Kecuali kalau menganggap dirimu makhluk yang luar biaa.
SLAMET    :    Bukan begitu…
ARIFIN    :    (MEMOTONG) aku pikir kau dan aku sama saja. Dengan segala kerendahan hati, aku mungkin lebih dari kau. Orang yang memenuhi kewajibannya, dialah orang yang luar biasa.
SLAMET    :    Kewajiban apa?
ARIFIN    :    Kewajiban dia – kewajiban dia sebagai pegawai, misalnya….
SLAMET    :    O itu, kewajiban sebagai pegawai…
ARIFIN    :    Kau berbinal di mana semalam? Sekiranya kau masih ingat….
SLAMET    :    Kami merayakan ulang tahun Wgito, Wagito kawan kita….
ARIFIN    :    Wagito kawan kita? Siapa yang mengundang kau ke ulang tahun kawan kita Wagito?
        (SAAT INILAH TERDENGAR SUATU BUNYI DI KEJAUHAN, MENDEKAT DENGAN CEPAT. SEPERTI BINATANG YANG TERENGAH-ENGAH LARI DAN SEMACAM BUNYI TEROMPET HEWAN)
SLAMET    :    AKU TAK DAPAT MENOLAK. Pula itu kurang sopan….
ARIFIN    :    Apakah aku datang?
SLAMET    :    Soalnya mungkin karena kau tidak diundang (PELAYAN LAKI-LAKI MUNCUL DARI DALAM KEDAI) Mau pesan apa?
        (KINI TERDENGAR BUNYI KERAS SEKALI)
ARIFIN    :    (BERTERIAK KEPADA SLAMET MENGATASI BUNYI KERAS YANG BELUM DIPERHATIKANNYA) Memang aku tidak diundang, aku tidakmendapat kehormatan itu. Apa boleh buat, sebab walaupun aku diundang, aku pasti tidak akan datang, oleh karena… (BUNYI DI PUNCAK KEKERASANNYA) Ada apa?
        (BUNYI BINATANG YANG BERAT DAN BESAR LARI CEPAT, TERDENGAR DEKAT SEKALI, BUNYI TERENGAH-ENGAH) Apa itu?
PELAYAN    :    Apa itu? (SLAMET MASIH LESU DAN AGAKNYA TIDAK MENENGAR APA-APA. IA DENGAN SABAR MENJAWAB ARIFIN TENTANG PERSOLAN UNDANGAN ITU. BIBIRNYA BERGERAK,TAPI APA YANG DIUCAPKAN TIDAK TERDENGAR. ARIFIN BERDIRI MELOMPAT YANG MENYEBABKAN KURSINYA TERLEMPAR JATUH. IA MENUNJUK KE ARAH KIRI SEMENTARA SLAMET SEPERTI ORANG LINGLUNG TETAP DUDUK)
ARIFIN    :    Hei, ada badak! (BUNYI MENJAUH DAN KATA-KATA MULAI TERDENGAR KEMBALI, BAGIAN II HARUS DIMAINKAN DENGAN IRAMA CEPAT, MASING-MASING MENGULANGI DENGAN CEPAT DALAM URUTAN LANGSUNG: Hei, ada badak!”)
PELAYAN    :    Hei , ada badak!
ISTERI    :    (KEPALANYA MUNCUL DI PINTU TOKO) Hei, ada badak!
        (KEPADA SUAMINYA YANG MASIH ADA DI DALAM) Cepat, mari lihat sana, ada badak! (MEREKA SEMUA MEMANDANG KE ARAH TIMUR MENGIKUTI BINATANG YANG TADI LEWAT)
ARIFIN    :    Ia lari dalam arah melurus, menyeremprt etalase-etalase toko.
PEMILIK    :    (DARI DALAM) Di mana?
PELAYAN    :    (MENGGARUK-GARUK KEPALA) Model…
ISTERI    :    (KEPADA SUAMI YANG MASIH DI DALAM) Lihatlah ! (PEMILIK MUNCUL DI PINTU)
PEMILIK    :    Hei, ada badak!
SARMUD    :    (MUNCUL TERGESA-GESA DARI KIRI) Seekor badak kabur dengan kencangnya di pinggiran sebrang jalan!
        (SEMUA PENGUCAPAN SEJAK ARIFIN PERTAMA-TAMA MENGATAKAN:”Hei ada badak!” RATA-RATA MENJADI SEREMPAK. TERDENGAR SUARA WANITA BERTERIAK: aaaaa! NYONYA MUNCUL KE TENGAH PANGGUNG DENGAN TAS BELANJAANNYA. BEGITU SAMPAI DIJATUHKANNYA TAN BELANJAANNYA. ISINYA TERCECER KE SEMUA ARAH, TETAPI KUCING TETAP DI GENGGAMNYA)
NYONYA    :    Aaaaa ! Ooooo!
        (SEORANG TUAN TUA PENSIUANAN SOPAN SANTUN MUNCUL DARI KIRI. IA TERGESA MASUK KE TOKO, MENABRAK PEMILIK TOKO DAN ISTRINYA, SARJANA MUDA MENEMPATKAN DEKAT DINDING SEBELAH KIRI PINTU TOKO. ARIFIN DENGAN PELAYAN, KEDUANYA BERDIRI DAN SLAMET YANG MASIH DUDUK TAK HIRAU MERUPAKAN KELOMPOK LAIN. DARI KIRI BANYAKTERIAKAN aaaaa ! DAN oooooo! JUGA SUARA ORANG SIMPANG SIUR DAN DEBU YANG MENGEPUL DISEBABKAN OLEH BINATANG TERSEBUT. DEBU ITU MENYEBAR KESELURUH PENTAS.
TUKANG BAKMI    :    (MUNCUL DARI SUDUT TEMPAT MASAKNYA) Ada apa?
TUAN    :    (MENGHILANG DI BELAKANG PEMILIK TOKO DAN ISTRINYA) Maafkan saya. (TUAN TUA BERPAKAIAN RAPIH, MEMAKAI TOPI KUNO MEMBAWA TONGKAT DENGAN PEGANGAN DARI GADING, SARJANA MUDA YANG BERDIRI MELEKAT PADA DINDING, BERKACAMATA DENGAN PINGGIRANYANG LEBAR)
ISTERI    :    (TERDORONG DAN MENDORONG SUAMINYA. KEPADA TUAN TUA) Hati-hati sedikit dengan tongkat itu! (KINI KEPALA TUAN NAMPAK DI BELAKANG PEMILIK TOKO DAN ISTERINYA)
PELAYAN    :    (KEPADA MAJIKANNYA) Ada badak!
TUKANG BAKMI    :    (SAMBIL MELETAKKAN HAL-HAL YANG DIKERJAKAN) Kau mimpi di siang hari bolong (IA MELIHAT BADAK YANG DIMAKSUD) Astaga…!
NYONYA    :    Aaaa ! (SEMUA SERUAN Oooo ! dan Aaaa !  YANG TERDENGAR DI BELAKANG PENTAS MENJADI IRINGAN Aaaa ! SANG NYONYA. MESKIPUN TAS BELANJAANNYA TELAH JATUH. KUCING DIPEGANGNYA ERAT-ERAT DALAM LINDUNGAN LENGANNYA) Terlalu, kucingku yang tidak bersalah menjadi takut!
TUKANG BAKMI    :    (MASIH TERCENGANG MEMANDANG KE ARAH KIRI MENGIKUTI BINATANG. SEMENTARA BUNYI DERAPNYA, TEROMPETNYA SEMAKIN MENJAUH. SLAMET AGAK MENGNTUK, MEMBUANG MUKA SEDIKIT UNTUK MENGHINDARI DEBU TAPI IA TIDAK BERKATA APA-APA. IA HANYA NYENGIR) Bayangkan…!
ARIFIN    :    (JUGA AGAKMEMBUANG MUKA MENGHINDARI DEBU, TAPI SADAR SEPENUHNYA) Bayangkan ! (IA BERSIN)
NYONYA    :    (DI TENGAH PENTAS TETAPI MEMANDANG KE ARAH KIRI. BELANJAAN BERTEBARAN DI SEKELILINGNYA) Bayangkan ! (BERSIN, TUAN TUA, ISTERI PEMILIK TOKO DAN PEMILIK TOKO DI ATAS TANGGA DEPAN PINTU MEMBUKA KEMBALI DAUN PINTU YANG TADI TELAH DITUTUP OLEH TUAN TUA)
KETIGANYA    :    Baayangkan….!
ARIFIN    :    Bayangkan (KEPADA SLAMET) Kau lihat tadi?
        (SUARA BADAK DAN TEROMPETNYA TERDENGAR JAUH, SEMUA ORANG MASIH MEMANDANG KE ARAH TADI KECUALI SLAMET YANG TETAP DUDUK TAK HIRAU)
SEMUA    :    Bayangkan ! (KECUALI SLAMET)
SLAMET    :    (kepada arifin) Kelihatannya tadi itu seperti seekor badak. Semua jadi berdebu (IA MENGELUARKAN SAPU TANGAN UNTUK MENUTUP HIDUNGNYA)
NYONYA    :    Bayangkan, aku sungguh ketakutan!
PEMILIK    :    (KEPADA NYONYA) Tas nyonya… belanjaannya…
        (TUAN TUA MULAI MEMUNGUT SATU PERSATU BARANG BELANJAAN YANG TERCECER. IA MANGGUT SEDIKIT PADA NYONYA, MENGANGKAT TOPINYA DENGAN HORMAT)
TUKANG BAKMI    ;    Dasar jaman….
PELAYAN    :    Heran !
TUAN    :    (KEPADA NYONYA) Perkenankan saya Bantu nyonya memungut barang-barang yang jatuh.
NYONYA    :    Terima kasih. Tuan sangat baik hati. Silahkan topi tuan dipakai lagi. Ooo, saya tadi takut sekali.
SARMUD    :    Rasa takut adalah sesuatu yang tak masuk akal. Akallah yang mesti menguasai kita.
PELAYAN    :    Sudah tidak kelihatan lagi.
TUAN    :    (KEPADA NYONYA DAN MENUJU SARMUD) Ini kenalan saya . ia sudah sarjana muda.
ARIFIN    :    (KEPADA SLAMET) Bagaimana menurut pendapatmu?
PELAYAN    :    Binatang begitu jauh-jauh datang dari mana?
NYONYA    :    (KEPADA SARMUD) Sudah Sarjana Muda!
ISTERI    :    (KEPADA SUAMINYA) Syukur….! Salah sendiri membeli belanjaan dari toko lain!
ARIFIN    :    (KEPDA TUKANG MI BASO DAN PELAYAN) Pokoknya, bukan kejadian sehari-hari.
NYONYA    :    (KEPADA SARMUD DAN TUAN YANG SEDANG MEMUNGUT BELANJAAN) Saya minta tolong untukmemegangnya sebentar.
PELAYAN    :    (KEPADA ARIFIN) Saya baru melihat pertama kali!
SARMUD    :    (MENERIMA KUCING) Apa tidak akan mencakar?
TUKANG BAKMI    :    (KEPADA ARIFIN) Lewat secepat kilat!
NYONYA    :    Tikuspun tidak pernah diganggunya. (KEPADA YANG LAIN) Sebotol kecap saya mana?
PEMILIK    :    Di sini juga jual kecap!
ARIFIN    :    (KEPADA SLAMET) Nah, bagaimana menurut kau?
PEMILIK    :    Mereka paling istimewa!
TUKANG BAKMI    :    (KEPADA PELAYAN) Jangandiam saja! Layani dulu tamu-tamu itu! (IA MENUNJUK PAD ARIFIN DAN SLAMET DAN KEMBALI KE SUDUT TEMPAT MASAKNYA)
SLAMET    :    Bagaimana tentang apa?
ISTERI    :    (KEPADA SUAMINYA) Ambil sebotol kecap untuknya.
ARIFIN    :    Badak itu tentunya, pikirmu apa?
PEMILIK    :    Kami menjual kecap nomor satu, botolnya tanggung kuat! (IA MASUK KE DALAM TOKO)
SARMUD    :    (MENGUSAP-USAP KUCING YANG DIPEGANGNYA) Pusi, Pusi, Pusi.
PELAYAN    :    (KEPADA SLAMET DAN ARIFIN) Mau pesan apa?
SLAMET    :    Minum saja – bir!
PELAYAN    :    Bir saja? (MENUJU KE DALAM)
NYONYA    :    (TELAH MENGUMPULKAN BARANGBELANJAANNYA BERSAMA TUAN) Terima kasih atas bantuan tuan.
PELAYAN    :    (DI DALAM) Katanya bir saja.
TUAN    :    Tak apa, saya suka menolong (ISTERI PEMILIK TOKO MASUK)
SARMUD    :    (KEPADA TUAN DAN NYONYA YANG SEDANG MEMBERESKAN BELANJAAN) Aturlah kembali dengan beres.
ARIFIN    :    (KEPADA SLAMET) Nah, bagaimana menurut pendapatmu?
SLAMET    :    Bagaimana….? Biasa… mengakibatkan banyak debu…
PEMILIK    :    (MUNCUL DENGAN SEBOTOL KECAP) Juga ada acar di peles, kalau nyonya perlu.
SARMUD    :    (TETAP MENGUSAP KUCING) Pusi, Pusi, Pusi.
PEMILIK    :    Harganya lima ratus rupiah.
NYONYA    :    (MEMBAYAR, LALU KEPADA TUAN) O, Tuan sangat baik hati. Begitulah seharusnya lelaki kepada wanita. Anak muda jaman sekarang mana ingat.
PEMILIK    :    (MENERIMA UANG) Mstinya nyonya berlangganan kepada saya. Nyonya tak usah jauh-jauh menyeberang jalan, dan nyonya mengurangi kemungkinan mendapat kecelakaan lalu lintas (MASUK)
ARIFIN    :    (TELAH DUDUK) Harus aku akui bahwa peristiwa tadi sesuatu yang luar biasa.
TUAN    :    (MANGGUT, MEMBUKA TOPINYA) Saya merasa senang telah bertemu dangan nyonya.
NYONYA    :    (KEPADA SARMUD) Terima kasih atas bantuan tuan memegang kucing saya. (SARMUD MENGEMBALIKAN KUCING KEPADA NYONYA. PELAYAN DTANG DENGAN DUA GELAS BIR)
PELAYAN    :    Dua bir!
ARIFIN    :    (KEPADA SLAMET) Manusia memang susah dirubah.
TUAN    :    Apa saya barangkali perlu mengantar nyonya pulang?
SLAMET    :    (KEPADA ARIFIN) Aku pesan air Belanda. Ia barangkali salah dengar (ARIFIN MENARIK BAHUNYA TANDA TAK SENANG)
NYONYA    :    Suamiku sedang menunggu, lain kali saja.
TUAN    :    Sampai bertemu lagi, nyonya.
NYONYA    :    Mari (IA BERSENYUM MANIS DAN BERLALU KE KIRI)
TUAN    :    (KEPADA SARMUD) Dari mana nyonya itu?
ARIFIN    :    (KEPADA SLAMET) Badak! Tak masuk akal (TUAN BERJALAN PERLAHAN KE KANAN SAMBIL BERCAKAP-CAKAP DENGAN SARMUD)
TUAN    :    Orang yang menarik.
SARMUD    :    Aku akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan silogisme.
TUAN    :    Oh ya, silogisme.
ARIFIN    :    (KEPADA SLAMET) Tak masuk akal! Mustahi! (SLAMET MENUAP)
SARMUD    :    Suatu silogisme terdiri dari sebuah rumusan utama, rumusan kedua dan sebuah kesimpulan.
TUAN    :    Kesimpulan apa? (TUAN DAN SARMUD KELUAR)
ARIFIN    :    Tak masuk akal.
SLAMET    :    Aku mengerti bahwa akalmu belum memahami. Jadi, tadi itu seekor badak. Apa boleh buat kalau memang badak? Kini sudah berapa kilometer jauhnya dari sini. Sudah jauh…
ARIFIN    :    Tapi aku yakin bahwa olehmupun terasa keanehannya. Seekor badak berkeliaran di tengah-tengah kota, dan kau tidak sedikitpun mengejapkan mata. Tak boleh jadi! (SLAMET MENGUAP) Kalau menguap tutup mulutmu dengan tangan!
SLAMET    :    Ya.. uuaa, ya uu aa…Tak boleh jadi. Memang berbahaya. Baru kusadari itu. Tapi kaujangan kuatir, kita di sini tidk akan diganggu binatang itu.
ARIFIN    :    Kita mesti mengajukan proter kepada kotapraja. Untuk apa ada Walikota dan sebagainya?
SLAMET    :    (MENGUAP, CEPAT MENUTUP MULUTNYA DENGAN TANGAN) Maaf, maaf. Siapa tahu badak itu terlepas dari kebun binatang.
ARIFIN    :    Kau mengigau di siang bolong.
SLAMET    :    Aku bangun seratus persen.
ARIFIN    :    Bangun atau tidur sama saja.
SLAMET    :    Kurasa ada beanya.
ARIFIN    :    Maksudku lain.
SLAMET    :    Kau kata tadi bahwa bangun dan tidur itu sama?
ARIFIN    :    Kau tidak mengerti aku. Tak ada bedanya, mimpi sambil tidur dan mimpi sambil bangun.
SLAMET    :    Aku mimpi, sebab hidup adalah impian.
ARIFIN    :    Kau ngigau ketika kau katakana bahwa badak itu lari dari kebun binatang.
SLAMET    :    Aku kata, mungkin.
ARIFIN    :    Kebun binatang kita sudah kosong sejak semua binatang-binatangnya dibunuh ketika ada wabah sampar. Sudah lama sekali.
SLAMET    :    (TAK ACUH) Kalau begitu barangkali terlepas dari sebuah sirkus.
ARIFIN    :    Apa, sirkus?
SLAMET    :    Entahlah… rombongan sirkus dari luar negri.
ARIFIN    :    Kau tahu betul bahwa pemerintah daerah telah melarang segala macam pertunjukan kesenian. Sejak kecil kita tidak pernah lagi menyaksikan sirkus.
SLAMET    :    (MENCOBA MENGHENTIKAN KUAPNYA TANPA HASIL) Nah, kalau begitu mungkin binatang tersebut selama ini hidup tersembunyi di daerah rawa sekitar ini.
ARIFIN    :    Rawa sekitar ini! Rawa sekitar sini… Kasihan kau, hidup dalam kegelapan mabuk arak.
SLAMET    :    (JUJUR DAN SEDERHANA) Kau benar, terasa seolah-olah naik dari perutku.
ARIFIN    :    Otakmusudah diselubungi kabut! Mana ada rawa di sekitar sini? Daerah kita terkenal banyak gunung kapurnya, dan oleh karena itu kering!
SLAMET    :    (JEMU) Kalau begitu aku tidak tahu. Mungkin iatelah bersembunyi di balik batu. Atau mungkin ia telah bersarang di dahan-dahan kering.
ARIFIN    :    Jangan berfikir bahwa kau lucu, sama sekali tidak! Kau malah membosankan, dengan jawaban-jawabanmu yang bodoh dan bertentangan itu, kau tidak mampu berbicara serius.
SLAMET    :    Hari ini, Cuma hari ini, sebab… sebab… (MENUNJUK KEPALANYA SENDIRI)
ARIFIN    :    Sama saja hari ini seperti hari-hari lain!
SLAMET    :    Kurasa tidak!
ARIFIN    :    Kau sudah kehabisan bahan untuk melucu.
SLAMET    :    Aku sama sekali tidak….
ARIFIN    :    (MEMOTONG) Kau fakir aku senang kau permainkan?
SLAMET    :    (DENGAN TANGAN KE HATINYA) Arifin, sahabatku, betapa aku akan tega berbuat demikian…
ARIFIN    :    (MEMOTONG) Ya , Slamet sahabatku, ternyata kau tega berbuat demikian….
SLAMET    :    Sungguh, aku tidak mau dan tidak akan berbuat begitu terhadap kau.
ARIFIN    :    Buktinya, baru saja kau lakukan.
SLAMET    :    Kau betul-betul percaya bahwa….
ARIFIN    :    (MEMOTONG)  Aku percaya pada kenyataan.
SLAMET    :    Aku jamin…
ARIFIN    :    (MEMOTONG) Bahwa kau mempermainkan aku.
SLAMET    :    Ada kalanya kau ini kepala batu.
ARIFIN    :    Sekarang tambah kau menganggap aku kerbau. Sadarkah kau bahwa kau sangat menghina aku?
SLAMET    :    Jika saja kau mengerti jalan fikiranku.
ARIFIN    :    Kau tidak punya fikiran
SLAMET    :    Orang tidak punya fikiran tidak dapat mengutarakan hal-hal seperti kau tuduhkan tadi.
ARIFIN    :    Ada hal-hal yang bisa timbul dalam pikiran orang-orang tanpa otak.
SLAMET    :    Tidak mungkin?
ARIFIN    :    Siapa bilang tidak mungkin?
SLAMET    :    Aku bilang tidak mungkin.
ARIFIN    :    Jelaskan dulu padaku mengapa tidak mungkin. Rupanya kau maha mampu menjelaskan segala sesuatu.
SLAMET    :    Aku tidak pernah menganggap diriku maha mampu.
ARIFIN    :    Tapi mengapa kau berlagak demikian? Dan aku ulangi pertanyaanku, mengapa kaumenghina aku?
SLAMET    :    Aku tidak menghina kau. Kaumeleset. Kau  tahu bahwa aku menaruh hormat padamu.
ARIFIN    :    Lalu kenapa kau menentang aku, menganggap tidak berbahaya tanpa fakta bahwa seekor badak mengamuk di pusat kota –terutama  lagi ini hari minggu ketika banyak anak-anak sedang jalan-jalan, juga orang dewasa…
SLAMET    :    Orang-orang ada yang sedang di gereja, ada yang itirahat di rumah. Jadi tidak semuanya terancam bahaya.
ARIFIN    :    (MEMOTONG) Aku belum selesai bicara – ditambah sekarang orang-orang sedang belanja ke paar.
SLAMET    :    Aku tidak pernah mengatakan bahwa badak yang berkeliaran di kota tidak berbahaya. Soalnya secara pribadi bahaya tersebut tak pernah terpikirkan olehku. Belum terlintas dalam pikiranku.
ARIFIN    :    Kapan kau pernah memikirkan sesuatu?
SLAMET    :    Aku memang setuju dengan kau. Tidak baik kalau seekor badak bisa berkeliaran seenaknya.
ARIFIN    :    Harus dilarang!
SLAMET    :    Akur, harus dilarang! Terlalu gila-gilaan memang! Meskipun begitu tidak ada alasannya bagi kau dan aku untuk bertengkar. Mengapa kau mesti menyerang aku hanya berhubung seekor binatang keparat yang berkulit tebal kebetulan lewat di sini. Binatang goblog berkaki empat yang tak perlu dihebohkan. Dan dengan sendirinya binatang yang bua, dan jelasnya sekarang sudah tak nampak, berarti sudah tidak ada. Apa gunanya mempersoalkan binatang yang tidak ada. Lebih baik kita bicara tentang hal-hal lain Arifin, aku mohon padamu… (IA MENGUAP) masih banyak bahan yangbisa dijadikan pembicaraan (IA MENGANGKAT GELASNYA) Mari minum dulu… (SARMUD DAN TUAN TUA MUNCUL KEMBALI DARI KIRI. MEREKA DUDUK DI SALAH SATU MEJA SAMBIL TERUS BERCAKAP-CAKAP. DISEBELAH BELAKANG KANAN SLAMET DAN ARIFIN)
ARIFIN    :    Jangan sentuh gelas itu! Kau kularang minum (ARIFIN SENDIRI DALAM SATU TEGUK MENGHABISKAN MINUMANNYA, LALU MELETAKKAN KEMABLI GELASNYA DI MEJA, SLAMET TETAP MEMEGANG GELASNYA, TIDAK MELETAKKANNYA , TAPI JUGA TIDAK BERANI MEMINUMNYA)
SLAMET    :    (AGAK MALU-MALU) Sayang kalau membayar tanpa diminum (SIAP MINUM)
ARIFIN    :    Letakkan kembali gelasmu!
SLAMET    :    Baiklah.
        (IA MELETAKKAN KEMBALI GELANYA. SAAT ITU DEWI LEWAT. IA SEORANG SEKRETARIS MUDA. IA MELEWATI PENTAS DARI KANAN KE KIRI, KETIKA MELIHATNYA, SLAMET TIBA-TIBA BERDIRI DAN DENGAN CANGGUNGNYA MENYENTUH MEJA. GELAS TERGULING DAN MEMBASAHI CELANA ARIFIN) Ooo… itu Dewi!
ARIFIN    :    Matamu ke mana? Lihat apa yang kau lakukan!
SLAMET    :    Itu Dewi.. Maafkan aku (IA SEMBUNYI DARI DEWI) Aku tak mau ia melihat akau dalam keadaan seperti ini.
ARIFIN    :    Tingkah lakumu tak dapat diampuni, tak dapat diampuni!
        (MEMANDANG KE ARAH DEWI YANGBARU SAJA MENGHILANG DARI PANGGUNG) Mengapa kau mesti takut pada gadis itu?
SLAMET    :    Aduh , jangan bikin rusuh, jangan bikin rusuh!
ARIFIN    :    Ia tidak menakutkan untuk dilihat!
SLAMET    :    (KEMBALI DEKAT KE ARIFIN, SETELAH DEWI CUKUP JAUH) Aku sekali lagi mesti meminta maaf padamu karena…..
ARIFIN    :    Lihat sendiri akibatnya kalau terlalu banyak minum, kau tidak kuasai lagi tingkah lakumu. Tanganmu sudah tidak bertenaga lai, betul-betul pemabuk yang reyot. Kau menggali sendiri kuburmu kawan, kau menghancurkan dirimu.
SLAMET    :    Sebetulnya aku tidak suka minuman keras. Tapi kalau sekali-kali aku tidak minum, aku tidak pua. Aku seakan-akan jadi takut, maka akuminum supaya tidak merasa takut.
ARIFIN    :    Takut apa?
SLAMET    :    Entahlah. Peraaan sengsara yang tak dapat kugambarkan padamu. Aku merasa tidak betah dalam kehidupan, di antara manuia sesama, dan begitulah, aku minum. Minuman menenangkan aku dan menentramkan aku, sehingga akupun dapat melupakan…
ARIFIN    :    Kau mau lari dari dirimu sendiri?
SLAMET    :    Aku begitu lelah, sudah bertahun-tahun aku lelah. Sungguh berat memikul tubuhku ini.
ARIFIN    :    Itulah gangguan syaraf berkat alcohol, penyakit murung seorang pemabuk…
SLAMET    :    (MELANJUTKAN) Aku selalu sadar akan tubuhku yang terasa seolah-olah dari timah. Seperti aku mendukung-dukung orang lain di atas punggungku, aku seolah-olah tidak bisa menyesuaikan diri dengan tubuhku ini. Aku bahkan tidak tahu apakah aku betul-betul aku. Baru setelah aku minum sedikit, timah itu terlepas dan aku kenali diriku. Aku menjadi aku kembali.
ARIFIN    :    Ocehan melulu! PAndanglah aku Slamet. Berat badanku jauh lebih dari kau. Tapi aku merasa ringan, ringan seperti bulu burung. (IA MENGIBASKAN LENGANNYA SEPERTI BURUNG TERBANG. PADA SAAT ITU TUAN SARMUD YANG ASYIK DALAM PERCAKAPAN MAJU LAGI KE DEPAN, LEWAT DEKAT ARIFIN. TANGAN ARIFIN TANPA SENGAJA MEMUKUL TUAN YANG MENYEBABKAN DIA TERHUYUNG KE DALAM PELUKAN SARMUD)
SARMUD    :    Sebuah contoh dari silogisme (IA TERHUYUNG) Ooohh!
TUAN    :    (KEPADA ARIFIN) Awas ! (KEPADA SARMUD) Maafkan…
ARIFIN    :    (KEPADA TUAN) Maafkan
SARMUD    :    (KEPADA TUAN) Tak apa-apa.
TUAN    :    (KEPADA ARIFIN) Tak apa-apa.
        (TUAN DANSARMUD DUDUK KEMBALI LEBIH DEKAT SEDIKIT DI BELAKANG KANAN ARIFIN DAN SLAMET)
SLAMET    :    Kau orang kuat.
ARIFIN    :    Ya, aku kuat. Aku kuat dengan berbagai alasan. Pertama-tama aku kuat karena badanku sehat. Kedua, aku kuat karena mentalku kuat. Aku juga kuat karena aku tidak digerogoti oleh minuman keras. Aku bukan bermaksud menyinggung peraaanmu, slamet, temanku… Tak perlu rasanya aku mengabarkan padamu bahwa minuman keraslah yang membebani kau begitu berat.
SARMUD    :    (KEPADA TUAN) Kuberi contoh dari silogisme. Kucing berkaki empat. Tompel dan cicak keduanya berkaki empat.  Jadi tompel dan cicak kucing.
TUAN    :    Anjingku berkaki empat.
SARMUD    :    Jadi kucing juga.
SLAMET    :    (KEPADA ARIFIN) Aku sudah hampir tidak sanggup lagi untuk meneruskan hidup. Mungkin aku tiak ingin hidup lagi.
TUAN    :    (SETELAH MERENUNG) Kalau begitu secara logika anjingku itu kucing?
SARMUD    :    Secara logika, ya. Tapi sebaliknyapun benar.
SLAMET    :    Kesepian sangat menekan aku. Begitu pula kehadiran banyak orang menekan aku.
ARIFIN    :    Ucapan-ucapanmu saling bertentangan. Apa yang menekan kau? Kesepian atau kehadiran banyak orang? Kau menganggap dirimu seorang pemikir, tapi buktinya kau bicara tidak logis.
TUAN    :    (KEPADA SARMUD) Logika rupanya sesuatu yang indah.
SARMUD    :    Selama tidak disalah gunakan.
SLAMET    :    Kehidupan melulu urusan-urusan yang abnormal.
ARIFIN    :    Sebaliknya. Tak ada yang lebih wajar daripada kehidupan. Dan buktinya manusia melanjutkan kehidupan.
SLAMET    :    Jumalh orang mati lebih banyak dari yang hidup. Jumlah tersebut terus meningkat. Yang hidup makin lama makin berkurang.
ARIFIN    :    Yang sudah mati termasuk tidak ada, dan itu tidak bisa kau sangkal. Ha ha ha ! Apakah kau juga merasa tertekan oleh yang mati? Betapa mungkin kau tertekan oleh sesuatu yang tidak ada?
SLAMET    :    Kadang-kadang aku ini bertanya apakah aku ini ada?
ARIFIN    :    Slamet, temanku yang baik, Kau tidak ada karena kau tidak mau berpikir. Pakailah pikiranmu dank au pasti ada.
SARMUD    :    Sebuah silogisme lagi. Semua kucing mesti mati. Seorang filsuf mati. Jadi filsuf adalah kucing.
TUAN    :    Dan memang kakinya empat. Aku punya kucing yang namanya filsup.
SARMUD    :    Nah, terbukti….
ARIFIN    :    Pada daarnya kau hanya menggertak. Pembohong besar. Katamu kehidupan sudah tidak menarik bagimu. Padahal ada seorang oleh siapa kau merasa tertarik.
SLAMET    :    Siapa?
ARIFIN    :    Teman wanita sekantor yang tadi baru saja lewat. Aku tahu kau senang padanya.
TUAN    :    Jadi seorang filsuf itu seekor kucing?
SARMUD    :    Logika telah membentangkan faktanya kepada kita.
ARIFIN    :    Kau tidak mau dia melihat kau dalam keadaan seperti sekarang (SLAMET MENGGERAKKAN TANGANNYA) Itu membuktikan bahwa kau bukan tidak peduli terhadap segala sesuatu. Tapi bagaimana kau bisa mengharapkan Dewi akan jatuh cinta pada seorang pemabuk?
SARMUD    :    Mari kita kembali kepada kucing-kucing kita.
TUAN    :    Kupasang telingaku.
SLAMET    :    Soalnya, aku menduga matanya sudah mengincar-incar orang lain.
ARIFIN    :    Masa, siapa?
SLAMET    :    Darmawan, rekanku sekantor. Ia sudah punya gelar SH, dan masa depannya terjamin dalam perusahaan kami – dan dalam hati Dewi. Aku tidak mungkin berharap akan menyainginya.
SARMUD    :    Kucing bernama tompel berkaki empat.
TUAN    :    Tahu dari mana?
SARMUD    :    Itu atelah ditentukan oleh perumpamaan kita.
SLAMET    :    Majikan sangat mengharapkan dia. Sedangkan aku tidak mempunyai jaminan di hari depan. Tak punya kepandaian apa-apa, kesempatan tertutup sama sekali bagiku.
TUAN    :    Begitulah, dalam perumpamaan tadi.
ARIFIN    :    Jadi kau mengalah begitu saja.
SLAMET    :    Habis mau apa?
SARMUD    :    Cicarpun berkaki empat. Jadi berapa kaki yang dimiliki cicar serta tompel?
TUAN    :    Masing-masing atau bersama?
ARIFIN    :    Penghidupan adalah pergulatan. Kau pengecut kalau tak berani berkelahi!
SARMUD    :    Masing-masing atau bersama-sama tergantuing bagaimana melihatnya.
SLAMET    :    Aku dapat berbuat apa? Aku tak punya apa-apa untuk pembelaan diri dalam pergulatan.
ARIFIN    :    Kau harus tempa senjata-senjatamu kawan.
TUAN     :    (SETELAH BERFIKIR BERAT) Delapan…. Delapan kaki.
SARMUD    :    Ternyata logika melibat ilmu hitung.
TUAN    :    Yang sudah jelas segi-seginya banyak!
SLAMET    :    Dimana dapat kuperoleh senjata-senjataku ?
SARMUD    :    Logika tidak mengenal batas-batas.
ARIFIN    :    Dalam dirimu sendiri. Dengan kemauan sendiri.
SLAMET    :    Senjata-senjata apa?
SARMUD    :    Akan kuuraikan.
ARIFIN    :    Senjata kesabaran dan kebudayaan, senjata-senjata batin (SLAMET MENGUAP). Pupuklah dirimu menjadi seorang cendikia yangtajam dan gemilang. Penuhilah syarat-syarat yang tertinggi.
SARMUD    :    Kalau kuambil dua kaki dari kucing-kucing ini, berapakah yang tinggal pada masing-masing?
TUAN    :    Itu tidak mudah.
SARMUD    :    Justru mudah sekali.
TUAN    :    Untuk kau mudah, tapi tidak mudah untukku.
SLAMET    :    (KEPADA ARIFIN) Untuk kau mudah, tapi tidak mudah untukku.
SARMUD    :    Ayo pikirkan dulu, ini pengji otak. Pusatkan segala pikiran!
ARIFIN    :    Ayo tunjukkan dulu, ini penguji kemauan. Pusatkan segala tekad!
TUAN    :    Serasa aku tidak tahu.
SLAMET    :    Sungguh-sungguh rasanya aku tidak yahu.
SARMUD    :    Mesti kujelaskan semuanya?
ARIFIN    :    Mestikah kujelaskan semuanya?
SARMUD    :    Ambil secarik kertas dan hitunglah. Kalau enam kaki diambil dari dua kucing itu
TUAN    :    Sebentar… (IA MENGHITUNG PADA SECARIK KERTAS YANG DIKELUARKAN DARI AKUNYA)
ARIFIN    :    Camkanlah petunjuk-petunjukku. Berpakaianlah yang rapih, cukurlah janggutmu setiap hari,pakailah selalu baju yangbersih.
SLAMET    :    Harga cuci pakaian mahal sekali.
ARIFIN    :    Batailah minuman keras. Kalau kau hadir di depan umum, sepatumu semir yang mengkilat. Cari tukang jahit yang baik untuk potongan bajumu. Seing-seringlah berdasi seperti aku. Belilah topi.
        (SETIAP DISEBUTKAN BENDA-BENDA ITU, IA MENUNJUK DENGAN KEPUASAN PADA YANG DIPAKAINYA SENDIRI)
TUAN    :    Dapat dijawab dengan beberapa kemungkinan.
SARMUD    :    Coba.
SLAMET    :    Sesudah itu apa? Coba…
SARMUD    :    Aku mau dengar.
SLAMET    :    Aku mau dengar.
ARIFIN    :    Segala sesuatunya padamu memang serba tidak berani, tapi itu bukan berarti kau tidak punya bakat.
SLAMET    :    Bakat? Aku?
ARIFIN    :    Gunakanlah. Tempatkanlah dirimu di tengah-tengah perhatian umum. Ikutilah selalu perkembangan kebudayaan dan kesusasteraan jaman kita.
TUAN    :    Kemungkinan yang satu: satu kucing kakinya empat, sehingga yang lain berkaki dua.
SLAMET    :    Aku hampir tak punya waktu bebas.
SARMUD    :    Bakat ada pada tuan. Tinggal perlu latihan.
ARIFIN    :    Ambil keuntungan yang dapat diambil dari waktu bebas yang seadanya. Jangan biarkan dirimu terombang ambing tanpa tujuan.
TUAN    :    Sayang akudulu tak pernah mendapat kesempatan. Aku hanya bekas ambtenar.
SARMUD    :    Setiap waktu bisa digunakan untuk belajar.
ARIFIN    :    Waktu bisa kita ciptakan.
SLAMET    :    Sudah terlanjur.
TUAN    :    Agaknya aku sudah terlalu tua.
ARIFIN    :    Menganggap terlambat adalah salah.
SARMUD    :    Menganggap terlambat adalah salah.
ARIFIN    :    Kau bekerja 8 jam setiap hari, seperti aku dan setiap orang. Tapi kau bebas pada hari minggu, di waktu malam dan selama 2 kali t hari cuti tahunan. Itu lebih dari cukup, asal pakai sistim tertentu.
SARMUD    :    Lalu bagaimana tentang jawaban-jawaban yang lainnya? Coba sistimatis sedikit, sistimatis!
ARIFIN    :    Begini, daripada kau minum dan meraa sakit-sakit. Tidakkah lebih baik kau merasa segar dan bersemangat, juga di waktu kerja? Dan kau bisa manfaatkan waktumu yang bebas secara konstruktif.
SLAMET    :    Umpamanya?
ARIFIN    :    Kunjungilah museum, pameran. Bacalah majalah-majalah bermutu, hadirilah ceramah-ceramah. Pasti kejengkelan-kejengkelan akan lenyap, budimu akan ditingkatkan. Dalam empat minggu kau bisa jadi budaywan.
SLAMET    :    Memang.
TUAN    :    Kucing yang satu bisa berkaki lima…
ARIFIN    :    Nah kau mudah mulai berfikir sendiri!
TUAN    :    Dengan kucing yang lain berkaki tunggal. Tapi apakah maih bisa dinamakan kucing?
SARMUD    :    Kenapa tidak?
ARIFIN    :    Daripada kau hambur-hamburkan uang jajan pada bir, bukankah lebih bermanfaat kalau kau belikan karcis untuk pertunjukan drama yang baik? Apakah kau sudah tahu tentang mereka yang merintis seni teater? Pernahkah kau menyaksikan drama-drama karya Ionesco?
SLAMET    :    Sayang sekali tidak, aku hanya dengar dari omongan orang.
TUAN    :    Dengan mengambil dua dari delapan kaki yang dimiliki oleh dua kucing…
ARIFIN    :    Saat ini salah satu karyanya sedang dipanggungkan. Jangan lalui kesempatan baik.
TUAN    :    Kucing yang satu bia berkaki enam.
SLAMET    :    Mudah-mudahan suatu perkenalan yang berkesn dengan aliran-aliran kesenian jaman kita.
TUAN    :    Maka kucing yang lain sama sekali tidak berkaki.
SLAMET    :    Kuakui kau yang benar. Aku akan berusaha sekeras-kerasnya agar mendapat perhatian umum, seperti kau anjurkan tadi.
SARMUD    :    Dengan demikian ada satu kucing yang mempunyai kedudukan istimewa.
SLAMET    :    Pastilah aku berjanji.
ARIFIN    :    Yang penting, kau berjanjilah pada dirimu sendiri.
TUAN    :    Dan satu kucing lagi yang malang nasibnya sebab tidak dikaruniai kaki barang satupun.
SLAMET    :    Dengan hikmat aku berjanji pada diriku, dan aku tidak boleh melanggar kata-kata sendiri.
SARMUD    :    Begitu tidaklah adil, maka juga tidak logis.
SLAMET    :    Aku takkan minum-minum lagi, melainkan aku kembangkan budiku. Aku sudah meraa lebih baik. Kepalaku sudah terasa bening.
ARIFIN    :    Nah, itu!
TUAN    :    Tidak logis?
SLAMET    :    Sore ini aku ke pameran. Dan aku akan membeli dua karcis untuk pertunjukan drama malam ini. Kau bersedia ikut dengan aku?
SARMUD    :    Sebab logika berarti keadilan.
ARIFIN    :    Kau harus bertahan. Junjunglah tekadmu dengan baik.
TUAN    :    Aku mengerti. Keadilan……
SLAMET    :    Aku berjanji padamu, aku berjanji pada diri sendiri. Kau ikut dengan aku ke pameran sore ini?
ARIFIN    :    Sore ini aku mau itirahat. Sudah kutetapkan dalam acara hari ini.
TUAN    :    Keadilan adalah sebuah aspek pula dari logika.
SLAMET    :    Tapi kau bersedia ikut nonton drama dengan aku malam ini?
ARIFIN    :    Malam ini aku berhalangan.
SARMUD    :    Caramu berfikir sudah tambah bening.
ARIFIN    :    Dengan sepenuh hati aku berharap kau menjunjung tekadmu yang baik. Sayang malam ini aku ada janji dengan beberapa teman untuk minum-minum sedikit.
SLAMET    :    Minum-minum?
TUAN    :    Jelasnya, kucing tanpa kaki barang satupun…
ARIFIN    :    Aku sudah berjanji. Aku tiodak pernah melanggar janji.
TUAN    :    Tidak akan mampu lari cepat untuk menangkap tikus.
SLAMET    :    Ha, sekarang kau membari contoh jelek padaku! Kau mau pergi minum-minum.
SARMUD    :    Kau sudah memperlihatkan kemajuan dalam logika.
        (MULAI TERDENGAR LAGI SUARA BINATANG LARI, TEROMPETNYA, DERAP KAKI, BUNYI ITU DATANG BERLAWANAN DENGAN ARAH YANG TADI, DARI BELAKANG PENTA KE ARAH DEPAN DI SEBELAH KIRI)
ARIFIN    :    (MARAH) Pokoknya aku bukan pecandu minuman keras. Tidak sama dengan kau, Pada kau… kau… pendek kata, sama sekali tidak sama!
SLAMET    :    Mengapa tidak sama?
ARIFIN    :    (BERTERIAK MENGATASI BUNYI BINATANG DARI BELAKANG) Aku bulan pemabuk, bukan!
SARMUD    :    (KERAS) Walaupun tidak berkaki, kucing tetap menangkap tikus. Itulah tabiatnya.
SLAMET    :    (BERSERU SEKERAS-KERANYA) Aku tidak mengatakan bahwa kau pemabuk. Tapi dalam hal ini, jika aku bisa pemabuk, mengapa kau tidak akan hadapi bahaya yang sama?
TUAN    :    (KERAS) Apakah tabiat kucing?
ARIFIN    :    Karena dalam segala sesuatu ada keseimbangan. Aku orang yang seimbang, tidak seperti kau!
SARMUD    :    (MEMASANG TANGANNYA KE TELINGA) Apa kata kau? (BUNYI YANG MENDERU MEMBENAMKAN UCAPAN KEEMPAT PERAN)
SLAMET    :    (MEMASANG TANGANNYA KE TELINGA) Apa tentang aku, apa? Kau mengatakan apa?
ARIFIN    :    (BERTERIAK) Aku mengatakan….
TUAN    :    (BERTERIAK) Aku mengatakan….
ARIFIN    :    (TIBA-TIBA MENYADARI BUNYI YANG SAMNGAT DEKAT ITU) Ada apa?
SARMUD    :    Terjadi apa?
ARIFIN    :    (BERDIRI, KURSINYA TERLEMPAR) Hei, ada badak!
TUAN    :    (SAMA) Hei, ada badak!
SLAMET    :    (TETAP DUDUK , TAPI SEKARANG MEMPERHATIKAN) Badak! Arah sebaliknya.
PELAYAN    :    (MEMBAWA BAKI DENGAN GELAS-GELAS) Apa itu? Hei ada badak! (BAKI JATUH DAN GELAS-GELAS PECAH)
TUKANG BAKMI    :    (KELUAR) Apa yang terjadi?
PELAYAN    :    Badak!
SARMUD    :    Badak! Kabur dengan kencangnya di pinggir sebrang jalan.
PEMILIK    :    (KELUAR) Hei, ada badak!
ARIFIN    :    Hei, ada badak!
ISTERI    :     (MENAMPAKKAN KEPALA DARI JENDELA ATAS TOKO) Hei, ada badak!
TUKANG BAKMI    :    Bukan alasan untu memecahkan gelas-gelas.
ARIFIN    :    Ia lari melurus dalam arahnya, menyerempet etalase-etalase toko.
DEWI    :    (MUNCUL DARI KIRI) Oooo, ada badak!
SLAMET    :    Ooo Dewi… (HURU-HARA, ORANG-ORANG SIMPANG SIUR, DIIRINGI Oooo DAN Aaaaa SEPERTI TADI)
PELAYAN    :    Bayangkan…!
ARIFIN & SLAMET    :    Bayangkan…!
        (TERDENGAR MEONG KUCING YANG MENYAYAT, LALU TERIAKAN WANITA YANG MENYAYAT)
SEMUA    :    Aduh!
        (PADA SAAT ITU BUNYI SUDAH MENJAUH LAGI. NYONYA MUNCUL TANPA TAS BELANJA, TAPI MEMEGANG BANGKAI KUCING YANG BERLUMURAN DARAH)
NYONYA    :    (MERATAP) Kucingku tergilas badak, kucingku tergilas badak…
PELAYAN    :    Kucingnya tergilas badak.
        (PEMILIK  TOKO, ISTERINYA DI JENDELA, TUAN TUA, DEWI DAN SARJANA MUDA MENGELILINGI NYONYA, LALU BERKATA)
SEMUA    :    Alangkah menyedihkan, kasihan, sungguh kasihan…
TUAN    :    Kasihan, sungguh kasihan…
DEWI & PELAYAN    :    Kasihan, sungguh kasihan….
ISTERI, TUAN DAN SARMUD : Kasihan, sungguh kasihan…
TUKANG BAKMI    :    (KEPADA PELAYAN, MENUNJUK GELAS PECAH DAN KURSI YANG TERGULING) Jangan berdiri dan diam saja. Bereskan dan bersihkan!
        (ARIFIN DAN SLAMET MENDEKATI NYONYA YANG MERATAP SAMBIL MEMEGANG KUCINGNYA)
PELAYAN    :    (MULAI MEMBERESKAN KURSI DAN GELAS-GELAS YANG PECAH SAMBIL MENOLEH PADA NYONYA) Aduh, kasihan…
TUKANG BAKMI    :    (MENUNJUK PECAHAN GELAS YANG TAK TERLIHAT OLEH PELAYAN) Sebelah sana, sebelah sana…!
TUAN    :    (KEPADA PEMILIK TOKO) Nah, bagaimana pendapat saudara?
SLAMET    :    (KEPADA NYONYA) Jangan menangis begitu. Aku tak tahan mendengarnya.
DEWI    :    (KEPADA SLAMET) Apa kak Slamet juga menyaksikan? Melihat yang terjadi tadi?
SLAMET    :    Selamat pagi dik Dewi, maafkan, aku belum cukur jenggot…
TUKANG BAKMI    :    (MENGAWASI PEMBERSIHAN, LALU MENOLEH PADA NYONYA) Kasihan, benar-benar kasihan….
PELAYAN    :    (TERUS MEMBERSIHKAN PECAHAN GELAS,  MEMBELAKANGI NYONYA) Kasihan, benar-benar kasihan…
        (SEMUA PERNYATAAN INI DIUCAPKAN DALAM URUTAN CEPAT DAN HAMPIR BERSAMAAN)
ISTERI    :    (DI JENDELA) Ini sudah keterlaluan!
ARIFIN    :    Ini sudah keterlaluan!
NYONYA    :    (MERATAP, MEMBUAI KUCINGNYA) Pusiku mungil, kucingku mungil…
TUAN    :    Apa daya , nyonya. Kucingpun kelak mesti mati.
SARMUD    :    Jangan diterima terlalu berat, nyonya. Semua kucing bisa mati. Itu nasib yang mesti kita terima.
NYONYA    :    Kucingku, kucingku mungil…
TUKANG BAKMI    :    (KEPADA PELAYAN YANG TELAH MENGUMPULKAN BELING KE DALAM LAPNYA) Buang saja dalam tempat sampah (IA MEMBERESKAN KURSI) Kau berutang enam ratus rupiah.
PELAYAN    :    (MASUK) Uang saja yang dipikirkan!
ISTERI    :    (DARI JENDELA, KEPADA NYONYA) Nyonya tak usah terlalu sedih!
TUAN    :    Nyonya tak usah terlalu sedih.
TUKANG BAKMI    :    Kerugian kupotong dari gajimu.
        SLAMET BERUSAHA MENYEMBUNYIKAN DIRI DARI DEWI. YANG LAIN BERGERAK KE TENGAH PANGGUNG DAN BERKELOMPOK DI SITU)
SEMUA    :    Bayangkan!
ISTERI    :    Setidak-tidaknya pengalaman seperti ini sangat memukul kita!
NYONYA    :    Kucingku mungil, kucingku mungil!
DEWI    :    Setidaknya pengalaman seperti ini memang sangat memukul kita.
TUAN    :    (MEMBIMBING NYONYA KESEBUAH MEJA DIIKUTI OLEH YANG LAIN) Duduk dulu di sini, nyonya.
ARIFIN    :    (KEPADA TUAN) Nah, bagaimana menurut pendapat tuan?
PEMILIK    :    (KEPADA SARMUD) Nah, bagaimana menurut pendapat saudara?
ISTERI    :    (DARI JENDELA, KEPADA DEWI)Nah, bagaimana menurut pendapat nona?
TUKANG BAKMI    :    (KEPADA PELAYAN YANG TELAH KEMBALI KE PANGGUNG) Ambilkan air segela untuk nyonya ini!
TUAN    :    Duduklah dulu, nyonya!
ARIFIN    :    Kasihan Nyonya ini.
ISTERI    :    Kasihan kucing itu.
SLAMET    :    (KEPADA PELAYAN) Lebih baik memberi nyonya ini segelas arak.
TUKANG BAKMI    :    Arak! Saudara ini yang membayar! (MENUNJUK SLAMET)
PELAYAN    :    (MASUK) Baik, segelas arak!
NYONYA    :    (TERSEDU) Saya tak uka arak, tak suka arak!
PEMILIK    :    Tadi binatang itu sudah satu kali lewat tokoku.
ARIFIN    :    (KEPADA PEMILIK TOKO) Ini bukan binatang yang sama.
PEMILIK    :    Mungkin saja sama.
DEWI    :    Apa sudah lewat dua kali?
TUKANG BAKMI    :    Kupikir juga binatang yang sama.
ARIFIN    :    Tidak, bukan badak yang sama. Yang pertama-tama lewat tadi bercula dua di atas sungutnya, ialah badak jenis asia; yang baru lewat bercula tunggal, ialah badak jenis Afrika.
        (PELAYAN MUNCUL DENGAN SEGELA ARAK DAN MEMBAANYA KE NYONYA)
TUAN    :    Ini arak sedikit untuk menguatkan nyonya.
NYONYA    :    (MENANGIS) Tidak… aaa
SLAMET    :    (MENDONGKOL, KEPADA ARIFIN) Omong kosong… Dari mana kau tahu tentang cula-cula itu? Begitu cepat binatang itu lewat sehingga kita tak dapat melihatnya dengan jelas.
DEWI    :    (KEPADA NYONYA) Percayalah, arak ini baik untuk nyonya.
TUAN    :    (KEPADA SLAMET) Betul sekali. lewat dengan kencangnya.
TUKANG BAKMI    :    Cicip dulu sedikit, enak…
SLAMET    :    Dari mana  waktumu untuk menghitung culanya.
ISTERI    :    (KEPADA PELAYAN) Pakakan saja untuk minum.
SLAMET    :    Ditambah awan debu yang meliputi binatang itu…
DEWI    :    Minumlah…
TUAN    :    Seteguk saja, nyonya. Beranikanlah
        (PELAYAN MENYORONGKAN GELAS KE MULUT NYONYA YANG MULA-MULA MENOLAK, TETAPI KEMUDIAN MEMINUMNYA SAMPAI HABIS)
PELAYAN    :    Nah, beres!
ISTERI & DEWI    :    Nah, begitu.
ARIFIN    :    Aku tidak perlu meraba-raba jalanku dalam kabut. Aku mampu menghitung cepat. Otakku terang benderang!
TUAN    :    Sekarang merasa lebih baik?
SLAMET    :    Tetapi kepalanya merunduk ke bawah.
TUKANG BAKMI    :    Enak rasanya, betul tidak.?
ARIFIN    :    Justru itu, jadi lebih nampak.
NYONYA    :    Kucingku mungil.
SLAMET    :    Omong kosong melulu!
ISTERI    :    Saya punya kucing lain. Kalu nyonya mau, boleh ambil.
ARIFIN    :    Apa katamu? Kau menuduh aku berbicara omong kosong?
NYONYA     : Tak bisa ada gantinya (IA MENANGIS MEMBUAI KUCINGNYA)
SLAMET    :    Ya, omong kosong! Bohong tanpa tedeng aling-aling!
TUKANG BAKMI    :    Kita harus sabar menerima.
ARIFIN    :    Seumur hidupku tak pernah berbicara kosong!
TUAN    : (KEPADA NYONYA) Cobalah kita melihatnya dari falafah kehidupan.
SLAMET    :    Kau hanya pembual yang pura-pura. Sok segala rupa!
TUKANG BAKMI    :    (KEPADA SLAMET DAN ARIFIN) Saudara-saudara, sudahlah.
SLAMET    :    Sok! Padahal ia tidak tahu betul faktanya, bahwa sebenarnya badak asia yang bercula tunggal di atas sungutnya, dan jenis Afrika yang dua culanya (PERAN-PERAN LAIN MENINGGALKAN NYONYA DAN MENGERUMUNI ARIFIN DAN SLAMET YANG SEDANG BERTENGKAR HABI-HABISAN)
ARIFIN    :    Kau yang salah. Justru sebaliknya!
NYONYA    :    (TERSENDIRI) Ia begitu lucu…
SLAMET    :    Berani bertaruh?
PELAYAN    :    Mereka mau taruhan!
DEWI    :    Jangan meluap, kak Slamet!
ARIFIN    :    Aku tidak sudi bertaruh dengan kau. Paling-paling kau sendiri yang bercula dua di atas kepalamu. Dasar mongol aia lu!
PELAYAN    :    Ramai….
ISTERI    :    (PADA SUAMI) Mereka berkelahi betulan!
PEMILIK    :    Tidak, mereka Cuma bertaruh.
TUKANG BAKMI    :    (KEPADA ARIFIN DAN SLAMET) Mohon jangan bikin rebut di sini!
TUAN    :    Nanti dulu! Badak mana yangbercula tunggal?
        (KEPADA PEMILIK TOKO) Bung sebagai pedagang barangkali tahu.
SLAMET    :    (KEPADA ARIFIN) Di atas kepala namanya tanduk. Dan aku tidak bercula atau bertanduk.
PEMILIK    :    (KEPADA TUAN) Mana aku tahu, aku bukan pedagang badak.
ARIFIN     :    Kau bercula di atas kepala.!
SLAMET    :    Lagi pula kau sendiri orang Asia. Dan bagaimanapun juga orang Mongol adalah manusia seperti setiap manusia yang lain.
PELAYAN    :    Ya , kita semua berbangsa Asia.
TUAN    :    (KEPADA TUKANG BAKMI) Bagus!
TUKANG BAKMI    : (KEPADA PELAYAN) Jangan turut campur urusan orang!
DEWI    :    (KEPADA TUKANG BAKMI) Apa salahnya? Kita adalah sesama manusia (SELAMA ITU, NYONYA TERUS SAJA MERATAP)
NYONYA    :    Ia begitu baik, tak beda dari kita.
ARIFIN    :     (LUPA DIRI) Kulit mereka kuning, tahu!
        (SARMUD BERADA DI ANTARA KELOMPOK YANG BERSELISIH DAN NYONYA, MENGIKUTI PERSELISIHAN DENGAN CERMAT TANPA MENCAMPURI) Selamat siang tuan-tuan (KEPADA SLAMET) Kau jelas tidak termasuk.
NYONYA    :    Ia begitu setia kepada kita… (TERSEDU)
DEWI    :    Dengar dulu sebentar kak Slamet , bung Arifin….
TUAN    :    Beberapa di antara teman-temanku dapat dikata berkulit kuning.
TUKANG BAKMI    :    Aku berkulit kuning.
PELAYAN    :    (KEPADA ISTERI) Aku pernah punya pacar berkulit kuning.
NYONYA    :    Saya mendapatkannya ketika ia masih kecil…
ARIFIN    :    (MASIH MELUAP) Kulit mereka kuning, kataku. Kuning kunyit!
SLAMET    :    Yang nyata kau sendiri merah cabe!
ISTERI    :    Ramai….
TUKANG BAKMI    :    Kok jadi betulan!
NYONYA    :    Ia tidak jorok, kalau makan piringnya bersih.
ARIFIN    :    Kalau kau sudah mempermalukan aku begitu, aku tidak mau melihat mukamu lagi. Aku membuang waktu dengan percuma meladeni orang sinting seperti kau.
NYONYA    :    Kalau dipanggil ia selalu datang.
        (ARIFIN PERGI KE KANAN DENGAN CEPAT DAN MARAH, TAPI MEMBALIK SESAAT SEBELUM MENGHILANG)
TUAN    :    (KEPADA PEMILIK) Orang Asia ada yang berkulit putih, ada yang hitam, kebiru-biruan dan coklat seperti kita.
ARIFIN    :    Dasar pemabuk! (SEMUA ORANG MELIHAT KEPADA SLAMET DENGAN KAWATIR)
SLAMET    :    Kau pikir aku terima itu, ha?
SEMUA    :    (MELIHAT DENGAN KAWATIR KE ARAH ARIFIN MENGHILANG) Aih, aih…!
NYONYA    :    Kadang-kadang ia seperti bisa bicara – Ia bisa bicara.
DEWI    :    Sebetulnya kak Slamet tak usah membuat dia marah.
SLAMET    :    Apa salahku?
TUKANG BAKMI    :    Carikan peti untuk korban bintang itu.
TUAN    :    (KEPADA SLAMET) Menurut pendapatku, kau yang benar. Badak Asia bercula dua dan jenis Afrika bercula satu.
PEMILIK    :    Saudara ini justru mengatakan sebaliknya.
DEWI    :    Kalian dua-duanya bersalah!
TUAN    :    Meski begitu kau masih benar.
PELAYAN    :    Nyonya, mari ikut ke dalam. Kita carikan kotak kosong.
NYONYA    :    (CEMAS TERSEDU-SEDU) Jangan, tidak boleh…!
PEMILIK    :    Kalau aku boleh mengemukakan pendapat, menurut aku tuan Arifin tadi yang benar.
DEWI    :    (MEMBALIK PADA NYONYA) Nyonya, jangan begitu!
        (DEWI DAN PELAYAN MENUNTUN NYONYA MENUJU PINTU)
TUAN    :    (KEPADA DEWI) Barangkali saya perlu ikut?
PEMILIK    :    Badak Asia bercula satu dan badak Afrika bercula dua. Tapi sebaliknyapun benar.
DEWI    :    (KEPADA TUAN) Tidak, biarlah kami saja (DEWI, PELAYAN DAN NYONYA YANG TAK TERHIBURKAN MASUK RUMAH)
ISTERI    :    (KEPADA SUAMINYA) Ah, kau mengang selalu lain dari pada yang lain.
SLAMET    :    (KESAMPING) Dewi benar. Aku tak usah membantah dengan Arifin.
TUKANG BAKMI    :    (KEPADA ISTERI PEMILIK TOKO) Suamimu benar. Badak Asia bercula dua dan yang satu lagi, dari jenis Afrika, bercula dua, dan sebaliknya.
SLAMET    :    (KESAMPING) Ia tidak tahan dibantah. Perbedaan paham yang kecilpun sudah membuat dia marah.
TUAN    :    (KEPADA TUKANG BAKMI) Kau keliru, kawan.
TUKANG BAKMI    :    Maaf, aku rasa, akulah yang benar.
SLAMET    :    Adat pemarah itulah kelemahannya.
ISTERI    :    (KEPADA TUAN, TUKANG BAKMI DAN SUAMINYA) Siapa tahu dua-duanya sama saja.
SLAMET    :    Dalam dasar jiwanya aku tahu ia berhati emas. Ia sering berbuat baik untukku.
TUKANG BAKMI    :    (KEPADA ISTERI) Kalau yang satu bercula dua, maka yang satu lagi Cuma bercula satu.
SLAMET    :    Menyesal aku tadi kurang prihatin. Siapa suruh dia berkepala batu begitu? Tak ada maksudku mendesak dia. (KEPADA YANG LAIN) Ia memang paling senang melontarkan keterangan-keterangan yang dikarangnya. Selalu ingin menggemparkan orang dengan kepintarannya. Ia tak pernah mau mengaku dirinya salah.
TUAN    :    Apa kau punya bukti-buktinya?
SLAMET    :    Bukti dari apa?
TUAN    :    Dari keterangan seperti yang tadi kau berikan, yang telah menyebabkan selisih tidak nyaman itu dengan temanmu.
PEMILIK    :    Ya, buktinya ada?
TUAN    :    Dari mana kau tahu bahwa dari dua jenis badak, satu bercula satu dan yang lainnya bercula dua? Manakah yang satunya, manakah yang lainnya?
ISTERI    :    Sama saja seperti kita. Ia tidak tahu!
SLAMET    :    Terlebih dahulu, kita belum tahu apakah ada dua badak. Aku sendiri percaya bahwa hanya ada satu.
TUKANG BAKMI    :    Sekiranya tadi ada dua, apakah yang culanya tunggal datang dari Asia?
TUAN    :    Tidak. Dari Afrika saja tadi yang bercula dua. Menurut pikiranku begitu.
TUKANG BAKMI    :    Yang mana bercula dua?
PEMILIK    :    Bukan yang jenis Afrika.
ISTERI    :    Susah mencapai persetujuan.
TUAN    :    Tapi persoalan ini mesti kita pecahkan bersama.
SARMUD    :    (MAJU) Maafkan aku menggangu, saudara-saydara. Bukankah itu persoalan yang kita hadapi? Perkenankanlah aku memperkenalkan diri.
TUAN    :    (MEMPERKENALKAN SARMUD PADA SLAMET) Kenalan saya, Sarjana Muda.
SLAMET    :    Senang bertemu dengan tuan.
SARMUD    :    Jabatanku Sarjana Muda, ini kartu saya (IA MENGELUARKAN KARTU)
SLAMET    :    Saya merasa terhormat.
PEMILIK    :    Suatu kehormatan besar untuk kami di sini.
TUKANG BAKMI    :    Pastilah tuan bisa menjelaskan kepada kami. Jika sekiranya badak Afrika bercula tunggal….
TUAN    :    Atau dwi cula…
ISTERI    :    Dan sekiranya badak Asia itu dwi cula….
PEMILIK    :    Atau eka cula…
SARMUD    :    Tepat. Bukan itulah persoalannya. Baik saya terangkan dulu.
PEMILIK    :    Tapi kami ingin menyelesaikan persoalan itu.
SARMUD    :    Bolehkah saya bicara dulu, saudara-saudara….?
TUAN    :    Perkenankan dulu ia berbicara.
ISTERI    :    (KEPADA SLAMET) Terutama akan ditujukan kepadamu. Tapi juga kepada semua hadirin di sini.
PEMILIK    :    Juga kami.
SARMUD    :    Begini, kau telah menyimpang dari pokok persoalan yang menimbulkan pembantahan. Pertama, kau sedang memperbincangkan, betulkah atau tidak badak yang belum lama lewat di sini itu sama dengan yang lewat terdahulu, ataukah badak yang berlainan. Itulah perkara yang akan diselesaikan.
SLAMET    :    Ya, tetapi secara bagaimana?
SARMUD    :    Mudah saja. Boleh jadi pada dua kesempatan tadi kau melihat badak tunggal bercula tunggal…
PEMILIK    :    (MENGULANGI KALIMAT SEOLAH LEBIH MEMAHAMI) Pada dua kesempatan badak tunggal….
TUKLANG BAKMI    :    (SAMA) Bercula tunggal…
SARMUD    :    Atau boleh jadi kau saksikan pada dua kesempatan badak tunggal bercula dua.
TUAN    :    (MENGULANG) Badak tunggal bercula dua pada dua kesempatan…
SARMUD    :    Tepat. Atau bisa juga begini, kau saksikan satu badak bercula satu, lalu badak lain yang bercula satu….
ISTERI    :    (GELI) Hi hi hi…..
SARMUD    :    Atau bisa juga, semula badak bercula dua, disusul oleh badak kedua bercula dua.
TUKANG BAKMI    :    Betul juga.
SARMUD    :    Nah jadi, sekiranya…
PEMILIK    :    Jadi sekiranya…
TUAN    :    Ya, jadi sekiranya…
SARMUD    :    Jika pada kesempatan yang pertama kau saksikan badak bercula dua…
TUKANG BAKMI    :    Bercula dua….
SARMUD    :    Pada kesempatan ke dua, badak bercula satu….
PEMILIK    :    Bercula satu….
SARMUD    :    Itupun belum menentukan.
TUAN    :    Belum dapat menentukan.
TUKANG BAKMI    :    Mengapa tidak?
ISTERI    :    Ah, aku sama sekali tidak mengerti.
PEMILIK    :    (PADA ISTERINYA) Masuk, masuk! (ISTERI MENARIK BAHUNYA LALU MENGHILANG DARI JENDELA)
SARMUD    :    Sebab besar kemungkinan sejak permunculannya yang pertama sang badak telah patah salah atu culanya, sehingga perlawatan yang pertama dan yang kedua itu dilakukan oleh satu binatang yang sama.
SLAMET    :    Bisa jadi, tapi….
TUAN    :    Jangan memotong!
SARMUD    :    Bisa juga dua ekor badak kedua-duanya bercula dua, masing-masing patah satu cula kemudian.
TUAN    :    Masuk akal.
TUKANG BAKMI    :    Ya, masuk akal.
PEMILIK    :    Ya, siapa tahu.
SLAMET    :    Memang, pokoknya….
TUAN    :    Jangan memotong!
SARMUD    :    Andaikata kau dapat membuktikan bahwa pada kesempatan pertama kau melihat badak bercula satu, terserah Asia atau Afrika….
TUAN    :    Asia atau Afrika, terserah….
SARMUD    :    Lalu pada kesempatan kedua, badak bercula dua….
PEMILIK    :    Satu dengan dua…
SARMUD    :    Terserah Afrika atau Asia…
TUAN    :    Asia atau Afrika, terserah….
SARMUD    :    Barulah kita bisa menentukan bahwa kita berhadapan dengan dua ekor badak berlainan, karena sangat tidak mungkin bahwa akan tumbuh cula kedua dalam jangka waktu beberapa menit, lalu sudah cukup besar sampai bisa terlihat di atas hidung badak.
TUAN    :    Sangat tidak mungkin.
SARMUD    :    (KAGUM ATAS KEPUASANNYA SENDIRI) Jadi menurut dugaan kita ialah seekor badak Asia atau Afrika…
TUAN    :    Jenis Asia atau Afrika…
SARMUD    :    Dan seekor badak Afrika atau Asia….
TUKANG BAKMI    :    Afrika atau Asia….
PEMILIK    :    Eeehh…. Yaaahhh
SARMUD    :    Soalnya logika yang baik tidak bisa membenarkan kemungkinan bahwa seekor hewan yang itu juga dilahirkan di dua tempat pada waktu yang sama
TUAN    :    Berturut-turut tidak bisa.
SARMUD    :    (KEPADA TUAN) Yang hendak kita buktikan…
SLAMET    :    Semua cukup jelas, tapi pertanyaannya belum terjawab.
SARMUD    :    (DENGAN SENYUM MEMAKLUMI) Terang, saudara, tapi sekarang masalahnya dikemukakan sebagaimana mestinya.
TUAN    :    Sangat logis, logis sekali.
SARMUD    :    (MANGGUT) Selamat siang saudara-saudara (IA PERGI KE KIRI DISUSUL TUAN)
TUAN    :    Selamat siang saudara-saudara. (IA MENGANGKAT TOPINYA, LALU MENYUSUL KE LUAR)
PEMILIK    :    Logis biar logis… (NYONYA MUNCUL KEMBALI DENGAN SIKAP BERKABUNG DAN MEMBAWA KOTAK BEKA. IA DIIKUTI DEWI DAN PELAYAN SEPERTI MENUJU PEMAKAMAN. ARAKAN KHIDMAT INI MENUJU KE KANAN)
PEMILIK    :    Logis biar logis, tapi apakah kita mesti tinggal diam apabila kucing-kucing kita digilas di hadapan mata kita oleh badak-badak (IA MENUNJUK DENGAN GERAK TANGAN TEATERAL KE ARAH ARAKAN HIKMAT YANG MENGHILANG KE KANAN)
TUKANG BAKMI    :    Setuju! Kita tidak boleh membiarkan kucing-kucing kita digilas badak atau apapun!
PEMILIK    :    Kita tidak sudi membiarkannya!
ISTERI    :    (KEPALANYA MUNCUL DI PINTU) Ayo masuk! Nanti langganan-langganan pada datang.
PEMILIK    :    (MENUJU TOKONYA) Tidak, kita pasti tidak membiarkan saja!
SLAMET    :    Mengapa aku mesti bertengkar dengan Arifin? (KEPADA TUKANG BAKMI)Aku minta arak seperti untuk nyonya itu tadi. Tidak, wiski saja!
TUKANG BAKMI & PEMILIK TOKO    : Ada! (MEREKA MASUK, MASING-MASING MENGAMBIL PESANAN ITU)  
SLAMET    :    (TERSENDIRI) Mengapa aku mesti bertengkar dengan Arifin. Mengapa aku mesti naik darah (TUKANG BAKMI MEMBAWA SEGELAS ARAK, SEDANG PEMILIK TOKO MEMBAWA SEBOTOL WISKI YANG BELUM DIBUKA) Aku terlalu gugup untuk mengunjungi pameran. Aku memupuk rahaniku lain kali saja.
        (DALAM SATU TEGUKAN DIMINUMNYA ARAK DAN DIGENGGAMNYA BOTOL WISKI)
- - - - - -


B A B A K  I I
ADEGAN 1
KANTOR SEBUAH PERCETAKAN SWASTA. DI TENGAH-TENGAH PENTAS BELAKANG PINTU BERGANDA, DAN AGAK TINGGI DENGAN PAPAN PLASTIK DAPAT KITA BACA “DIREKTUR” DI BAGIAN KIRI BELAKANG TAK JAUH DARI PINTU TADI SEBUAH MEJA KECIL DENGAN MESIN TIK TEMPAT DEWI BEKERJA. DI ATAS MEJA ITU TERDAPAT ABSENSI PEGAWAI. DI KIRI DEPAN ADA PINTU KELUAR MELAUI SEBUAH TANGGA YANG BAGIAN ATASNYA KALAU BISA MASIH TERLIHAT SEDIKIT. KANTOR INI TERLETAK DI TINGKAT ATAS. DI BAGIAN DEPAN SEBUAH MEJA DENGAN DUA KURSI TEMPAT SURAHMAN DAN SLAMET BEKERJA. SLAMET DI KIRI, KANAN SURAHMAN.  DI SEBELAH KANAN ADA MEJA BIRO DENGAN KURSI TEMPAT TIGOR. DI KANAN BELAKANG DEKAT JENDELA ADA BIRO YANG LEBIH BAGUS DENGAN KURSI LAPIS BANTAL TEMPAT DARMAWAN SH. PADA BAGIAN KIRI ADA PAPAN UNTUK BUKU BESAR DAN KECIL, BERDEBU. SEBAGIAN HASIL PERCETAKAN SENDIRI SEBAGIAN BUKU PERPUSTAKAAN, BUKU ITU DIBAGI MENURUT GOLONGAN, YANG NAMANYA TERTULIS DI BAWAHNYA, “POLITIK, DAN SILAT/KOMIK/KOBOI”. DI ATAS PINTU DIREKTUR JAM MENUNJUKKAN JAM 9.30 PAGI.
KETIKA LAYAR DIBUKA PARA PEMAIN DIAM MEMBEKU BEBERAPA SAAT SEBELUM KALIMAT PERTAMA DIUCAPKAN SEPERTI “TABLO”
USIA DIREKTUR ANTARA 40-50 TAHUN, PAKAIANNYA RAPIHM RESMI. TYPE VETERAN YANG BERUNTUNG NASIBNYA. NAMANYA MAS ENTUNG.
DARMAWAN SH BARU SAJA MENCAPAI USIA 30 TAHUN. IAPUN BERPAKAIAN RESMI, BERDASI, TYPE PEMUDA BERGELAR YANG TERJAMIN HARI DEPANNYA.
SURAHMAN, SEORANG BEKAS AKTIVIS PARTAI POLITIK, USIANYA KIRA-KIRA 40 TAHUN, SEPERTI KELAPARAN TAPI SEHAT, BERKACA MATA. DI TELINGANYA DISELIPKAN PENSIL.
DEWI, SEORANG SEKRETARIS MUDA
MUNCUL KEMUDIAN NY. TIGOR, 40 TAHUN LEBIH, SELALU TERENGAH-ENGAH DAN MERINTIH
KETIKA LAYAR DIBUKA, PARA PEMAIN BERDIRI SEPERTI PATUNG SEKITAR MEJA TIGOR. DIREKTUR MENUNJUK DENGAN JARINYA PADA SEBUAH ARTIKEL DALAM SURAT KABAR. DARMAWAN MENGACUNGKAN TANGANNYA KE ARAH SURAHMAN SEOLAH MENGATAKAN: “Sudah kukatakan!”. SURAHMAN DNGAN TANGANNYA DALAM SAKU CELANA SENYUM MENYINDIR SEPERTI TIDAK PERCAYA, SEAKAN MENGATAKAN: “ Kau tidak bisa menipu aku!” DEWI YANG MEMEGANG BEBERAPA LEMBAR KERTAS KETIKAN, DARI AIR MUKANNYA MENDUKUNG DARMAWAN. SETELAH BEBERAPA DETIK SERANGAN DIMULAI OLEH SURAHMAN.
SURAHMAN    :    Semua agitasi belaka.
DEWI    :    Tapi aku sendiri menyakikan badak itu!
DARMAWAN    :    Terpapar di surat kabar, hitam atas putih, yang tak mungkin kau sangkal lagi!
SURAHMAN    :    (NADA MENGEJEK) Huh!
DARMAWAN    :    Cukup jelas untuk dimengerti
SURAHMAN    :    Ini hasil tipuan wartawan-wartawan gadungan. Kami tidak membutuhkan mereka untuk menyuapi apa yang harus kami percaya. Yang dipercaya mesti dilihat dengan mata kepala sendiri. Aku sendiri cukup berpengalaman dalam bidang ini. Harus tahu metodiknya yang jitu dan ilmiah.
DARMAWAN    :    Berita ini tidak ada sangkut pautnya dengan metodik.
DEWI    :    (KEPADA SURAHMAN) Berita itu cukup jelas, pak Surajman.
SURAHMAN    :    Kau anggap itu jelas? Sekarang aku Tanya kau, apakah yang dimaksud dengan “Hewan jenis kulit tebal”? Apakah  hubungannya antara berita kecelakaan lalu lintas dengan hewan jenis kulit tebal? Tidak ada penjelasan. Dan apakah yang dimaksud oleh sang wartawan dengan “kucing”?
DARMAWAN    :    Kalau kau tidak tahu kucing, kau memang bodoh.
SURAHMAN    :    Kucing jantan atau betina? Apa keturunannya? Dan apa warnanya? Aku sangat anti rasialisme.
ENTUNG    :    Apa hubungannya dengan rasialisme, saudara Surahman? Kau menyimpang dari persoalan.
SURAHMAN    :    Maafkan saya, pak Entung. Tuanpun tidak bisa mengabaikan masalah rasialisme yang merupakan salah satu rintangan terbesar di jaman modern ini.
DARMAWAN    :    Kita tahu, kita semua mengerti. Tapi tidak ada hubungan apa-apa dengan…
SURAHMAN    :    saudara darmawan, saudara keliru kalau menganggapnya enteng. Jalan sejarah telah membuktikan bahwa rasialisme….
DARMAWAN    :    Tak ada sangkut pautnya dengan berita ini.
SURAHMAN    :    Saudara mengelak terus.
ENTUNG    :    Kita tidak sedang memperbincangkan diskriminasi rasial.
SURAHMAN    :    Setiap kesempatan untuk mengutuknya harus digunakan.
DEWI    :    Tap kami sudah menyatakan bahwa tak seorangpun di sini membenarkan rasialisme. Bapak menyesatkan pokok pembicaraan. Singkatnya, seekor kucing tergilas oleh hewan berkulit tebal, dalam hal ini badak.
SURAHMAN    :    Siapa tahu Cuma seekor cecunguk tergilas mati oleh tikus.
ENTUNG    :    (KEPADA DARMAWAN) Coba kita mulai dengan jelas dari permulaannya. Apa kau saksikan dengan mata kepala sendiri badak berjalan hilir mudik di jalan-jalan kota kita?
DEWI    :     Lari, buklan jalan biasa.
DARMAWAN    :    Tidak, aku tidak melihat sendiri. Tapi aku menerima laporan dari orang-orang yang dapat dipercaya.
SURAHMAN    :    (MEMOTONG) Jelas mereka hanya mereka-rekanya. Kau mendukung wartawan-wartawan gadungan itu. Orang macam mereka tidak perduli isapan jempol bagaimana yang masuk Koran, asal memenuhi kehendak majikan mereka. Kau dengan SH mu jangan pikir bisa mengelabuhi aku. Seperti kau sendiri sudah kena bujuk. Maaf, aku ketawa ha  ha  .
DEWI    :    Tapi aku lihat sendiri badak itu, sumpah.
SURAHMAN    :    Jangan ikut-ikutan, aku anggap kau gadis yang waras.!
DEWI    :    Pak Surahman, mataku bisa melihat tajam! Aku tidak menyaksikannya seorang diri. Banyak orang lain, bersama-sama!
SURAMAN    :Huh agaknya mereka menyaksikan entah apa. Luntang lantung tak tahu tujuan, penganggur-penganggur yang segan bekerja.
DARMAWAN    :    Terjadi kemarin, hari minggu bung.
SURAHMAN    :    Aku kerja terus pada hari Minggu. Aku tak punya waktu untuk khotbah-khotbah setiap jumat atau minggu yang hanya mengurangi daya kerjamu, dan mengecilkan piring nasi yang kita peroleh dengan keringat
ENTUNG    :    (TERSINGGUNG) Oh!
SURAHMAN    :    Maaf, bukan maksudku menghina bapak direktur kita. Meskipun aku tidak menyukai agama, kita bisa saling menghormati. (KEPADA DEWI) Kembali pada pembicaraan kita, dapatkah kau gambarkan seperti apa badak itu.?
DEWI    :    Binatang itu… ya, sangat besar dan jelek.
SURAHMAN    :    Dan kau amat terpuji dengan ketelitianmu, nona manis. Seekor badak adalah…
ENTUNG    :    Tak usah berceramah tentang badak di kantor ini, kita bukan sekolah.
SURAHMAN    :    Sayang sekali.
        (PADA UCAPAN YANG TEAKHIR, SLAMET SAMPAI DI MUKA PINTU. DI BAGIAN LUAR PINTU DAPAT KITA BACA “PENCETAK DAN PENERBIT, P.T.BAMBU”
ENTUNG    :    Sudah jam sembilan lewat… Dewi, tutuplah dulu absensi. Yang terlambat mesti mempertanggung jawabkan.
        (DEWI MENGAMBIL BUKU ABSENSI YANG TERBUKA DI ATAS MEJANYA, SAAT YANG SAMA SLAMET MUNCUL RUANGAN)
SLAMET    :    (MASUK, SEMENTARA YANG LAIN TERUS BERDEBAT)
        Selamat pagi, Dewi, Terlambatkah aku.
SURAHMAN    :    (KEPADA DARMAWAN DAN ENTUNG) Aku kecam setiap kelalaian yang kulihat.
DEWI    :    Lekas, kalk Slamet.
SURAHMAN    :    Dikota maupun di desa….!
DEWI    :    Buru-buru! Paraf dulu abensinya!
SLAMET    :    Terma kasih, bapak sudah datang?
DEWI    :    Ssssttt ! Ya , itu dia.
SLAMET    :    Sudah datang? (CEPAT MEMBUBUHKAN PARAF KE BUKU ABSENSI)
SURAHMAN    :    Kalau perlu juga dalam perusahaan pencetak dan penerbit, aku tak segan-segan mengecam.
ENTUNG    :    Pak Surahman, sekarang kau…
SLAMET    :    Belum lewat sepuluh menit.
ENTUNG    :    Sudah melewati batas-batasmu.
DARMAWAN    :    Setuju , pak direktur.
ENTUNG    : (KEPADA SURAHMAN) Apa kau menuduh mas Darmawan, rekanku dan juga rekanmu, lulusan fakultas hokum, yang tercatat sebagai pegawai golongan tertinggi, bahwa ia seorang yang lalai?
SURAHMAN    :    Itu boleh diuji sendiri. Dan apendidikan yang diperoleh pada universitas belumtentu membuat seorang lebih ulung dari lulusan SMA.
ENTUNG    :    (KEPADA DEWI) Mana daftar absensi?
DEWI    :    Ini pak (MENYERAHKAN)
SURAHMAN    :    (KEPADA DARMAWAN) Universitas hanya menumpuk kutu-kutu buku, tak ada usaha untuk mengamalkan ilmunya kepada rakyat kecil.
DARMAWAN    :    Kau mau tahu apa?
SLAMET    :    Selamat pagi, pak Entung (IAMENDEKATI MEJA TIGOR UNTUK MENGAMBIL PEKERJAAN YANG HARUS DISELESAIKAN MELEWATI PUNGGUNG KETIGA ORANG TADI YANG MASIH MENGELOMPOK, LALU KEMBALI KE TEMPAT KERJANYA SENDIRI. MEMBUKA LACI MENGAMBIL ALAT ALAT TULIS. IA MENGGULUNG LENGAN BAJUNYASAMPAI KE SIKU)
        Selamat pagi, pak Entung, maafkan saya terlambat sedikit. Selamat pagu mas Darmawan, Pak Surahman!
ENTUNG    :    Nah barangkali saja saudara Slamet melihat badak yang menghebohkan itu?
SURAHMAN    :    Universitas hanya menghasilkan kaum intelek mandul yang tidak pernah menyelami kenyataan hidup.
DARMAWAN    :    Fitnak!
SLAMET    :    (MELANJUTKAN PEKERJAANNYA, DENGAN NADA BIASA MENJAWAB) O ya, saya lihat.
SURAHMAN    :    (MENOLEH Huh!
DEWI    :    Sudah kukatakan bahwa aku belum berotak miring.
SURAHMAN    :    (MENYINDIR) Ah Slamet berkata begitu hanya demi kesopanan. Dalam hatinya ia orang sopan santun walaupun dari luar kelihatan tidak.
DARMAWAN    :    Mengapa seorang yang melihat badak mesti sopan?
SURAHMAN    :    Keuntungan besar – Apalagi untuk mengangkat sebuah pernyataan yang dikarang oleh neng Dewi, terang…!
ENTUNG    :    Jangan memutar balikkan fakta, pak Surahman. Saudara Slamet tidak tahu apa-apa tentang percakapan kita. Ia baru saja datang.
SLAMET    :    (KEPADA DEWI) Kau menyaksikan bukan? Kami berdua telah menyaksikannya.
SURAHMAN    :     Huh! Mungkin saudara Slamaet hanya membayangkan dirinya melihat badak ( IA MEMBERI ISYARAT DI BALIK PUNGGUNG SLAMET UNTUK MENGINGATKAN BAHWA SLAMET SUKA MINUM) Daya kayalnya terkenal. Segala apapun bisa terjadi dalam kayalnya.
SLAMET    :    Aku tidak seorang diri ketika menyaksikan badak itu! Beum lagi dapat dipastikan kemungkinan bahwa ada dua ekor badak.
SURAHMAN    :    Ia sampai tidak tahu berapa jumlahnya!
SLAMET    :    Aku bersama temanku Arifin. Dan banyak lagi yang hadir pada waktu itu.
SURAHMAN    :    Aku yakin sekali bahwa kau tidak tahu apa yang sedang dipersoalkan.
DEWI    :    Badak eka cula!
SURAHMAN    :    Huh, Mereka berdua satu komplotan untuk mempermainkan kita.
DARMAWAN    :    (KEPADA DEWI) Aku mendengar kabar bahwa culanya bahkan dua!
SURAHMAN    :    Bagus! Cepat-cepatlah sesuaikan antara kalian sebelum kecuranganmu digulung.
ENTUNG    :    Cukup sampai disini, tuan-tuan… Pekerjaan menunggu.
SURAHMAN    :    Saudara Slamet melihat satu ekor badak atau dua ekor badak?
SLAMET    :    Itu tidak bisa langsung kujawab!
SURAHMAN    :    Tak tahu? Neng Dewi telah menyaksikan seekor badak eka cula. Badakmu bagaimana, saudara Slamet? Kalau memang ada, culanya satu atau dua?
SLAMET    :    Justru itulah masalah yang sedang kita hadapi.
SURAHMAN    :    Dan yang amat mencurigakan.
DEWI    :    Ya, Tuhan….
SURAHMAN    :    Barangkali terlalu kasar? Pokoknya aku tidak percaya sepatah katapun tentang itu. Agar kalian tahu bahwa badak hanya ada di Ujung Kulon.
DEWI    :    Mungkin jumlah mereka telah berkembang biak secara berlipat-lipat.
SURAHMAN    :    Mustahil! Periksa baik-baik buku ilmu hewanmu. Sukur kalau ada gambarnya pula. Badak-badak berbunga dari kabar bohong!
SLAMET    :    Menggunakan istilah berbunga untuk badak, terlalu dicari-cari!
DARMAWAN    :    Memang dicari-cari.
SURAHMAN    :    Badakmu suatu dongeng.
DEWI    :    Dongeng?
ENTUNG    :    Tuan-tuan, aku rasa waktunya udah lebih dari tepat untuk mulai bekerja.
SURAHMAN    :    (KEPADA DEWI) Dongeng – seperti piring terbang.
DARMAWAN    :    Meskipun begitu, seekor kucing tergilas mati. Itu tak bisa kau sangkal.
SLAMET    :    Aku saksinya.
DARMAWAN    :    (KEPADA SURAHMAN) Di hadapan saksi-saksi.
SURAHMAN    :    Saksi macam apa?
ENTUNG    :    Tuan-tuan…
SURAHMAN    :    (KEPADA DARMAWAN) Contoh yang nyata bahwa masyarakat sedang dinina bobokkan oleh golongan tertentu untuk menutup kepincangan. Sama dengan agama – candu masyarakat!
DEWI    :    Aku percaya bahwa piring terbang betul-betul ada.
SURAHMAN    : Huh!
ENTUNG    :    (TEGAS) Cukup! Sudah telalu banyak kabar angin! Badak atau bukan, piring terbang atau bukan, pekerjaan jalan terus! Kalian dibayar bukan untuk membuang waktu membicarakan binatang-binatang, kayal atau betulan!
SURAHMAN    :     Kayal !
DARMAWAN    :    Betulan !
DEWI    :    Bisa disentuh dengan tangan!
ENTUNG    :    Untuk terakhir kali aku peringatkan, kita sedang dalam kerja. Dengan resmi aku hentikan perbantahan percuma ini.
SURAHMAN    :    Baiklah, pak Entung. Tuanlah kepala di sini. Kehendak tuan menjadi kewajiban kami.
ENTUNG    :    Dipersilahkan kerja, tuan-tuan. Aku tidak senang kalau gaji kalian harus dipotong. Slamet dan surahman, sudah diperiksa cetakan percobaan dari risalah Undang-Undang Pelarangan Import minuman keras itu?
SLAMET    :    Belum selesai, pak. Kami sedang mengerjakannya.
ENTUNG    :    Segera selesaikan, bagian percetakan sudah menunggu. Dan Dewi, bawalah urat-surat yang harus ditanda tangani itu ke kamarku. Cepat ditik dan selesaikan.
DEWI    :    Baik , pak.
        (DEWI DUDUK DI MEJANYA DAN MULAI MENGETIK. SLAMET DAN SURAHMAN DUDUK DI TEMPAT MASING-MASING. SURAHMAN AGAKNYA SANGAT MENDONGKOL. SLAMET TAK ACUH DAN LESU. DIBEBERKANNYA CETAKAN PERCOBAAN DI MEJA LALU NASKAH ALINYA DISERAHKAN KEPADA SURAHMAN. SURAHMAN DUDUK MENGGERUTU SETELAH ENTUNG MASUK KAMARNYA, MEMBANTING PINTU KERAS-KERAS)
ENTUNG    :    Aku akan panggil kalian sebentar lagi (PERGI)
SLAMET    :    (MEMBACA DAN MEMPERBAIKI, SURAHMAN MENGIKUTI DALAM NASKAH ASLINYA DENGAN PENSIL) Peraturan-peraturan yang berlaku untuk pelarangan import minuman keras…(MENGOREKSI) Pelarangan , satu “g” minuman keras tanpa huruf besar… penggolongan yang terkena adalah sebagai berikut…
SURAHMAN    :    Nanti dulu! Kau terlewat satu pasal.
SLAMET    :    Kuulangi dari permulaan. Undang-undang Pelarangan Import Minuman keras.
DARMAWAN    :    Jangan terlalu kera! Aku tidak bisa konsentrasi kalau kalian berlomba pekik.
SURAHMAN    :    (MENYAMBUNG PERBANTAHAN TADI, SEMENTARA SLAMET TERUS BEKERJA MENGEJA TANPA BERSUARA) Aku tahu ini penjegalan.
DARMAWAN    :    Apa penjegalan?
SURAHMAN    :    Urusan budakmu itu tentu, kau telah melancarkan propagandamu untuk mengacaukan suaana.
DARMAWAN    :    Apa propaganda?
DEWI    :    (BERHENTI MENGETIK) APA HARUS KUULANGI LAGI BAHWA AKU SENDIRI TELAH MENYAKSIKAN? Aku lihat dengan mata kepala sendiri, dan banyak orang lain jugamelihatnya.
DARMAWAN    :    Menggelikan ! Propaganda! Propaganda untuk apa?
SURAHMAN    :    Bukankah kau lebih tahu tentang itu? Kau jangan pura-pura alin!
DARMAWAN    :    (MULAI MARAH) Pokoknya, saudara Surahman, aku tidak di tunggangi oleh golongan apapun!
SURAHMAN    :    Penghinaan, aku tidak terima (BERDIRI)
SLAMET    :    (MEMOHON) Sudahlah pak Surahman…
DEWI    : Sudahlah kak Darmawan…
SURAHMAN    :    Tapi ia menghina aku (TIBA-TIBA PINTU ENTUNG TERBUKA, SURAHMAN DAN DARMAWAN CEPAT-CEPAT DUDUK KEMBALI. SANG DIREKTUR MEMEGANG DAFTAR ABSENSI DI TANGANNYA. SUNYI SENYAP SETELAH IA MUNCUL)
ENTUNG    :    Apa saudara Tigor tidak masuk?
SLAMET    :    (MELIHAT SEKITAR) Tidak kelihatan, pak. Agaknya ia absent.
ENTUNG    :    Aku perlu dia saat ini (KEPADA DEWI) Apa ia mengabarkan bahwa ia sakit atau berhalangan?
DEWI    :    Ia tidak memesan apa-apa kepada saya.
ENTUNG    :    (MEMBUKA PINTUNYA LEBAR-LEBAR, MASUK KE DALAM RUANGAN) Kalau terlalu sering begini, terpaksa dia kupecat. Bukan pertama kali ia mencari alasan, dan sampai sekarang aku diamkan saja. Tapi tidak bisa terus. Siapa yang tahu di mana ia menyimpan kunci lacinya?
        (PADA SAAT ITU MUNCUL NYONYA TIGOR. SEBELUMNYA IA SUDAH KELIHATAN DI TANGGA. IA MASUK TERGESA-GESA, TEGANG DAN TERENGAH-ENGAH)
SLAMET    :    Ooooo ini Ny. Tigor
DEWI    :    Selamat pagi.
NY. TIGOR    :     Selamat pagi, tuan Entung. Selamat pagi semua.
ENTUNG    :    Ha, mana suami nyonya? Ada apa dengan dia? Sulitkah baginya untuk datang seperti biasa?
NY. TIGOR    :    (TERENGAH-ENGAH) Maafkan dia, suamiku, maksud saya… Ia pergi mengunjungi keluarganya di luar kota sejak sabtu siang. Lalu ia kena influenza.
ENTUNG    :    Jadi ia kena influenza?
NY. TIGOR    :    (MENYERAHKAN SECARIK KERTAS KEPADA ENTUNG) Begitu menurut telegram yang dikirimnya. Ia berharap akan bisa kembali hari rabo nanti (HAMPIR TERKULAI) Bolehkah saya minta egelas air… mau duduk sebentar…
        (SLAMET MENYORONGKAN KURSI KE TENGAH DAN NY. TIGOR MENJATUHKAN DIRI DI ATASNYA)
ENTUNG    :    (KEPADA DEWI) Tolong ambilkan air the segelas.
DEWI    :    Segera. (IA PERGI MENGAMBIL AIR DAN MENYERAHKANNYA SEMENTARA PERCAKAPAN TERUS BERLANGSUNG)
DARMAWAN    :    (KEPADA ENTUNG) Mungkin ia berpenyakit jantung.
ENTUNG    :    Bahwa Tigor tidak datang memang menyulitkan kami, namun nyonya sendiri tak perlu gelisah.
NY. TIGOR    :    (BERBICARA DENGAN AGAK SULIT) Bukan karena… karena… saya… dikejar sepanjangjalan darirumah sampai ke sini oleh seekor badak.
SLAMET    :    Berapa culanya?
SURAHMAN    :    (TERTAWA DISENGAJA) Jangan bikin aku tertawa.
DARMAWAN    :    (MARAH) Biarkan dulu dia bicara!
NY. TIGOR    :    (BERUSAHA BERCERITA DENGAN SEBAIK-BAIKNYA, MENUNJUK TANGGA DI LUAR) Binatang itu masih ada di bawah, dekat pintu masuk. Seperti ingin ikut naik tangga. (SAAT ITU TERDENGAR GEMURUH. BAGIAN ATAS TANGGA NAMPAK RUNTUH SEPERTI DITIMPA BENDA BERAT. DARI BAAH TERDENGAR TEROMPET BADAK SEPERTI PENASARAN, SETELAH DEBU AGAK MEREDA KARENA TANGGA YANG HANCUR, YANG TERLIHAT HANYA SEPOTONG KAYU PEGANGAN, TANGGA TERKATUNG DI UDARA)
DEWI    :    Masya Allah…
NY. TIGOR    :    (DUDK, MEMEGANG DADANYA) ooo, aaa (SLAMET DISAMPING NY. TIGOR MENEPUK-NEPUK PIPINYA DAN MEMBERINYAMINUM)
SLAMET    :    Tenang saja…! (SEMENTARA ITU ENTUNG, DARMAWAN DAN SURAHMAN LARI KE KIRI, SALINGDORONG UNTUK MEMBUKA PINTU. MEREKA DI DEPAN TANGGA YANG HILANG TERTUTUP DEBU DARI KEPALA SAMPAI KAKI. BUNYI TEROMPET TERDENGAR TERUS)
DEWI    :    (KEPADA NY. TIGOR) Merasa lebih baik, nyonya?
ENTUNG    :    (DI DEPAN PINTU YANG TERBUKA) Itu! Di bawah ! da seekor!
SURAHMAN    :    Aku tidak bisa melihat apa-apa. Suatu kiasan belaka.
DARMAWAN    :    Kenyataan, di bawah sana. Seekor, sedang berputar-putar!
ENTUNG    :    Ia tidak bisa naik ke atas. Tangga sudah tak ada lagi!
SURAHMAN    :    aneh… Apa ada makud tertentu?
DARMAWAN    :    (MENOLEH PADA SLAMET) Mari lihat sini. Lihatlah dulu badakmu.
SLAMET    :    Sebentar (SLAMET LARI KE DEPAN PINTU DISUSUL OLEH DEWI. NY. TIGOR DITINGGAL SENDIRI)
ENTUNG    :    (KEPADA SLAMET) Kau ahli badak. Perhatikan baik-baik.
SLAMET    :    Aku bukan ahli badak.
DEWI    :    Lihat, ia berputar-putar terus. Nampaknya seprti yang kesakitan. Apa maunya?
DARMAWAN    :    Seperti mencari seseorang (KEPADA SURAHMAN) Kau bisa lihat sekarang?
SURAHMAN    :    (TERPUKAU) Ya, ya, aku lihat.
DEWI    :    (KEPADA ENTUNG) Tahu-tahu mata kita menipu kita. Bapakpun Cuma berkhayal…
SURAHMAN    :    Mata tak pernah menipu. Dapat di pastikan bahwa memang ada sesuatu di bawah sana.
DARMAWAN    :    Masa sesuatu.
SURAHMAN    :    (KEPADA LAMET) Jelas itu seekor badak. Itu yang telah lebih dahulu kau saksikan, bukan? (KEPADA DEWI) Dan kau juga?
DEWI    :     Pasti.
SLAMET    :    Yang ini bercula dua, jenis Afrika… atau Asia agaknya. Ah, aku sungguh kurang tahu apakah badak Afrika bercula satu atau dua.
ENTUNG    :    Ia telah meruntuhkan tangga, Syukurlah – Pikir saja, sudah berkali-kali aku mengusulkan kepada Dewan Pengurus supaya tangga kayu yang terlalu tua itu diganti dengan yang baru dari semen.
DARMAWAN    :    Laporannya malah baru satu minggu yang lalu saya kirimkan, pak Entung.
ENTUNG    :    Aku sudah duga akan terjadi sesuatu. Telah kuramalkan, dan akhirnya aku benar.
DEWI    :    (IRONIS) Seperti biasa.
SLAMET    :    (KEPADA DARMAWAN DAN ENTUNG) Saya ingin Tanya, apakah dua cula khas untu badak Asia atau Afrika? Dan satu cula khas Afrika atau Asia?
DEWI    :    Kasihan ia terus berbunyi dan berputar-putar. Mau apa dia?
        Idih, ia melihat pada kita (KE BAWAH) Pusi,  pusi,  pusi….
DARMAWAN    :    Sebaiknya jangan kau usap, sebab ia belum tentu jinak.
ENTUNG    :    Ia terlalu jauh untuk dipegang. (TERDENGAR TEROMPET SERU)
DEWI    : Kasihan!
SLAMET    :    (MENDESAK KEPADA SUHERMAN) Kau tahu banyak tentang keadaan, bukankah jenis yang bercula dua…
ENTUNG    :    Kau mengoceh tentang apa Slamet? Kau rupanya masih dipengaruhi minuman keras. Benar Surahman tadi.
SURAHMAN    :    Betapa mungkin dalam Negara yang beradab…?
DEWI    :    Bertele-tele! Pastikan saja, kenyataan atau khayal?
SUHERMAN    :    Itu permainan yang kotor! (DENGAN GAYA ALA POLITIKUS BERPIDATO MEMANDANG DENGAN SENGIT DAN MENUNJUK PADA DARMAWAN) Salahmu semua ini!
DARMAWAN    :    Mengapa salahku? Mengapa tidak salhmu?
SURAHMAN    :    (MARAH) Salahku? Selalu aku yang dipersalahkan, kalau saja aku diberi kesempatan…
ENTUNG    :    Kita terdampar tanpa tangga!
DEWI    :    (KEPADA SURAHMAN DAN DARMAWAN) Jangan terburu nafsu, saat ini bukan waktu untuk bertengkar.
ENTUNG    :    Semua salah Dewan Pengurus.
DEWI    :    Salah tinggal salah. Bagaimana kita akan turun?
ENTUNG    :    (GENIT) Aku dekap kau dalam pelukanku, lalu kita terjun melayang bersama-sama.
DEWI    : Lancang, tangan badak pegang pipi orang. Dasar tua-tua keladi!
ENTUNG    :    Aku cuma bergurau!
        (SMENTARA ITU SUARA BADAK TERUS TERDENGAR. NY. TIGOR BANGUN DAN BERGABUNG DENGAN YANG LAIN. BEBERAPA SAAT LAMANYA IA TERTEGUN MEMANDANGI BADAK YANG BERPUTAR-PUTAR DI BAWAH, LALU TIBA-TIBA BERTERIAK NGERI)
NY. TIGOR    :    Ya, Tuhan… tak boleh jadi!
SLAMET    :    Ada apa?
NY. TIGOR    :    Itu suami saya! Oooo Tigor. Tigorku sayang… Apa yang terjadi pada dirimu?
DEWI    : Nyonya yakin betul?
NY. TIGOR    :    Aku mengenalinya, aku mengenalinya!
        (BADAK MENJAWAB DENGAN TEROMPETNYA YANG DAHSYAT. TAPI PENUH KASIH SAYANG)
ENTUNG    :    Astaga, ini melampaui batas. Aku pecat dia untuk selama-lamanya!
DARMAWAN    :    Apakah dia sudah di asuransikan?
SURAHMAN    :    (KESAMPING) Aku mengerti sekarang…
DEWI    :    Dalam kasus ini mana mungkin diperoleh uang asuransi jiwa!
NY. TIGOR    :    Tuhan… Oooo (PINGSAN DALAM PELUKAN SLAMET)
SLAMET    : Waduh…!
DEWI    :    Bawa dia ke sini (SLAMET DI BANTU DARMAWAN DAN DEWI MENDUDUKKAN NY. TIGOR DI KURSI)
DARMAWAN    :    Jangan panic Ny. Tigor…
NY. TIGOR    :    Aaaa… oooo!
DEWI    :    Mungkkin semua ini masih dapat dibereskan.
SURAHMAN    :    Gila-gilaan! (MEREKA MENGERUMUNI NY. TIGOR, MENEPUK-NEPUK PIPINYA. NY. TIGOR MEMBUKA MATA, MEMEKIK aaa! LALU PINGSAN LAGI, SEMENTARA SURAHMAN TERUS MENGOCEH) Satu hal jangan kalian ragukan lagi, Aku akan melaporkan hal ini. Aku takkan membiarkan seorang kawan dalam kesusahan. Aku akan melaporkan untuk diketahui secara meluas.
NY. TIGOR    :    (SIUMAN) Suamiku sayang… Aku tak bisa meninggalkan dia begitu saja. Suamiku sayang… (BUNYI TEROMPET) Ia memanggil aku… (PENUH KASIH SAYANG) Ia memanggil aku…
DEWI    :    Sudah lebih baik rasanya, Ny. Tigor?
DARMAWAN    :    Sedikit demi sedikit!
SURAHMAN    :    Jangan kuatir, rasa setia kawan teguh berdiri di belakang ibu.
ENTUNG    :    Pekerjaan akan mengalami hambatan lagi. Siapa yng kira-kira bisa menggantikan dia, Dewi?
DEWI    :    Saya ingin tahu dulu bagaimana kita dapat keluar dari sini.
ENTUNG    :    Juga persoalan. Melalui jendela! (MEREKA SEMUA MENDEKATI JENELA KECUALI NYONYA TIGOR YANG DUDUK LOYO DI ATAS KURSINYA, DAN SURAHMAN YANG TINGGAL DI TENGAH PANGGUNG)
DEWI    :    Terlalu tinggi!
SLAMET    :    Bagaimana kalau memanggil regu pemadam kebakaran agar mereka membawa tanggganya yang panjang?
ENTUNG    :    Dewi, segera kau tilpun regu pemadam kebakaran! (DEWI MASUK KAMAR ENTUNG DAN TERDENGAR SUARA MENILPUN: “ Hallo, hallo, Pemadam Kebakaran di situ?” LALU PERCAKAPAN TILPUN YANG KURANG JELAS)
NY. TIGOR    :    (TIBA-TIBA BERDIRI) Aku ak boleh meninggalkannya, tak boleh meninggalkannya sekarang!
ENTUNG    :    Sekiranya nyonya ingin bercerai, setiap orang akan membenarkan nyonya.
DARMAWAN    :    Karena nyonyalah pihak yang dirugkan…
NY. TIGOR    :    Tidak, bukan saat untuk berbuat demikian. Aku tidk akan meninggalkan suamiku dalam keadaan seperti sekarang.
SURAHMAN    :    Nyonya wanita yang perkasa.
DARMAWAN    :    Lalu apa rencana nyonya?
        (NY. TIGOR KELUAR PINTU YANG TAK BERTANGA LAGI)
SLAMET    :    Awas!
NY. TIGOR    :    Aku tidak tega, aku tak sampai hati meninggalkan dia sekarang!
DARMAWAN    :    Tahan dia!
NY. TIGOR    :    (BERSIAP  MELONCAT) Aku datang sayang. Aku datang…!
SLAMET    :    Ia mau meloncat!
SURAHMAN    :    Ia memenuhi kewajibannya.
DARMAWAN    :    Jangan biarkan dia berbuat begitu (SEMUA KECUALI DEWI YANG MASIH MENELPON, MENDEKATI NY. TIGOR. DIA MELONCAT DAN SLAMET YANG MENCOBA MENAHANNYAHANYA SEMPAT MEMEGANG ROKNYA YANG TERTINGGAL DI TANGAN SLAMET)
SLAMET    :    Aku tidak berhasil menhannya (TERDENGAR TEROMPET BADAK DENGAN PENUH KASIH SAYANG)
NY.TIGOR    :    (DI BAWAH) Inilah aku Tigor, aku sudah di sini…
DARMAWAN    :    Ia mendarat di punggung suaminya seperti menunggangi pelana.
SURAHMAN    :    Ia pandai mengendarai
NY. TIGOR    :    Mari kita pulang, sayang, mari pulang.
DARMAWAN    :    Mereka pergi berderap.
        (MEREKA SEMUA MELINTASI PANGGUNG KE DEPAN JENDELA UNTUK MELIHAT)
SLAMET    :    Mereka pergi cepat.
DARMAWAN    :    (KEPADA ENTUNG) Bapak pandai naik kuda?
ENTUNG    :    Pernah – dulu, sudah lama sekali, di perkebunan (MENOLEH KE PINTU TENGAH, KEPADA DARMAWAN) Ia belum selesai menilpun?
SLAMET    :    Mereka sudah sangat jauh. Sudah tidak kelihatan.
DEWI    :    (MUNCUL KEMBALI) Agak susah mendapatkan pemadam kebakaran.
ENTUNG    :    Apa ada parade kebakaran di kota ini?
SLAMET    :    Aku sependapat dengan pak Surahman tentang sikap nyonya Tigor yang sangat mengharukan. Seorang wanita yang simpatik.
ENTUNG    :    Kita kekurangan satu tenaga. Mesti ada gantinya.
SLAMET    :    Apa menurut bapak ia sama sekali tidak bisa kita manfaatkan lagi?
DEWI    :    Tidak, bukan karena kebakaran. Regu Pemadam Kebakaran telah menerima panggilan karena badak-badak lain.
SLAMET    :    Badak-badak lain.
DEWI    :    Ya, badak-badak lain. Rupanya mereka bermunculan di seluruh kota. Pagi ini katanya sudah ada tujuh, meningkat sampai tujuh belas.
SURAHMAN    :    Sudah aku duga.
DEWI    :    Malah laporan yang masuk sudah berjumlah 32. itu belum resmi, tapi mereka menunggu pengumuman resmi.
SURAHMAN    :    Orang selalu melebih-lebihkan.
ENTUNG    :    Apakah mereka akan menolong kita keluar dari ini?
SLAMET    :    Aku lapar…!
DEWI    :     Ya, mereka akan datang. Sedang di jalan.
ENTUNG    :    Bagaimana tentang pekerjaan kita?
DARMAWAN    :    Agaknya di luar kesalahan kita.
ENTUNG    :    Waktu yang terbuang harus dikejar.
DARMAWAN    : Nah, saudara Surahman masih menyangkal bukti-bukti tentang perbadakan?
SURAHMAN    :    Organisasi akan menentang pemecatan sdr. Tigor yang tanpa alasan.
ENTUNG    :    Keputusan tidak dari aku. Tunggu saja hasil pemeriksaan Dewan Pengurus.
SURAHMAN    :    Tidak, sdr. Darmawan, aku tidak menyangkal bukti-bukti perbadakan. Tak pernah aku sangkal.
DARMAWAN    :    Kau berdusta.
DEWI    :    Terang-terangan berdusta.
SURAHMAN    :    Aku ulangi bahwa aku tak pernah menyangkalnya. Aku mesti mengetahui dulu diarahkan kemana semua ini sebenarnya. Aku tahu betul militansi jiwaku. Aku tidak mudah puas menerima begitu saja bahwa suatu gejala itu ada. Aku selalu menuntut dari diriku syarat bahwa aku mengerti dan harus mengerti dan harus menjelaskan. Kina aku sungguh sudah bisa menjelaskan, sekiranya….
DARMAWAN    :    Jelaskan kepada kami.
DEWI    :    Ya jelaskan , pak Surahman.
ENTUNG    :    Jelaskan kalau rekan-rekanmu memintanya.
SURAHMAN    :    Akan kujelaskan….
DARMAWAN    :    Ayo, kita menunggu.
DEWI    :    Aku sudah tak sabar.
SURAHMAN    :    Akan kujelaskan… pada waktunya yang tepat.
DARMAWAN    :    Mengapa tidak sekarang?
SURAHMAN    :    (SEPERTI MENGANCAM, KEPADA ENTUNG) Penjelasan akan kuberikan nanti, di bawah empat mata. (KEPADA SEMUA) Aku tahu sebab musababnya, segala seluk beluknya, mengenai peristiwa ini….
DEWI    :    Sebab musabab apa?
SLAMET    :    Seluk beluk mana?
DARMAWAN    :    Kau boleh minta apa saja, jika bisa menjelaskan sebab musabab dan seluk beluk itu.
SURAHMAN    :    (MELANJUTKAN, SEOLAH-OLAH MENGUTUK MEREKA0 Dan akupun tahu nama-nama mereka yang bertanggung jawab atas ini. Jangan kira kau bisa menipu aku. Akan kutelanjangi tujuan dan maksud semua ini.
SLAMET    :    Mungkinkah     ada…
DARMAWAN    :    Kau mengelakkan pertanyaan kami, sdr. Surahman.
ENTUNG    :    Jangan berputar-putar!
SURAHMAN    :    Mengelak? Siapa, aku?
DEWI    :    Tadi kau menuduh kami mengigau.
SURAHMAN    :    Tadi, ya. Tapi igauan tadi ekarang sudah jadi provokasi.
DARMAWAN    :    Apa yang merubahnya?
SURAHMAN    :    Itu sudah rahasia umum, tuan-tuan, orang tahu! Hanya kau yang munafik dan pura-pura tak tahu!
        (BUNYI SIRINE PEMADAM KEBAKARAN MENDEKAT, TERDENGAR DIREM TIBA-TIBA DI BAWAH JENDELA)
DEWI    :    Regu Pemadam Kebakaran!
        (TERDENGAR RIBUT, KESIBUKAN, ALAT-ALAT DI PERSIAPKAN)
PEM. KEBAK    :    Pasang tangganya!
SURAHMAN    :    Kunci semua kejadian ini di tanganku. Aku tak pernah gagal menafsirkan.
ENTUNG    :    Aku minta kalian semua kembali ke sini setelah jam 2 siang (TANGGA TERPASANG DI BAGIAN LUAR JENDELA)
SURAHMAN    :    Kantor terpaksa libur, pak entung.
ENTUNG    :    Entah apa kata Dewan Pengurus nanti.
DARMAWAN    :    Situasinya sangat luar biasa.
SURAHMAN    :    Kita tidak bisa dipaksa pergi bekerja melalui jendela. Kita akan tunggu sampai tangga selesai dibangun kembali.
DARMAWAN    :    Apabila salah seorang dari kita patah kakinya, itu menjadi tanggung jawab Dewan Pengurus.
ENTUNG    :    Benar.
        (NAMPAK TOPI PEMADAM KEBAKARAN MENEMBUL, DISUSUL PEMAKAINYA)
SLAMET    :    (KEPADA DEWI, MENUNJUK KE JENDELA) Kami belakangan setelah dewi.
PEM. KEBAK    :    Ayo…
        (PEMADAM KEBAKARAN MEMEGANG TANGAN DEWI, DEWI MELANGKAH KE JENDELA, MEREKA MENGHILANG BERSAMA-SAMA)
DARMAWAN    :    Salam Dewi, sampai nanti… salam..!
ENTUNG    :    (DI JENDELA) Tipon aku besok pagi, Dewi. Mungkin kau harus mengetik surat-surat di rumahku. (KEPADA SLAMET) Slamet, aku tekankan supaya kau perhatikan betul bahwa kita bukan sedang berlibur, dan pekerjaan kita mulai lagi dalam waktu sesingkat-singkatnya. (KEPADA YANG LAIN) Saudara-saudara dengar apa yang ku katakana?
DARMAWAN    :    Saya mengerti pak Entung
SURAHMAN    :    Kita bisa dieksploatir sampai tinggal tulang.
PEM. KEBAK    :    (MUNCUL DI JENDELA) Siapa menyusul?
ENTUNG    :    (KEPADA YANG BERTIGA) Ayolah…
DARMAWAN    :    Pak entung dulu…
SLAMET    :    Bapak dulu.
SURAHMAN    :    Tentu, direktur dulu.
ENTUNG    :    (KEPADA SLAMET) Tolong ambilkan dulu surat-surat Dewi, di meja sana. (SLAMET MENGAMBIL DAN MENYERAHKANNYA KEPADA ENTUNG)
PEM. KEBAK    :    Ayo cepat, waktu kami terbatas. Masih banyak panggilan yang mesti dipenuhi.
SURAHMAN    :    Benar tidak kataku? (ENTUNG MELANGKAH  JENDELA SAMBIL MENGEPIT SURAT SURAT)
ENTUNG    :     (KEPADA PEMADAM KEBAKARAN) Hati-hati dokumen ini (KEPADA YANG LAIN) Selamat siang saudara-saudara.
DARMAWAN    :    Selamat siang pak, Entung.
SLAMET    :    Selamat siang pak, Entung.
ENTUNG    :    (SUARA DARI BAWAH) Hati-hati dengan kertasku. Darmawan, kunci semua lemari an pintu!
DARMAWAN    :    (BERSERU) Jangan kuatir, pak Entung! (KEPADA SURAHMAN) Silahkan duluan, sdr. Surahman.
SURAHMAN    :    Aku sekarang turun ke bawah. Dan aku akan segera mengajukan persoalan  ini kepada instansi yang berwajib. Akan kubongkar sampai keakarnya tentang keanehan yang tidak aneh ini (IA KE  JENDELA)
DARMAWAN    :    Aku kira kau sudah tahu semua penjelaannya.
SURAHMAN    :    (MELANGKAH JENDELA) Sindiranmu tidak mempan! Akan kuperoleh  bukti-bukti beserta dokumen-dokumennya.
DARMAWAN    :    Gertak sambal! Kau yang menghina aku!
SURAHMAN    :    (SAMBIL MENGHILANG) Aku bukan menghina. Aku Cuma membuktikan.
SUARA PEM. KEBAK : Cepat, yang di atas itu!
DARMAWAN    :    Ada rencana apa? Bagaimana kalau ita bikin acara bersama?
SLAMET    :    Maaf aku tak bisa. Sore ini kebetulan bebas. Akan kugunakan untuk temanku Arifin. Aku sungguh mau berdamai lagi dengan dia. Amarah membuat kami lupa diri. Sebertulnya akulah yang bersalah.
        (KEPALA PEMADAM KEBAKARAN MUNCUL LAGI KEMBALI DI JENDELA)
PEM. KEBAK    :    Mau ikut atau tidak?
SLAMET    :    (MENUNJUK KE JENDELA) Kau dulu.
DARMAWAN    :    Kau sajalah.
SLAMET    :    Aku minta kau dulu.
DARMAWAN    :    Tidak, aku mohon kau dulu.
PEM.KEBAK    :    Cepat!
DARMAWAN    :    Ayolah, kau dulu!
SLAMET    :    Jangan, kau saja dulu.
        (MEREKA KELUAR BERSAMA SAMA DARI JENDELA. PEMADAM KEBAKARAN MEMBANTU MEREKA TURUN, SEMENTARA LAYAR TURUN)

- - - - -

A D E G A N 2
KAMAR ARIFIN, PENTAS TERBAGI DUA, BAGIAN KANAN TIGA PEREMPAT ATAU EMPAT PERLIMA BAGIAN MERUPAKAN KAMAR ARIFIN. DI LATAR BELAKANG TAMPAK TEMPAT TIDUR ARIFIN, DI MANA TAMPAK IA SEDANG TIDUR, TERDAPAT SEBUAH KURSI TEMPAT NANTI SLAMET DUDUK. DI SEBELAH KANAN TERDAPAT PINTU YANG TERBUKA MENUJU KAMAR MANDI. KALAU ARIFIN SEDANG DI KAMAR MANDI PENONTON DAPAT MENDENGAR BUNYI AIR. DI SEBELAH KIRI TERDAPAT PINTU YANG TERBUKA KE TANGGA YANG TERLIHAT UJUNGNYA YAITU PEGANGAN TANGGA DAN ANJUNGAN AKHIR. DI LATAR BELAKANG SAMA TINGGI DENGAN ANJUNGAN ITU TAMPAK APARTEMEN SEORANG TETANGGA DAN LEBIH RENDAH DARI ITU TAMPAK SEBUAH PINTU YANG BERTIRAI DENGAN TULISAN DI ATANYA “KEAMANAN”. KETIKA LAYAR DI BUKA, ARIFIN BERSADA DI TEMPAT TIDURNYA DI BAWAH SELIMUT DENGAN PUNGGUNG MEMBELAKANGI PENONTON. TERDENGAR DENGKURAN. TAK LAMA KEMUDIAN TAMPAK SLAMET MELANGKAH DI IUJUNG TANGGA. IA MENGETUK PINTU. ARIFIN TAK MENJAWAB, IA MENGETUK LAGI.
SLAMET    :    Fin, Arifin! (MENGETUK. PINTU DI SEBELAH BELAKANG TERBUKA, MUNCUL SEORANG KAKEK)
KAKEK    :    Siapa itu?
SLAMET    :    Saya ingin bertemu Arifin.
KAKEK    :    Oh, kukira kau mencari aku. Namaku juga Arifin.
NENEK    :    Tamu untuk kita?
KAKEK    :    Bukan, untuk tetangga sebelah.
SLAMET    :    (MENGETUK) Arifin!
KAKEK    :    Aku tak melihat dia keluar. Kemarin memang kulihat dia.
SLAMET    :    Saya tahu sebabnya. Memang salah saya.
KAKEK    :    Mungkin ia tak mau membuka pintu. Cobalah ketuk lagi.
SLAMET    :    (MENGETUK) Arifin!
KAKEK    :    Sebentar ah. Aduh-aduh… (MENUTUP PINTU DAN MENGHILANG)
ARIFIN    :    (MASIH TERUS TIDUR, DNGAN PARAU MENJAWAB) Siapa?
SLAMET    :    Aku datang untuk menjengukmu, Fin.
ARIFIN    :    Siapa?
SLAMET    :    Aku, Slamet. Apa aku mengganggumu?
ARIFIN    :    Ah, kau rupanya, masuk.
SLAMET    :    (BERUSAHA MEMBUKA PINTU) Dikunci!
ARIFIN    :    Sebentar.(ARIFIN BANGKIT DAN DUDUK DENGAN KESAL.IA MENGENAKAN PIYAMA. RAMBUTNYA KUSUT) Sebentar (IA MEMUTAR KUNCI) Sebentar (IA BERJALAN KEMBALI KE TEMPAT TIDURNYA DAN BERSELIMUT LAGI SEPERTI SEBELUMNYA) Masuk.
SLAMET    :    (MASUK) Selamat pagi, Arifin!
ARIFIN    :    (DI TEMPAT TIDURNYA) Jam berapa ini? Kau tidak pergi kerja?
SLAMET    :    Kau sendiri masih tidur, kau tidak pergi kerja? Maaf, barangkali aku mengganggumu.
ARIFIN    :    (TETAP MEMBELAKANGI) Duduklah.
SLAMET    :    Kau sakit? (ARIFIN MENJAWAB DENGN GERUTUAN) Arifin, aku sungguh bodoh bertengkar dengan kau tentang ceritera itu.
ARIFIN    :    Ceritera apa?
SLAMET    :    Kemarin.
ARIFIN    :    Kemarin apa, kemarin mana?
SLAMET    :    Kau sudah lupa? Tentang badak-badak itu. Tentang badak yang malang itu.
ARIFIN    :    Badak mana?
SLAMET    :    Badak- badak itu. Dua ekor yang pernah kita lihat itu.
ARIFIN    :    Oh, ya, aku ingat. Bagaimana kau bisa beranggapan bahwa badak-badak itu malang?
SLAMET    :    Kukira begitu.
ARIFIN    :    Baiknya kita hentikan saja pembicaraan tentang badak itu.
SLAMET    :    Kau memang sangat baik.
ARIFIN    :    Lalu?
SLAMET    :    Aku ingin mengatakan padamu bahwa aku menyesal telah berbantahan, aku memang keras kepala,… marah… pendeknya aku bodoh ketika itu.
ARIFIN    :    Itu tak mengherankan aku.
SLAMET    :    Maafkan saya.
ARIFIN    :    Aku tak enak badan (BATUK)
SLAMET    :    Mungkin itu sebabnya kau masih di tempat tidur. (MENGUBAH NADA BICARA) Arifin, kita memang punya alasan masing-masing. Sekarang telah terbukti. Di kota telah muncul badak-badak, baik yang bercula satu maupun yang bercula dua.
ARIFIN    :    Jadi itu yang mau kau katakana. Itulah sialnya.
SLAMET    :    Ya, itulah sialnya. Barangkali kau masuk angin. Apa kau merasa demam?
ARIFIN    :    Aku tak tahu. Memang sedikit demam. Aku merasa sakit kepala.
SLAMET    :    Kalau begitu sebaiknya aku pergi saja.
ARIFIN    :    Tinggallah. Kau tidak mengganggu aku.
SLAMET    :    Kau juga serak.
ARIFIN    :    Serak?
SLAMET    :    Sedikit serak. Itu sebabnya aku tadi tak mengenali suaramu.
ARIFIN    :    MEngapa aku harus serak? Suaraku tak berubah, justru suaramu yang berubah.
SLAMET    :    Suaraku?
ARIFIN    :    Mengapa tidak?
SLAMET    :    Mungkin saja. Aku tak menyadarinya.
ARIFIN    :    Tentang apa kau bisa sadar? (IA MELETAKKAN TANGAN DI PELIPISNYA) Pelipisku sakit, pasti terbentur sesuatu.
SLAMET    :    Kalau terbentur sesuatu pasti ada benjolannya (MEMPERHATIKAN ARIFIN) Hai, ada benjolan. Nyata ada satu benjolan!
ARIFIN    :    Benjolan?
SLAMET    :    Sangat kecil.
ARIFIN    :    Dimana?
SLAMET    :    (MENUNJUK) Tepat di atas hidungmu.
ARIFIN    :    Tentu tidak. Dalam keluargaku, tak pernah ada yang mendapat benjolan.
SLAMET    :    Apa kau punya cermin?
ARIFIN    :    Ah, ya (MERABA PELIPISNYA) Aku akan melihatnya di kamar mandi. (IA BERJALAN CEPAT KE KAMAR MANDI LALU BERSERU DARI DALAM) Memang betul ada benjolan (IA MUNGKIN KEMBALI, BENJOLANNYA TAMPAK LEBIH HIJAU DI ATAS PELIPIS) Mungkin betul aku terbentur.
SLAMET    :    Benjolan itu berwarna hijau.
ARIFIN    :    Kau selalu menyebutkan hal-hal yang tak menyenagkan.
SLAMET    :    Maaf. Aku tak bermaksud menyakitimu. Apa kau sudah ke dokter?
ARIFIN    :    Aku tak memerlukan dokter.
SLAMET    :    Kita harus memanggil dokter.
ARIFIN    :    Jangan! Aku tak akan memanggilnay. Aku akan merawat diriku sendiri.
SLAMET    :    Siapa tahu penyakit itu berbahaya.
ARIFIN    :    Para dokter selalu mengatakan penyakit yang sebenarnya tak ada.
SLAMET    :    Mungkin  benar begitu, tetapi mereka menemukan juga obetnya bukan?
ARIFIN    :    Aku hanya percaya pada dokter hewan.
SLAMET    :    (MEMPERHATIKAN KEMBALI ARIFIN) Urat-uratmu tampak membengkak,  semua menonjol.
ARIFIN    :    Itu tandanya aku kuat.
SLAMET    :    Meski begitu…(IA MEMPERHATIKAN ARIFIN LALU TANPA TANPA SADAR MENJAUHI DENGAN CEPAT)
ARIFIN    :    Mengapa kau memandang aku seakan-akan aku binatang aneh?
SLAMET    :    Kulitmu…
ARIFIN    :    Apa yang kau lakukan dengan kulitku?
SLAMET    :    Kulitmu… kulitmu berubah warna. Jadi hijau… (IA MEMEGANG TANGAN ARIFIN) Juga mengeras.
ARIFIN    :    (MENARIK TANGANNYA) Jangan menyentuh akuseperti itu. Kau membuatku kesal.
SLAMET    :    Kita harus memanggil dokter.(IA BERGERAK KE ARAH TILPON)
ARIFIN    :    Jangan ganggu benda itu. Kau suka ikut campur (BERGEGAS MENDEKATI SLAMET YANG HENDAK MENILPON)
SLAMET    :    Tapi itu semua demi kebaikanmu.
ARIFIN    :    (BERGERAK DAN MENGENDUS-ENDUS) Aku lebih tahu apa yang baik bagiku.
SLAMET    :    Kau tampaknya sesak nafas!
ARIFIN    :    Aku bernafas seperti biasa! Aku tak uka dengan caramu bernafas, terlalu lemah, seakan-akan sebentar lagi kau akan mampu!
SLAMET    :    Jangan marah Arifin, bagaimanapun aku sahabatmu bukan?
ARIFIN    :    Persahabatan sudah tidak ada!
SLAMET    :    Kau merisaukan.
ARIFIN    :    Kau tak perlu risau.
SLAMET    :    Kau tidak manusiawi belakngan ini.
ARIFIN    :    Aku justru senang bahwa aku  tak manusiawi.
        (SEMENTARA ITU ARIFIN MULAI BERLARI LARI DALAM RUANGAN SEPERTI BINATANG DALAM KANDANG DARI DINDING SATU KE DINDING LAIN, SLAMET MELIHATNYA PINDAH TEMPAT DARI SAAT KE SAAT, DENGAN TANGKAS MENGHINDAR)
SLAMET    :    Jangan gugup, jangan gugup.
ARIFIN    :    Aku tak betah dalam pakaian ini. Piyama ini menyiksaku (IA MEMBUKA DAN MENUTUP KEMBALI KANCING PIYAMA)
SLAMET    :    Ah, apa yang terjadi dengan kulitmu?
ARIFIN    :    Lagi-lagi kulitku he? Ini kulitku, aku tak dapat menukarnya dengan kulitmu, bukan?
SLAMET    :    Seperti perisai.
ARIFIN    :    Tentu, aku akan tahan dengan segala cuaca.
SLAMET    :    Makin lama kau makin hijau.
ARIFIN    :    Aku tak peduli. Bbbrrr….!
SLAMET    :    Apa katamu?
ARIFIN    :    Aku tak berkata apa-apa. Aku…. Bbbrrr….. menyenangkan!
SLAMET    :    Tahukah kau apa yang terjadi dengan Tigor? Ia jadi seekor badak!
ARIFIN    :    Apa yang terjadi dengan Tigor?
SLAMET    :    Ia jadi badak.
ARIFIN    :    (MEMBUKA BAJUNYA) Bbbrrrrr……
SLAMET    :    Jangan bercanda begitu….
ARIFIN    :    Biarkan aku bernafas, aku punya hak untuk itu. Aku berada di rumahku.
SLAMET    :    Aku tak menyangkal.
ARIFIN    :    Memang kau tak usah menyangkal aku. Aku merasa panas, gerah.... bbbrrr….  Sebentar… aku akan menyegarkan diri.
SLAMET    :    (SEMENTARA ARIFIN SIBUK DI KAMAR MANDI) Ini akibat demam (TERDENGAR NAFAS MENDENGUS, JUGA GELEGAK AIR)
ARIFIN    :    (DARI DALAM) bbbrrrr…..
SLAMET    :    Ia menggigil. Aku akan menelepon ke dokter. (IA BERGERAK KE ARAH TILPON LALU TIBA-TIBA BERHENTI MENDENGARKAN SUARA ARIFIN)
ARIFIN    :    Jadi Tigor telah jadi badak. Ah, ia menyamar… (IA MENJENGUKKAN KEPALANYA DI PINTU KAMAR MANDI. TAMPAK IA SANGAT HIJAU, CULANYA MEMBESAR)
SLAMET    :    (BERJALAN TANPA MEMPERHATIKAN ARIFIN) Aku berkata sungguh-sungguh. (KELUAR MASUK RUANGAN, KE KAMAR MANDI, KE LUAR LAGI) Seharusnya aku tak mengajakmu bebicara. Makin menambah parah sakitmu saja.
ARIFIN    :    Tidak, percakapan membuatku santai.
SLAMET    :    Boleh kupanggil dokter?
ARIFIN    :    Aku larang dengan tegas. (SEMENTARA ARIFIN SEMAKIN HIJAU) Kau jangan melihat sesuatu dari segi buruknya saja. Barangkali ia memang senang menjadi badak.apa kau kira bentuk kita ini lebih disukai?
SLAMET    :    Bagaimanapun juga kita punya moral, tidak seperti binatang.
ARIFIN    :    Moral, moral! Aku sudah kenyang dengan moral!
SLAMET    :    Kalau bukan moral, apa yang akan menggantikannya?
ARIFIN    :    Alam!
SLAMET    :    Apa kau mau mengganti hukum moral dengan hukum rimba?
ARIFIN    :    Di sana aku akan hidup, di sana aku akan hidup! Kita harus kembali kepada keutuhan purba!
SLAMET    :    Aku tak sependapat.
ARIFIN    :    (MENDENGUS-DENGUS) Aku ingin bernafas!
SLAMET    :    Pikirkan baik-baik. Kita memiliki nilai-nilai yang tak ada pada binatang. Paradaban yang berabad-abad telah kita bangun…
ARIFIN    :    Bongkar semua itu. Kita akan membangun peradaban baru.
SLAMET    :    Ku bercanda…  kau sedang bersajak.
ARIFIN    :    bbbbrrr…..
SLAMET    :    Aku tidak tahu bahwa kau penyair. Arifin, kau tahu bahwa manusia….
ARIFIN    :    Manusia….  jangan ucapkan lagi kata itu!
SLAMET    :    Aku ingin mengatakan tentang kemanusiaan….
ARIFIN    :    Ketinggalan jaman. Kau berpikiran lapuk dan menggelikan! (MASUK KAMAR MANDI DAN BERKATA DARI DALAM) Kuno! Kau bicara tenatang hal yang tak ada artinya!
SLAMET    :    Tak ada artinya?
ARIFIN    :    (DARI DALAM DENGAN SUARA SERAK) Jelas!
SLAMET    :    Kau linglung! Apakah kau menyukai badak?
ARIFIN    :    Mengapa tidak?
SLAMET    :    Bicaramu tak jelas.
ARIFIN    :    (DI KAMAR MANDI) Buka telingamu!
SLAMET    :    Bagaimana?
ARIFIN    :    Buka telingamu, kubilang! Kenapa kau tidak jadi badak saja? Aku menyukai perubahan itu.
SLAMET    :    Hal seperti itu… (SLAMET BERHENTI BICARA KARENA ARIFIN MUNCUL DENGAN RUPA YANG MENGEJUTKAN. BENJOLANNYA SUDAH LENGKAP JADI CULA) Rupanya kau sudah kehilangan pikiranmu (ARIFIN LARI KE TEMPAT TIDURNYA MELEMPARKAN SELIMUT KE LANTAI, BICARA KACAU BALAU, MENGELUARKAN SUARA YANG TAK PERNAH TERDENGAR SEBELUMNYA) Jangan amuk-amukan begitu, tenanglah…
ARIFIN    :    Panas, sangat pans. Hancurkan semua. Pakaian, hancurkan, hancurkan! (MENJATUHKAN CELANA PIYAMA)
SLAMET    :    Apa yang kau lakukan. Aku tak mengenalmu lagi! Kau biasanya pemalu!
ARIFIN    :    Rawa-rawa! Rawa-rawa!
SLAMET    :    Lihatlah aku. Sepertinya kau tak mengenalku lagi! Kau tak mendengar kata-kataku lagi!
ARIFIN    :    Aku mendengarmu dengan jelas. Aku melihatmu dengan terang (MENYERUDUK SLAMET YANG MENGHINDAR)
SLAMET    :    Hati-hati!
ARIFIN    :    (MENDENGUS-DENGUS) Maaf! (LALU DENGAN CEPAT KE KAMAR MANDI)
SLAMET    :    (KE KIRI LALU MENGIKUTI ARIFIN KE KAMAR MANDI SAMBIL BERKATA) Betapapun aku tak dapat membiarkannya seperti itu. Dia kawanku (BERSERU KE KAMAR MANDI) Aku akan memanggil dokter. Ini mutlak perlu, percayalah!
ARIFIN    :    (DARI DALAM) Tidak!
SLAMET    :    (DARI DALAM KAMAR MANDI) Tenanglah Arifin, kau menggelikan! Oh, culamu…. Kau jadi badak!
ARIFIN    :    (MASIH DI DALAM) Aku akan menginjak-injakmu (TERJADI KEGADUHAN DI KAMAR MANDI, BUNYI BENDA JATUH, GELAS PECAH. SLAMET MUNCUL DENGAN PANIK, MENUTUP PINTU KAMAR MANDI DENGAN SUSAH PAYAH MELAWAN DORONGAN DARI DALAM)
SLAMET    :    (MENDORONG PINTU) Badak-badak! (SLAMET BERHASIL MENUTUP PINTU. PADA SAAT PINTU DITEMBUS CULA DAN KERIBUTAN BERLANJUT DI KAMAR MANDI) Aku tak percaya lagi padanya (IA LARI KELUAR MENGETUK PINTU TETANGGA) Ada badak di dalam kamar!
KAKEK    :    (MELONGOKKAN KEPALA) Ada apa?
SLAMET    :    Panggil keamanan! Ada badak dalam rumah!
NENEK    :    Siapa itu Arifin? Kenapa ribut-ribut?
KAKEK    :    Aku tak tahu apa yang dikatakannya. Ia melihat seekor badak.
SLAMET    :    Ya, di dalam rumah. Panggil polisi!
KAKEK    :    Ah, kau jangan ganggu dia. Berlaku sopanlah (MENUTUP PINTU DI DEPAN SLAMET)
SLAMET    :    (LARI KE TANGGA) Polisi, polisi! Ada badak dalam rumah! (SLAMET KEMBALI MASUK KAMAR ARIFIN, SEMENTARA PINTU KAMAR MANDI TERUS DIHANTAM DARI DALAM) Ya Tuhan… (IA LARI KELUAR SAMBIL BERTERIAK) Badak, badak….!

 B A B A K   I I I
PEMBAGIAN PANGGUNG HAMPIR SAMA DENGAN ADEGAN SEBELUMNYA. MENGGAMBARKAN KAMAR SLAMET YANG MENYERUPAI KAMAR ARIFIN. HANYA ADA PERUBAHAN KECIL DARI BEBERAPA ALAT RUMAH TANGGA YANG MENUNJUKKAN BAHWA INI KAMAR LAIN. DI BAGIAN BELAKANG NAMPAK SEBUAH DIPAN DAN JENDELA YANG TERBUKA. DI SEBELAH KIRI TERDAPAT UJUNG TANGGA DAN PINTU MASUK KE KAMAR SLAMET. SEBUAH KURSI DAN MEJA DENGAN RADIO KECIL DI ATASNYA. SEBUAH KAMAR DARI SEBUAH FLAT UNTUK PEGAWAI SEDERHANA.
SLAMET TERBARING DI ATAS DIPAN, MEMBELAKANGI PENONTON. IA BERPAKAIAN LENGKAP, KEPALANYA DIBALUT PERBAN. AGAKNYA IA SEDANG BERMIMPI BURUK DAN MENGGELEPAR DALAM TIDURNYA.
SLAMET    :    Jangan! (HENING) Hati-hati culanya! (HENING) (DERU SEJUMLAH BADAK TERDENGAR LEWAT DI BAWAH JENDELA) Jangan! (IA JATUH KE LANTAI MASIH BERGULAT DENGAN APA YANG DILIHAT DALAM IMPIAN BURUKNYA, LALU TERBANGUN. DENGAN HATI-HATI MELETAKKAN TANGAN DI ATAS DAHINYA. DIDEKATINYA CERMIN DI DINDING DAN MENGANGKAT SEDIKIT PEMBALUTNYA. IA BERNAFAS LEGA SETELAH DILIHATNYA BAHWA TAK ADA BENJOLAN. IA RAGU-RAGU MENUJU KE DIPAN, BERBARING, TAPI SEGERA BANGUN KEMBALI DAN BERDIRI. IA MENDEKATI MEJA, DARI BAWAH DIKELUARKANNYA SEBOTOL MINUMAN DAN SEBUAH GELAS. IA HENDAK MENUANGKAN MINUMAN, TETAPI SETELAH PERJUANGAN BATINYANG SINGKAT, DIKEMBALIKANNYA BOTOL SERTA GELAS ITU) Ayo, ayo, mana daya tekadmu! (IA KEMBALI KE DIPAN, TAPI KINI TERDENGAR LAGI BADAK-BADAK DI BAWAH JENDELA. IA MENDEKATI MEJA, SESAAT RAGU-RAGU LALU DENGAN GERAK “Peduli setan!” DITUANGNYA MINUMAN DAN DITEGUKNYA  SEKALIGUS. DIKEMBALIKANNYA BOTOL, IA BATUK. BATUK ITU MEMBUATNYA CEMAS. IA BATUK LAGI DAN MENDENGARKAN BUNYINYA MEMANDANG DIRINYA DI CERMIN, BATUK LAGI. DIBUKANYA JENDELA, BUNYI TERENGAH-ENGAH MENJADI LEBIH JELAS. IA BATUK LAGI) Tidak sama, tidak! (IA TENANG KEMBALI, DITUTUPNYA JENDELA, DIPEGANG-PEGANGNYA BALUT KEPALA, KEMBALI KE DIPAN DAN MULAI TERTIDUR) DARMAWAN MUNCUL DI TANGGA, DIDEKATINYA PINTU DAN IA MENGETUK. (SLAMET TERBANGUN) Mau apa?
DARMAWAN    :    Aku datang menengok kau, Slamet.
SLAMET    :    Siapa itu?
DARMAWAN    :    Aku.
SLAMET    :    Aku siapa?
DARMAWAN    :    Aku, Darmawan.
SLAMET    :    Ooo kau, masuklah.
DARMAWAN    :    Aku harap tidak mengganggu (MENCOBA MEMBUKA PINTU) Pintunya terkunci.
SLAMET    :    Sebentar. Aduh, aduh! (MEMBUKA PINTU, MASUK DARMAWAN)
DARMAWAN    :    Apa kabar, Slamet.
SLAMET    :    Apa kabar, Darmawan. Jam berapa?
DARMAWAN    :    Jadi kau tetap berkurung di kandangmu? Merasa lebih baik, kawan?
SLAMET    :    Maafkan suaramu tidak kukenali (MEMBUKA JENDELA LEBAR-LEBAR) Ya, ya… rasanya sedikit lebih baik.
DARMAWAN    :    Tak ada perubahan pada suaraku.
SLAMET    :    Maafkan saja, aku tadinya mengira…. Kau benar, suaramu masih seperti biasa. Suaraku tidak berubah, kan?
DARMAWAN    :    Mengapa harus berubah?
SLAMET    :    Tidakkah sedikit, sedikit…  parau?
DARMAWAN    :    Setahuku tidak.
SLAMET    :    Terima kasih, aku lega.
DARMAWAN    :    Mengapa, ada apa dengan kau?
SLAMET    :    Kurang tahu—siapa tahu? Suara bisa tiba-tiba berubah—dan celakanya memang berubah!
DARMAWAN    :    Apakah kau diserang selesma?
SLAMET    :    Mudah-mudahan tidak—kuharap tidak. Duduklah Darmawan, ini kursi.
DARMAWAN    :    (DUDUK) Kau masih saja merasa kurang sehat? Kepala terus-terusan sakit? (MENUNJUK PADA BALUT SLAMET)
SLAMET    :    Ya, sakit kepala terus. Tapi tak ada benjol, aku tidak terbentur… betulkah…? (DIANGKATNYA BALUT SEDIKIT, DIPERLIHATKANNYA PADA DARMAWAN)
DARMAWAN    :    Menurut penglihatanku tidak ada.
SLAMET    :    Aku harap tidak pernah ada. Jangan ada.
DARMAWAN    :    Kalau kepalamu tidak terbentur sesuatu, mengapa harus benjol?
SLAMET    :    Kalau betul-betul terhindar dari benturan, dengan sendirinya tidak.
DARMAWAN    :    Jelas, asal saja kita berhati-hati. Tetapi mengapa kau sebenarnya? Begitu gugup dan gelisah. Agaknya karena sakit kepalamu itu. Jangan banyak bergerak, tentu kau akan segera sembuh.
SLAMET    :    Sakit kepala… sudah, jangan sebut-sebut sakit kepala! Aku tak mau mendengarnya!
DARMAWAN    :    Mengapa kau sakit kepala setelah peristiwa yang kau alami itu?
SLAMET    :    Aku belum mengatasinya!
DARMAWAN    :    Tidak heran kau sakit kepala.
SLAMET    :    (CEPAT KE CERMIN, MENGANGKAT BALUTNYA) Tidak ada… kau tahu bahwa bisa terjadi sesuatu?
DARMAWAN    :    Apa yang terjadi?
SLAMET    :    Aku takut jadi orang lain.
DARMAWAN    :    Tenangkan dirimu. Mari duduklah. Mondar-mandir ke sana kemari hanya membuat kau lebih gelisah.
SLAMET    :    Kau benar. Aku perlu menenangkan diri (DUDUK) Aku tak dapat melupakannya.
DARMAWAN    :    Maksudmu tentang Arifin? Aku tahu…
SLAMET    :    Ya, tentang Arifin tentunya, juga tentang yang lain-lain.
DARMAWAN    :    Aku mengerti betapa terkejutnya kau.
SLAMET    :    Dan itu tidak mengherankan. Kau akui itu.
DARMAWAN    :    Memang, tapi kau jangan memperbesar persoalan. Tidak ada alasan bagimu untuk…
SLAMET    :    Aku ingin tahu bagaimana seandainya kau adalah aku. Arifin temanku yang terdekat. Bayangkan… dia kusaksikan berubah di depan mataku. Lagipula ia mengamuk!
DARMAWAN    :    Aku turut merasakannya. Kau merasa ditinggalkan. Cobalah, jangan fikirkan dia lagi.
SLAMET    :    Bagaimana tidak kufikirkan? Biasanya ia orang yang ramah, berperikemanusiaan. Siapa kira ia akan begitu? Kami berkenalan ketika kami masih bercelana monyet. Tak kusangka sedikitpun ia akan berubah sedemikian rupa. Aku lebih percaya kepadanya daripada kepada diriku sendiri, tetapi ia tega berbuat begitu kepadaku.
DARMAWAN    :    Aku yakin ia tak bermaksud mengecewakan kau.
SLAMET    :    Justru ia seperti sengaja. Andaikata kau melihat bagaimana dia saat itu—pancaran wajahnya….
DARMAWAN    :    Kebetulan saja kau di sana waktu itu. Tetapi meski dengan siapapun, akan tetap saja terjadi begitu.
SLAMET    :    Setelah bertahun-tahun bersama-sama, sekurang-kurangnya dia bisa mengendalikan diri di depanku.
DARMAWAN    :    Kau pikir segala sesuatu yang terjadi hanya menyangkut pribadimu? Kau bukanlah orang yang paling penting, kau mesti ingat itu.
SLAMET    :    Mungkin kau benar, aku harus belajar menyesuaikan diri. Tetapi kejadian itu amat menggemparkan. Terus terang aku sangat terpukul. Apa penjelasan dari semua ini, apa?
DARMAWAN    :    Sementara ini aku belum dapat menemukan penjelasan yang memuaskan. Aku perhatikan fakta-faktanya. Kemelesetan alam barangkali, kenakalan yang ganjil, lelucon yang kelewatan, suatu permainan—siapa yang tahu?
SLAMET    :    Arifin memang suka membanggakan diri, tetapi aku tidak berambisi apa-apa. Aku puas dengan diriku sebagaimana adanya.
DARMAWAN    :    Mungkin ia membutuhkan udara segar, alam terbuka, dataran luas… mungkin ia mencari ketentraman…
SLAMET    :    Aku paham maksudmu. Meskipun begitu, jika orang menuduh aku sebagai penghalang, atau dianggap memisahkan diri dari masyarakat, aku ingin tetap tinggal sebagaimana aku sekarang.
DARMAWAN    :    Kita tetap sebagaimana kita adanya, jangan kuatir…untuk apa kau terganggu oleh beberapa penderita penyakit badak? Mungkin itu hanya jenis penyakit baru!
SLAMET    :    Justru itu! Aku takut ketularan!
DARMAWAN    :    Sudah, jangan kau pikirkan. Kau menganggap masalah ini begitu penting. Apa yang terjadi pada Arifin tidak jelas gejalanya, persoalannya bukan persoalan umum. Temanmu itu memang terlalu cepat meluap, tabiatnya agak kasar. Kau tak perlu menilai berdasarkan kekecualian.
SLAMET    :    Agaknya hari mulai cerah bagiku. Kau sebenarnya belum bisa menjelaskan padaku, tapi kau telah melengkapi aku dengan penjelasan yang waras. Ya, tentu saja, ia pasti telah menempuh keadaan yang gawat sehingga sampai terjerumus dalam taraf sekarang. Batinnya mengalami ketidakseimbangan. Lalu apa yang terjadi dengan Tigor, begitu juga yang lainnya…?
DARMAWAN    :    Aku masih percaya pada teori wabah, seperti influenza misalnya. Bukan pertama kalinya kita diserang wabah.
SLAMET    :    Jenis serupa ini belum pernah tercatat. Apakah berasal dari negara maju atau negara berkembang?
DARMAWAN    :    Bagaimanapun juga yakinlah dirimu bahwa Tigor ataupun yang lainnya melakukan itu bukan untuk merongrongmu. Masak mereka mempertaruhkan segalanya hanya untuk itu.
SLAMET    :    Benar juga, masuk diakal, fikiran yang membantu… atau dari segi lain justru menghancurkan segala harapan? (TERDENGAR BADAK-BADAK BERDERAP DI BAWAH JENDELA) Nah, kau dengar itu? (MELOMPAT KE JENDELA)
DARMAWAN    :    Tak usah kau hiraukan mereka (SLAMET MENUTUP KEMBALI JENDELA) Mereka toh tidak menyusahkanmu. Sungguh pikiranmu dipenuhi hanya oleh mereka. Itu tak baik untukmu, kau hanya membuat dirimu lebih payah. Kau sudah mengalami kejutan besar, mengapa kau seperti mau minta tambah? Pusat pikiranmu pada hal-hal yang waras!
SLAMET    :    Aku ingin tahu apakah aku betul-betul tidak akan kejangkitan?
DARMAWAN    :    Pokoknya penyakit itu tidak membunuh. Ada penyakit tertentu yang justru menguji manusia, aku yakin jenis ini bisa disembuhkan asal kita mau… merekapun kelak pasti sembuh, lihat saja.
SLAMET    :    Tapi pasti ada kelanjutannya. Suatu perobakan jasmaniah seperti itu mau tidak mau mesti….
DARMAWAN    :    Hanya sementara waktu saja, jangan kuatir.
SLAMET    :    Apa kau betul-betul yakin?
DARMAWAN    :    Aku pikir begitu… ya, aku kira begitu.
SLAMET    :    Tapi kalau seseorang sungguh-sungguh tidak menghendakinya, betul-betul tak mau ketularan—pastilah kita tidak ketularan, tak mungkin ketularan! Kau mau sedikit minum?
DARMAWAN    :    Tidak, terima kasih, aku tidak pernah minum. Silahkan kau minum sendiri kalau kau ingin. Asal saja akit kepalamu tidak bertambah karenanya.
SLAMET    :    Katanya alcohol baik untuk penahan wabah. Membuat seseorang lebih tahan terhadap penularan. Kuman influenza mudah terbasmi olehnya.
DARMAWAN    :    Tapi belum tentu semua kuman bisa terbunuh olehnya. Terhadap penyakit badak ini misalnya, belum diketahui kekuatannya.
SLAMET    :    Arifin tak suka minuman keras, tapi ia Cuma berpura-pura…. Mungkin itulah sebabnya maka… barangkali itu menjelaskan sikapnya ( DISODORKAN SEGELAS MINUMAN PADA DARMAWAN) Kau betul-betul tidak minum?
DARMAWAN    :    Tidak, tidak, apa lagi dengan perut kosong, Terima kasih, (SLAMET MINUM SAMPAI HABIS, IA BATUK) Nah ternyata tidak kuat minum, sampai batuk-batuk.
SLAMET    :    (CEMAS) Ya, membuat aku batuk. Seperti apa batukku itu?
DARMAWAN    :    Seperti setiap orang yang terlalu banyak minum.
SLAMET    :    Tak ada nada yang terdengar aneh bukan? Batuk seperti batuk manusia?
DARMAWAN    :    MAksudmu bagaimana? Batukmu seperti biasa kalau orang batuk. Lantas batuk itu bis bagaimana lagi?
SLAMET    :    Entahlah… barangkali batuk binatang… Papakah badak bisa batuk?
DARMAWAN    :    Ah Slamet, kau mempermainkan dirimu. Kau menciptakan sendiri kesulitan-kesulitanmu, kau bertanya yang aneh-aneh. Aku masih ingat kau mengatakan bahwa perlindungan yang terbaik terhadap ini adalah daya tekad.
SLAMET    :    Memang.
DARMAWAN    :    Nah buktikanlah bahwa kau memiliki tekad itu.
SLAMET    :    Tekad itu ada, percayalah.
DARMAWAN    :    Buktikanlah pada dirimu – misalnya, jangan minum lagi. Pasti kau akan merasa lebih yakin akan dirimu.
SLAMET    :    Kau salah mengerti. Sudah kukatakan bahwa aku minum untuk menjauhkan kemungkinan terburuk. Aku minum dengan penuh kesadaran. Kalau wabah ini sudah berlalu, aku akan berhenti minum. Itu sudah menjadi keputusanku.
DARMAWAN    :    Kau mencari-cari alasan!
SLAMET    :    Kau kira begitu? Bagaimanapun juga atak ada sangkut pautnya dengan apa yang sedang terjadi sekarang di luar.
DARMAWAN    :    Darimana kita tahu?
SLAMET    :    (CEMAS) Maksudmu memang ada hubungannya? Begituka malapetaka itu terjadi menurut kau? Aku bukan pemabuk (IA MENDEKATI CERMIN UNTUK MEMERIKSA DIRI) Kau pikir, akan mungkinkah… (IA MERABA RABA WAJAHNYA, MENEPUK NEPUK BALUT KEPALANYA) Tak ada perubahan, tak ada kerusakan, jadi itu berarti baik, sekurang-kurangnya tak ada pengaruh apa-apa.
DARMAWAN    :    Aku hanya bergurau, aku Cuma main-main. Kau melihat segala sesuatu dari segi yang gelap – hati-hatilah, jangan sampai kau kena penyakit syaraf. Kalau kau sudah mengatasi kejutanmu sepenuhnya dank au sudah merasa sanggup untuk keluar menghirup udara segar, kau akan merasa lebih baik. Coba saja! Semua pikiran buruk itu akan lenyap.
SLAMET    :    Keluar? Suatu saat memang harus. Aku ngeri kalau saat itu tiba. Mau tak mau aku pasti berjumpa dengan beberapa dari mereka.
DARMAWAN    :    Apa salahnya? Mudah saja kau menyingkir untuk memperkenankan mereka lewat. Dan jumlah mereka tidak sebanyak yang kau bayangkan.
SLAMET    :    Dimana-mana aku melihat mereka.
DARMAWAN    :    Mereka tidak menyerang kau. Kalau kau tidak ganggu mereka, merekapun akan menghindari kau. Kau tak usah menganggap rendah mereka. Bahkan mereka memiliki kemurnian tertentu yang wajar, semacam keterusterangan. Aku berjalan kaki untuk mengunjungi kau. Aku sampai di sini dengan aman dan sehat walafiat bukan? Tanpa mengalami kesulitan apa-apa.
SLAMET    :    Hanya melihat mereka saja aku sudah gugup. Katakanlah aku senewen. Aku bukan marah, tidak, tidak ada untungnya kalau aku marah, akibatnya tidak bisa dijamin, itu kujaga. Tapi aku terpengaruh – di sini (MENUNJUK HATINYA) Perasaanku tercekam dari dalam.
DARMAWAN    :    Reaksi sampai batas tertentu memang bisa dibenarkan. Tapi kau berlebihan. Tak ada bakat humor padamu, itulah yang menyulitkan, sedikitpun tak ada. Kau perlu belajar supaya lebih santai sedikit, dan melihat segala sesuatu dari segi lucunya.
SLAMET    :    Akumerasa terlibat, aku tak bisa bersikap tak peduli.
DARMAWAN    :    Jangan mengadili kalau kau tak ingin diadili. Kalau kau begitu cemas kau tak akan mampu meneruskan hidup.
SLAMET    :    Kalau aja ini terjadi ditempat lain, di negara lain dan kita hanya membacanya di surat kabar, kita bisa memperbincangkannya dengan tenang dan mencapai kesimpulan yang obyektif. Kita bisa menyelenggarakan diskusi dengan para professor, penulis dan sarjana hokum, tokoh-tokoh seniman dan semua orang. Tapi kalau kita sendiri terlibat, kalau tiba-tiba kau dihadapkan pada fakta yang kejam – kejutan begitu dahsyat, kita tidak bisa tinggal diam. Terus terang aku tercengang, aku sangat, sangat tercengang. Aku tak bisa mengatasinya.
DARMAWAN    :    Akupun tercengang mulanya, mulanya. Kini aku mulai biasa.
SLAMET    :    Jaringan syarafmu lebih kompak daripada aku. Kau beruntung.
DARMAWAN    :    Aku tidak mengatakan bahwa ini baik. Jangan kau kira aku memihak pada badak-badak… (BUNTI SEKELOMPOK BADAK LEWAT DI BAWAH JENDELA).
SLAMET    :    Itumereka, lagi-lagi mereka! Aku tidak bisa membiasakan diri dengan mereka. Mereka terlalu menjajah pikiranku sampai aku tak bisa tidur. Mataku membeliak tak bisa pejam. Di siang hari aku ngantuk karena kelelahan yang sangat.
DARMAWAN    :    Minumlah obat tidur.
SLAMET    :    Bukan itu penyelesaiannya. Kalau aku tertidur lebih buruk lagi. Aku mimpi tentang mereka, mimpi buruk!
DARMAWAN    :    Sudah kukatakan jangan melihat segala sesuatu terlalu serius. Rupanya kau senang memyiksa dirimu. Akuilah!
SLAMET    :    Aku bukan seorang Maschosis!
DARMAWAN    :    Jadi, hadapilah faktanya, dan atasilah. Memang sudah begini keadaannya. Kau tak bisa berbuat apa-apa untuk merubahnya.
SLAMET    :    Itu fatalisme.
DARMAWAN    :    Ah tidak, akal waras. Kalau ada kejadian seperti ini, yakinlah bahwa ada sebabnya. Itu yang harus kita selidiki.
SLAMET    :    Aku tak mau menerima keadaan ini.
DARMAWAN    :    Apa yang bisa kau perbuat? Kau punya rencana?
SLAMET    :    Saat ini aku belum tahu. Aku harus memikirkan dulu masak-masak aku akan menulis surat ke Koran-koran, aku minta bertemu walikota atau wakilnya kalau pak walikota terlalu sibuk.
DARMAWAN    :    Aku sangsi apakah secara moril kau berhak turut campur. Bagaimanapun juga kukira tidak perlu begitu gawat. Kuanggap bodoh kalau kau mesti merusuhkan diri untuk orang yang telah memutuskan diri untuk berganti kulit.
SLAMET    :    Iblis harus kita serang dari akar-akarnya!
DARMAWAN    :    Iblis! Itu Cuma perkataan! Siapa yang tahu apa kejahatan dan apa kebaikan? Kepastian tergantung pada penentuan pribadi. Kau bimbang tentang keselamatan kulitmu sendiri, itulah hakikatnya. Tapi kau tak akan menjadi badak, dijamin tidak – kau tak punya potongan untuk menjadi badak.
SLAMET    :    Jika saja setiap orang berpikir seperti kau… Maafkan aku, aku terlalu tegang. Tapi aku akan memperbaiki diri. Mungkin kau punya pekerjaan…
DARMAWAN    :    Jangan kuatir, beres. Pokoknya kantor belum bisa buka lagi.
SLAMET    :    Tangga itu belum diperbaiki? Sungguh lalai.
DARMAWAN    :    Mereka sedang memperbaikinya. Tapi pekerjaan itu lamban. Sulit mencari tukang-tukangnya.
SLAMET    :    Katanya banyak penganggur. Aku kira kita mendapat tangga semen.
DARMAWAN    :    Tidak, kayu lagi.
SLAMET    :    Terlalu. Tentu pak Entung akan kecewa. Apa katanya tentang ini?
DARMAWAN    :    Kita tak punya direktur lagi. Pak Entung telah mengundurkan diri.
SLAMET    :    Betapa mungkin!
DARMAWAN    :    Sungguh mati.
SLAMET    :    Apakah karena persoalan tangga?
DARMAWAN    :    Rasanya tidak.
SLAMET    :    Lalu mengapa? Ada apa dengan dia?
DARMAWAN    :    Ia mau pulang ke kampungnya.
SLAMET    :    Pulang kampung? Ia masih kuat menjabat direktur sampai bertahun-tahun lagi.
DARMAWAN    :    Ia tak bersedia lagi. Katanya ia perlu istirahat. Mungkin sebaiknya aku cerita padamu – lucu juga – sebetulnya… jelasnya ia telah menjadi badak (BUNYI BADAK DI KEJAUHAN)
SLAMET    :    Badak! Pak Entung badak? Aku tak percaya! Sama seklali tak lucu! Mengapa baru kau ceritakan sekarang?
DARMAWAN    :    Aku tak mau menceritakan karena tahu kau akan terganggu.
SLAMET    :    Celaka dua belas, Pak Entung. Padahal kedudukannya begitu baik. Mustahil ia berbuat dengan sengaja. Aku tak yakin bahwa ia melakukannya dengan suka rela.
DARMAWAN    :    Siapa yang dapat mengatakan? Sukar untuk mengetahui alasan sebenarnya.
SLAMET    :    Mungkin ia membuat kekeliruan. Seharusnya ia minta pertolongan dokter jiwa.
DARMAWAN    :    Itulah cara yang daipilihnya untuk mencapai sublimasi diri.
SLAMET    :    Pasti ada yang maembujuk dia.
DARMAWAN    :    Itu terjadi padasetiap orang.
SLAMET    :    Setiap orang? Ooo jangan! Tidak pada dirimu bukan? Pada diriku juga tidak.
DARMAWAN    :    Kita harapkan saja tidak.
SLAMET    :    Kita tak ingin bukan? Jawablah!
DARMAWAN    :    Ya, ya, tentu!
SLAMET    :    (LEBIH TENANG) Aku mengira bahwa pak Entung memiliki kekuatan untuk menentangnya. Dalam pandanganku ia cukup berwatak. Terutama karena aku tidak tahu apakah yang memikatnya -- jaminan material atau moral manakah…
DARMAWAN    :    Lebih masuk akal kalau menganggapnya karena suatu sikap kekecewaan dalam dirinya.
SLAMET    :    Boleh jadi. Memang sangat kabur, atau lebih memberatkan…
        Memberatkan kukira, sebab kalau betul-betul atas kehendaknya… Aku rasa pak Surahman akan mengecam dia – apa yang dikatakan tentang kelakuan Direktur kita?
DARMAWAN    :    O Surahman lebih dari marah. Ia ngamuk tak terkendalikan. Aku jarang melihat orang begitu marah.
SLAMET    :    Sebtulnya ia orang baik. Ia memiliki pendirian yang waras. Dan selama ini aku salahmngerti tentang sikapnya.
DARMAWAN    :    Ia juga tak mengerti tentang kau.
SLAMET    :    Terbukti bahwa saat ini aku cukup obyektif. Jangan lupa, kaupun menganggap rendah orang itu.
DARMAWAN    :    Aku tidak merendahkan dia. Kuakui aku jarang sefaham dengan dia, aku tidak suka pada caranya mengecam sesuatu, sikapnya selalu curiga. Sampai sekarangpun aku tidak dapat menghargai dia sepenuhnya.
SLAMET    :    Sekarang untuk alasan yang sebaliknya.
DARMAWAN    :    Bukan, bukan itu. Caraku meninjau dan menarik kesimulan tidak semudah yang kau kira. Soalnya karena tidak ada hal-hal yang ilmiah atau obyektif tentang pernyataan yang dikemukakan oleh Surahman. Secara pribadi aku tidak membenarkan perbadakan ini, kaupun tahu sama sekali tidak membenarkan, jangan salah sangka! Tetapi sikap Surahman terlalu ekstrim, seperti biasa. Dan justru karena itu terlalu gampang. Pendiriannya melulu didiktekan oleh kebencian terhadap atasannya. Dari situlah timbul rasa rendah dirinya dan ketidak puasannya. Lagipula semua omongannya berupa kutipan-kutipan indoktrinasi, dan perdebatan macam demikian tidak cocok buatku.
SLAMET    :    Maafkan aku kalau sekali ini aku menyetujui Surahman sepenuhnya. Ia orang yang patut dihargai.
DARMAWAN    :    Aku tidak menyangkal – tapi aku tidak membenarkan.
SLAMET    :    Ia orang yang wajib dihargai, karena orang seperti dia sudah menjadi jarang dewasa ini. Ia realistis, kakinya kukuh memijak bumi. Aku setuju sepenuhnya dengan dia, dan aku tak malu mengatakannya. Aku ingin memberi selamat kepadanya kalau berjumpa dengannya. Aku menyesali perbuatan pak Entung, justru seharusnya dialah yang pantang menyerah.
DARMAWAN    :    Betapa tidak tolerannya kau! Barangkali pak Entung membutuhkan ketentraman setelah bertahun-tahun kerja kantor.
SLAMET    :    (IRONIS) Dan kau terlalu toleran, terlalu liberal!
DARMAWAN    :    Slamet, kawan… Seseorang harus berusaha untuk mengerti. Untuk dapat mengerti suatu kejadian serta akibat-akibatnya, kau harus meneliti kembali alasan-alasan yang menyebabkannya melalui proses intelek yang jujur. Kita mesti berbuat demikian karena lebih dari apapun kita mahluk yang mampu berfikir. Aku belumlah berhasil, seperti sudah kukatakan padamu. Dan aku tidak tahu apakah aku akan berhasil. Bagaimanapun juga, kita mesti memulai dengan kebulatan yang sebaik-baiknya – atau setidak-tidaknya dengan sikap tidak memihak, akal kita harus senantiasa terbuka, segala apapun bisa logis. Mengerti berarti membenarkan.
SLAMET    :    Aku ramalkan bahwa kau kelak memihak pada badak-badak.
DARMAWAN    :    Tidak, tidak, sama sekali tidak. Aku tak akan sejauh itu. Aku Cuma mencoba menghadapi faktanya langsung tanpa sentiment. Aku berusaha berskap realistis. Aku dapat menerima bahwa tidak ada kejahatan mutlak dalam sesuatu yang terjadi sewajarnya. Aku bukanlah orang yang memandang segala sesuatu sebagai sumber kejahatan. Serahkanlah penilaian pada yang berwenang.
SLAMET    :    Kau menganggap kejadian ini wajar?
DARMAWAN    :    Adakah yang tidak wajar pada seekor badak?
SLAMET    :    Ya, tapi manusia yang berubah jadi badak tak dapat disangsikan lagi ketidak wajarannya.
DARMAWAN    :    Itu soal pendirian saja.
SLAMET    :    Tak boleh jadi, mutlak tak boleh jadi.
DARMAWAN    :    Kau begitu yakin. Siapa yang dapat mengatakan sampai mana batas wajar dan tidak wajar? Bisakah kau menguraikannya. Belu ada yang menemukan jawaban masalah ini, tidak dri segi kedoteran, tidak dari falsafah. Kau seharusnya sadar.
SLAMET    :    Boleh jadi masalah initak dapat diselesaikan secara falsafah – tapi dalam praktejnya mudah saja. Orang bisa saja membuktikan bahwa apa yang disebut gerak itu tidak ada… tapi kau mulai berjalan… (MUNDAR MANDIR) Dan terus berjalan, dank au katakana pada dirimu seperti kata Galileo “ Dan untuk dapat bergerak”…
DARMAWAN    :    Kau mencampur adukkan yang satu dengan yang lainnya. Jangan memperumit persoalan. Dengan Gelileo justru sebaliknya; hasil pemikiran dan teori yang membuktikan keulungnnya di atas pendapat umum dan dogmatisme.
SLAMET    :    (PUSING SENDIRI) Apakah arti semua ini? Pendapat umum, dogmatisme – melulu kata-kata! Boleh jadi di dalam kepalaku sudah terputar balik semuanya. Tapi kau kehilangan otakmu. Kau sudah tak bisa membedakan lagi antara wajar dan tak wajar. Aku tak perduli dengan Galileo, persetan Galileo!
DARMAWAN    :    Kau yang menyebut dan membawanya ke dalam persoalan. Kau yang mengemukakan bahwa prakteklah yang akhirnya menentukan. Mungkin kau benar asal titik tolaknya dari teori. Seluruhsejarah pemikiran manusia dan ilmu pengetahuan membuktikannya.
SLAMET    :    (MAKIN MARAH) Tak satupun dibuktikan dengan terliti, apa itu gila.
DARMAWAN    :    Sama saja. Kita harus menguraikan dengan teliti, apa itu gila.
SLAMET    :    Gila adalah gila, tanpa arti yang lebih dari itu. Setiap orang tahu apa arti gila. Lalu tentang badak-badak itu… Praktek atau teori?
DARMAWAN    :    Keduanya.
SLAMET    :    Keduanya bagaimana?
DARMAWAN    :    Yang satu maupun yang lain, atau yang satu atau yang lain. Bahan perdebatan!
SLAMET    :    Kalau begitu aku tak sudi memikirkannya.!
DARMAWAN    :    Kau sudah tak menguasai diri lagi. Pendiirian kita mungkin tak sepenuhnya sesuai, namun kita masih dapat memperbincangkannya secara damai. Persoalan seperti ini sebaiknya dirundingkan.
SLAMET    :    (BINGUNG) Kau kira aku tak menguasai diri lagi? Aku bisa menjadi seperti Arifin. Ooo jangan, jangan, aku tak mau seperti dia (IA MENENANGKAN DIRI) Aku tak begitu pandai dalam falsafah. Pendidikanku tidak tinggi, lain dengan kau yang punya gelar dan macam-macam diploma. Kau dengan mudah melancarkan dikusi – aku orang kepalang (HURU HARA BADAK DI BAWAH JENDELA) Tapi perasaanku mengatakan bahwa kau salah – kurasakan dengan naluriku – kurasakan dengan firasatku. Ya itulah istilahnya, firasat.
DARMAWAN    :    Apakah yang kau artikan dengan firasat?
SLAMET    :    Firasat dalam arti… ya, arti yang itu! Aku dapat merasakannya, dengan wajar. Aku pikir toleransimu yang keterlaluan itu, kesabaranmu yang murah hati itu – percayalah, sesungguhnya Cuma merupakan kelemahan, kebutuhan jiwa…
DARMAWAN    :    Tuduhanmu timbul dari ketidak tahuan.
SLAMET    :    Kau selalu mampu untuk berputar-putar mengelilingi aku. Tapi jangan kira…, aku akan berusaha menemui Sarjana Muda itu
DARMAWAN    :    Sarjana Muda mana?
SLAMET    :    Sarjana Muda itu, ahli falsafah, ahli ilmu logika. Aku pernah bertemu dengan dia. Sarjana Muda itu yang akan bisa menjelaskan padaku.
DARMAWAN    :    Menjelaskan mngenai apa?
SLAMET    :    Ia menjelaskan bahwa badak-badak Asia itu jenis Afrika, dan yang Afrika jenis Asia.
DARMAWAN    :    Aku kurang mengerti.
SLAMET    :    Bukan, bukan… ia membuktikan yang sebaliknya – bahwa yang Afrika itu jenis Asia dan yang Asia .. aku tahu betul apa yang kumaksud. Bukan itu yang hendak kujelaskan. Tapi kau pasti akan sesuai bergaul dengannya. Ia setaraf dengan kau, orang yang baik hati, pemikir yang pandai, gemilang. (HURU HARA BADAK MEMUNCAK. PERCAKPAN TERBENAM OLEH SUARA BINATANG) Itu mereka lagi. Kapan mereka akan berhenti (IA LARI KE JENDELA) Hentikan, hentikan, setan ! (BADAK MENJAUH, SLAMET MENANTANG MEREKA DENGAN TINJUNYA)
DARMAWAN    :    (DUDUK) Aku akan senang bertemu dengan sarjana logika yang kau maksudkan, kalau ia bisa membuat aku mengerti tentang masalah yang gelap dan genting ini. Aku akan sangat berterima kasih.
SLAMET    :    (MELOMPAT KE ARAH LAIN DI JENDELA) Ya, akan kuperkenalkan dia kepadamu, ia pasti bersedia berbicara denganmu. Orangnya berwibawa, lihatlah nanti (KEPADA BADAK DI BAWAH) Setan! (MENGACUNGKAN TINJU)
DARMAWAN    :    Biarkan mereka, bersikaplah sopan. Tak pantas kau bicara demikian pada orang-orang…
SLAMET    :    (TETAP DI JENDELA) Itu mereka lewat lagi. Ada kacamata dengan pinggiran tebal tersangkut di cula badak. Astaga, itu kacamata Sarjana Muda. Punya sang Sarjana Muda! Ini melewati batas! Sarjana Muda itu telah menjadi Badak! Ya Tuhan kepada siapa lagi kita bisa minta nasihat.
DARMAWAN    :    (KE JENDELA) Mana dia?
SLAMET    :    (MENUNJUK)  Itu yang satu itu. Kau lihat?
DARMAWAN    :    Satu-atunya badak yang berkacamata. Kau pasti betul itu Sarjana Logikamu?
SLAMET    :    Sarjana Muda itu…. badak!
DARMAWAN    :    Ia masih mempertahankan benda kenangan dari kediriannya dulu.
SLAMET    :    (MENGAYUNKAN TINJUNYA KE ARAH BADAK) Aku tak akan bergabung dengan kau! Jangan harap!
DARMAWAN    :    Kalau ia betul-betul pemikir seperti yang kau gambarkan, mustahil ia akan terseret. Ia pasti akan mempertimbangkan dulu untung ruginya.
SLAMET    :    (BERSERU) Jangan berharap aku bergabung dengan kalian!
DARMAWAN    :    (DUDUK KEMBALI) Ya, kita terpaksa memikirkannya (SLAMAET AKAN MENUTUP JENDELA, TETAPI DARI ARAH LAIN MUNCUL LAGI  BADAK-BADAK MENGELILINGI BANGUNAN ITU. DIBUKANYA LAGI JENDELA DAN BERSERU)
SLAMET    :    Tidak, aku tak akan bergabung dengan kalian!
DARMAWAN    :    (SENDIRI) Mereka berkeliling mengitari gedung ini. Mereka bermain-main! Seperti bayi-bayi raksaa! (NAMPAK DEWI MENGETUK PINTU SLAMET. IA MEMBAWA KERANJANG) Ada orang di luar Slamet!
SLAMET    :    (MEMAKI MAKI) Memalukan ! menyamar begitu, memalukan!
DARMAWAN    :    Ada yang mengetuk pintu, Slamet. Dengar tidak?
SLAMET    :    Kaulah! Bukakan saja. (IAMENGAWASI BADAK-BADAK YANG MENJAUH)
        (DARMAWAN MEMBUKA PINTU)
DEWI    :    Selamat pagi kak Darmawan.
DARMAWAN    :    Ooo kau, Dewi.
DEWI    :    Kak Slamet ada? Sudah sembuhkah?
DARMAWAN    :    Aku gembira bisa bertemu dengan kau. Sering mengunjungi Salmet?
DEWI    :    Mana dia?
DARMAWAN    :    Tuh.
DEWI    :    Ia sendiri saja? Kasihan. Dan kesehatannya akhir-akhir ini kurang baik. Ia memerlukan bantuan seseorang.
DARMAWAN    :    Kau benar-benar seorang sahabat, Dewi.
DEWI    :    Aku tak lebih dari seorang sahabat yang ingin setia.
DARMAWAN    :    Hatimu pengasih.
DEWI    :    Aku hanya sahabat yang setia saja.
SLAMET    :    (MEMBALIK) Ooo Dewi… Kau terlalu baik datang ke sini, terlalu baik.
DARMAWAN    :    Lebih dari baik.
SLAMET    :    Kau sudah tahu, Dewi, Sarjana Muda itu kini seekor badak?
DEWI    :    Sudah tahu. Aku melihat dia tadi di jalan ketika aku mau masuk. Ia bisa lari cepat sekali! Kau sudah agak sembuh kak Slamaet?
SLAMET    :    Kepalaku masih sakit, berdenyut-denyut ! kadang-kadang aku takut… Bagaimana menurut kau?
DEWI    :    Aku anjurkan kau banyak berbaring. Istirahatlah dengan tenang untuk beberapa hari.
DARMAWAN    :    Kuharap aku tidak mengganggu kalian.
SLAMET    :    (KEPADA DEWI) Maksudku tentang Sarjana Muda itu…
DEWI    :    Menggangu apa? (KEPADA SLAMET) Ooo tentang sarjana muda itu? Aku tak punya komentar apa-apa.
DARMAWAN    :    Mungkin aku menyusahkan.
DEWI    :    (KEPADA SLAMET) Habis apa yang mesti kupikirkan? (KEPADA KEDUANYA) Aku punya kabar untuk kalian. Surahman sudah menjadi badak!
DARMAWAN    :    Begitukah?
SLAMET    :    Aku tak percaya. Ia tidak menyetujuinya. Kau pasti keliru. Ia jutru protes terhadap itu. Darmawan baru saja ceritera tentang dia. Begitu bukan Darmawan?
DARMAWAN    :    Memang.
DEWI    :    Aku tahu ia menentangnya. Meskipun begitu tak dapat dicegah ia merubah diri, 24 jam setelah pak Entung.
DARMAWAN    :    Rupanya ia berubah pikiran. Setiap orang berhak atas itu.
SLAMET    :    Dengan begitu apapun bisa terjadi?
DARMAWAN    :    (KEPADA SLAMET) Baru saja kau berkata, ia seorang yang patut dihargai.
SLAMET    :    (KEPADA DEWI) Aku tak percaya. Mungkin mereka membohongi aku.
DEWI    :    Aku menyaksikan sendiri.
SLAMET    :    Kalau begitu ia mengelabuhi kau. Ia Cuma pura-pura di depanmu.
DEWI    :    Agaknya ia berubah dengan rela.
SLAMET    :    Apa ia mengemukakan alasan?
DEWI    :    Ia mengatakan, kita harus memenuhi tuntutan jaman! Itulah kata-katanya yang terakhir sebagai manusia.
DARMAWAN    :    Aku sudah menduga akan menjumpai kau di sini, Dewi.
SLAMET    :    Memenuhi tuntutan jaman! Mental Bejat!
DARMAWAN    :    (KEPADA DEWI) Di mana lagi bisa kujumpai, sebab kantor sudah tutup.
SLAMET    :    (KEPADA IRINYA SENDIRI) Seperti anak kecil!
DEWI    :    Kalau kau ingin bertemu dengan aku, kau udah tahu alamatku.
DARMAWAN    :    Kau kan tahu Dewi, itu kurang pantas.
SLAMET    :    Tapi kalau kufikir kembali, perbuatan Surahman tidak mengherankan. Tekadnya itu Cuma lagaknya di luar saja yang tidak menutup kemungkinan bahwa ia orang baik. Orang baik-baik jadi badak baik-baik. Sayang sekali…
DEWI    :    Bolehkah keranjang ini aku simpan di meja?
SLAMET    :    Tapi ia orang baik yang penuh kedengkian.
DARMAWAN    :    (MENUJU DEWI, MEMBANTU MENARUH KERANJANG DI MEJA) Maafkan aku, maafkan kami berdua. Seharusnya dari tadi kami membantu kau.
SLAMET    :    Ia dikuasai oleh kebencian terhadap atasan-atasannya. Dan ia punya perasan rendah diri.
DARMAWAN    :    (KEPADA SLAMET) Argumentasimu tidak berlaku, sebb kini iameniru majikannya. Ia justru alat dari orang-orang yang menghisapnya. Agaknya persoalan dengan dia merupakan kemenangan jiwa gotong royong atas dorongan-dorongan anarki.
SLAMET    :    BAdaklah yang anarkis karena merekamerupakan minoritas.
DARMAWAN    :    Memang benar… untuksementara ini.
DEWI    :    Yang kau katakana minorotas itu cukup besar jumlahnya, dan terus bertambah besar. Keponakanku sudah jadi badak, juga isterinya. Belum lagi para pemimpin kita.
SLAMET    :    Orang-orang yang kita percaya.
DEWI    :    Dan banyak lagi yang lainnya. Banyak sekali. di kota ini sudah sepertiga penduduk…
SLAMET    :    Kita masih merupakan mayoritas. Kita harus menggunakan kesempatan sebelum kita terdesak.
DARMAWAN    :    Mereka sangat berpengaruh.
DEWI    :    Oh, mari kita makan dulu. Aku bawa makanan.
SLAMET    :    Kau terlalu baik dik Dewi.
DARMAWAN    :    (KESAMPING) Terlalu baik, memang.
SLAMET    :    Aku berhutang budi.
DEWI    :    (KEPADA DARMAWAN) Kau makan bersama kami?
DARMAWAN    :    Aku tak mau menyusahkan kalian.
DEWI    :    Apa maksudmu kak Darmawan? Kau tahu bahwa kami ingin kau tinggal di sini.
DARMAWAN    :    Aku tak mau merusak suasana.
SLAMET    :    Tentu kau akan tinggal di sini Darmawan. Kita bisa ngobrol terus.
DARMAWAN    :    Sebetulnya waktuku terbatas. Masih ada urusan lagi.
SLAMET    :    Tadi kau bilang, kau tak punya acara.
DEWI    :    (MENGELUARKAN ISI KERANJANG) Saat ini susah sekali mendapatkan makanan. Toko-toko sebagian besar tutup, pasar-pasar kosong. Di luar pintu mereka memasang tulisan “ Tutup, berhubung ganti rupa”
SLAMET    :    Mereka perlu digiring ke suatu padang yang trepagar, dan diawasi secara kusus.
DARMAWAN    :    Bicara memang mudah. Kau akan diprotes oleh panitia pelindung hewan.
DEWI    :     Dan jangan lupa bahwa setiap orang mempunyai keluarga dekat atau teman baik. Jadi akan lebih sukar lagi.
SLAMET    :    Jadi semua orang tersangkut.
DARMAWAN    :    Semua senasib sepenanggungan!
SLAMET    :    Tapi betapa mungkin manusia itu badak? Ini diluar akal waras! (KEPADA DEWI) Kubantu kau membereskan meja.
DEWI    :    Biarlah, aku sudah tahu dimana tempat piring-piring (MENGELUARKAN ALAT MAKAN DARI LEMARI KECIL)
DARMAWAN    :    (KESAMPING) Ia sudah mengenal baik tempat ini.
DEWI    :    Aku sediakan tiga piring – kau tinggal dengan kami di sini?
SLAMET    :    Tentu saja.
DEWI    :    (KEPADA SLAMET) Lambat laun kita akan binasa. Tak akan ada orang yang heran melihat sekelompok badak berkejaran di jalan. Orang akan menyingkir memberi tempat, lalu melanjutklan perjalanan seperti tak ada apa-apa.
DARMAWAN    :    Cara menghadapi yang paling bijak.
SLAMET    :    Tapi aku tidak bisa membiasakan diri.
DARMAWAN    :    (MERENUNG) Apa salahnya kalau kita maemberi kesempatan sebagai percobaan?
DEWI    :    Sekarang, mari kita makan dulu.
SLAMET    :    Aku tak bisa mengerti mengapa seorang ahli hukum seperti kau bisa… (HURU HARA BADAK YANG BERLARI CEPAT DI LUAR, TERDENGAR BUNYI TEROMPET DAN GENDERANG) Ada apa? (MEREKA LARI KE JENDELA) Apa itu? (TERDENGAR DINDING AMBRUK DI LUAR, DEBU MEMENUHI JENDELA MENUTUPI KETIGA ORANG TADI) Aku tak dapat melihat. Apa yang terjadi?
DARMAWAN    :    Melihat memang tidak bisa, tapi mendengar bisa, kan?
SLAMET    :    Apa gunanya?
DEWI    :    Piring dan makan tertutup debu.
SLAMET    :    Tidak sehat!
DEWI    :    Kita segera makan saja dulu. Tak usah hiraukan mereka! (DEBU MULAI BERKURANG)
SLAMET    :    Mereka mendobrak dinding Pemadam Kebakaran!
DARMAWAN    :    Betul juga, mereka telah mendobraknya.
DEWI    :    Mereka keluar dari puing!
SLAMET    :    Regu Pemadam Kebakaran, sekompi badak-badak, dengan drumband di depan mereka!
DEWI    :    Mereka berpawai di jalanan!
SLAMET    :    Ini sudah keterlaluan, lebih dari keterlaluan!
DEWI    :    Banyak lagi badak-badak keluar dari gedung-gedung!
SLAMET    :    Dari rumah-rumah.....
DARMAWAN    :    Bahkan dari jendela juga.
DEWI    :    Mereka bergabung satu sama lain.
DARMAWAN    :    Dari jenis kita sudah sedikit sekali yang tersisa.
SLAMET    :    Berapa jumlah yang bercula satu dan berapa yang bercula dua?
DARMAWAN    :    Mungkin ahli statistic sedang menyusunnya saat ini.
SLAMET    :    Mereka hannya dapat memperkirakan jumlahnya. Begitu cepat perkembangannya, mereka akan kekurangan waktu untuk menghitung!
DEWI    :    Ayo makan dulu. Demi ketenanganmu. Setelah perut terisi tenaga bertambah. (KEPADA DARMAWAN) Kau juga. (MEREKA MENJAUH DARI JENDELA, DEWI MEMEGANG LENGAN SLAMET. TIBA-TIBA DARMAWAN TERHENTI)
DARMAWAN    :    Aku tidak lapar – atau terus terang, aku tidak suka makanan yang di masak. Aku ingin makan di luar, di atas rumput.
SLAMET    :    Jangan, terlalu sembrono.
DARMAWAN    :    Tapi sungguh… aku ingin makan di luar.
SLAMET    :    Sudah kukatakan bahwa…
DARMAWAN    :    (MEMOTONG) Percayalah.
DEWI    :    Kalau kau sungguh-sungguh, kami tak bisa menahan kau di sini.
DARMAWAN    :    Aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu.
SLAMET    :    Jangan ijinkan dia pergi.
DEWI    :    Aku ingin dia tinggal di sini, tapi dia bebas berbuat sesuka hatinya.
SLAMET    :    Manusia lebih luhur dari pada badak….!
DARMAWAN    :    Aku tak pernah menyangkal, tapi bukan berarti aku setuju dengan kau.
SLAMET    :    Kau mulai goyah Darmawan. Ini hanya sementara, jangan sampai kau menyesal nanti.
DEWI    :    Kalau ini hanya sementara, maka bahayanya tidak besar.
DARMAWAN    :    Aku punya prinsip. Adalah tugasku untuk setia pada majikan dan teman-temanku, dalam suka maupun duka. Selamat tinggal perkawinan. Aku memenuhi tugas.
SLAMET    :    Tidak, kau keliru. Kau tak insaf di mana tugasmu sebenarnya. Tugas mu ialah menentang mereka dengan tegas dan waras.
DARMAWAN    :    Akalku akn kupertahankan warasnya (IA MULAI BERPUTAR PUTAR MENGELILINGI PANGGUNG) Waras seperti sediakala. Tapi aku takkan meninggalkan mereka.
DEWI    :    Ia sangat berbudi.
SLAMET    :    Terlalu berbudi (MELOMPAT KE ARAH PINTU, BERKATA PADA DARMAWAN) Kau keliru (PADA DEWI) Jangan bolehkan dia pergi. Ia akan membuiat kesalahan.
DEWI    :    Dapatkah aku menahannya? (DARMAWAN LARI KE PINTU DAN KELUAR DENGAN CEPAT, DISUSUL OLEH SLAMET SAMPAI PINTU)
SLAMET    :    Kembali , Darmawan, jangan pergi! Terlambat (MASUK KEMBALI) Terlambat .
DEWI    :    Ini di luar kemampuan kita (MENUTUP PINTU, SLAMAET TELAH LARI KE JENDELA)
SLAMET    :    Ia telah bergabung dengan mereka, mana dia?
DEWI    :    (MENDEKATI JENDELA) Bersama mereka.
SLAMET    :    Yang mana dia?
DEWI    :    Tak dapat di kenal, tak dapat di bedakan dari yang lain.
SLAMET    :    Mereka mirip satu sama lain, mirip semua. Kau seharusnya menahan dia, sekalipun dengan kekerasan.
DEWI    :    Aku tak berani.
SLAMET    :    Kau mestinya lebih tega kepadanya. Ia menaruh hati padamu bukan?
DEWI    :    Ia tak pernah mengatakan terus terang.
SLAMET    :    Setiap orang tahu. Kini ia berbuat nekad karena cintanya ditolak. Ia ingin berbuat sesuatu agar dikagumi olehmu. Apa kau tak berhasrat untuk mengejarnya?
DEWI    :    Sama sekali tidak.
SLAMET    :    (MELIHAT KELUAR JENDELA) Mereka melulu yang kelihatan di jalanan, dari ujung ke ujung. Sejauh mataku dapat melihat tak satupun manusia yang tampak. Mereka memenuhi jalan-jalan, sebagian bercula satu sebagian lagi bercula dua. Hanya itu perbedaan yang ada. (HURU HARA MAHA DAHSYAT DARI BADAK YANG BERGERAK TERDENGAR, NAMUN TERASA SEPERTI MUSIK. PADA DINDING BELAKANG  MUNCUL KEPALA-KEPALA BADAK LALU MENGHILANG KEMBALI. KEPALA INI  BERTAMBAH BANYAK AMPAI BAGIAN BELAKANG PANGGUNG PENUH) Kau kan tidak merasa ditinggalkan Dewi, aku kira kau tak akan pernah lagi bisa jatuh cinta. (IA MEMBELAI TANGAN DEWI DAN MEMEGANGNYA)
DEWI    :    Tak ada yang mustahil bukan?
SLAMET    :    Aku inginmembuat kau bahagia. Apakah kau bahagia bersamaku?
DEWI    :    Mengapa tidak? Kalau kau bahagia, akupun bahagia. Katamu kau tak takut apa-apa, tapi apakah yang akan terjadi pada kita?
SLAMET    :    (GUGUP) Cintaku… bolehkah kau kucium? Tak pernah kuimpikan perasaan semegah ini.
DEWI    :    Kau harus lebih tenang, lebih yakin akan dirimu di saat ini.
SLAMET    :    Aku tenang dan yakin, bolehkah kau kucium?
DEWI    :    Aku lelah sekali. tenang dan istirahatlah. Duduk di kursi. (SLAMET DIBIMBING DEWI, DUDUK DI KURSI)
SLAMET    :    Dengan penyelesaian terakhir apakah faedahnya Darmawan bertengkar dengan Surahman.
DEWI    :    Tak usah memikirkan lagi Darmawan. Aku di sini bersamamu. Kita tak berhak mencampuri kehidupan orang lain.
SLAMET    :    Tapi kau turut campur dalam hidupku. Kau bisa tegas terhadapku.
DEWI    :    Tentu saja berbeda, aku tak pernah mencintai Darmawan.
SLAMET    :    Ya, aku mengerti. Sekiranya ia tinggal bersama kita, ia akan merupakan rintangan bagi kita. Ah, kebahagiaan begitu egoistis
DEWI    :    Bukankah kebahagiaan mesti diperebutkan?
SLAMET    :    Aku mengagumi kau Dewi, aku juga memujamu.
DEWI    :    Mungkin akan lain setelah kau mengenal aku lebih baik.
SLAMET    :    Semakin kukenal kau, semakin sempurna kau. Kau begitu cantik, begitu cantik… (TERDENGAR BADAK LEWAT) Apalagi kalau dibandingkan dengan mereka. Barangkali ucapanku tidak seperti pujian, tapi sungguh, mereka membuat kau jauh lebih cantik.
DEWI    :    Kau tidak minum hari ini bukan?
SLAMET    :    Aku berkelakuan baik.
DEWI    :    Tidak bohong?
SLAMET    :    Sungguh, aku tidak bohong.
DEWI    :    Dapat dipercaya?
SLAMET    :    (AGAK GUGUP) Kau harus percaya padaku.
DEWI    :    Baiklah, kau boleh minum segelas kecil. Untuk memberi semangat. (SLAMET BERDIRI TIBA-TIBA)Diamlah ditempatmu. Mana botol itu?
SLAMET    :    Di atas meja kecil itu.
DEWI    :    (MENUJU MEJA) Kau menyimpannya di tempat tersembunyi.
SLAMET    :    Supaya aku tidak tergoda.
DEWI    :    (MENUANG DALAM GELAS KECIL) Kau telah mencapai kemajuan.
SLAMET    :    Dengan adanya kau di sini aku bertambah maju.
DEWI    :    (MENYERAHKAN GELAS) Ini untukmu. Sebagai hadiah.
SLAMET    :    (MENGUK HABIS) Terima kasih (IA MENGACUNGKAN GELAS KOSONGNYA KEPADA DEWI)
DEWI    :    Tidak sayang, sudah cukup untuk pagi ini, aku tak mau kau sakit lagi karenanya (MENYIMPAN GELAS DAN MENDEKATI SLAMET) Bagaimana kepalamu sekarang?
SLAMET    :    Jauh lebih baik.
DEWI    :    Kita buka saja balutnya. Tidak pantas kelihatannya.
SLAMET    :    Oooo jangan, jangan sentuh!
DEWI    :    Percuma, buka saja…
SLAMET    :    Aku takut ada sesuatu di bawahnya.
DEWI    :    (MEMAKSA MEMBUKA BALUT ITU) Kau ini selalu ketakutan, membayangkan hal buruk akan terjadi. Tak ada apa-apa di kepalamu, lihat sendiri. Dahimu licin seperti bayi.
SLAMET    :    (MERABA-RABA DAHINYA) Kau benar,kau membebakan aku dari ketakutan. Apa yang bisa kuperbuat tanpa kau?
DEWI    :    Kau tak boleh tinggal sendirian lagi.
SLAMET    :    Aku tak kan takut lagi kalau kau bersamaku.
DEWI    :    Akan kujauhkan mereka semua dari kau.
SLAMET    :    Kita akan bersama-sama membaca buku-buku. Aku akan jadi pintar.
DEWI    :    Dan kalau di luar sedang sepi, kita akan berjalan-jalan jauh.
SLAMET    :    Ya, ke pinggir sungai, taman taman umum.
DEWI    :    Ke kebun binatang….
SLAMET    :    Aku akan menjadi pemberani, aku akan melindungi kau dari segala bahaya.
DEWI    :    Kau tak perlu membela aku, kita tak akan menyakiti siapapun. Dan tak akan seorangpun yang berniat jahat kepada kita.
SLAMET    :    Mungkin suatu saat kita menyakiti orang tanpa sadar, maksudku… kita sering berbuat sesuatu tanpa berfikir jauh. Aku tahu kau kurang senang pada pak Entung – tapi ada baiknya kau tidak terlalu keras dalam kata-katamu ketika Tigor menjadi badak itu. Kau tak usah mencaci dia berlaku lancang.
DEWI    :    Tapi betul, ia bertangan lancang.
SLAMET    :    Aku tahu bahwa betul, sayang. Tapi kau bisa mengatakannya dengan lebih lunak, tanpa menyinggung perasaannya. Mungkin kau sebenarnya mampu menyelamatkan dia.
DEWI    :    Mana aku tahu apa yang kemudian menimpa dia. Kelakuannya memang lancing.
SLAMET    :    Akupun tak dapat memafkan diriku karena tak sabar pada Arifin. Aku tak pernah berhasil membuktikan rasa persahabatanku dengannya, kami tidak pernah saling mengerti.
DEWI    :    Tak usah dipikirkan. Kau sudah berusaha semampumu, apa gunanya kau menyesal sekarang. Lupakan saja, kau harus menghapus kenangan buruk itu.
SLAMET    :    Tapi ingatan itu selalu kembali lagi.
DEWI    :    Kau seorang realis, ku kira kau berjia penyair. Mana daya ciptamu? Kenyataan mempunyai banyak segi, pilihlah segi yang terbaik untukmu.
SLAMET    :    Mudah saja kau berkata begitu.
DEWI    :    Apa aku belum cukup untukmu?
SLAMET    :    Oh ya, lebih dari cukup.
DEWI    :    Kau akan merusak segalanya kalau kau selalu menyiksa dirimu begitu. Setiap orang punya kesalahan, tapi bagi kita belumlah sebanyak orang lain.
SLAMET    :    Betulkah begitu?
DEWI    :    Kita lebih baik dari kebanyakan orang, kita berdua…
SLAMET    :    Benar, kita berdua baik, benar.
DEWI    :    Kita berhak hidup, kita bahkan belum menunaikan tugas untuk bahagia.
SLAMET    :    Kau benar,kaulah seluruh kebahagiaanku, cahaya hidupku. Tak seorangpun bisa memisahkan kita , sungguh, tak seorangpun bukan? (ADA TILPUN DARI TINGKAT BAWAH) Ada yang menilpon di bawah.
DEWI    :    (TAKUT) Jangan jawab.
SLAMET    :    Mengapa jangan?
DEWI    :    Entahlah, aku rasa lebih baik jangan.
SLAMET    :    Mungkin dari pak Entung, Arifin, Surahman atau Darmawan, untuk mengatakan bahwa mereka sudah berubah pikiran. Kau sendiri bilang bahwa ini hanya sementara.
DEWI    :    Aku kira tidak. Mereka tak akan merubah pikiran begitu cepat, mereka belum lagi sempat merenungkannya, mereka membutuhkan masa percobaan.
SLAMET    :    Mungkin ada panggilan darurat lewat tilpun yang menyerukan bantuan kita dengan petunjuk mereka (IA MEMBUKA PINTU) Pastilah panggilan darurat, deringnya terus menerus (IA KE BAWAH, TERDENGAR SUARANYA: Hallo  LALU JAWABAN TEROMPET BINATANG DARI TILPON. SLAMET LARI MASUK KEMBALI, DEWI TERTEGUN) Kau dengar tadi? Bunyi hewan di tilpon.
DEWI    :    (TAKUT) Apa maksudnya?
SLAMET    :    Mereka mulai mempermainkan kita.
DEWI    :    Sama sekali tak lucu.
SLAMET    :    Seperti telah kuramalkan.
DEWI    :    Kau tak pernah meramalkan.
SLAMET    :    Sudah kuduga akan begini jadinya.
DEWI    :    Kau tak pernah meramalkan. Kau hanya meramalkan hal yang sudah terjadi.
SLAMET    :    Aku cukup pandai meramalkan apa yang akan terjadi.
DEWI    :    Sama sekali tak lucu. Aku tak sudi dipermainkan.
SLAMET    :    Mereka tak kan berani mempermainkan kau. Akulah yang mereka permainkan.
DEWI    :    Termasuk aku juga, karena aku bersama kau. Mereka mau balas dendam. Apa salah kita terhadap mereka? (DERING TILPON LAGI) Putuskan saja kabelnya.
SLAMET    :    Itu dilarang oleh postel.
DEWI    :    Kau selalu takut untuk bertindak. Katanya kau sanggup membela aku mati-matian.
SLAMET    :    (MELOMPAT KE RADIO) Kita pasang radio untuk siaran warta berita dari puat.
DEWI    :    Ya, kita perlu mengetahui perkembangan terakhir (SLAMET MENYETEL RADIO, TAPI YANG TERDENGAR SUARA HEWAN, IA SEGERA MEMATIKANNYA LAGI) Mereka sekarang sudah tidak main-main lagi. Terus terang, aku cemas.
SLAMET    :    (GELISAH) Tenangkan dirimu. Tenangkan dirimu!
DEWI    :    Studio penyiaran radio sudaj mereka ambil alih.
SLAMET    :    (GEMETAR) Tenag, tenang! (DEWI LARI KE PINTU LALU KE JENDELA MELIHAT KE LUAR, SLAMAET BERBUAT YANG SEBALIKNYA, AKHIRNYA MEREKA BERTEMU DI TENGAH RUANGAN, BERHADAPAN)
DEWI    :    Bukan lelucon lagi. Mereka sudah berkuasa.
SLAMET    :    Hanya mereka yang ada sekarang, tak ada siapa-siapa selain mereka.
DEWI    :    Tak ada manusia lagi di dunia.
SLAMET    :    Kita sendiri, kita ditinggalkan sebatang kara.
DEWI    :    Seprti yang kau idam-idamkan.!
SLAMET    :    Kaulah yang mengidamkan!
DEWI    :    Kaulah!
SLAMET    :    Kau !(HURU HARA DARI LUAR. KEPALA BADAK MEMENUHI DINDING BELAKANG. BUNYI YANG BISING SEMACAM MUSIK BERIRAMA. SUARA PALING KERAS DATANG DARI ATASCSEPERTI KAKI KAI BERJINGKRAK, RUMAH SEPERTI DILANDA GEMPA BUMI)
DEWI    :    Bumi bergetar! (IA TAK TAHU HARUS LARI KEMANA)
SLAMET    :    Bukan, tetangga-tetangga kita, para bapak dan ibu badak (IA MENGANCAM LAGI DENGAN TINJUNYA KE KIRI,KANAN, ATAS) Hentikan ! kalian membuat kami tak dapat bekerja. Dilarang membuat huru hara di sini! Dilarang bearisik.
DEWI    :    Mana mau mereka mendengar suaramu (NAMUN HURU HARA BERKURANG JUGA SAMPAI HANYA MERUPAKAN IRINGAN BERIRAMA DI LATAR BELAKANG)
SLAMET    :    (KETAKUTAN) Jangan takut, sayang, kita bersama-sama. Kau bahagia dengan aku bukan? Aku berada di sini dengan kau, bukan? Akan kuusir segala ketakutanmu lintang pukang.
DEWI    :    Mungkin juga kita bersalah.
SLAMET    :    Jangan pikirkan lagi. Jangan kita mulai dengan penyesalan. Akan berbahaya. Kita mesti menunaikan hidup kita, dan berbahagia. Kita berhak ata kebahagiaan. Mereka tidak keji, dan kita tidak mengganggu mereka. Mereka akan membiarkan kita dalam kedamaian. Tenangkan dirimu dan beristirahatlah. Duduk di kursi (IA MEMBIMBING KE KURSI) Tenangkan saja (DEWI DUDUK DI KURSI) Kau mau minum seteguk untuk menguatkan?
DEWI    :    Aku sakit kepala.
SLAMET    :    (MENGAMBIL BALUTNYA DAN DIBALUTKAN KE KEPALA DEWI) Tak usah kuatir sayang, ini hanya babak sementara. Mereka akan menggulanginya.
DEWI    :    Mereka tak kan mampu menanggulanginya. Mereka badak selama-lamanya.
SLAMET    :    aku cinta padamu, sayang. Aku edan karena cinta.
DEWI    :    (MEMBUKA BALUTNYA) Biarlah nasib menetukan jalannya. Kita tak bisa berbuat apa-apa.
SLAMET    :    Mereka sudah jadi gila. Dunia udah sakit. Mereka semua sakit.
DEWI    :    Bukan kita yang bisa menyembuhkan mereka.
SLAMET    :    Bagaimana kita tahan hidup serumah dengan mereka?
DEWI    :    (MENENANGKAN DIRI) Kita harus tetap waras. Kita harus menyesuaikan diri dan belajar hidup di tengah-tengah mereka.
SLAMET    :    Mereka tidak mengerti kita.
DEWI    :    Mereka harus. Tak ada jalan lain.
SLAMET    :    Apa kau mengerti mereka?
DEWI    :    Belum, tapi kita coba memahami mereka, dan mempelajari bahasa mereka.
SLAMET    :    Mereka tak punya bahasa! Dengarkan saja… kau namakan itu bahasa
DEWI    :    Mana kau tahu. Kau bukan ahli bahasa.
SLAMET    :    Kita lanjutkan nanti saja. Kita perlu makan siang dulu.
DEWI    :    Aku tidak lapar lagi. Bebanku terlalu banyak. Aku takkan tahan lama.
SLAMET    :    Tapi kaulah yang kuat iman. Kau takkan membiarkan dirimu dikalahkan begitu saja. Justru keberanianmu yang begitu kukagumi.
DEWI    :    Sudah kudengar tadi.
SLAMET    :    Apa kau yakin akan cintaku?
DEWI    :    Ya, tentu.
SLAMET    :    Aku begitu cinta padamu.
DEWI    :    Dari tadi kau berkata itu itu juga.
SLAMET    :    Dengarlah Dewi, ada sesuatu yang bisa kita lakukan. Kita akan  punya anak banyak dan anak-anak kita akan punya anak-anak juga. Memang memakan waktu, tapi kita turun temurunkan kembali bangsa manusia.
DEWI    :    Turun temurunkan lagi bangsa manusia?
SLAMET    :    Itu sudah pernah terjadi.
DEWI    :    Di masa silam, Adam dan Hawa. Keberanian mereka sungguh luar biasa.
SLAMET    :    Maka kitapun harus berani. Takusah dengan syarat luar biasa. Melalui waktu dan kesabaran yang cukup akan terlaksana dengan sendirinya.
DEWI    :    Apa gunanya? Aku tak mau punya anak, menjemukan!
SLAMET    :    Bagaimana bisa kita selamatkan dunia, kalau kau tak mau punya anak?
DEWI    :    Mengapa dunia mesti di selamatkan?
SLAMET    :    Jangan bicara begitu.lakukanlah untukku, Dewi. Mari kita selamatkan dunia.
DEWI    :    Mungkin justru kita yang perlu di selamatkan. Barangkali kitalah yang tidak pada tempatnya di dunia ini.
SLAMET    :    Kau bukan dirimu, Dewi. Agaknya kau kena demam sedikit.
DEWI    :    Tak ada lagi dari jenis kita dimana-mana, bukan?
SLAMET    :    Dewi, kau kularang bicara begitu!
DEWI    :    (MELIHAT KEPALA-KEPALA BADAK DI SEKITARNYA) Itulah manusia yang sebenarnya. Lihat betapa mereka berbahagia. Mereka puas dengan keadaan mereka, mereka tidak seperti gila. Mereka kelihatan wajar sekali.
SLAMET    :    (MENGATUPKAN KEDUA TANGANNYA,MEMOHON KEPADA DEWI) Kitalah yang benar dalam perbuatan kita, Dewi. Aku jamin kau.
DEWI    :    Aku tak mengira kau sombong.
SLAMET    :    Kau tahu aku benar.
DEWI    :    Kebenaran tidak mutlak. Dunialah yang benar, bukan kau dan aku.
SLAMET    :    Tapi aku benar, Dewi, dan sebagai buktinya, kau mengerti kalau aku bicara padamu.
DEWI    :    Apa yang dibuktikan?
SLAMET    :    Bukti bahwa aku cinta padamu, dengan segala kemampuan seorang laki-laki untuk mencintai seorang wanita.
DEWI    :    Bicaramu tak karuan.
SLAMET    :    Aku tak dapat memahami kau lagi, Dewi. Kau tak mengerti apa yang kau lontarkan. Ingatlah akan cinta kita, cinta kita…
DEWI    :    Aku malu oleh apa yang kanamakan cinta. Perasaan sera mini… kelemahan laki-laki….. Dan sama saja kelemahan wanita. Kalah dalam perbandingan dengan kobaran tenaga raksaa yang terpancar dari makhluk-makhluk di sekitar kita.
SLAMET    :    Tenaga! Kau menginginkan tenaga? Akan kuberi kau tenaga! (DITAMPARNYA DEWI)
DEWI    :    Oooo, aku tidak percaya bahwa ini mungkin (IA DUDUK LESU DI KURSI)
SLAMET    :    O, Ampuni aku Dewi, ampunilah aku ( IA HENDAK MEMELUK, TAPI DEWI MENGELAK) Ampuni aku, bukan maksudku begitu. Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku, mengapa aku tak menguasai lagi diriku?
DEWI    :    Karena kau sudah kehabisan bahan, karena itu.
SLAMET    :    O, celaka, dalam waktu beberapa menit saja kita telah mengalami kehidupan suami isteri sepanjang 25 tahun.
DEWI    :    Aku merasa kasihan kepadamu. Aku mengerti kau…
SLAMET    :    (SEMENTARA DEWI MENANGIS) Mungkin benar aku sudah kehabisan bahan. Kau anggap mereka lebih kuat dari aku, lebih kuat dari kita. Boleh jadi mereka lebih kuat.
DEWI    :    Mereka lebih kuat.
SLAMET    :    Tapi bagaimanapun juga, aku sumpah padamu bahwa aku tidak mau mengalah, tidak!
DEWI    :    (BERDIRI MELETAKKAN TANGAN DI BAHU SLAMET) Kekasihku yang malang, akan kubantu kau dalam pertahananmu --  sampai saat terakhir.
SLAMET    :    Apakah kau betul-betul siap untuk itu.
DEWI    :    Aku janji padamu. Percayalah (HURU HARA BADAK BERLAGU) Dengarlah mereka menyanyi.
SLAMET    :    Mereka bukan menyanyi, mereka mengaum
DEWI    :    Mereka menyanyi.
SLAMET    :    Mereka mengaum. Dengarlah baik baik.
DEWI    :    Kau gila, mereka menyanyi.
SLAMET    :    Kalau begitu kau kurang tahu seni musik.
DEWI    :    Kau sama sekali tidak tahu tentang muik, kasihan… Dan perhatikanlah, mereka juga baermain, dan menari-nari.
SLAMET    :    Kau anggap itu menari?
DEWI    :    Itu tarian mereka. Mereka cantik!
SLAMET    :    Mereka memuakkan!
DEWI    :    Jangan mengatakan hal-hal yang uruk tentang mereka. Aku jadi tidak enak.
SLAMET    :    Maaf. Kita tak usah bertengkar karena mereka.
DEWI    :    Mereka seperti dewa-dewi.
SLAMET    :    Kau sudah keterlaluan Dewi. Perhatikanlah mereka dengan teliti.
DEWI    :    Jangan iri hati sayang (IA MENDEKATI SLAMAET HENDAK MEMELUK, KINI SLAMAET YANG MENGELAK)
SLAMET    :    Jelaslah bahwapendirian kita berlawanan. Lebih baik kita tak memperbincangkan soal ini.
DEWI    :    Marah tanpa alasan.
SLAMET    :    Jangan berlaku bodoh, Dewi. (MEMBELAKANGI DEWI, MENGHADAP CERMIN)
DEWI    :    Sudah tak mungkin lagi kita hidup bersama-sama (DIAM DIAM MENDEKATI PINTU) Ia tidak terlalu menarik, sesungguhnyalah. Apa yang menarik padanya? (KELUAR DAN PERLAHAN TURUN)
SLAMET    :    (MASIH MENGHADAP CERMIN) Manusia tidak terlalu jelek sebetulnya. Padahal aku bukanlah tokoh yang ganteng. Percayalah, Dewi. (MEMBALIK) Dewi, Dewi, Kembali! Jangan berbuat begitu padaku. (LARI KE PINTU) Dewi, Dewi, kembali! Jangan tinggalkan aku sendiri ingatlah janjimu , Dewi… (IA BERHENTI MEMANGGIL, DENGAN PUTUS ASA KEMBALI MASUK KE KAMAR) Tak bisa di sangkal lagi bahwa kita tak cocok satu sam lain. Rumah tangga telah berantakan, tidak bisa berlangsung. Tapi ia tak perlu pergi dengan cara begitu, tanpa penjelasan apa-apa (MELIHAT KE SEKITAR) Suratpun tak ia tinggalkan, seperti tak pernah kenal pendidikan. Sekarang aku sendirin (IA MENGUNCI PINTU DENGAN MARAH, MENUTUP JENDELA DENGAN HATI-HATI) Mereka  tak akan mudah mendapatkan aku, jangan kira kalian akan memperoleh diriku. Aku takkan bergabung dengan kalian. Aku akan tetap aku. Aku manusia. seorang manusia. (DUDUK DI KURSI) Keadaan ini tak tertanggungkan. Salahku mengapa Dewi sampai pergi. Bagaimana nasibnya sekarang? Makhluk mungil dalam dunia iblis! Tak seorangpun akan membantu aku untuk mencarinya, tak eorangpun,karena tak ada lagi orang. (GELOMBANG BARU, TEROMPET BADAK, DEBU) Aku tak tahan mendengar huru hara yang mereka timbulkan, aku musti menutup lubang telingaku dengan kapas (MENYUMPAL TELINGANYA DENGAN KAPAS, LALU MENGHADAP CERMIN) Satu-satunya jalan ialah meyakinkan mereka – meyakinkan apa? Dapatkah mereka berubah kembali ke asal mereka? Itulah yang perlu akuketahui. Mungkinkah badak menjadi manusia kembali? Setidaknya untuk meyakinkan mereka, aku perlu bicara dengan mereka, untuk itu aku harus mempelajari bahasa mereka, atau mereka belajar bahasaku. (KE TENGAH RUANGAN) Bagaimana kalau benar apa yang dikatakan Dewi bahwa merekalah yang benar (KEMBALI KE DEPAN CERMIN) Manusia tidak jelek untuk di pandang, sama sekali tidak jelek (MENGUSAP WAJAHNYA) Lucu benar bayangan dalam cermin itu, seperti apa rupaku, seperti apa? (IA MEMBUKA LACI MENGELUARKAN POTERT, DI PANDANGNYA SATU SATU) Potret siapa ini? Pak Entung atu Dewi? Apakah ini Surahman, Darmawan. Arifin atau aku sendiri. Ah, inilah aku, inilah aku (DIGANTUNGNYA POTERT ITU, LALU DIPANDANGNYA) Itulah aku… aku tidak tampan, jelek (DICABUTNYA LAGI POTRET ITU DILEMPARKANNYA KE LANTAI DENGAN MARAH LALU MENGHADAP KEMBALI KE CERMIN) Aku keliru, Oooo betapa aku menginginkan bentuk itu, aku sama sekali tak punya cula, lebih dari celaka dahi licin yang begitu jelek untuk dilihat. Aku membutuhkan satu atau dua cula supaya kulitku yang sudah kendor kembali kencang. Kalau tumbuh cula satu, aku tak usah malu lagi bergabung dengan mereka. Tapi padaku takkan tumbuh cula (IA MEMANDANG TELAPAK TANGANNYA) Tanganku halu – oo mengapa tak bisa kasar?!! (DIBUKANYA KANCING BAJUNYA DIPANDANGNYA KULIT DADANYA I CERMIN) Kulitku begitu loyo, mengapa tidak menjadi tebal, keras dengan warna ungu yang sedap – kulit telanjang yang sopan untuk dilihat. (IA MENDENGARKAN TEROMPET BADAK) Nyanyian mereka merdu, sedikit binal, tapi menggiurkan. Akupun ingin bisa ! (MENCOBA MENIRUKAN) Ah, bbrrr… tidak, bukan begitu, terlalu lemah, tanpa semangat ! sekali lagi,lebih keras, akhhh, bbrrrr, tidak, bukan begitu! Aku belum seperti mereka, aku baru meraung. Nyata benar bedanya. ,meraung dengan suara terompet mereka. Aku menyesal, aku menyesal sejak semula tidak bergabung dengan mereka selagi ada kesempatan. Sekarang sudah terlambat, sekarang aku tak mungkin lagi  jadi badak, tak mungkin lagi! Sudah kadaluwarsa. Aku ingin dengan sepenuh hati, tapi aku tak bisa, oh, aku tak tahan memandang diriku lagi, aku malu melihatnya (MEMBELAKANGI CERMIN) Orang yang mempertahankan kepribadiannya selalu celaka pada akhirnya (TIBA-TIBA IA MENGATASI DIRINYA) Apa boleh buat, aku harus berani menghadapi mereka semua, akulah manusia terakhir yang tinggal, dan aku akan tetap begini selamanya. Aku tidak akan mengalah.
-----------------

diketik ulang oleh Studio Teater PPPG Kesenian Yogyakarta.
Maret 2007

 4. DEMANG LEHMAN Karya : H. Adjim Arijadi

SPACE A: MERUPAKAN SEBUAH RUANG KERJA PERWIRA BELANDA BERPANGKAT LETNAN KOLONEL DENGAN JABATAN RESIDEN.
Di ruangan ini mengesankan bentuk dan gaya Eropah, dengan peralatan yang terdiri dari: satu meja kerja lengkap dengan korsinya, ada beberapa kursi lainnya untuk para tamu menghadap Residen.
Di atas meja kerja itu, terdapat sebuah Globe, sebuah tongkat upacara, botol tinta lengkap dengan tangkai pena yang terbuat dari bulu burung anggang.
Beberapa map berkas surat-surat dokumentasi.
SPACE B: ADALAH TEMPAT KERANGKENG YANG MEMBERI KESAN KAMAR TAHANAN. Di atas kerangkeng sekaligus bisa dirombak menjadi level untuk menghukum mati seseorang. Itulah tiang gantungan tempat menghukum gantung.
Pada balok palang tempat tali tergantung, terdapat kain tergulung warna putih, yang pada saat-saat tertentu, kain itu bisa diuraikan kebawah. Untuk menaiki level tempat gantungan itu, tersedia trap atau anak tangga.
SPACE C: BERKESAN SEBAGAI RUANG TUNGGU TEMPAT PARA TAMU DUDUK-DUDUK MENANTI GILIRAN MASUK KE RUANG KERJA RESIDEN.
ADA SATU PAGAR YANG MEMISAHKAN RUANG INI DENGAN RUANG DALAM.
SPACE D: ADALAH RUANG YANG AGAK MENINGGI, TERLETAK AGAK JAUH DI BELAKANG. Ada anak tangga yang memberi kesan untuk turun naik rumah yang bertiang tinggi. Di dalam ruangan ini terdapat beberapa peralatan musik tradisional Banjar.
WAKTU, Di dalam abad ke-XIX yakni pada tahun 1864 dengan tempat kejadian di kota tempat berdirinya kerajaan Banjar, yakni Martapura di belahan selatan Pulau Borneo, atau Kalimantan Selatan sekarang ini.
DALAM SOLILOQUE, SETIAP TOKOH YANG BERHUBUNGAN DENGAN RUANG-RUANG INI, HADIR DALAM EXPRESSI AWAL DARI PERKEMBANGAN WATAK.

1.    SOLILOQUE PADA MASING-MASING SPACE

Dalang    :     (Pada SPACE B) Pemerintah Gubernemen Belanda telah menjatuhkan putusannya, hukum gantung.
Wanita    :     (Pada SPACE D) Yang digantung itu adalah salah seorang dari tokoh pejuang kami.
        Demang Lehman namanya.

Pesuruh    :     Saya kenal baik, dulu ketika kami masih jadi petani, namanya bukan Demang Lehman. Tapi Idis.
Residen    :     Sebuah alun-alun di Martapura. Alun-alun Bumi Selamat. Kepala Pemberontak Riam Kiwa dan Riam Kanan itu akan digantung,pada waktu sholat maghrib.
Syarif Hamid     :     (Pada SPACE C Tempat Pesuruh Bertugas)
        Masya Allah. Penghinaan!

2.    MASIH PADA SPACE MASING-MASING.

Demang Lehman    :    Hakim Gubernemen, menurut pengakuan pribadinya, Saya dan pengikut-pengikut saya dinyatakan tidak salah. Dan Hakim menjatuhkan vonisnya, saya telah dibebaskan dari tuntutan jaksa.
 Pesuruh    :    Bagaimanapun juga, saya harus mengulur-kan lidah saya sepanjang-panjangnya dan tidak akan berbuat sebagaimana tuan hakim yang agung itu. Saya merindukan hakim itu. Semoga saja arwah hakim itu mau mengerti, bagaimana  perasaan saya.
Demang Lehman    :    Hakim itu memaksakan perasaannya tapi tidak mau tahu apa kehendak pemerintah Militernya Verspijk. Aspirasi rakyat di Banua Banjar ini,  seharusnya tidak usah diperhatikan saja.
Wanita Satu    :    Perkiraan cuaca hari ini bersuhu tinggi. Hakim yang memutuskannya. Kami semua tahu, memang hakim yang memutuskannya Dan hakim itu adalah hakimnya pemerintah.
Residen    : Ya! Yang namanya Pemerintah Gubernemen itu, ialah Saya! Dan yang memutuskan hukum gantung itu, memang Saya!
 Syarif Hamid    :    Memang sulit. Dan dari sudut manakah agar putusan Verspijck ini dapat dibenarkan oleh penduduk pribumi. Yang terdengar rakyat, bahwa hukum gantung itu, memang dilakukan oleh  Belanda. Rakyat tidak mau tahu bagaimana  putusan seorang Hakim dan bagaimana maunya Residen.
 Residen    :    Ya. Kita lihat saja nanti.

3.    MASIH SOLILOQUE PADA SPACE MASING-MASING, TAPI EKSPRESI LEBIH BERKEMBANG DENGAN MELIBATKAN SELURUH SARANA FISIK.

Demang Lehman    :    (Muncul dari dalam kerangkeng dengan segulung tali di tangan-nya. Dinaikinya anak tangga dan langsung menggantungkan tali itu pada palang balok yang sudah tersedia. Tali itu siap menantikan leher orang yg akan digantung. Demang lehman menguji kekuatan tali gantungan itu)
        Sebentar lagi. Waktu antara Ashar dengan Maghrib menurut perkiraan saya, tidak begitu  lama. Kata Residen yang Letnan Kolonel itu,  bahwa saya akan digantung, apabila bedug di  mesjid sudah berbunyi.
 Syarif Hamid    :    Masya Allah!
 Demang Lehman    : (Mencoba mengalungkan jeratan tali itu pada lehernya, cuma sebentar lalu dilepas kembali ).
        Alternatif yang disodorkan Residen kepada Saya adalah suatu kemustahilan.Memang aneh tapi tidak lucu.Saya punya alternatif tersendiri.  Hanya ada satu pilihan yaitu mati digantung.
 Dalang    :    Saudara-saudaraku satanah banyu dan sabanua  Tidak usah takut, apabila alternatif ini saya  Lemparkan ketengah-tengah forum mufakat dan musyawarah tingkat nasional. Latar belakangnya tidak begitu banyak, yakni berkisar dari kesalahan penguasa tanah banyu kita yang mendahului kita. Kesalahan para penghibah  waris kita sendiri. Baiklah kita buka saja forum  ini. Pembicara dalam termiyn pertama cukup  untuk beberapa orang saja. Beberapa orang itu  ialah mereka yang memang pernah membeli  saham dengan mata uang Fortugis, Inggris,  Cina, saudi Arabia dan Belanda itu sendiri.
        Maaf kalau dua negara Adikuasa kami tempat kan sebagai petugas keamanan saja. (Kembali menguji coba tali gantungan).

 Demang Lehman    :    Dangar-dangar barataan, banua Banjar kalau  kahada dipalas lawan banyu mata darah, marikit dipingkuti Kompeni Walanda.

 Wanita Satu    :    Haram Manyarah
 RAKYAT    :     Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing!

4.    SOLILOQUY MENJELAJAH SELURUH LOKASI

SESEORANG     :    Dangar-dangar urang kampung subarang manyubarang..... Dangar-dangar urang kampung barataan, nang disubarang menyubarang batang banyu, isuk hari Jumahat sahabis bada, diparintahakan bakumpul dialun-alun Bumi salamat Martapura.
        Sabab pamarintah Wolanda, handak manampaiakan dihukum gantungnya saikung panghianat, bangaran Demang Lehman...... Dangar-dangar urang kampung subarang manyubarang batang banyu.....Dangar-dangar.......
 Wanita Satu    :    Kita akan buktikan keberanian kita. Besok akan kita buktikan, bahwa belanda tidak akan berhasil menghukum mati tokoh pejuang kita itu.
 Wanita Dua    : Siapa? Hei urang diseberang sana. Siapa yang akan digantung? Uuui, siapa yang akan digantung. Kok  tak ada yang menyahutnya. Saya hanya mendengar canang yang dipukul orang. Dan antara kedengaran dan tiada, bahwa seseorang akan digantung. Siapa. Siapa yang akan digantung?

5.    UNTUK SEMUA DALAM AREAL AKTING.

Wanita Dua    :     Uuui. Siapa yang akan digantung ? Uuui ........
Wanita Tiga    :     (Muncul dengan buru-buru)
Wanita Dua    :     Hei, mau kemana buru-buru?
Wanita Tiga    :     Maaf. Mau cepat. Nanti keburu senja.
Wanita Dua    :     Sebentar. Kau mendengar pengumuman kemarin sore
Wanita Tiga    :     Justeru itu, Saya harus berangkat secepatnya.
Wanita Dua    :     Nanti dulu. Siapa yang akan digantung?
Wanita Tiga    :     Bubuhan kita di banua.
Wanita Dua    :     Siapa?
Wanita Tiga    :     Itu, Demang Lehman.
Wanita Dua    :     Demang Lehman?
Wanita Tiga    :     Sudahlah. Tidak perlu tahu.
Wanita Dua    :     Apakah dia keluargamu?
Wanita Tiga    :     Bukan.
Wanita Dua    :     Lantas kamu akan melihatnya.
Wanita Tiga    :    Semua kita harus melihatnya.
Wanita Dua    :    Tapi Demang Lehman itu, kan bukan keluargamu?
Wanita Tiga    :     Iyya. Bukan keluarga.
Wanita Dua    :     Kalau bukan sanak keluarga, untuk apa pergi  melihatnya. Yang menggantung itu siapa?
Wanita Tiga    :     Wolanda. Maaf saya harus pergi sekarang.
Wanita Dua    :     Sebentar. Apa kau Demang lehman itu? Bekal suamimu? Tapi jelaskan dulu, Demang Lehman  yang mana?
Wanita Tiga    :     Beberapa tahun yang lalu, beliau sering ke istana.  Pengawal pribadi Pangeran Hidayat. Dulu selagi  beliau tinggal dikampung, namanya Idis.
Wanita Dua    :     U, si Idis?
Wanita Tiga     :     Iya, suaminya Siti Zubaidah.
Wanita Dua     :     Asytagfirullah. Kalau begitu aku akan melihatnya Juga.
Wanita Tiga    :     Mau sama-sama?
Wanita Dua    :     Berangkat saja duluan. Aku menyusul.
Wanita Tiga    :     Baik. Saya duluan.
        (buru-buru melanjutkan jalan).
Wanita Dua    :     Astaga. Lupa lagi menanyakannya. Apa sebab ia  digantung.

6.    DI DALAM SPACE A DAN C
RESIDEN YANG LETNAN KOLONEL ITU, SUDAH LAMA MENYIBUKKAN DIRINYA DENGAN BERKAS DOKUMENTASI. SATU BERKAS BARU SAJA DIKOREKSI KEMUDIAN MENYUSUL BERKAS YANG LAIN LAGI. DIANTARA KESIBUKANNYA ITU, TANGAN KIRINYA MERAIH BELL, LALU MENGGOYANGKANNYA.

Pesuruh    :     (Beranjak dari tugas jaganya)
Syarif Hamid    :    (Hampir mendekati kebosanannya dalam menunggu)
Pesuruh    :     Tuan mendengarnya?
Syarif hamid    :    Ini kesempatanmu yang baik. Katakan saja bahwa saya sudah sejak siang tadi menunggu.
Pesuruh    :     Kalau bell itu memang berfungsi, ini berarti termiyn buat saya.
Residen    :    Termiyn ini buat saya. (Kembali menggoyangkan bell).
Pesuruh    :     Nah. Ini jelas. Termiyn buat saya.
Residen    :     (Kembali Menggoyangkan Bell)
Pesuruh    :     Siap! (Dari Ruang Tunggu Menuju Ruang  Kerja)
Residen    : (Sambil mengepulkan asap pipanya, tidak peduli dengan munculnya pesuruh)
Pesuruh    :     (Agak ragu apakah dia dipanggil tuannya)
Residen    :     (Masih Menggoyangkan Bellnya)
Pesuruh    :     (Meyakinkan Tuannya) Saya, saya sudah ada  dihadapan tuanku. Apakah tuan memerlukan saya?
Residen    :     (Masih tidak peduli)
Pesuruh    :     Tuan memerlukan saya?..... (Mendekat sedikit) Saya selalu disamping tuanku. Tuan memerlukan saya? (Lebih dekat lagi dan bersuara lebih  keras) Apakah tuan memerlukan saya!

Residen    :     Yah! (Geram terhadap kebodohan pesuruh)
Pesuruh    :     (Dengan segala pasrah dan ketaatannya  bersujud dan memohon ampun atas  kesalahannya)
 Residen    :     Berapa kali sajakah, kamu orang bertanya, hah? Dan berapa kali pula bel ini, memerintahmu? Untuk apa, ini bel hah? Coba kamu orang, jawab! Untuk apa?
Pesuruh    :     Sudah tentu untuk saya.
Residen     :     Ya, untuk seorang pribumi yang paling bodoh. Tentu, (Menggoyangkan bel sebagai penjelasan kepada pesuruh)
        Hai Bodog! Tanpa bell ini, kau orang tidak akan berguna bagi saya. Harus tahu itu. Mengerti .
Pesuruh    :     Dan saya sudah berada dihadapan tuan, tuan mau apa?
Residen    :     Bangsat kamu orang. Bahasa apa itu hah? Itu bahasa kami sehari-hari yang kami gunakan untuk bangsat-bangsat seperti Demang Lehman itu. Kamu orang telah berani, pakai itu bahasa untuk saya, hah?
Pesuruh    :     Ampun beribu ampun tuanku. Dengan jujur, saya mentaati tuan. Kalau bahasa itu saya pakai, karena saya menganggapnya, bahwasanya, bahasa tuan itu, memang bagus. Saya senang dengan bahasa tuan.
Residen    :     Begitukah? Senang dengan bahasa kami. Gud, Gud.
Pesuruh    :     Hop Perdom!
Residen    :     Betul-betul bangsat! Tubab!
Pesuruh    :     Saya tuan.
Residen    :     Kamu orang selalu salah gunakan itu kami punya bahasa.
Pesuruh    :     Kami orang, memang tolol tuanku.
Residen    :     Masih ingat bahasa bell ini?
Pesuruh    :     Sudah mendarah daging tuanku.
Residen    :    Gud, gud. Saya akan coba menguji kamu orang.
Pesuruh    :     Saya orang coba akan menjawab tuan punya bunyi bell.

RESIDEN DALAM PERINTAHNYA MELALUI BELL DITANGANNYA.

BELL 1 KALI    :     Pesuruh Hormat Mendekat Dan Mengulur Kan Tangan Menerima Sesuatu.
BELL 2 KALI    :     Mundur Menjalankan Tugas Mengantar  Sesuatu.
BELL 3 KALI    :     Urung Dan Kembali Menghadap Ingin Tahu.
BELL 1 KALI    :     Kembali Hormat Mendekat Menerima  Sesuatu.
BELL 2 KALI    :     Mundur
BELL 3 KALI    :     Segera Menghadap.
BELL 2 KALI    :     Mundur Dan Menghilang.
BELL 3 X 2    :     Buru-Buru Menghadap.

DENGAN BERMACAM KODE BELL, SI PESURUH DIBUAT TERENGAH-ENGAH SAMPAI KEHILANGAN TENAGA DAN MERAYAP LEMAS DI ATAS LANTAI.

Residen    :     (Akhir Goyangan Bell Ditutup Dengan Hentakan Sepatu Botnya)
Pesuruh    :     (Mencoba merangkak dan menciumi ujung sepatu tuannya)

Syarif Hamid    :     (Dari kejemuannya, lalu mengetuk pintu)
Bell 2 kali    :     (Pesuruh hampir kehilangan tenaga  menuju ruang tunggu).
Residen    :     (Pelan-pelan melihat alun-alun lewat jendela).
Syarif Hamid    :     (Membantu pesuruh yang lelah itu) Kamu dipukuli?
Pesuruh    :     Tidak.
Syarif Hamid     :     Habis? .... kamu berkeringatan. Disiksa tuanmu?
Pesuruh    :     Tidak.
Syarif Hamid    :     Kalau bukan disiksa, kenapa mau mati?
Pesuruh    :     Saya tidak disiksa. Dan saya tidak akan mati!
Syarif Hamid    :     O, ya. Saya mengerti.
Pesuruh    :     Kalau tuan sudah mengerti, kenapa mesti bertanya.
Syarif Hamid    :     Kamu kira saya takut ? Laa, laa (Mau Masuk).
Pesuruh    :     Jangan. Jangan tuan lakukan itu.
Syarif Hamid    : Kalau begitu, bilangkan kepada tuanmu. Saya datang kemari, karena ada janji. Bilangkan sama tuanmu, saya ini Syarif hamid datang dari Batu licin.
Residen    :     (Penuh Perhatian) Syarif Hamid?
        (Menggoyang Bell 3 X 2)
Pesuruh    :     (Bangkit Dan Masih Lemas) Terlalu. Sekarang  tuanlah yang menyiksa saya.
        (Memasuki Ruang Kerja , Masih Lelah)
Residen    :     Suruh orang diluar itu masuk.
Pesuruh    :     Dia musuh saya.
Residen    :     (Dengan abah-abah membolehkan masuk).
Pesuruh    :     (bertenaga kembali) Disuruh masuk?
Residen    :     Ya, suruhlah.
Pesuruh    :     Dia musuh saya tuan. Dia juga musuh tuan! Orang itu bersenjata besi tua. Dia berbahaya tuan!
Residen    :     (Ngotot..... lalu bell perintah lagi)
Pesuruh    :     (Hampir lemas menjalankan perintah)
        Baik!  Baik!
Residen    :     (Kode bell perintah cepat)
Pesuruh    :     (Setengah berlari menuju ruang tunggu)
Syarif Hamid    :     Apa kata tuanmu.
Pesuruh    :     Karena ruang kerja Boss saya, tidak dilindungi oleh dinding anti peluru, maka saya minta agar tuan menyerahkan besi tua milik tuan itu.
Syarif Hamid    :     (dengan rasa jengkel, lalu menyerahkan kerisnya yang terselip dipinggangnya) Keris ini bukan untuk berkelahi tahu?
Pesuruh    :    Saya tidak mau tahu. Yang jelas, di sini tidak diperbolehkan membawa senjata tajam. Ada punya KTP.
Syarif Hamid    :     Terlalu! Buka matamu. Lihat cincin ini.
Pesuruh    :     Ini bukan KTP. Ini cap stempel.
Syarif hamid    :     Kau tahu. KTP diwilayah kami, baru bisa dianggap syah, kalau memakai cap kerajaan ini.
Pesuruh    :     Satu lagi. Ada membawa ganja.
Syarif Hamid    :     Saya bukan penyelundup. Ganja barang haram. Sama haramnya dengan kumpul kebo.

Residen    :     (Bell Perintah Cepat)
Pesuruh    :     Mmmhh! Mentang-mentang kenal baik dengan atasan saya.
Syarif hamid    :     Boleh masuk nggak?
Pesuruh    :     Boleh. Tapi selama tiga menit saja.
Syarif Hamid    :     Permisi (Berolok-olok membuat pesuruh jengkel).
Pesuruh    : (Merasa dipojokkan) Tunggu saatnya. Diluar jam dinas, toh nanti akan ketemu juga.
Syarif Hamid    :     Selamat sore.
Residen    :     Sore. Syarif hamid (Menjabat tangan Syarif Hamid). apa kabar?
Syarif Hamid    :     Baik.
Residen    :     Kenapa baru datang sekarang?
Syarif Hamid    :     Sudah tiga hari bertutur-turut saya datang kemari dan menunggu giliran diruang tunggu.
Residen    :     O, ya.
Syarif Hamid    :    Residen, sebagai orang yang bertugas ikut memelihara stabilitas keamanan didaerah ini, justru senjata saya harus dirampas.
Residen    :     Kamu orang, terkena razia?
Syarif Hamid    :     Sebagai seorang bangsawan, saya harus membawa senjata pusaka bukan?
Residen    :     Kemudian disita oleh petugas saya? Kamu lihat sendiri. Saya seorang residen. Pangkat saya Letnan Kolonel. Apakah saya harus membawa senjata api?
Syarif Hamid    :    Kita kan sudah sama meyakini. Dengan terbekuknya Kiai Demang Lehman itu, tanah Borneo ini sudah bisa dikatakan aman.
Residen    :     Tapi dengan gerombolan Pegustian di hulu Barito itu?
Syarif Hamid    :     Cuma daerah tanah rawa. Gusti Mat Seman, tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Residen    :     Saya akan basmi itu gerombolan bangsat. Berapa ribu saja prajurit kami yang tewas. Terbilang sejak mereka menghancurkan benteng dan sumber perekonomian kami di Pengaron lima tahun setengah yang lalu, sudah hampir dua ratus oarang opsir kami yang dibikinnya mati konyol! Dan sekarang, dendam itu harus saya tunjukkan  kepada mereka!
Syarif Hamid    :     Saya ikut prihatin, dengan tenggelamnya kapal perang Onrust di Sungai teweh itu.
Residen    :     Kerugian itu, tidak akan terulang lagi. Kolonel Andersen, bukan orang seperti saya. Dia lembek seperti bakecot. Tapi saya akan musnahkan itu benteng-benteng mereka. Akan kami bumi hanguskan itu tanah banua mereka. Kalau hutan  rimba Aceh dapat kami jelajahi, kenapa hutan Borneo ini tidak.
Syarif Hamid    :     Lalu, apakah dengan bantuan yang saya berikan itu, mempunyai arti bagi tuan?
Residen    :     Tentu, tentu. (mengambil sepucuk surat  diantara tumpukan berkasnya). Kau tahu  isinya ini bukan?
Syarif Hamid    :     Saya sudah tahu. Dia akan digantung sore ini?
Residen    :     Kamu sudah lihat bukan. Disekeliling alun-alun itu, sudah dipenuhi orang-orang.

Syarif hamid    :    (Melihat ke luar jendela) Orang tua, anak-anak, laki-laki dan wanita. Sudah sejak pagi mereka berada disekeliling alun-alun itu. Tapi kapan?
Residen    :     Masih ada waktu dua jam lagi.
Syarif Hamid    :     Dua jam lagi? (Mengambil arloji sakunya)
        Sekarang sudah jam empat.
Residen    :     Tepat!
Syarif Hamid    :     Di saat sholat maghrib?
Residen    :     Begitu bedug dimesjid sudah ditabuh. Dan suara azan sudah berkumandang, saat itulah ia harus mati!
Syarif Hamid    :     Saya keberatan.
Residen    :     Apakah keberatan kau orang, mengatas namakan  persekutuan dagang bangsa Arab?
Syarif Hamid    :     Tidak sama sekali.
Residen    :     Pribadi?
Syarif Hamid    :     Juga bukan.
Residen    :     Lalu apa?
Syarif Hamid    : Tuan Residen. Pemerintah Gubernemen hanya didukung oleh senjata dan mesiu. Dan pusat pemerintahan hanya berupa selingkar pulau Tatas di Banjarmasin. Tapi semua itu, tidak akan mampu mengambelaskan penduduk pribumi yang seluruhnya beragama Islam.
Residen    :     Persoalan ini berkisar mengenai hukum gantung. Lantas apa sangkut pautnya dengan agama?
Syarif Hamid    :     Mengapa harus diwaktu sholat maghrib?
Residen    :     Kamu orang ikut merasakannya, bahwa tindakan yang akan saya lakukan ini, adalah suatu tindakan yang kurang wajar bukan.
Syarif Hamid    :    Bukannya kurang wajar. Tapi tidak wajar sama sekali.
Residen    :     Timing yang tepat. Saya gembira.
Syarif Hamid    :  Tuan akan puas sendiri. Tapi sementara itu, berpuluh ribu ummat Islam merasa terhina.
Residen    :    Syarif Hamid. Ini kebijaksanaan pemerintah Gubernemen.
Syarif Hamid    :     Tapi persekutuan ummat Islam sedunia, akan mencela  bangsa tuan.
Residen    :     Kamu orang bukan orang kami. Dan tidakkah kamu tahu, bahwa cara ini, adalah suatu bled. Tapi kalau toh ingin dipandang dari sisi agama, semua ulama sudah mulai akrab dalam pemerintahan kami. Dengan Enam Ribu Sembilan  Ratus Enam Puluh empat Gulden yang disumbangkan untuk kepentingan Mesjid Jami di Banjarmasin, adalah satu sisi untuk perhatian kami pada agama.
Syarif Hamid    :     Dan rasa simpati itu, segera akan lenyap apabila Tuan menggantung Demang Lehman yang kiyai dan yang alim itu, disaat ummat Islam menjalankan ibadahnya.
Residen    :     Tapi rakyat sudah tahu, siapa Demang Lehman itu. Para ulama dan seluruh penduduk telah mengutuknya.

7.    PADA LOKASI D TAMPAK KERUMUNAN PRIBUMI, YANG MULAI  RESAH DAN BANGKIT MENGARAH PADA KEMARAHAN.

Wanita Satu    :    Perlawanan di daerah Martapura bisa dilumpuhkan. Dan seorang Demang Lehman bisa saja Walanda gantung. Tapi yang bernama pahlawan haram Manyarah Waja Sampai Kaputing, masih banyak kita miliki.
        Haram Manyarah, Waja sampai Kaputing...!!!
Orang-orang    :     Haram manyarah, Waja Sampai Kaputing!!!


LOKASI LAIN

Wanita Tiga    :    Kita tidak akan biarkan Demang Lehman itu digantung. Kita harus protes. Apabila kita diam, berarti kita kalah dan menyerah. Dan menyerah itu haram.
Wanita dua    :    Hei, cara seperti itu berbahaya. Jangan terang-terangan.
Wanita Tiga    :     Sekarang inilah saat yang cocok bagi kita. Kita tidak boleh bungkam. Kita harus unjuk rasa kepada Wolanda. Biar mereka tahu siapa kita. Ayoh mari kita bergerak.
Wanita Dua    :     Jangan. Ayoh, jangan ikut-ikutan. Berbahaya buat kita. Kita akan ditembak mati.
Wanita Tiga    :     Saya tidak akan mengajak seorang penakut seperti kamu. Bebaskan Demang lehman. Bebaskan Demang Lehman.
Orang-Orang    :     Bebaskan Demang Lehman. Bebaskan Demang Lehman.
Wanita Dua    :     Tenang! Tenang!
Wanita Tiga    :     Kamu takut?
Wanita Dua    :    Ini bukan soal takut. Tapi kita Cuma orang kampung.
Wanita Tiga    :     Lantas karena kita merasa sebagai orang bodoh, lalu kita harus membisu? Di mata penguasa, kita orang kecil.
Wanita Dua    :     Tapi bila kita datang dengan adat leluhur kita?
Wanita Tiga    :    Takaran kehormatan bagi penguasa, bukan terbatas pada adat. Saya akan lakukan sebisa saya.
Wanita Dua    :     Kamu akan korbankan harga dirimu?
Wanita Tiga    :     Yang akan kulakukan, Cuma memohon keampunan pada penguasa.
Wanita Dua    :     Lantas apa yang bisa kau berikan kepada penguasa sebagai imbalannya?
Wanita Tiga    :     (Kepada yang lain) Hei kamu..... Apakah kamu  bersedia membantu saya?
Wanita Lain    :     (Menggelengkan kepalanya) Saya ingin hidup,  dengan cara saya sendiri.
Wanita Tiga    :     Kamu rela bila orang kamu puja-puja itu, mati digantung hari ini?
Wanita Lain    :     Bila Demang Lehman harus mati hari ini, maka saya harus hidup bersama semangatnya.
Wanita Tiga    :     Mmmhhh....Omong kosong. Kanapa tidak seorangpun yang membantu Demang Lehman? Apa kalian tidak sadar, bahwa Demang lehman akan dibunuh hari ini .

Wanita Dua    :     Semua orang sudah tahu. Saya juga sudah kamu beri tahu. Dan, dan saya ingin lihat, bagaimana wajah seorang pahlawan menghadapi tiang gantungan itu.
Wanita Tiga    :     Kamu kira, kejadian sedih hari ini, Cuma sebuah sandiwara? orang tak punya perasaan. Kita harus menyematkannya. Kita harus menyelamatkannya.
Wanita Dua    :     Bisa saja. Demang Lehman bisa asaja selamat dari tiang gantungan. Semua kita sudah mengetahui. Dan semua kita sudah bisa menebaknya. Yang menjadi masalah sekarang, apakah Demang Lehman bersedia digantung atau tidak. Nah, kalau tidak apa akibatnya. Tapi kalau Demang Lehman  siap dengan kepahlawanannya, dengan memilih mati umpamanya,apa pula keburukannya bagi perlawanan rakyat.
Wanita Tiga    :     Bagiku Demang Lehman harus tetap hidup. Dan saya akan beranikan diri menghadap penguasa.
Wanita Dua    :     Bisa saja. Tapi kamu harus ingat, iming-iming sang penguasa, Cuma sebuah siasat dalam merekatkan pantatnya dibantalan korsi jabatannya. Tapi setelah itu, kamu Cuma sebiji pasir ditanah gurun.
Wanita Tiga    :     Tidak usah berdalih macam-macam. Ayoh, siapa yang punya kasih sayang kepada pahlawan kita, ikut bersama saya. (Semua diam).
        Bebaskan Demang Lehman (Diam tak bersambut) Baik-baik. Kalian akhirnya menyukai kematian Demang Lehman itu.
Wanita Dua    :     Kita bisa teriak, bebaskan Demang Lehman....... Bebaskan Demang Lehman, tidak berarti ia mesti lepas dari tiang gantungan. Tapi dengan kematiannya, justru Demang Lehman bebas menyusupkan semangatnya ke setiap pembuluh nadi masyarakat Banjar yang tidak ingin  diperintah dan diatur oleh orang-orang yang bukan miliknya dan pilihannya.
Wanita Tiga     :     Saya tidak mau tahu, dengan bahasa yang tidak dimengerti itu. Baik. Saya akan maju sendiri (EXIT)
Wanita Dua     :    Saya berani bertaruh, dia akan menyesal................
        (Kepada Yang Lain) Kalian mengerti maksud saya? Kita boleh teriak, bebaskan Demang Lehman, tapi arti dari itu semua, bukan bersandar pada kulitnya. Kita berteriak sepuas hati kita, dengan maksud agar semangatnya segera kita miliki. Kita tidak ingin mendapatkan pemimpin yang diperoleh lewat suara terbanyak, kalau pemimpin itu tidak siap menerima kejatuhannya lewat suara terbanyak pula. Nilai suara kita tidak sama dengan harga sebiji permata. Suara bukan barang dagangan. Nah sekarang, mari kita teriak dengan memanipulasi suara kita,agar sang penguasa mengira bahwa suara kita telah dibayar mahal oleh pemimpin kita yang hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Bebaskan Demang Lehman!
Orang-orang    :     Bebaskan Demang Lehman! Bebaskan Demang Lehman!

8.    PADA SPACE RUANG KERJA. TUBAB BURU-BURU MEMBUBARKAN KEKACAUAN DI SEKELILING ALUN-ALUN

Pesuruh    :    Tuanku. Penonton di sekeliling Alun-alun itu pada marah tuanku. Mereka teriak; Bebaskan Demang Lehman, Bebaskan Demang Lehman!! (Seperti kesurupan).
Residen    :    (Marah Dan Membentaknya)
        Diam.....!!!
Syarif Hamid    :    (SINIS) Apa benar semua pribumi itu, mengutuk orang kesayangan mereka?
Residen    :    Saya tidak butuhkan ucapan seperti itu (Dongkol)
Syarif Hamid    :    Lebih-lebih dengan hukum gantung di saat Sholat Maghrib.
Residen    :    Syarif Hamid, kamu orang tidak usah campuri kami punya pemerintahan.

9.    PADA LOKASI LAIN. ORANG-ORANG MAKIN BERGOLAK

Wanita Satu    :    Bebaskan Demang Lehman!
Orang-orang    :    Bebaskan Demang Lehman, Bebaskan Demang Lehman....!!!

10.    DI SPACE RUANG KERJA

Pesuruh    :    Tuanku!
Residen    :    Tubab! (Menulis perintah dan menyerahkannya pada pesuruh) Surat Perintah, Menembak Mati!
Syarif Hamid    :    Tidakkah Tuan akan menyesal?
Residen    :    Siapa saja yang melanggar pos penjagaan, Tembak Mati..!!
Pesuruh    :    (Diam saja)
Residen    :    Tubab!
Pesuruh    :    Siap menunggu Bell Tuanku.

WANITA TIGA DENGAN MENDADAK MUNCUL DI RUANG KERJA

Residen    :    Siapa pula Kamu orang, hah?
        (Menggoyangkan bell untuk pesuruh)
Pesuruh    :    (Taat menjalankan perintah)
Residen    :    (melihat kelembutan wajah wanita itu, amarahnya agak mereda) Kamu orang perlu saya?
Wanita Tiga    :    Betul tuan.
Residen    :    Saya kagum. Kamu orang sungguh berani, masuk ke tempat ini. Kamu orang tidak mungkin tahu, bahwa tempat ini, tempat terlarang.
Wanita Tiga    :    Saya tahu Tuan.
Residen    :    Kamu orang perlu apa, hah?
Wanita Tiga    :    Tuan akan menggantung orang kami bukan?
Residen    :    Saya kurang tahu, dengan orang yang kamu maksudkan itu.
Wanita Tiga    :    Nama kecilnya Idis.
Syarif Hamid    :    Ooo, yaa. Namanya yang benar, memang Idis. Maksud dia, Kiai Demang Lehman.

Residen    :    Syarif Hamid. Belajarlah dengan tata cara yang baik dan sopan. Saya tidak bicara dengan kamu orang bukan?
Syarif Hamid    :    Saya yakin unjuk rasanya wanita ini, akan menyuarakan aspirasi pribumi yang terluka.
Residen    :    (Diam sejenak sambil memandang syarif hamid dengan rasa dongkol. Kemudian mengambil sebuah amplop berisi surat)
        Tuan Syarif Hamid. Kamu orang sudah tahu isinya ini bukan?
Syarif Hamid    :    Itu soal nanti.
Residen    :    Syarif Hamid! Apa maumu sebenarnya, hah?
Syarif Hamid    :    Kalau tidak mungkin dibatalkan, maka saya mohon janganlah menggantung dia, di saat sholat maghrib.
Wanita Tiga    :    Rupa-rupanya, Tuan punya keinginan yang sama.
Residen    :    Keinginan apa yang Kamu maksudkan?
Wanita Tiga    :    Hukuman gantung itu.
Residen    :    Kamu orang menghendaki, agar segera dilaksanakan?
Wanita Tiga    :     Bukan. Berilah dia keampunan.
Residen    :    Saya sudah suruh dia, agar memilihnya.
Wanita Tiga    :    Tuan telah memberi kesempatan kepada Dia?
Residen    :    Tapi Demang Lehman itu, seorang bangsat yang teramat tolol.
Syarif Hamid    :    Tuan adalah sahabat Saya
Wanita    :    Agaknya keramahan Walanda, jauh berbeda dengan kenyataan yang tersiar di kalangan penduduk.
Residen    :    O, ya. Begitu?
Syarif Hamid    :    Legalah jadinya perasaan saya.
Residen    :    Dan kamu orang akan lebih lega lagi, menandatangani surat kesepakatan ini.
Syarif Hamid    :    Yang jelas saya akan terlepas dari dosa-dosa yang selama ini menghantui saya.
Residen    :    Kamu orang boleh baca, baru ditanda tangani, Okey?
Syarif Hamid    :    Terima kasih. (Menerima surat itu lalu meneliti isinya dsan duduk di tempat yang disediakan oleh residen).
Residen    :    Boleh saya tahu, siapa nama kamu?
Wanita Tiga    :    Komalasari Tuan, Siti Komalasari.
Residen    :    Ou...Nama yang bagus!
Wanita Tiga    :    Ee, Tuan Residen
Residen    :    Tidak perlu sebutkan itu......Residen. Nama saya Verspijck
Wanita Tiga    :    Ee, Tuan Verspijck. Jadi tuan telah memberinya keampunan?
Residen    :    Saya selalu berbuat baik terhadap dia. Tapi kita tidak usah dulu bicara tentang dia. Kita punya waktu masih cukup banyak.
Wanita Tiga    :    Tuan telah melihat di sekeliling alun-alun itu bukan?
Residen    :    Saya melihatnya. Saya melihat orang-orang yang haus sekali dengan hiburan.
Wanita Tiga    :    Tuan kira mereka akan menghibur diri?
Residen    :    Tentu saja mereka ingin tahu, bagaimana cara orang mati digantung.
Wanita Tiga    :    Kekejian seperti itu Tuan katakan hiburan?
Residen    :    Kamu tidak menyukainya?
Syarif Hamid    :    Sikap yang bagaimana pula, yang Tuan maksudkan itu?

Residen    :    Kamu sudah baca?
        (Mendekati meja kerjanya dan mengambil tangkai pena kemudian menyerahkannya kepada syarif hamid)
        Kalau isinya sudah cocok, silahkan menandatanganinya.
Syarif Hamid    :    Sebentar. Kita akan selesaikan terlebih dahulu, mengenai janji pengampunan itu.
Wanita Tiga    :    Itu betul!
Syarif Hamid     :    Tuan Residen. Saya ingin tahu, bentuk bentuk pengampunan yang tuan berikan itu.
Residen    :    Syarif Hamid. Jangan dulu Kamu campuri urusan kami dengan perempuan ini. Kamu toh tidak punya kepentingan.
Syarif Hamid    :    Kenapa Tuan harus berkata seperti itu. Tuan harus menyadari, kalau bukan karena saya, tidaklah akan terjadi surat kesepakatan itu. Ketahuilah, Kiai Demang Lehman itu, adalah urusan Saya juga.
Wanita Tiga    :    Saya tidak  mengira, bahwa seoranmg Bangsawan Arab telah mendahului saya untuk membebaskan orang kesayangan kami.
Syarif Hamid    :    Kalau Nona mau tahu, Saya sudah tiga hari yang lalu datang ke tempat ini. Dan pada hari kedua, saya juga gagal. Baru sekarang saya bisa bertemu dengan Tuan Residen.
Wanita Tiga    :    Saya sangka    , Cuma rakyat Banjar yang membutuhkan tokoh Kiai Demang Lehman. Tetapi dari bangsa Arab pun rupanya punya rasa simpati yang menggembirakan.
Residen    :    Kami juga punya rasa kasihan kepada orang yang kamu rindui itu. Bukan itu saja, tetapi untuk seluruh anak negeri Banjar ini.
Wanita Tiga    :    Kalau Kiai bisa dilepaskan dan dibebaskan sekarang ini, maka semua anak negeri kami akan bersuka hati. Apakah mungkin dapat dibebaskan sekarang?
Residen    :    Saya sudah tawarkan kebebasan
Wanita Tiga    :    Tuan seorang yang baik.
Residen    :    Tapi Dia menolak persyaratan yang saya sodorkan.
Wanita Tiga    :    Syarat apakah itu, tidak berat bukan?
Residen    :    Enteng sekali.
Syarif Hamid    :    Kalau sekedar uang tebusan atau berupa upeti misalnya, saya akan membantu nona.
Residen    :    Itu tidak kami butuhkan. Dengan garapan hasil hutan, hasil kebun dan hasil tambang di negeri ini, sudah cukup menguntungkan bagi Hollandia.
Wanita Tiga    :    Lantas, kehendak Tuan? Ee, maksud Saya persyaratan yang Tuan minta itu.
Residen    :    (Menunjuk pulau pada globe). Mari mendekat. Ini kepulauan Nusantara. Java, Selebes dan ini Borneo.
        Borneo ini kelihatannya saja seperti sebuah hutan rimba. Kami kira kami bangsa Belanda datang ke pulau ini, hanya akan berperang dengan orang hutan dan gerombolan bekantan. Di sini tanah Kutei. Borneo Barat. Dan ini daerah yang dulunya cuma Onder Afdeeling, yang sekarang ini menjadi Residentie Zuider-en Ooster Afdeeling van Borneo. Di sini Benteng Pengaron pernah dihancurkan oleh gerombolan Antasari dan Hidayat. Sumber perekonomian kami berupa tambang batu bara Oranye Nassau dan Yuliana Hermina, telah amblas. Dalam peristiwa yang mendatangkan korban oran kami itu, adalah pangkal dakwaan dan tuntutan yang memberatkan Demang Lehman yang kamu bela ini. Dalam putusan kami, semua orang pribumi yang terlibat dalam awal perang Banjar itu, harus dihukum mati! Banjermasin Sechkrej yang gila! Tapi baiklah, kita lewatkan saja.
        Sekarang, Antasari yang mengaku pemimpin Haram manyarah Waja Sampai Kaputing itu, sampai ia mati tua, tidak juga mau menyerah. Hidayat telah kami tipu, dan kami lempar ke tanah Cianjur. Tamjid, kami turunkan sebagai Sultan dan juga telah kami buang. Kemudian Banjar sebagai salah satu kerajaan besar di Borneo ini, telah kami hapuskan. Tapi Gusti Muhammad Seman dan Gusti Mat Said Putra dari Antasari itu, malah melanjutkan berdirinya kerajaan Banjar yang telah didirikan oleh Antasari itu sendiri di Hulu Sungai Teweh. Gila! Dan kini pemberontakan masih ada saja. Mau apa? Tumenggung Surapati dengan puteranya Jidan yang Dayak itu, masih juga mengamuk di Barito. Penghulu Rasyid di Tabalong. Tumenggung Antaluddin di Amandit. Naro di Amuntai. Si Wangkang di Bakumpai. Dan si Kancil Haji Buyasin di Tanah Laut. Mau apa mereka sebenarnya. Dan kenapa mesti berbuat gila. Tapi itu bukan problem. Toh, mereka itu satu satu akan kami gantung juga.
Wanita Tiga    :    Artinya tuan akan tetap menggantung Kiai Demang Lehman?
Residen    :    Harga Demang Lehman ini, hampir sama dengan harganya Pangeran Antasari. Antasari sampai dia mati, tidak pernah kami temukan. Tapi yang menemukan Demang Lehmanini, sudah kami beri sebuah wilayah kerajaan di daerah Batu Licin, yang kaya dengan hasil hutannya.
Syarif Hamid    :    Coba tuan katakan, persyaratan itu.
Residen    :    Kamu orang mau menghindarinya, hah?

11.    DARI LOKASI SPACE D, RAKYAT MULAI BERGOLAK LAGI. WANITA SATU BERSAMA RAKYAT BANGKIT SETELAH MENDENGAR OCEHAN WANITA DUA.

Wanita Dua    :    Katanya ingin membebaskan Demang Lehman. Tapi ia sendiri tenggelam entah dimana. Mungkin juga akan.......atau mungkin sedang atau barangkali sudah.
        Saya dapat memastikannya. Perempuan itu pasti seorang jalang. Dia telah ambil kesempatan menjual nama seorang pahlawan. Dia rupa-rupanya telah berhasil menjajakan kehormatannya. Dia seorang maling, berpura-pura seperti orang alim.
        Omong kosong! Penghianat hati nurani rakyat! Saya harus bergerak sendiri. Bebaskan dia. Bebaskan Demang Lehman.
RAKYAT    :    Bebaskan Demang Lehman. Bebaskan...!!!

12.    DI DALAM SPACE A DENGAN SEBUAH MERIAM LILA

Pesuruh    :    Coba saja kalau berani maju. Saya hamburkan otaknya.
           
13.    KEMBALI PADA SPACE A DI RUANG KERJA ASISTEN RESIDEN. SYARIF HAMID MAKIN TAMPAK GELISAH, SEMENTARA WANITA TIGA AGAK KEHERANAN.

Residen    :    Syarif hamid, kamu orang jangan banyak mendesak saya. Dan kamu Komalasari, tidak perlu tercengang, apalagi bercuriga pada Syarif Hamid ini.
Syarif Hamid    :    Barangkali Tuan, tidak merasa kasihan terhadap nenek-nenek dan ibu-ibu yang menggendong anak-anaknya di sepanjang keliling alun-alun itu. Berapa orang saja yang pingsan dan luka-luka terkena injak dan saling berjejal.
Wanita Tiga    :    Apakah Tuan perkenankan, apabila saya berbicara dengan Kiai Demang Lehman?

14.    PADA SPACE RUANG TUNGGU: PESURUH MENERIMA KEDATANGAN SEORANG PRIBUMI YANG MENYERAHKAN SEPUCUK SURAT BALASAN.

Pesuruh    :    (Menerima Lalu Mengusir Pribumi Itu. Selanjutnya Surat Itu Ia Sampaikan Kepada Asisten Residen)
Residen    :    Kamu orang tidak saya panggil bukan? Apa kamu mendapat perintah Bell? Tubab, apa keperluanmu, hah?
Pesuruh    :    Ada ini Tuan.
Residen    :    Bawa kemari.......Tubab. Kenapa diam.
Pesuruh    :    Belum ada perintah bellitu Tuan.
Residen    :    Bodog...!!! (Langsung menghentakkan bell)
Pesuruh    :    (Setelah menyerahkan surat langsung menuju pintu ruang jaga)
Residen    :    (Membaca surat)
        Kepala Pemerintahan, atas nama Kepala Agama dan atas nama Panglima Perang. Gusti Mat Seman, Raja Banjar. (SINIS). Seperti apa Mat Seman itu. Dan sampai dimana kecerdasan dan keahliannya, sampai begitu banyak jabatan yang dimilikinya. Atau memang orang banua banjar, tidak memiliki orang pinter, yang menyebabkan si Mat Semat itu menyandang banyak jabatan. Mungkin juga karena memang tidak ada orang lain.
        Itu berarti, kerajaan Banjar. (Membaca Lagi)..........Mmmmhhh. Orang keras kepala. Kenapa begini? Kerajaan banjar di hulu Puruk Cahu, telah menempatkan kepentingannya di atas pundak Demang Lehman? Tetapi mereka tetap tidak akan mau menyerah, sekalipun Demang Lehman itu digantung. Apakah begini ini dinamakan Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing?
        Mat Seman tidak akan mau menyerah, kalau tidak Demang Lehman itu sendiri yang membuat pengakuan menyerah?
        Baik. Kalau memang si Berandal Mat Seman akan mematuhi semua bentuk pengakuan Demang Lehman itu, maka kepada kamu Komalasari saya berikan kesempatan untuk berbicara dengan Demang Lehman itu. Tapi ingat bedug di Masjid sebentar lagi akan berbunyi. Kamu harus mampu meruntuhkan pendiriannya yang keras seperti batu itu. Demang Lehman harus mengakui kesalahannya. Demang Lehman harus mau meminta maaf dan mengomandokan dibubarkannya pemberontakan rakyat. Mengerti?
Wanita Tiga    :    Terima kasih. Saya akan penuhi keinginan Residen
Residen    :    Lagi-lagi Residen, masih juga lupa, hah?
        (Memerintahkan tubab)    Tubab. Seret Berandal Demang Lehman itu kemari.
Tubab    :    Bagaimana dengan bahasa bel itu?
Residen    :    Masa bodoh dengan bell itu! Laksanakan!
Tubab    :    Siap! (Surut menuju karangkeng)
Syarif Hamid    :    Residen. Kalau Demang Lehman itu akan dibawa ke ruangan ini, tidakkah lebih baik kalau saya menghindar dulu?
Residen    :    Kamu takut?
Wanita Tiga    :    Mungkin dengan nasihat dan dorongan Tuan, akan lebih menguntungkan. Saya lebih suka kalau Tuan ikut menasihatinya.
Syarif Hamid    :    Yah, Saya akan menasihatinya. Tapi nanti. Maaf Residen. Nona, saya menunggu giliran di luar sana. (EXIT)
Residen    :    Ha ha ha....... Ternyata dia tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri.
Tubab    :    (Muncul) Berandal Demang Lehman, siap dihadapkan.
Residen    :    Gud! Bawa Dia masuk.
Tubab    :    (Agak kasar) Kamu orang jangan kurang ajar. Hei, Berandal, jangan bercekik pinggang di sini!
Demang Lehman    :    (Tiba-tiba marah) Bangsat (Meludahi) Anjing Kompeni...!!!  
Tubab    :    (Ingin bertindak, tapi dicegah residen)
Residen    :    Tubab. Biarkan dia kurang ajar! Demang Lehman....
Demang Lehman    :    Saya sudah tahu, apa kehendak kamu.
Residen    :    Baik. Saya telah tawarkan untuk yang terakhir kalinya.
Demang Lehman    :    Tembaklah dia di hadapan saya.
Residen    :    Saya tidak akan memaksamu, dengan cara yang sudah saya lakukan.
Demang Lehman    :    Berapa kau bayar dia.
Residen    :    Sepeserpun dia tidak punya harga bagi saya. Dia datang kemari dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Mungkin ada harganya bagi kamu.
Demang Lehman    :    Seretlah saya ke tiang gantungan, sekarang juga.
Residen    :    Itu pekerjaan yang gampang. Nah, saya masih berikan kesempatan. Tubab, jaga dia. (EXIT)
Tubab    :    Tugas yang mengasikkan. (Mengambil tempat duduk residen)
Wanita Tiga    :    Demang
Demang Lehman    :    Bicaralah seperlunya.
Wanita Tiga    :    Demang Lehman. Saya, saya Komalasari.
Demang Lehman    :    (Setelah memandang) Banua banjar ini, harus dipalas dengan banyu darah!
Komalasari    :    Demang Lehman pahlawanku
Tubab    :    (Berbuat sebagai wayang kulit banjar)

Demang Lehman    :    (Mengancam tubab) Engkau kira saya ini sebuah boneka mainan kanak-kanak?! (Merenggut kerah leher tubab) Anjing Kompeni! Kau tidak mau sadar, bahwa engkaulah boneka mainan itu! (Melepasnya) Saya kasihan melihatmu. Bagaimana nasibmu nanti, apabila Walanda yang kamu pertuan itu, sudah angkat kaki dari Bumi Haram Manyarah ini! Keluar!
Tubab    :    (Agak ketakutan. tapi ia malah tidak mematuhi perintah demang lehman. diambilnya tempat duduk yang lain)
Wanita Tiga    : Demang Lehman, Bersabarlah.
Demang Lehman    :    Dan Engkau, ada keperluan apa datang ke ruangan haram ini?
Wanita Tiga    :    Saya hanya ingin tahu, apakah benar Tuan Residen telah memberikan keampunan atas diri Demang?
Demang Lehman    :    Memilih dari salah satu alternatif, yakni digantung atau mengomandokan dihentikannya perang.
Wanita Tiga    :     Lalu bagaimana dengan Demang?
Demang Lehman    :    Engkau toh tidak punya kepentingan dalam pilihan saya ini.
Wanita Tiga    :    Demang, barangkali belum tahu isi surat Raja Gusti Mat Seman dari Hulu Sungai Teweh.
Demang Lehman    :    Kau banyak tahu dalam soal-soal pemerintahan kerajaan Banjar? Siapa Kamu sebenarnya?
Wanita Tiga    :    (Mengambil surat yang terletak di atas meja)
        Ini Surat itu (Menyerahkannya)
Demang Lehman    :    Surat ini kau sendiri yang membawanya?
Wanita Tiga    :    Bacalah
Demang Lehman    :    (Membaca) Kenapa mesti begini? Gila!
Wanita Tiga    :    Paduka Raja Gusti Mat Seman, punya pandangan jauh ke depan. Nah, apabila Demang memilih jalan kompromi, tentunya rakyat tidak akan dibinasakan oleh Versvijck. Keadilan, kedamaian, kemakmuran dan kesejahteraan yang merata, yang selama ini kita buru-buru, pasti akan menjadi suatu kenyataan.
        (Lirih) Korban di pihak kita sudah terlalu banyak. Mayat di atas mayat, air mata dan darah. Kelaparan, kemiskinan dan malapetaka lainnya silih berganti menerkam kita. Pilihlah kompromi itu, Demang.
Demang Lehman    :    (Matanya jalang sekilas hampir curiga)
Wanita Tiga    :    Demang masih ingat peristiwa senja di sungai batang? (Meredup dan susuk terhenyak)
        Tapi peristiwa senja itu, sudah lama berlalu. Lama sekali. Satu peristiwa remaja kita yang dimabuk cinta.......Idis.
Demang Lehman    :    Engkau.........
Wanita Tiga    :    Ya, Akulah Sari itu
Demang Lehman    :    Sari,
Wanita Tiga    :    Idis
Demang Lehman    :    (Baru sadar bahwa orang yang berada di belakangnya adalah Syarif Hamid dan Residen) Kamu Syarif Hamid?
Residen    :    Betul sekali. Dia sekarang Raja. Raja di negeri kaya. Batulicin tempat istananya.
Demang Lehman    :    Penghianat....!!!

Syarif Hamid    :    Anta jangan dendam pada Ana, percayalah Anta, apa sebab Ana berbuat begitu. Ini semata untuk kepentingan rakyat dan kepentingan Islam itu sendiri.
Demang Lehman    :    Para arwah leluhurku, akan mengutukmu! Orang seperti kamu, tidak pantas diberi ampun!
Wanita Tiga    :    Demang, jangan salah tuduh Demang. Pangeran ini justru membelamu.
Demang Lehman    :    Dialah yang menipuku. Dialah yang memperalat rakyat untuk menangkapku. Dijebaknya aku, di saat Aku payah dan sakit. Kedua senjataku dirampasnya. Singkirkan kerisku, dan kalibelah tombakku. Padahal kedua senjata itu, adalah pusaka warisan yang diberikan oleh Raja Banjar yang syah, Pangeran Hidayatullah yang terbuang ke Cianjur.
Wanita Tiga    :    Kesampingkan dulu dendam itu Demang. Diri Demang kan sudah dianggap bebas. Ayolah Demang. Anak istri Demang sedang menunggu, sedang Aku sudah siap menjadi istrimu.
Residen    :    Ayolah. Kita ke alun-alun. Saya akan umumkan bahwa kamu orang tidak jadi digantung. Rakyat tentu akan senang.
Syarif Hamid    :    Bedug maghrib, sebentar lagi akan berbunyi, tanda shalat akan dilaksanakan. Maafkan atas kesalahan Ana.
Demang Lehman    :    Itu bukan suatu penyelesaian. Dan saya akan membuat perhitungan. Kalau tidak di dunia, di akhirat pasti akan selesai.


15.    DI PINTU LUAR TELAH TERDENGAR KERIBUTAN ANTARA TUBAB DENGAN WANITA LAIN.

Wanita Dua    :    Saya harus ketemu dia. Lepaskan. Lepaskan Saya.
Residen    :    Tubab. Ada apa?
Tubab    :    Ada satu lagi, Tuan.
Residen    :    Lepaskan Dia.......Kau minta ditembak lagi hah?
Wanita Dua    :    (Masuk dengan mata jalang)
Wanita Tiga    :    Hei Mastaniah. Kau bisa masuk ke tempat ini?
Wanita Dua    :    Kau kira masuknya aku ke sini, licik seperti kamu? Dan saya tidak ditembak mati, tanpa menjual kehormatan seperti Kamu. Pelacur!
Wanita Tiga    :    Hati-hati dengan mulutmu itu!

16.    DENGAN KETUKAN-KETUKAN TONGKATNYA SAMBIL BERKOMENTAR SENDIRI, MENYEBABKAN SI TUBAB DIMARAHI DAN DIBENTAK RESIDEN.

Tubab    :    Dan ternyata memang benar. Pertentangan itupun berawal dari adu argumentasi, antara dua orang wanita pribumi saja. Entah iri, entah dengki. Entah cemburu, entah pahitnya empedu. Semua kita memang belum tahu.
Residen    :    Tubab!
Tubab    :    Siap menunggu Bell
Residen    :    Diam di tempatmu!

Wanita Tiga    :    Aku bangga, kamu bisa menerobos barisan serdadu Marsose di pos jaga itu. Aku benar-benar bangga, sekalipun kewanitaanku telah kau corengi arang.
Residen    :    Saya sudah mengerti duduk persoalannya. Baik. Tenang saja. Tidak usah bertengkar. Orang yang kalian anggap pahlawan itu, adalah kesayangan kalian. Dan saya cukup memahaminya. Tidak usah sedih dan tidak usah risau. Dia toh tidak akan digantung. Dia akan segera di bebaskan.
Wanita Dua    :    Saya tidak sependapat.
Residen    :    Apa kamu bilang? Tidak sependapat?
Wanita Dua    :    Demang, jadilah pahlawan yang mati di tiang gantungan Demang.
Residen    :    Ternyata kamu orang seorang perempuan gila.
Wanita Dua    :    Demang tidak boleh tergoda oleh janji-janji.
Residen    :    Kamu orang jangan membuat pendiriannya goyah kembali. Dia sudah meminta maaf kepada kompeni.
Wanita Dua    :    Demang tidak boleh meminta maaf. Demang tidak pernah bersalah. Sebab apabila Demang gentar menghadapi tiang gantungan itu, berarti Demang akan mencelakakan anak cucu di Banua Banjar ini.
Residen    :    Omongan apa pula itu, hah?
Wanita Dua    :    Demang tidak boleh mewariskan nilai-nilai kepengecutan. Percayalah Demang. Generasi nanti, akan menjadi generasi banci. Demang, hadapilah kematian di tiang gantungan itu dengan gagah dan berani. Sebab dengan kematian berarti suatu kebebasan.
Residen    :    Tutup mulut kamu itu!
Wanita Dua    :    Darah dan air mata rakyat, adalah harta warisan yang paling mulia. Demang, Demang tidak boleh takut. Haram Manyarah! Waja Sampai kaputing!
Residen    :    (Mengancam) kau minta ditembak, hah?!
Demang Lehman    :    Residen. Jangan ancam dia. Kamu boleh menggantung saya, tapi jangan perlakukan dia dengan kekejaman.
Residen    :    Ohoo, akhirnya kamu punya perasaan juga. Gud. Saya tidak akan menembak dia, kalau kamu menghendakinya.
Wanita Dua    :    Saya rela dengan kematian saya, tapi Demang tidak boleh menghentikan perlawanan.
Residen    :    Kamu masih juga lancang, hah?
Demang Lehman    :    Semua ini, berpangkal dari ambisi dan nafsu serakahmu, Syarif Hamid (Berang).
Wanita Tiga    :    Demang, jangan salah faham. Syarif Hamid ini, justru berpihak pada Demang.
Wanita Dua    :    (Kepada Wanita Tiga)    Kamu juga pembunuh! Pembunuh hati nurani.
Demang Lehman    :    Kita harus mati bersama hari ini. Kubunuh Kamu! (Mencekik leher Syarif Hamid)
Wanita Tiga    :    Demang. Jangan membunuh sekutu Walanda! Berbahaya! Lepaskan Dia! Residen. Selamatkanlah Syarif Hamid.

Residen    :    (Buru-burru mengambil pistolnya) Hentikan! Lepaskan Dia! Tidak melepasnya, berarti kamu memilih mati di sini!
Demang Lehman    :    Baik. Saya tidak akan membunuhnya. Dan Saya pun tidak ingin mati di ruang tertutup ini.
Wanita Dua    :    Tapi wanita murah ini, harus mati di ruangan ini! (Mencekik lehernya)
Residen    :    Atau kamu orang yang harus saya tembak? Lepaskan dia!
Demang Lehman    :    Benar. Lepaskan Dia.
Wanita Dua    :    Tidak akan saya lepaskan dia! Wanita munafik! Hibah warisnya, justru akan melunturkan rasa kebangsaan! Memalukan! Kau harus mati!
Residen    :    Kurang ajar! (Menembaknya)
Wanita Dua    :    (Terhuyung-huyung, karena  salah satu punggungnya ditembus peluru)
Demang Lehman    :    Residen. Kau tembak Dia?! (Proses dengan tempo yang panjang).
Residen    :    Saya harus berbuat apa Demang? Saya, saya justru bermaksud tidak menghendaki  kematian Demang.
Wanita Tiga    :    Demang Lehman (Mengambil Naskah Pernyataan). Kita akan meraih masa depan yang lebih baik bukan? Dan Demang tidak menghendaki kematian rakyat yang tidak berdosa tentunya.
Syarif Hamid    :    Dengan ditandatanganinya surat pernyataan itu, akan tentramlah persahabatan antar bangsa.
Demang Lehman    :    Tapi dibalik itu, isi perut bumi kami terkuras untuk mempercantik negeri bangsa-bangsa itu. Dan kamu (kepada Syarif hamid) telah menyembunyikan bisa taringmu itu, di balik gunung mesiu serdadu Belanda. Penjilat! Penipu! (Merobek Naskah Pernyataan)
Residen    :    Demang lehman! Kamu robek itu surat pernyataan? Penghinaan! Kurang ajar!

17.    SPACE RUANG TUNGGU

Tubab    :    Saya bingung. Semua orang juga bingung! Bingung, bingung dan bingung!
18.    SPACE RUANG KERJA

Residen    :    (Marah Hampir Tak Terkedalikan) Tubab...........!!
        (Bell)
Tubab    :    Siap! (Muncul) saya siap di samping tuanku!
Residen    :    Demang Lehman. Kami akan catat, tidak kenal arti kompromi. Dan saya salah satu pengikut dan pewarisnya yang patuh.
Residen    :    Borgol kembali!
Demang Lehman    :    Tidak perlu, dan saya tidak akan lari! Tuan Residen. Aksi teror Tuan hari ini, akan membuat senjata tuan memakan tuan sendiri. Giringlah saya ke tiang gantungan itu.
B E D U G    :    (Terdengar dari kejauhan)
Wanita Tiga    :    Demang lehman, Kau akan digantung?

Wanita Dua    :    Kau tidak akan mati, pahlawanku. Percayalah....semangatmu,.......(Mati)
Residen    :    Seret Dia!
Tubab    :    (memperlakukan dengan tidak wajar)
Demang Lehman    :    Jangan perlakukan saya, seperti hewan. Sana. Siapkan tali gantungan itu! Anjing Walanda!
Tubab    :    (Tampak seperi seorang kerdil)

19.    PADA SPACE B DI TIANG GANTUNGAN.
DI ANTARA DUA TIANG GANTUNGAN, SEORANG PETUGAS MENUTUP MUKA DEMANG LEHMAN, KEMUDIAN MEMASANGKAN KALUNG TALI KE LEHERNYA!

Residen    :    Untuk ucapanmu yang terakhir, masih saya beri kesempatan. Silahkan!
Demang Lehman     :    (Melepaskan Tutup Mukanya)
        Panambahan Amiruddin Khalifatullah Mu’minin Pangeran Antasari almarhum telah menghibahkan rasa jijiknya kepada setiap unsur penjajahan di muka bumi ini. Dan dengan kematian saya hari ini, saya telah buktikan hibah waris itu. Semua  kita harus bebas dari najis. Harus bebas dari kemunafikan!
        Dangar-dangar barataan....
        Banua Banjar Kalo Kahada Dipalas Lawan Banyu Mata Darah
        Marikit Dipingkuti Kompeni Walanda!
        Haram Manyarah! Waja Sampai Kaputing!
        (Begitu Residen Memberi Abah-abah menarik trap berpijaknya Demang Lehman, layarpun tergelar ke bawah. Tampak bayangan tubuh terkulai di tali gantungan)

20.    PADA SPACE PRIBUMI TERJADI KEHARUAN DAN PERGOLAKAN
Wanita Satu    :    Tidak benar dia mati. Tidak benar dia mati! (Tersedu sedan karena haru) Tidak benar dia mati, Jiwanya dan semangatnya selalu ada pada kita. (tertangis) Kita harus lanjutkan perjuangan ini.......
        Tapi kita tidak boleh menangis. Yah, kita tidak boleh menangis. Lebih baik kita susun barisan Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing! Kita susun serapi-rapinya. Kita akan lawan serdadu, marsose, walau kita sampai mati..............!!!!
        (Semua Pejuang Bergerak)
        Haram Manyarah,
Orang-orang    :    Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing!

==SELESAI==
 September 1986
Penulis H. Adjim Arijadi

Comments

Popular posts from this blog

BULAN DAN KERUPUK KARYA YUSEP MULDIANA

Pemikiran Susanne K. Langer Dalam Memabaca Simbol Pada Seni